[*PENAFIAN: Isi cerpen bertema psikologis gelap "Dua yang Berakhir Satu" tidak dimaksudkan untuk ditiru karena tindak kriminal yang digambarkan di dalamnya dapat mengakibatkan konsekuensi hukum. Oleh karena itu, individu di bawah usia dewasa disarankan untuk tidak membacanya.
Harap diperhatikan bahwa sudut pandang narasi yang digunakan dalam cerpen ini adalah sudut pandang orang kedua (POV 2) - tentang seseorang dengan gangguan mental. Tindakan kriminal, melukai diri sendiri, perundungan fisik maupun psikologis, dan gaslighting sangatlah tidak etis dan dapat menimbulkan risiko jangka panjang].
Bogor, Indonesia, 2027
Kamu mengernyitkan keningmu dan menatap ke arah gradasi warna langit yang menarik. Sinar matahari masih menyapa kulit wajahmu. Namun, di beberapa sisi lainnya, awan hitam mulai menutupi terangnya.
Kamu tahu kalau hanya tinggal menunggu waktu untuk merasakan rintik hujan. Karena itu, kamu menoleh cepat ke arah beberapa wartawan yang baru saja mewancaraimu dan kini meninggalkanmu untuk menuju ke mobil mereka masing-masing, lalu tersenyum tipis. Tanganmu sempat melambai pelan pada mereka, sebelum kemudian kamu mulai menatap ke arah sesuatu yang lebih penting.
Kamu---ya, kamu yang terpenting, ucapmu dalam hati sambil menatap ke arah makam sahabatmu yang persis ada di hadapanmu.
Langkah kakimu semakin mendekat ke arah batu nisan kelabu yang tertancap di gundukan semen yang tertutup kerikil putih. Untuk menuju ke sana, beberapa kali kamu sampai harus menginjak rumput menguning yang tampak sama matinya dengan sahabatmu.
"Apa kabar, Tania? Ini sudah sebelas tahun sejak kematian kamu. Bagaimana rasanya berada satu koma lima meter di bawah tanah?" sapamu dengan nada berbisik ke arah nisan kayu yang menorehkan nama sahabatmu. "Tentunya orang sepertimu yang selalu dikelilingi kehangatan, merasa sangat dingin dan kesepian di bawah sana, kan?"
Kamu tersenyum simpul, meski bola matamu tampak sedikit nanar. "Jangan salah paham, aku kehilangan kamu selama sebelas tahun mendekam di penjara -- sungguh. Hanya saja ... aku masih tidak bersedih atas kematian kamu. Aku rasa, kamu pantas untuk mati. Toh kamu akan ke surga seperti kata-katamu dan orang-orang di sekitarmu dulu, kan? Kamu benar-benar dianggap seperti malaikat."
"Malaikat," ulangmu sambil tertawa sinis. "Dunia memandang kamu bak malaikat, Tania. Kamu juga tahu itu, kan? Kamu selalu menikmati pandangan positif semua orang tentang kamu. Kamu hangat, penuh tawa, baik ke semua orang, dan sangat mudah untuk disukai. Setidaknya, itu pendapat mereka tentang sosok kamu. Itu juga pendapat aku tentang kamu dulu."
"Tapi ...," lanjutmu dengan tawa getir, "mereka tidak benar-benar tahu kamu luar dalam seperti aku. Mereka enggak benar-benar mengenal karakter asli kamu di balik segalanya. Tentunya itu karena karena kamu selalu memilih-milih orang untuk menunjukkan warna asli kamu. Kebetulan, kamu hanya memilih untuk menunjukkan sifat asli kamu ke aku seorang. Sayangnya, hanya aku."
"Mereka belum tahu tentang kamu, kan? Apa mereka tahu bahwa di balik sikap ramah kamu itu, kamu senang menyakiti orang lainnya? Seharusnya mereka bertanya menyelidiki tentang karakter asli kamu dibanding mempertanyakan kronologis kematian kamu tanpa henti."
