...

10. Kemarahan Bayu #2

 

Tokyo, Jepang, Kilas Balik Januari 2018

 

"Psst, kata orang-orang di sini, kamu juga dari Indonesia?"


Mendengar seseorang tiba-tiba mengajaknya berbicara dari belakang punggungnya, Kiya langsung menoleh. Gadis yang sedang sendirian memakan bekalnya di kursi taman kampusnya itu, melihat dua orang pria bertubuh tinggi di belakangnya tengah menatap ke arahnya sambil cengengesan.


"Aku juga dari Indonesia, nama aku Bayu," sambung Bayu dengan cepat. "Yang di sebelah aku namanya Kevin, dia dari Singapura. Kita semua sama-sama dari *SEA ."


"Bayu, kamu yakin dia perempuan Indonesia yang lagi kamu cari?" tanya Kevin pada Bayu sambil menggaruk-garuk pelipisnya.


"Kamu enggak lihat apa yang lagi dia makan? Dia lagi makan mi instan khas Indonesia," kata Bayu sambil menunjuk ke arah kotak bekal Kiya.


Kevin mengerutkan dahinya. "Bukannya banyak yang jual mi instan Indonesia begitu di sini? Itu makanan murah yang enak."


"Kamu pernah lihat orang makan mi instan dengan nasi? Itu hanya dilakukan sama orang-orang Indonesia. Lagi pula, dia juga makan acar timun. Acar timun yang dicampur dengan bawang merah, cabai, dan cuka khusus begini hanya dibuat sama orang-orang kami."


Tahu kalau itu kampus elite di mana tidak ada orang yang akan memakan makanan murah instan seperti dirinya, Kiya yang malu langsung menutup kotak bekalnya dengan cepat. Ia sudah akan melesat kabur, tapi tangan Bayu mendadak menarik pelan bajunya dari belakang.


"Kamu mau ke mana? Pulang ke asrama kamu?" tanya pria itu lagi, wajahnya terlihat bingung.


"Dari mana kamu tahu aku tinggal di asrama? Karena aku kelihatan enggak mampu kayak kalian?" tanya Kiya dengan nada tersinggung. Ia jelas sedang dalam mood yang buruk.


"Ehm, petugas keamanan asrama putri bilang, kamu dari Indonesia," kata Bayu. "Dia juga bilang, kamu yang bulan lalu nangis berjam-jam di atap gedung asrama karena hanya sendirian waktu orang-orang lainnya pulang ke rumah masing-masing. Kami cukup dekat dengan petugas keamanan asrama putri karena... emh, pernah beberapa kali ke sana di malam hari."


"Aku enggak dengar soal ini," ujar Kevin sambil menoleh ke arah Bayu. "Bulan lalu perempuan ini nangis di atap asrama putri sampai berjam-jam? Itu Desember, kan? Apa dia enggak membeku?"


"Katanya dia rindu keluarganya di Indonesia, tapi enggak bisa pulang waktu libur musim dingin kayak yang lainnya," jawab Bayu pada Kevin tanpa melibatkan Kiya yang sedang mereka bicarakan.


"Kalau mau pulang, kenapa enggak pulang aja? Indonesia -Jepang kan hanya tujuh jam?"


"Kev, dia perempuan yang kuliah di sini karena beasiswa," jawab Bayu sambil berbisik.


Kevin mengernyitkan alis matanya. "Apa harga tiket ekonomi ke Indonesia mahal? First class ke Singapura yang sering aku naiki hanya sekitar 6000 USD."


"Aku enggak tahu," jawab Bayu sambil mengangkat bahunya. "Sudah sepuluh tahun aku enggak naik penerbangan komersial."


Meskipun kedua pria itu berbicara sambil berbisik-bisik, Kiya jelas mendengar mereka. Karena semakin tersinggung, gadis itu pun kini menarik bajunya dari tangan Bayu dan langsung melotot marah padanya.


"Apa-apaan sih kalian?!" sembur gadis itu dengan suara yang bergetar. "Aku enggak bisa pulang ke Indonesia bukan karena enggak bisa beli tiket ekonomi, tapi karena semua uang aku harus dipakai untuk biaya rumah sakit mama aku! Sampai sekarang, mama aku juga masih di rumah sakit. Itu makanya aku tetap makan mi instan demi hidup mengirit di sini!"


Melihat bola mata Kiya mendadak berkaca-kaca, baik Bayu dan Kevin serempak terdiam. Kiya sendiri tiba-tiba merasa jadi salah tingkah. Malu karena keceplosan berbicara dengan emosional, gadis itu pun langsung berusaha untuk kabur lagi. Namun, langkahnya seketika terhenti saat mendengar Bayu kembali berbicara padanya.


