Puisi ini menggali tema kemunafikan dan membuka kedok para penipu yang bersembunyi di balik kebajikan palsu. Melalui gambaran yang membakar, puisi kemarahan ini ditujukan untuk mereka yang selalu bermuka dua dan menebar kebencian pada orang lainnya yang tidak berjalan sesuai stigma sosial.
Persetan dengan hujatmu!
Kau pikir aku akan terkesima dengan standar yang kau gores di permukaan kanvas hidupmu?
Aku masih bisa berpijak, meski dengan kedua kaki lemahku
Aku masih mampu menarik sejumput napas, untuk bertahan dalam sesakku
Pun cemooh dan air ludahmu takkan kubiarkan untuk mengerdilkanku
Tak kau pandang bayangan yang menghitam di cerminmu
Bagimu, dosa kecilmu tak seberapa
Hingga kau tak segan berteriak dan kerap mengangkat jari telunjukmu pada siapa pun
Bagimu, skala berat dosa membuatmu berhak untuk menampar mereka yang kau anggap manusia bejat
Kata-kata wejanganmu kau anggap suci dan mahal
Tanpa pernah kau mengulurkan tangan untuk benar-benar menyelamatkan jiwa mereka sebelum hancur
Mereka ... yang selalu meronta dan menangis untuk sekadar merasa layak hidup
Karena hanya dengan lidahmu, kau bisa menganggap dirimu lebih layak untuk diaku dunia sebagai kaum malaikat
Karena hanya dengan menunjukkan putihmu, kau bisa menghitamkan mereka yang berbeda denganmu
Persetan ... persetan dengan tuturmu!
Biar mereka memandang jahanam sepertiku dengan tatapan menista
Biar mereka melecut punggung kurusku yang dingin dengan sumpah serapah
Biar mereka memusuhiku, menjauhiku, dan menganggapku bak virus menular
Tapi ... aku tahu siapa diriku
Aku tahu seberapa tinggi harga diriku untuk menghadapi laknat sepertimu
Takkan aku lari dari tanggung jawab atas dosaku .... atau pandangan dunia akanku
Takkan aku berpaling dari jiwa-jiwa terluka ... yang kerap meraung dalam senyap
Aku akan terus tetap berdiri tegak dengan rupaku ... dan mengangkat mahkota kelamku
Persetan dengan lidahmu!
Persetan dengan jarimu!
Karena hanya mereka yang berharga yang kelak akan mampu melihat warna jiwaku
Tak perlu kau ... dan jutaan manusia palsu di luar sana
Sekali lagi, persetan denganmu!
Aku akan terus bertahan hidup di depan matamu!
Bagikan tautan halaman puisi ini melalui: