Blok Satu, 12.45 CST
"Kamu sudah bangun?"
Kiya yang baru saja membuka matanya langsung melihat ke arah Gina yang tampak sudah mandi dan kini duduk di ranjang sebelahnya. Begitu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, ia baru sadar kalau ia kini berada di kamar 213, kamar yang sejak awal memang disiapkan oleh para petugas Blok Satu untuk rombongannya.
Melihat hanya ada Daniel dan Somsak yang sedang tidur dengan pulas di tempat tidur yang terletak di depannya, Kiya pun langsung mencoba untuk bangkit dan duduk di tempat tidurnya.
"Mana yang lainnya? Mereka semua selamat, kan?" tanya gadis itu pada Gina.
"Jangan khawatir, kita semua selamat," jawab Gina. Wajahnya masih tampak pucat dan tak bersemangat. "Daniel dan Somsak seharusnya lagi diminta untuk jaga kita, tapi sehabis makan dan mandi tadi, mereka langsung ketiduran."
"Jadi... kita semua sudah aman sekarang?"
"Justru karena situasinya belum aman, kita sekarang ada di kamar ini," ujar Gina. "Semua orang tadi saling curiga antar satu sama lainnya. Jadi, orang-orang Blok Tiga pilih ruangan terpisah untuk mereka masing-masing, sementara kelompok kita pilih untuk tetap ada di kamar yang sama."
"Loh, memangnya ada banyak kamar di sini?" tanya Kiya dengan sedikit kaget. "Para petugas Blok Satu gimana?"
"Semua petugas Blok Satu kayaknya tadi sadar kalau mereka enggak akan bisa cegah kita masuk ke lantai dua dalam waktu cepat. Jadi, mereka sekarang memilih untuk mengunci diri mereka masing-masing di beberapa ruangan lantai satu. Mereka sama sekali enggak mau keluar meski pintunya tadi sempat diketuk."
"Hanya ada tiga kamar tidur di lantai dua," sambung Gina. "Satu kamar tempat kita tadi naik dari bawah --- kamar yang kamu ambil sprei dan selimutnya untuk jadi tali. Satu kamar lainnya diambil sama orang-orang Blok Tiga, tapi mereka hanya ambil kasurnya dan pilih untuk menjadikan beberapa ruang kerja di lantai dua sebagai kamar mereka masing-masing."
"Kenapa?" tanya Kiya dengan heran. "Mereka enggak takut sendirian?"
"Katanya, orang yang terluka bisa saja terinfeksi dan mungkin akan berubah dalam satu jam," jawab Gina. "Mungkin mereka takut gabung dengan yang lainnya karena itu. Jadi, sekarang mereka juga mengunci diri di tempat mereka masing-masing kayak para petugas Blok Satu."
"Tapi," lanjutnya sambil memandang ke arah jam di dinding ruang kamar mereka, "ini sudah mau satu jam dari waktu kita naik tadi, dan belum ada suara-suara aneh dari kamar mereka. Kapten Tyrell, Bayu, Kevin, dan Danica lagi berjaga di luar untuk antisipasi ini. Tadi mereka juga yang ambil barang-barang dari gudang lantai satu dan lantai dua, kayak baju ganti, handuk, dan lain-lainnya untuk kita pakai."
Kiya menoleh ke arah meja tempat kotak makan mereka pagi tadi dan melihat miliknya masih ada di sana.
"Makanan di sini bukan makanan yang pantas dimakan," komentar Gina sambil ikut memandang ke arah yang sama. "Tapi karena aku harus minum paracetamol, tadi aku terpaksa ikut makan itu. Tangan kamu juga sudah diobati sama Kapten Tyrell. Katanya kalau kamu sudah bangun dan makan, kamu disuruh langsung makan antibiotik yang ada di meja untuk cegah infeksi di tangan kamu."
"Gina, kamu belum istirahat?" tanya Kiya sambil memandang ke arah Gina yang terlihat seperti lelah, tapi belum merasa nyaman dengan situasi di kamar mereka tersebut. "Kamu lagi demam, kan? Harusnya kamu sekarang gunakan waktu kamu untuk tidur kayak Daniel dan Somsak."
Gina langsung tertawa getir. "Kalau setelah tidur kita nanti bisa bangun di tempat lain dan ternyata hanya bermimpi tentang semua hal aneh di pulau ini, aku akan pertimbangkan untuk tidur di tempat kayak begini. Tapi... gimana kalau waktu aku tidur, mendadak ada yang serang kita lagi?"
Kiya lalu menjulurkan tangannya yang sudah diperban ke bahu Gina. "Kalau keluarga kamu sadar kamu enggak bisa dihubungi, mereka akan langsung tahu apa yang terjadi ke kamu. Setelah itu, mereka pasti akan langsung berusaha untuk cari kamu."