"Kamu mau aku bantu soal itu?" tanya pria itu padanya. "Aku dan Kevin ke sini karena kami mau minta bantuan kamu soal beberapa mata kuliah kami yang sudah terancam gagal. Kata orang-orang, kamu yang paling pintar di jurusan kita."


"Karena katanya kamu orang Indonesia juga, aku cari tahu soal kamu," sambungnya. "Setiap akhir minggu, kamu kerja sampingan di dapur salah satu restoran Indonesia di dekat sini, kan? Aku akan menggaji kamu lebih besar dari restoran itu kalau kamu mau bantu mengerjakan tugas-tugas kuliah aku dan Kevin."


"Selain itu," sambungnya, "karena ternyata kamu juga bisa masak, aku akan senang kalau kamu mau sesekali masak makanan Indonesia untuk aku. Keluarga aku di sini... mereka enggak pernah kasih aku makanan Indonesia sama sekali. Kalau kamu mau lakukan ini, aku akan selalu memastikan kamu bisa pulang ke Indonesia."


Kiya membalikkan badannya ke arah Bayu dan menatapnya dengan kaget. "Kamu... akan gaji aku lebih besar dan selalu kasih aku tiket pesawat ke Indonesia?"


Bayu tertawa. "Bukan tiket pesawat, tapi... ya pokoknya kalau kamu setuju, aku akan pastikan kamu bisa pulang pergi ke Indonesia dengan mudah supaya kamu bisa ketemu keluarga kamu. Apa pun yang terjadi ke kamu, apa pun kesulitannya, kamu enggak perlu khawatir lagi, aku janji akan selalu bawa kamu pulang."


____


Pulau X, November 2021

 

Suara tembakan mendadak terdengar dari arah bawah kaki Kiya. Gadis itu masih tidak berani untuk banyak bergerak, tidak pula berani untuk langsung melihat ke bawahnya. Namun secara mendadak, pegangan tangan seseorang di kakinya mulai terlepas dan membuat orang itu seketika terjatuh ke kerumunan para pemangsa di bawah pipa.


Kiya tertegun dengan wajahnya yang sudah pucat karena kelelahan. Siapa? Siapa yang tembak orang di bawah aku barusan?

 

Mendengar suara-suara pemangsa yang langsung mengoyak-ngoyak tubuh orang yang terjatuh tersebut, Kiya langsung tersadar kembali akan situasi darurat semua orang di sana. Meski darah dari tangannya terus menetes ke wajahnya dan air hujan membuat pandangan matanya kabur, gadis itu mulai bergerak untuk kembali mengangkat tubuhnya ke atas.


Wajahnya meringis kesakitan saat ia terpaksa semakin menekan tangannya sampai menembus pecahan kaca di jendela. Meski merasakan perih yang luar biasa, dengan sekuat tenaga, ia langsung memanjat ke arah dalam jendela di atas kepalanya. Beruntung baginya, ia akhirnya berhasil melakukannya dengan mengandalkan cornice dinding untuk berpijak.


Begitu berhasil masuk dan menjatuhkan tubuhnya ke lantai sebuah kamar, ia langsung berguling sambil memegangi pergelangan tangannya dan berteriak kesakitan. Baru satu menit kemudian ia berhasil membuat dirinya kembali fokus. Secara perlahan, ia lalu menarik pecahan kaca yang menembus telapak tangannya dan membersihkan serpihan-serpihan kaca lainnya dari jari-jari tangannya yang berlumuran darah.


Kepalanya mendadak terasa pusing saat ia mencoba untuk berdiri lagi dengan cepat. Meski dengan langkah yang mulai sempoyongan, ia lalu bergerak lagi ke arah jendela dan langsung memandang ke bawah. Di bawahnya saat ini, ia melihat Tyrell dan Kevin sedang menembaki para pemangsa di bawah pipa, sementara Daniel dan Somsak tengah berusaha menyelamatkan orang-orang yang sudah hampir terjatuh karena kondisi pipa yang mulai terlepas.


Matanya lalu berhenti di bagian luar teras Blok Satu. Ia melihat ada Bayu dan Danica yang juga sedang berjuang dari pemangsa, dan juga Gina yang sedang mengamankan seorang ibu dengan bayinya, serta sepasang anak kembar di sana. Meskipun sempat terdiam menatap ke titik itu, ia lalu berbalik lagi dan menghembuskan napasnya.


Gadis itu lalu mengamati sekeliling ruangannya yang tampak serupa dengan kamar 213 yang ditempati mereka. Dengan cepat, ia lalu mengumpulkan selimut tipis dan sprei yang ada di beberapa ranjang di sana, sebelum kemudian merangkainya.


Ada anak kecil di bawah, gumamnya dalam hati. Ini artinya, aku harus membuat pijakan yang lebih rendah agar anak-anak itu bisa memanjat ke atas dengan lebih mudah. Jika aku butuh membuat tali sepanjang empat meter dan membuat lubang pijakan dengan jarak antar pijakan yang rendah, artinya aku butuh kain dengan minimal panjang sepuluh meter. Yang ada di sini sudah cukup!

 

Kiya lalu memandang ke arah lima selimut tipis dan juga sprei yang sudah dikumpulkannya. Dengan tangan yang masih bergetar dan bernoda darah, ia lalu merangkai kain-kain itu dan mengikatnya dengan simpul mati, kemudian memutar beberapa bagian kain itu untuk membuat pijakan kecil di beberapa titiknya.


Setelah cukup lama melakukannya, ia lalu mengikat bagian ujung tali darurat yang diciptakannya itu ke tubuhnya sendiri. Sambil menarik napas dalam-dalam, ia lalu berlari lagi ke arah jendela dan langsung melemparkan tali kain itu ke bawah.


"Somsak, naik ke atas!" teriak Kiya dari bagian dalam jendela begitu melihat Somsak ada di bawahnya. "Kamu harus naik lebih dulu untuk bantu aku. Saat ini, aku hanya bisa nahan tali ini dengan badan aku karena tangan aku masih luka."


Somsak dari bawah langsung mengangguk. Setelah berteriak memanggil Daniel di dekatnya untuk membantunya menghalau orang-orang yang bersiap untuk berebut naik, pria itu lalu bergerak cepat untuk memanjat ke atas dengan memakai tali darurat buatan Kiya. Wajahnya sempat menengadah dan langsung terlihat iba saat melihat Kiya berusaha keras untuk menahan bobot tubuh Somsak dengan tubuhnya yang kecil.


Karena itu, begitu Somsak sudah berhasil memanjat ke atas, pria itu langsung melompat ke arah Kiya untuk bersorak. Sayangnya, begitu ia akan melakukannya, gadis yang terlihat sangat lelah itu mendadak kehilangan keseimbangan tubuhnya. Hanya beberapa detik berikutnya, Kiya tiba-tiba terjatuh ke lantai dan langsung tidak sadarkan diri.


___


Sebuah pukulan keras langsung mendarat di wajah Bayu begitu pria itu berhasil memanjat ke atas dengan bantuan Daniel dan Somsak. Seorang pria dari Blok Tiga dengan postur tubuh yang besar kini memandang ke arahnya dengan penuh kemarahan.


"Dasar brengsek! Teman saya tadi hanya memanjat ke atas karena sudah terlalu takut! Dia hanya manusia normal yang berusaha untuk menyelamatkan dirinya dari para pemangsa sialan di bawah! Kenapa kamu tembak mati dia dan buat yang lainnya sampai hampir terjatuh? Kenapa, manusia brengsek?!" maki pria itu sambil kembali memukul wajah Bayu di depannya.


Bayu mengusap wajahnya dan kini memandang ke arah semua orang Blok Tiga di ruangan itu yang menatapnya dengan pandangan dingin. Ia bergeming, tidak membalas pukulan yang membuat mulutnya kini mengeluarkan darah.


"Kamu sudah membunuh orang!" teriak pria itu lagi padanya dengan geram. "Kamu pembunuh!"


Begitu pria itu sudah akan memukul Bayu sekali lagi, Kevin mendadak berdiri dan mengarahkan senjata di tangannya ke arah kepala pria itu.


"Kalau kamu terus memukulnya, aku juga akan menembak mati kamu," ucap Kevin dengan tatapan mengancam. "Dia lakukan itu karena orang teratas yang akan bantu kita semua sudah dalam bahaya besar dan kemungkinan akan jatuh lebih dulu. Kalau bukan karena dia, kalian semua enggak akan bisa ada di sini sekarang."


"Kamu dan dua teman kamu yang tadi memasukkan perempuan pemangsa itu ke Blok Tiga, kan? Pantas kamu bela orang ini. Kalian semua sama brengseknya!"