Kamu menarik napas kamu dalam-dalam, sebelum kemudian memutuskan untuk duduk di sisi makam sahabatmu sambil bersandar di batu nisannya. Wajahmu kembali menengadah untuk melihat sinar matahari yang mulai memudar karena tertutup awan gelap. Namun, tatapanmu tampak mengawang jauh --- jauh ke masa lalumu yang menyedihkan.
"Tania, kamu ingat bagaimana kita bertemu dulu?" sambungmu setelah beberapa detik tenggelam dalam keheningan. "Kamu dan aku bertemu di Inggris sepuluh tahun yang lalu. Ah, mengingat pertemuan kita dulu selalu membuat aku tersenyum. Kamu masih hijau di kampus kita dulu, masih baru. Kamu mencoba memulai pertemanan dengan banyak komunitas pelajar Indonesia lainnya, sampai kamu bertemu aku dan teman-teman kita yang lainnya."
"Menjadi dekat dengan kamu adalah hal mudah. Kamu Tania yang hebat, cantik, supel, cukup cerdas, dan mampu membuat semua orang langsung mengambil posisi terdekat dengan kamu. Kata mereka dulu, kamu berasal dari keluarga berada dan hangat. Berbeda dengan aku yang berasal dari kalangan tertutup dan dingin. Aku juga tidak terbiasa dengan keramaian dan tidak mudah bergaul, tapi dengan kamu ... semuanya jadi berbeda."
"Kamu membuat hidup aku dulu menjadi lebih hangat dan penuh tawa. Kamu membuat aku selalu merasa dibutuhkan sama kamu. Kamu membuat aku mengira diri aku berharga saat itu. Tidak jarang, kamu datang ke flat aku hanya untuk meminta bantuan soal mata kuliah kamu. Tidak hanya itu, kamu juga selalu membawakan aku makanan hangat khas Indonesia yang selalu aku rindukan di sana."
“‘Chicken soup for the soul', kata kamu dulu ke aku sambil tertawa. Itu adalah perkataan khas kamu saat beberapa kali membawakan aku sup ayam masakan kamu yang memang sangat hangat di saat aku sakit. Aku harus akui kalau kamu memang mahir memasak makanan Indonesia. Sejujurnya saat ini aku bahkan merindukan masakan kamu itu. Bagiku, masakan kamu seratus kali lebih hangat dibanding makanan di rumah aku yang selalu dingin."
"Sayangnya ...," lanjutmu setelah mengambil jeda singkat, "entah sejak kapan semuanya mulai berubah di antara kita -- bukan begitu, Tania? Tidak seorang pun sadar dengan apa yang kamu lakukan ke aku. Tidak satu pun."
"Apa itu karena pria di komunitas kampus kita? Atau karena kamu memang menganggap aku pantas untuk selalu direndahkan di balik tawa canda kamu di depan semua teman kita lainnya? Mereka semua menganggap kamu bercanda, tapi kemudian itu menjadi tradisi di antara kita. Ya, tradisi. Tradisi untuk mengesampingkan aku dalam banyak hal."
"Kamu yang penuh prinsip, selalu merebut siapa pun pria yang aku suka di kampus kita dulu. Kamu membuat aku terlihat konyol karena mempertanyakan sikap kamu tentang itu. Buruknya, kamu membuat semua orang percaya bahwa aku mengiri ke kamu karena apa yang kamu lakukan. Mereka tidak tahu sama sekali kalau aku sudah mencurahkan perasaan aku tentang pria-pria itu ke kamu sebelumnya."
"Kamu juga membuat semua teman-teman lama aku semakin hari menganggap aku badut untuk ditertawakan dan dijauhi. Entah bagaimana, rasanya semakin normal bagi kalian semua untuk menghakimi tindakan dan keputusan dalam hidup aku. Kamu dan yang lain bahkan mulai sering untuk menyisihkan aku dari kegiatan-kegiatan menyenangkan kalian."
"Kamu bilang ke mereka kalau aku adalah orang yang penuh perhitungan dan tidak pernah mau keluar uang saat pergi bersama. Padahal, kamu tahu persis bagaimana aku harus menghemat semua pengeluaran aku untuk bertahan. Kamu membuat mereka semua berpikir kalau aku akan menjadi benalu. Pada akhirnya, kamu berhasil membuat aku terpaksa selalu menolak untuk berkumpul dengan mereka semua karena rasa malu."