"Aku mau pulang," ucap Gina dengan mata yang mulai berkaca-kaca karena mengingat keluarganya. "Aku benar-benar takut di sini. Tempat ini benar-benar seram. Para petugas di sini kayaknya lepas tangan ke kita, bahkan mereka yang dari Blok Tiga juga kayaknya enggak suka sama kita. Mungkin mereka anggap semua ini terjadi karena kedatangan kita di pulau ini."
"Dari awal aku langsung tahu kalau kita sudah datang ke tempat yang salah," sambungnya lagi dengan nada lebih emosional. "Aku lihat Shinji diserang seseorang, tapi aku enggak lihat pelakunya dengan jelas karena tentara di pulau ini mendadak datang dan langsung terus menembak. Aku juga enggak tahu kenapa mereka langsung bawa aku ke sel bawah tanah Blok Dua setelah pemeriksaan tadi."
Mendengar ucapan Gina itu, Kiya mendadak teringat sesuatu. "Gina, apa kamu pakai vaksin Fasola untuk Covid-19?"
Gina mendongak ke arah Kiya. "Tadi mereka juga tanya itu ke aku. Selain itu, mereka juga terus tanya apa aku pernah pakai doping gen atau enggak."
"Kamu pernah pakai doping gen?"
Gina langsung menggeleng. "Aku memang pakai vaksin Fasola, tapi enggak pernah pakai doping apa pun. Apa kamu pikir ini ada hubungannya dengan kenapa tadi aku langsung dibawa ke Blok Dua?"
"Aku rasa memang ada hubungannya," gumam Kiya dengan wajah yang tampak seperti tengah berpikir. "Besar kemungkinan, kamu dibawa ke Blok Dua karena kamu pakai vaksin Fasola. Kalau Daniel, mungkin karena dia punya luka berdarah saat tiba di pantai tadi. Dilihat dari gimana seriusnya mereka waktu nanya soal ini, aku rasa vaksin fasola, doping gen, dan luka di tubuh memang ada hubungannya dengan wabah aneh di sini."
"Tapi tadi kata orang Blok Tiga, seseorang yang terinfeksi akan berubah dalam satu jam," tukas Gina. "Kita sudah setengah hari di sini dan enggak satu pun dari kita kenapa-kenapa. Ini artinya kita enggak terinfeksi, kan?"
"Masalahnya tadi aku lihat mahluk yang serang Bayu di area pepohonan belakang Blok Satu sedikit beda dengan pemangsa lainnya di sini," sambung Kiya dengan dahi yang mengerut. "Pemangsa yang lain sepertinya enggak mengerti komunikasi kita dan cenderung bergerak tanpa berpikir. Tapi, yang serang Bayu tadi... dia kayak mengerti adanya ancaman ke dia dan memilih untuk menghindar. Sepertinya, makhluk itu punya kecerdasan yang berbeda dengan lainnya."
Begitu mendengar Kiya bicara soal pemangsa yang berbeda, Gina mendadak teringat akan sosok pemangsa di Blok Tiga tadi. "Pemangsa perempuan yang dibawa Kevin dan Daniel ke Blok Tiga tadi bahkan bisa bicara. Dia sepertinya pintar dan manipulatif. Katanya, dia yang serang Shinji di pantai."
Dahi Kiya mendadak berkerut. "Bisa bicara dan manipulatif? Kalau memang benar begitu, artinya dugaan aku mungkin benar. Ada dua tipe pemangsa di tempat ini, itu makanya petugas yang cek aku tadi terus tanya soal vaksin Fasola dan doping gen, terus juga tanya apa ada luka di badan aku atau enggak."
"Maksud kamu?"
"Wabah ini mungkin dimulai dari dua cara penularan berbeda dan menghasilkan tipe pemangsa yang berbeda," jawab Kiya. "Pemangsa di bawah tadi... mereka bergerak sesuai insting memangsa dan enggak seperti punya kemampuan untuk mengendalikan diri. Pemangsa yang serang Bayu... dia punya kontrol diri yang baik."
"Ini mungkin berhubungan dengan bagaimana wabah terjadi," sambung Kiya dengan cepat. "Mereka yang tertular dari luka cenderung menjadi tipe pemangsa yang enggak punya kontrol diri dan hanya punya insting memangsa. Mereka yang punya kontrol diri dan kecerdasan seperti manusia... mungkin saja jadi kayak begitu karena efek vaksin Fasola atau doping gen, atau mungkin keduanya sekaligus."
"Kamu sudah berpikir sampai ke sana?" tanya Gina.
"Karena bagi aku pergerakan dan cara pandang pemangsa yang serang Bayu tadi cukup mencolok perbedaannya dengan yang lainnya," kata Kiya. "Sejak awal, aku bingung kenapa mereka sangat keras soal soal vaksin dan doping gen, serta juga luka di tubuh kita. Itu makanya aku terus mikir tentang itu begitu lihat ada perbedaan di antara para pemangsa tadi."