"Te---tenang dulu," timpal Somsak, mendadak ikut berusaha mencairkan suasana tegang yang tercipta di antara orang-orang Blok Tiga dan teman-temannya. "Bayu sebenarnya enggak bermaksud untuk bunuh teman kamu tadi. Dia hanya berusaha untuk mencegah hal terburuk terjadi ke semua orang sekaligus. Benar begitu kan, Bayu?"


Bayu mendongak dan hanya memandang dengan tatapan dingin ke arah pria Blok Tiga di depannya.


"Aku bahkan enggak peduli kalau kalian semua tadi mati," desisnya.


Mendengar itu, darah pria Blok Tiga di depannya semakin mendidih. Ia lalu menepis moncong senjata Kevin dan langsung maju untuk memukul Bayu lagi. Kevin dan Somsak yang kaget, jelas langsung berusaha untuk menahan pria itu. Namun, sebelum mereka bergerak untuk melakukannya, sebuah anak panah mendadak melesat melalui kulit pipi pria Blok Tiga tadi dan langsung membentur dinding di belakangnya.


Pria yang kini pipinya berdarah itu menoleh ke arah Danica yang sedang mengangkat busur panah ke arahnya, sambil meraih satu anak panah lagi dari ransel di punggungnya.


"Aslan, hentikan," tukas Danica yang tadi nyawanya diselamatkan oleh Bayu dengan tatapan sangat serius. "Aku enggak lagi sekadar mengancam kamu. Satu gerakan lagi dari kamu ke arah dia, aku akan mengarahkan panah ini ke jantung kamu."


Pria bernama Aslan kini memandang ke arah Danica dengan tatapan kaget. "Kamu bela manusia pembunuh kayak begini, Danica? Kamu akan bela mereka semua, orang-orang baru yang sudah menyebabkan semua kekacauan tadi?"


Aslan lalu berdecak. "Apa yang akan kamu lakukan kalau teman kamu yang berusaha menyelamatkan nyawanya, tapi seseorang lainnya tiba-tiba tembak mati teman kamu dan membuat orang-orang lainnya yang kamu kenal ikut terancam mati? Kamu akan memeluk penembak teman kamu dan berterima kasih?"


Danica tidak bisa menjawabnya. Meski begitu, ia kemudian menurunkan busur panahnya dan langsung menoleh ke arah Tyrell yang baru saja menyusul naik ke atas.


"Kita enggak punya banyak waktu untuk bertengkar," ucap gadis itu setelahnya, sambil juga melirik ke arah Kiya yang masih terbaring pingsan. "Hal yang harus kita lakukan secepatnya adalah mengumpulkan kekuatan untuk melindungi diri, dan mengobati mereka-mereka yang saat ini dalam kondisi terluka."


Tyrell yang paling terakhir masuk, terlihat langsung menarik cepat tali dari jendela lantai dua di belakangnya dan kemudian langsung duduk bersandar di dinding jendela dengan napas yang tersengal-sengal.


"Dia baik-baik saja?" tanya Tyrell sambil memandang ke arah Gina yang ada di samping Kiya.


"Dia mungkin terlalu capek. Kita butuh obat secepatnya supaya tangannya nanti enggak kena infeksi," jawab Gina.


"Kamu juga lagi demam, kan?" ujar Tyrell. "Kita semua belum ada yang makan dan beristirahat setelah berenang sepanjang malam sampai ke sini. Begitu sampai, kita sudah langsung hadapi masalah berat di sini dan baru saja kena hujan lagi. Karena hal-hal ini, kita semua yang di sini mungkin juga akan terkena demam."


"Ada yang aneh tadi," gumam Kevin, mendadak menoleh ke arah Tyrell. "Aku ingat jelas ada satu dua tentara yang sebelumnya aku lihat sudah dalam kondisi tewas di area tengah, tapi tadi mereka ada di bawah sebagai pemangsa. Apa ini mungkin terjadi?"


"Mereka yang terinfeksi sebelum mati akan berubah jadi pemangsa dalam satu jam setelah terluka," sambar Aslan. "Tadi ada pengumuman agar enggak ada satu pun orang yang terluka atau sakit diperbolehkan masuk ke wilayah kita, kan? Ini sempat saya tanyakan ke tiga tentara yang tadi memaksa untuk dimasukkan ke Blok Tiga. Para tentara itu khawatir kalau dalam waktu dekat, banyak yang sudah akan jadi pemangsa di luar sana."


"Kamu...?"


"Aslan. Saya pemimpin di Blok Tiga," ujar pria itu menjawab pertanyaan Tyrell. Ia lalu melirik ke arah ransel besar berisi beberapa senjata yang dibawa Tyrell. "Kami dari Blok Tiga juga butuh senjata untuk lindungi diri kami. Dalam waktu dekat, akan banyak yang berubah jadi pemangsa di bawah sana."


"Saya tahu," jawab Tyrell, "tapi selain yang saya dan Kevin pegang saat ini, saya hanya berhasil mengumpulkan dua rifle, satu pistol, dan beberapa amunisi. Ada berapa orang dari Blok Tiga di sini selain Danica?"


Aslan memandang ke sekelilingnya. "Si kembar Pavel dan Paloma, Sofia dan bayinya, Sara, Mia, Ivan, Igor, dan saya sendiri. Itu artinya selain Danica, ada tiga anak dan enam orang dewasa dari Blok Tiga."


"Yang bisa menggunakan senjata di antara kalian?"


"Saya, Ivan, dan Igor bisa menggunakan senjata."


"Ivan dan Igor bukan orang yang bisa dipercaya," ujar Danica dengan cepat ke arah Tyrell. "Mereka bagian dari sindikat mafia Rusia dan mereka di sini karena tertangkap melakukan perdagangan manusia ke Asia."


Dua pria yang disebut Danica barusan tampak langsung berdiri dengan wajah yang marah ke arah Danica. Namun, Danica tidak mempedulikan mereka sama sekali.


"Mereka dua laki-laki yang melompat dari lantai dua Blok Tiga dan kamu selamatkan tadi kan, Kev?" bisik Daniel ke arah Kevin. "Mungkin lain kali... kamu jangan selamatkan orang-orang di luar kelompok kita lagi. Rekor kamu cukup buruk dalam memilih orang yang harus kamu selamatkan."


"Dibanding dua orang itu," lanjut Danica, "saya lebih menyarankan Sara untuk memegang senjata. Dia bekas anggota tim pemadam kebakaran di Ukraina dan pernah dilatih untuk memakai senjata."


"Kamu menyarankan dia karena dia berasal dari negara yang sama dengan kamu," ucap pria bernama Igor dengan aksen Rusia yang kental.


"Kamu bodoh? Ibunya dari negara yang sama dengan kalian, Rusia."


"Tapi dia seorang residivis!" timpal orang yang bernama Ivan.


"Dia dipenjara karena membunuh orang brengsek seperti kalian yang melakukan pembakaran klub malam di Kiev!" bentak Danica. "Dia juga kabur dari Ukraina karena dikejar kelompok mafia seperti kalian!"


"Dibanding memperdebatkan soal saya, sebaiknya kalian mulai melihat ke sekeliling kalian," ucap seorang perempuan yang sedang berjongkok di bagian pojok ruangan tersebut dengan ekspresi datar.


Perempuan dengan potongan rambut pendek berwarna brunette yang bernama Sara tersebut, kemudian mengangkat wajahnya ke semua orang di sana dan memandangi mereka melalui mata hijaunya yang seperti emerald. "Hampir semua dari kita punya luka di tubuh kita masing-masing. Sekarang, bagaimana kita bisa yakin kalau di antara kita enggak ada yang terinfeksi dan akan berubah jadi pemangsa dalam satu jam ke depan?"


Mereka semua yang ada di ruangan itu lalu mengedarkan pandangan mata mereka ke satu sama lainnya dengan hati-hati. Begitu sadar kalau hampir semua dari mereka memang punya luka di tubuh masing-masing, mereka semua pun langsung tenggelam dalam keheningan.

 

AUTHOR’S NOTE:

 

SEA adalah singkatan dari Southeast Asia atau Asia Tenggara. Sebutan ini mengacu pada wilayah Asia yang meliputi negara-negara yang terletak di selatan China, timur India, serta di utara dan barat Australia. Beberapa negara yang termasuk dalam Asia Tenggara adalah Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Myanmar (Burma), Kamboja, Laos, Brunei, dan Timor-Leste.

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Terlama
Terbaru Vote Terbanyak
Inline Feedbacks
View all comments
error: KONTEN INI DIPROTEKSI!!!
#!trpst#trp-gettext data-trpgettextoriginal=4498#!trpen#Seraphinite Accelerator#!trpst#/trp-gettext#!trpen##!trpst#trp-gettext data-trpgettextoriginal=4499#!trpen#Optimized by #!trpst#trp-gettext data-trpgettextoriginal=4498#!trpen#Seraphinite Accelerator#!trpst#/trp-gettext#!trpen##!trpst#/trp-gettext#!trpen#
#!trpst#trp-gettext data-trpgettextoriginal=4500#!trpen#Turns on site high speed to be attractive for people and search engines.#!trpst#/trp-gettext#!trpen#