"Kamu selalu bersikap seolah-olah kamu mendukung aku untuk bahagia -- menyarankan aku untuk membuka diri terhadap hubungan istimewa dengan pria. Ketika aku akhirnya berhasil menjalin hubungan dengan pria di luar komunitas kita, kamu kemudian mulai menyerang konsep hubungan kami yang tidak sehat. Katamu, aku bodoh karena tidak mau berpisah dengan pria toksik yang katamu berselingkuh."
"Tentunya dengan kamu mengatakan bahwa aku perempuan bodoh, itu semua kemudian menjadi seperti sebuah validasi bagi yang lain untuk membuat aku terlihat seperti perempuan tanpa harga diri. Tidak saja berhasil membuat aku menjauh dari yang lain, kamu juga membuat aku menjadi aku yang sekarang -- sendiri, introvert, diam."
Kamu menarik napas setelah mengatakan kalimat terakhirmu ke makam sahabatmu, dan kemudian mengepalkan kedua tanganmu. Ada semburat rasa pedih dan amarah di wajah kamu saat kamu melakukannya.
"Ingatkah kamu saat kamu tiba-tiba mengenalkan aku pada pria yang merupakan teman lama kamu? Kamu bilang, dia sempurna untuk aku -- pria baik yang pantas untuk aku. Kamu membuat aku merasa segalanya kembali hangat di antara kita dan hubungan kita membaik. Namun, di saat aku mulai berusaha membuka tangan lebar-lebar atas restu kamu, kamu mendadak menunjukkan sikap keberatan."
"Tania, bagaimana mungkin kamu bisa cemburu saat pria yang sebenarnya kamu tolak dulu bersikap baik ke aku? Bagaimana kamu bisa kesal karena hubungan kami yang mulai bersemi, padahal kamu selalu bilang tidak tertarik padanya? Yang menarik, pada akhirnya kamu menubah skenario kamu yang usang dan terbuang. Kamu yang kemudian berakhir berpacaran dengannya -- teman lama kamu itu."
"Tidakkah kamu malu sudah melakukan itu ke aku? Tidakkah kamu seharusnya merasa sedikit bersalah ke aku? Luar biasa, kamu bahkan bisa tetap tersenyum dan terlihat bangga saat kemudian memberi tahu aku dan yang lainnya bahwa kamu resmi bertunangan dengannya. Kamu bahkan dengan ringan mengharapkan aku untuk datang ke acara perayaan kamu dengannya."
"Cck cck, Tania ... bahkan di pertemuan terakhir antara aku, kamu dan pria itu sebelum kamu menikah, kamu masih bisa menghakimi nasib burukku. Kamu masih bisa mempermalukan aku di depan tunangan kamu dengan menghina laki-laki lain pilihanku yang bagimu memalukan."
“‘Pisah saja, kamu bodoh kalau masih mau bersama dengan pria yang menyakiti kamu dan menggerogoti uang kamu', begitu katamu ke aku sambil memamerkan cincin berlian di jari manis kamu. Kamu pasti senang sekali melihat aku merasa tertampar dan malu di depan pria milikmu. Kamu pasti bahagia membuat aku selalu terlihat seperti pecundang jika di depan kamu."
"Padahal, sikap kamu yang membuat aku kembali padanya. Padahal, kamu yang membuat aku menjadi sedemikian rupa. Kamu yang merebut semua teman-teman lama aku, mengambil kembali pria yang seharusnya kamu jodohkan ke aku, dan membuat aku kini tidak lagi punya siapa pun untuk membicarakan segalanya. Namun, di saat aku berusaha untuk berbicara ke kamu, kamu mengambil kesempatan itu untuk sekali lagi mempermalukan aku."
"Lihat, Tania," -- bisikmu kini sambil menyentuh batu nisan sahabatmu -- "ini semua karena kamu. Apa yang terjadi ke kamu saat ini adalah buah dari tindakan kamu selama bertahun-tahun masa kebersamaan kita. Kematian kamu bukan salahku, ini semua karena diri kamu sendiri."