"Kalau memang ada perbedaan di antara mereka," lanjutnya, "apa mungkin juga ada perbedaan durasi seseorang akan terinfeksi karenanya? Maksud aku, kalau seseorang yang terinfeksi dari luka bisa berubah dalam satu jam, gimana dengan mereka yang terinfeksi akibat vaksin Fasola atau doping Gen?"
"Kiya, jangan buat aku jadi lebih takut dan paranoid," ucap Gina dengan nada yang bergetar. "Perempuan di Blok Tiga tadi dan satu yang di ruang bawah tanah Blok Dua... mereka sangat mengerikan. Aku enggak bisa bayangkan kalau ada sosok kayak begitu di antara kita saat ini."
Melihat wajah Gina jadi bertambah takut, Kiya langsung menghentikan pembicaraannya seputar pemangsa. "Ini hanya dugaan asal, Gina. Aku mungkin salah dan hanya terlalu mikir berlebihan saja."
"Tenang saja," ujarnya lagi untuk menenangkan Gina. "Kalau ada masalah dengan pesawat tertentu, biasanya ada laporan dari kontrol lalu lintas udara yang terdekat. Pihak rental jet juga pasti sudah tahu soal insiden yang menimpa kita semalam. Mengingat posisi pesawat kita mendarat kemarin enggak jauh dari pulau ini, mereka pasti akan cepat menemukan kita."
___
AirNav Indonesia, di waktu yang bersamaan
"Sudah ada kabar dari China atau *ICAO soal pesawat jet pribadi dari Jepang yang menuju ke Batam semalam?"
Direktur AirNav Indonesia, Gunawan Pambodjo, bertanya pada sekretarisnya begitu ia tiba di kantornya siang itu. Pria yang baru saja tiba dari dinas luar kotanya itu langsung menatap ke arah sang sekretaris yang baru saja menutup gagang teleponnya setelah terlibat pembicaraan serius.
"Karena konfirmasi hilangnya pesawat datang agak terlambat dari berbagai pihak, mereka baru lakukan penelusuran jam sebelas tadi, Pak," jawab sang sekretaris dengan cepat. *ELT pesawat itu enggak memancarkan sinyal darurat, jadi semua pihak sempat nunggu informasi dulu dari satu sama lain sampai pagi tadi."
Gunawan mengangkat sebelah alis matanya. "Kok bisa enggak ada sinyal darurat?"
"Mungkin ada kerusakan serius di pesawat, Pak."
"Jadi, sekarang perkembangannya gimana?" tanya Gunawan lagi.
"Pelacakan dan pencarian dilakukan lebih dulu sama pihak China dan Filipina. Hanya saja..."
"Hanya saja...?" ulang Gunawan.
"Pesawat sudah lama hilang dari radar, dan kondisi cuaca di sana katanya lagi sangat buruk. Maklum, Pak, ini bulan November di mana curah hujan lagi tinggi-tingginya. Jadi, pencarian mungkin akan makan waktu yang lebih lama."
Gunawan menarik napasnya dalam-dalam. "Salah satu penumpang pesawat itu anaknya orang DPR, Pak Wiyasa. Beliau temannya menteri perhubungan. Katanya, Pak Wiyasa sendiri enggak tahu kalau anaknya lagi dalam perjalanan ke Batam. Anaknya itu juga enggak kasih tahu mamanya di Jepang, dan pilih untuk pakai pesawat jet sewaan supaya enggak ketahuan berlibur ke Indonesia."
"Saya juga dengar soal itu. Kenapa mereka bisa dapat izin liburan ke Indonesia di masa pandemi Covid begini?" tanya sang sekretaris dengan wajah heran.
Alih-alih menjawab pertanyaan sang sekretaris, Gunawan malah bertanya lagi, "Kamu sudah dapat data terakhir mereka?"
"Koordinat yang bica dilacak terakhir dari radar primer *ATC China hanya saat mereka memasuki area tengah Laut China Selatan, tepatnya di wilayah perairan internasional. Ketinggian terakhir mereka di 35.000 kaki, sementara airspeed mereka 480 knots, dan ground speed mereka 510 knots. Setelah itu, pesawat itu hilang dari radar. Pihak China dan Filipina mungkin akan menelusuri dari titik terakhir posisi mereka terbaca."
"Kamu bilang tadi... dari radar primer? Data *ADS-B pesawat sendiri gimana?"
"Itu dia masalahnya, Pak," jawab sang sekretaris dengan wajah yang terlihat seperti merasa ada yang aneh dari info yang didengarnya. "ADS-B mereka kayaknya mati tepat setelah keluar dari radar ATC China. Bisa jadi, ini terjadi karena masalah teknis, atau memang... ada yang sengaja mematikannya secara manual."
AUTHOR’S NOTE: