Laut China Selatan, 16 November 2021, 22.00 CST (4 hari sebelum Hotel Poernama di Indonesia diisolasi)
"Kamu sudah mengaktifkan sistem backup?"
Seorang pilot tampak berjalan tergesa-gesa memasuki kokpit, setelah baru saja kembali dari toilet sambil memandang dengan gusar ke arah rekannya yang tampak kewalahan di kursinya.
"Kapten, sistem backup enggak bisa dikendalikan dengan maksimal," jawab rekannya dengan nada yang masih sama paniknya dengan lima belas menit sebelumnya. "Sa---saya juga kesusahan untuk menghubungi pusat kontrol. Sepertinya sinyal kita sedang tumpang tindih dengan yang lainnya. Apalagi, di luar sedang hujan petir."
"Ada yang tumpang tindih dengan kita?" Sang kapten langsung duduk dengan cepat di kursinya. "Mungkin ada yang sedang menggunakan frekuensi sama atau berdekatan dengan kita. Kondisinya di bawah pasti sedang hujan petir."
"Tapi aneh," ujar rekannya yang lebih muda sambil memiringkan kepalanya dengan bingung. "Apa seseorang menggunakan frekuensi satelit di saat-saat seperti ini hanya untuk bercanda? Sejak tadi, saya hanya mendengar suara-suara teriakan dan geraman."
"Mungkin ada yang sedang menonton film horor atau siaran tertentu di belakangnya," jawab sang kapten tanpa terpengaruh. Ia sudah akan kembali fokus untuk mengatasi masalah kontrol utama pesawat yang bermasalah, sampai mendadak sebuah suara tak dikenal kembali masuk ke dalam jaringan sinyal mereka.
"Phantom di sini. Apa yang terjadi di sana?" Sebuah suara terputus-putus terdengar dari radio komunikasi pesawat mereka. "X1...apa sesuatu terjadi di sana?"
Hening tercipta cukup lama di sana, sampai mendadak ada sebuah suara lainnya yang terdengar.
"Sa---salah satu dari mereka terlepas," ucap seseorang dengan suara yang sangat lemah, seakan-akan berasal dari tenggorokan yang tercekat. "Sa---salah satu dari mereka ...."
Suara itu mendadak terhenti begitu saja selama beberapa detik, sebelum kemudian secara tiba-tiba berganti dengan sebuah jeritan hiteris yang sangat mengerikan. Kaget, sang kapten secara refleks langsung mengecilkan suara radio komunikasi mereka dengan mata yang terbelalak.
"Kapten dengar yang tadi itu, kan?" tanya rekannya dengan nada yang terdengar heran.
Sang kapten terdiam sebentar, sebelum kemudian langsung mendengus. "Itu mungkin hanya suara orang menonton film atau sejenisnya. Kita punya kondisi darurat yang lebih penting saat ini dibanding mendengar hal-hal aneh. Seharusnya beberapa jam lagi kita sudah bisa tiba di Batam."
"Ini mungkin akan rumit. Kabarnya angka Covid di Indonesia masih sangat tinggi. Saya enggak mengerti kenapa anak-anak mahasiswa dari Universitas di Jepang ini nekat ke Indonesia di masa pandemi begini? Bagaimana mereka bisa mendapat izin untuk ini?" gumam rekannya sambil kembali fokus bekerja.
"Mereka anak-anak orang kaya di Asia Tenggara; mereka bisa melakukan apa saja," ucap sang kapten sambil lalu. "Beberapa di antara mereka katanya orang Indonesia dan mereka berencana untuk berlibur diam-diam di Pulau Natuna yang sepi."
"Mungkin mereka bosan setelah lama hanya menjalani aktivitas kampus secara online dan lama terisolasi dari dunia mewah mereka yang penuh liburan," lanjutnya. "Itu makanya mereka menyewa jet ini dan jasa kita untuk menerbangkannya dari Jepang. Semoga kondisi pesawat membaik dan kita enggak perlu berhadapan dengan tuntutan dari mereka kelak."
Rekannya kembali memiringkan kepalanya dengan bingung. "Saya sangat yakin pihak teknisi sudah mengecek pesawat ini sebelumnya dan enggak ada masalah yang terdeteksi. Kenapa mendadak sekarang kita mengalami masalah di pusat kontrol utama dan sinyal?"
Sang kapten hanya bisa menarik napasnya dalam-dalam. "Kalau kita enggak juga bisa menghubungi pengendali lalu lintas udara dalam beberapa waktu ke depan, kita mungkin terpaksa harus melakukan pendaratan darurat untuk mencegah kemungkinan bahaya besar menimpa kita. Untuk sementara, kita usahakan saja dulu tetap menggunakan sistem back-up dan menghubungi pusat kendali."
Hanya beberapa meter di balik pintu kokpit yang tengah bermasalah, sekelompok orang tampak sibuk dengan aktivitas bersenang-senang mereka. Ada yang tengah tertidur di kursi pesawat mereka, ada yang tengah bermain kartu sambil menenggak minuman keras, ada juga yang sedang menonton film, dan sebagian lainnya tampak sibuk mengobrol sendiri.
"Maaf, tolong kembali ke kursi Anda. Pilot sudah sejak tadi mengumumkan kalau kalian wajib duduk dan mengenakan sabuk pengaman," ucap seorang pramugara dengan wajah seperti memelas ke arah beberapa orang yang tengah berdiri sambil tertawa cekikikan.
Orang-orang yang setengah mabuk itu hanya melirik sekilas ke arah sang pramugara, lalu kembali meledak dalam tawa saat melihat salah satu teman mereka terseret ke ujung kabin karena adanya guncangan pesawat.
"Saya mohon, kembali ke tempat duduk Anda masing-masing," ulang sang pramugara tanpa putus asa. "Cuaca di luar sedang buruk, kita mungkin akan mengalami banyak guncangan saat ini. Akan sangat berbahaya kalau---"
"Maaf, kalian punya kantong muntah?" potong seorang gadis berambut panjang dari kursinya secara tiba-tiba sambil menatap ke arah sang pramugara yang berdiri tak jauh darinya. "Teman saya itu sepertinya sedang sangat mual dan bisa muntah kapan saja. Saya akan terganggu kalau dia sampai muntah sembarangan di sini."
Sang pramugara kemudian menoleh ke arah seorang gadis lainnya yang penampilannya paling berbeda dengan semua orang di sana, dan kemudian langsung berjalan ke arah gadis yang dimaksud sambil berpegangan ke kursi-kursi yang dilewatinya.
"Nona, Anda mual?" tanya sang pramugara ke arah gadis tersebut. Kalau Ada butuh obat tertentu atau kantong muntah, saya akan---"
"Hei, Perempuan Beasiswa, kamu masih belum juga terbiasa naik pesawat?!" teriak salah satu dari pria setengah mabuk tadi ke arah gadis itu dengan memotong kalimat sang pramugara. "Aku kira setelah kamu sering menebeng pulang ke Indonesia dengan pesawat Bayu, kamu enggak akan sering muntah lagi di pesawat."
"Perempuan itu orang Indonesia?" tanya temannya yang lain dari posisi sebelah pria tadi.
"Kamu enggak tahu? Dia, Bayu, dan Gina sama-sama dari Indonesia," jawab orang pertama sambil terkekeh. "Dia berbeda dengan kita. Bayu menyebutnya 'perempuan beasiswa' karena di antara kita semua, hanya dia yang kuliah di tempat kita berkat bantuan beasiswa."
"Karena Bayu dulu sering pulang ke Indonesia dengan pesawat jet keluarganya," lanjut orang tersebut, "dia sering ikut menebeng pulang dengan Bayu dan Gina. Itu makanya dia rela menjadi pesuruh Bayu selama ini. Kamu enggak lihat dia yang mengurus segalanya untuk Bayu selama ini?"
"Kata siapa aku orang Indonesia? Aku orang Malaysia," celetuk gadis bernama Gina Lee yang tadi meminta bantuan kepada pramugara dari kursinya. "Aku hanya sering menebeng pulang dengan Bayu karena Malaysia dekat dari Indonesia. Kevin juga begitu karena dia dari Singapura."
Kiyati Maheswara yang sejak tadi dipanggil dengan sebutan 'perempuan beasiswa' sama sekali tidak mengeluarkan reaksi apa pun. Bahkan ketika pria yang mengejeknya juga terseret karena guncangan pesawat, ia tetap diam di kursinya dengan wajah yang pucat.
Hanya ketika sang pramugara kembali berbicara padanya dengan raut iba, gadis itu mulai bereaksi. Ia tersenyum tipis ke arah sang pramugara, dan kemudian berdiri secara perlahan dari kursinya.
"Saya akan ke toilet saja," ujar gadis yang sekarang duduk di tingkat akhir universitasnya tersebut sambil memegangi sandaran kursi untuk bisa berjalan.
"Nona, toilet kabin belakang sedang dipakai. Kalau mau, saya bantu antar ke toilet kabin depan?"
Kiya menggeleng. Ia kemudian melangkah menuju ke kabin depan dengan hati-hati, tanpa menoleh ke arah para pria iseng tadi yang masih tersenyum-senyum menatap ke arahnya. Namun begitu tiba di toilet kabin depan dan membuka pintunya, gadis yang sedang merasa luar biasa mual itu seketika terkejut.
Di depan matanya, ia melihat seseorang yang sangat dikenalnya sejak empat tahun lalu, Bayu Wiyasa, sedang melakukan hubungan tidak senonoh dengan salah satu pramugari jet sewaan tersebut. Begitu menyadari kalau Kiya memergoki mereka, sang pramugari langsung beranjak dari pangkuan Bayu, lalu terburu-buru menutupi setengah tubuhnya yang terbuka dengan seragamnya yang terjatuh di lantai.
Berbeda dengan pramugari tersebut, Bayu malah hanya bersandar di kursi toilet dengan santai. Pria itu jelas tengah dalam kondisi mabuk berat. Wajahnya terlihat sangat merah dan sorot matanya tampak sama merahnya dan sayu.
Pada dasarnya, pria itu bukan berasal dari keluarga paling kaya di Indonesia seperti yang diduga semua teman mereka. Namun, semua kemewahan dalam hidupnya selama ini didapatnya dari ibunya di Jepang yang sudah bercerai dengan ayahnya, dan merupakan keturunan konglomerat asli di sana. Meskipun begitu, entah mengapa pria itu tidak tinggal dengan ibunya sendiri di Tokyo dan lebih sering pulang ke Indonesia saat libur kuliah.
"Perempuan Beasiswa ...?" gumam pria itu dengan nada aneh saat akhirnya menyadari kehadiran Kiya di sana. "Apa yang kamu lakukan di sini?"
Kiya yang risih melihat kondisi Bayu, hanya menarik napasnya dalam-dalam ketika mendengar pertanyaan dari pria mabuk tersebut.
"Rapikan dulu celana kamu sebelum kamu ngomong sama aku! Apa yang mau kamu pamerkan di sana?" ujarnya dalam bahasa Indonesia dengan nada sinis.
Gadis itu lalu berbalik dengan cepat setelah mengucapkan itu dan langsung membuka pintu toilet lainnya, sebelum kemudian terjatuh ke lantai dengan bola mata yang berkaca-kaca. Kedua tangannya dengan cepat langsung membuka penutup toilet duduk untuk memuntahkan isi perutnya yang entah bagaimana terasa semakin meluap.
Ada perasaan sedih dan kesal sekaligus di diri Kiya ketika melihat pemandangan tidak mengenakkan tadi. Namun, ia tahu persis kalau ia sebenarnya tidak pantas untuk marah pada Bayu.
Ya, gadis itu sudah beberapa tahun belakangan menyukai temannya tersebut. Awalnya, ia hanya memanfaatkan Bayu yang kaya untuk bisa pulang pergi Jepang-Indonesia secara gratis karena pria itu sering menggunakan jet pribadi keluarga ibunya. Itu sebabnya ia tidak pernah keberatan kalau karena hal tersebut, ia yang tidak memiliki banyak uang selama ini bertindak bak pesuruh bagi Bayu selama di Jepang.
Sebenarnya, Bayu bukan karakter pria yang dalam bayangan Kiya mudah untuk ia sukai. Bayu luar biasa nakal dan selalu bersikap seenaknya. Selain itu, ia juga sering meremehkan kondisi apa pun. Ia bahkan tidak pernah menyebut nama Kiya dengan benar dan hanya selalu memanggilnya dengan sebutan 'perempuan beasiswa'.
Mungkin awalnya disebabkan oleh karena kesamaan asal negara, semakin lama di Jepang, Kiya semakin merasa nyaman dengan Bayu. Apalagi, pria itu selalu tidak pernah absen untuk mengajaknya pulang ke Indonesia setiap mereka libur. Ia juga tidak pernah mengabaikan Kiya di Jepang, meski keduanya memiliki lingkungan sosial dan pertemanan yang jauh berbeda.
Walaupun begitu, Kiya tahu kalau ia bertepuk sebelah tangan. Pria itu tidak pernah memandangnya secara istimewa dan hanya menganggapnya sebagai sesama orang Indonesia yang kuliah di Tokyo, Jepang.
Kini, Kiya meraih kotak tisu dari atas wastafel dan mengusap mata serta mulutnya yang basah. Ia sempat terdiam lama di lantai toilet untuk meredakan rasa mual yang masih terasa di tenggorokannya, sampai mendadak sebuah pengumuman terdengar secara samar dari arah luar toilet.
Gadis itu masih tetap termanggu di tempatnya saat tiba-tiba ia mendengar suara kegaduhan di area luar toilet pasca pengumuman tadi. Namun, sebuah ketukan keras di pintu toilet langsung memecahkan keheningan di dalam kepalanya.
"Nona? Nona Kiyati?" seru pramugara yang tadi menyapanya di kursi kabin dari arah luar pintu toilet. "Nona, cepat kembali ke kursi Anda sekarang juga!"
Butuh waktu beberapa detik bagi Kiya untuk bisa bangkit dari tempatnya dan membuka pintu toilet dengan wajah tanpa ekspresi. Namun, begitu ia menjejakkan satu langkah kakinya ke luar toilet dan melihat situasi gaduh dari arah kabin belakang, gadis itu seketika diterpa firasat buruk.
"Apa yang terjadi?" tanya Kiya ke arah sang pramugara di depannya dengan pandangan yang mulai tampak cemas.
"A---ada masalah dengan mesin pesawat ini. Nona harus segera kembali ke kursi Nona karena ... kita akan segera melakukan pendaratan darurat di Laut China Selatan."
AUTHOR’S NOTE
CST yang dimaksud di sini adalah China Standard Time, dan bukan Central Standard Time yang digunakan di Amerika Utara. China Standard Time memakai hitungan waktu UTC+8 (atau sama dengan Waktu Indonesia Tengah).
Baru bab pertama sudah bikin deg2an si Bayu dn Kiya..
Dari Fizzo langsung lari kesini, kereeeen thor
Agak susah ya baca di web ternyata tapi demi baca karya author keren yah aq bisa bisa in