"Rasanya tentu bahagia bukan menjalani pernikahan terindah bak di negeri dongeng bersama dengannya, setengah tahun sebelum kematian kamu dulu? Rasanya pasti sempurna saat menjalani itu dengan semua orang terdekat kamu kecuali aku. Kamu mengundang mereka semua dan mengabaikan aku -- AKU -- orang yang sebenarnya mengenalkan kamu pada semua sahabat kamu saat itu."
Kamu kemudian mengusap lembut batu nisan sahabatmu sambil berbisik, "Bahkan setelah kamu m*ti, kamu masih sanggup membuat aku merasa kesulitan. Mereka bilang aku yang memb*n*h kamu. Kata mereka ... aku orang yang menabuhkan s*an*da di minuman teh hitam kesukaan kamu. Hanya aku yang katanya paling mungkin untuk melakukannya. Hanya aku yang katanya punya motif kuat untuk itu."
"Meskipun begitu, masa-masa itu terasa cukup menyenangkan bagi aku," ucapmu sambil tertawa geli. "Semua orang berusaha mencari tahu tentang aku. Semua orang berusaha mencari tahu apa yang terjadi ke kamu. Semua orang berspekulasi tentang bagaimana kamu mati dan apa aku yang benar-benar membunuh kamu atau tidak. Mereka dan kamu membuat aku jadi begitu terkenal di mata dunia."
"Kamu tahu, satu tahun sebelum kematian kamu, hidup aku ada di titik terburuk. Tentunya semuanya masih memiliki kaitan dengan kehadiran kamu di hidup aku. Saking buruknya, aku terus berpikir untuk m*ti. Aku bahkan mengambil sisa s*an*da dari salah satu pasien rumah sakit tempat aku bekerja yang diselamatkan dari sebuah percobaan b*n*h diri."
"Kamu ingat, kan? Aku pernah bekerja di UGD rumah sakit? Aku berkali-kali menjadi saksi dari banyaknya orang yang berniat untuk mengakhiri h*d*p. Aku pernah terpikir untuk melakukan hal yang sama dengan s*an*da itu, tapi untungnya itu tidak terjadi. Pada akhirnya, aku hanya menyimpannya dan kemudian menggunakannya untuk hal lain yang lebih besar."
Kamu kemudian menyunggingkan senyum senang dengan kilat sinar yang terpancar dari matamu. "Kamu! Ya ... aku menggunakannya ke kamu! Kamu adalah sosok sempurna bagi aku untuk melihat reaksi dari sebuah ramuan kematian. Menyaksikan ajal menjemput kamu- karenanya, awalnya terasa sangat mengejutkan - membuatku lumpuh dalam diam sesaat. Lalu, segalanya kemudian terasa begitu menakutkan, sampai akhirnya kini aku justru merasa lega."
"Kamu tahu, hingga saat ini aku selalu tersenyum setiap mengingat detik-detik terakhir kamu yang terjadi di depan mata aku. Aku bahagia dan sangat beruntung dapat menyaksikannya. Bahkan jika nanti aku harus berakhir di balik jeruji besi, aku mungkin tidak akan menyesali apa yang sudah aku lakukan ke kamu. Kalau segalanya harus diulang kembali, aku mungkin akan melakukannya lagi dan lagi."
"Menarik bukan, setelah sempat lama tak bertemu, aku dan kamu akhirnya kembali bertemu untuk menutup usia kamu. Aku tidak pernah lupa bagaimana kamu suka menikmati teh hitam kamu. Karena itu, aku menyuguhkannya untuk kamu ... bak seorang sutradara kala mempersiapkan pertunjukkan spektakulernya."
"Seharusnya aku hanya melakukannya dengan dosis yang tidak sebanyak itu, tapi ... aku khawatir kamu akan lama m*ti dan aku tidak akan bisa menyaksikannya secara langsung. Karena itu ... aku harus menabuhkan cairan pencabut ny*w* itu lebih banyak -- sangat banyak dan cepat -- agar kamu telanjur menelannya sebelum sempat merasa curiga dan menyadari kejanggalannya."
"Aku beruntung mereka memberi formalin di jasad cantik kamu sesuai harapanku. Tentunya berkat itu, tidak seorang pun yang tahu apa yang benar-benar membunuh kamu. Mereka memang memanggilku, menginterogasiku, dan mencurigaiku, tapi dunia hukum bergerak berdasarkan bukti. Bukankah seharusnya begitu?"
Kamu mengusap dahimu dengan jari-jari kurusmu dan kemudian terkekeh. Kini, kamu mengangkat tubuhmu dan berdiri sambil tetap memandangi nisan sahabatmu.
"Kamu lihat, Tania, siapa yang pada akhirnya menang?" tanyamu kini sambil menyunggingkan senyum lebar. "Aku. Akulah yang pada akhirnya menang. Mereka akhirnya memberikan potongan hukuman atas sikap baikku di sana. Sekarang, aku bisa kembali berdiri di sini dan memandang kamu yang menjadi tanah di bawah telapak kakiku."
"Tania ... Tania ... kamu seharusnya memuji aku. Aku melakukannya dengan sangat sempurna, kan? Aku membuat kamu m*ti di depan mataku dengan risiko yang akan menjeratku, tapi ... lihatlah aku. Dunia tetap menganggap bahwa kejahatan tak kasat mata bukanlah sebuah kejahatan nyata. Akan ada banyak orang di luar sana yang akan memutikan sebuah tangan yang tak pernah benar-benar terlihat memb*n*h."
"Kalau kamu ingat," sambungmu, "ini semua sama dengan apa yang kamu lakukan ke aku. Tidak ada yang benar-benar tahu siapa kamu karena kamu memang malaikat bagi orang-orang lainnya. Keburukan kamu yang hanya aku ketahui, sudah tertutup di dalam tanah bersama dengan jasadmu -- berkat bantuanku."
Kini, kamu merogoh isi tas di pundakmu dan kemudian mengeluarkan setangkai mawar hitam dari dalamnya. Tanganmu lalu mengulurkan mawar itu ke bagian depan batu nisan di depanmu dan kamu meletakkannya di sana secara perlahan.
Setelah melakukan itu, wajahmu kembali menengadah ke langit yang baru saja mengeluarkan suara bunyi gemuruh halus. Setetes rintik hujan menyapa kulit wajahmu saat kamu melakukannya dan membuat matamu mengerjap sekali. Kamu menyekanya dengan punggung tanganmu, sebelum kemudian wajahmu menatap ke arah batu nisan sahabatmu sekali lagi.
"Ini mungkin akan jadi kali terakhir untuk aku mengunjungi kamu," katamu dengan nada pelan. "Mulai sekarang, aku akan menjalani hidupku dengan lebih bahagia, tanpa rasa takut, dan tanpa bayang-bayang kamu lagi. Tentunya jika aku harus melakukan hal seperti ini lagi, aku sudah tahu momen dan cara yang lebih tepat."
"Sungguh, ini semua berkat kamu. Karena kamu, aku mendapat sorot mata dunia dan akan dikenang sepanjang masa, sementara bayangan kamu akan memudar. Berkat kamu, aku bisa belajar untuk lebih berhati-hati. Berkat kamu juga, aku mendapat banyak simpati dan kini bisa berdiri di sini dengan bebas."
Kamu mengambil jeda sejenak sambil mengulum senyum gelimu, sambil kembali sedikit membungkuk ke arah batu nisan untuk berbisik, "Karena itu, terima kasih, Tania. Terima kasih untuk kematian kamu. Sekarang, aku dan kamu sudah sendiri -- berjalan masing-masing."
Setelah terdiam beberapa detik, kamu kemudian menegakkan kembali punggungmu dan membalikkan tubuhmu. Kini, kamu berjalan pelan meninggalkan pusara sahabatmu sambil tersenyum penuh kemenangan di bawah langit kelabu.
"Selamat tinggal untuk kamu, sang malaikat sempurna, dan ... membusuklah di neraka," ucapmu untuk terakhir kalinya di sana, tanpa pernah menoleh ke belakang lagi.
Bagikan tautan cerpen ini melalui: