...

12. Siapa di antara Mereka? #2

 

Blok Satu, 14.00 CST (enam jam sebelum sistem lock island aktif)

 

"Jadi mereka sekarang pindah ke kamar ini?" 

 

Gina bertanya pada Tyrell dengan tatapan resah. Sudut matanya melirik ke arah beberapa orang dari Blok Tiga yang kini masuk ke kamar 213. Sudah hampir dua jam berlalu sejak mereka semua masuk ke Blok Satu, dan kini semua orang dari Blok Tiga sudah berani keluar dari kamar mereka masing-masing.

 

"Apa akan aman bagi kita kalau bayi itu enggak berhenti nangis?" tanya Gina lagi dengan suara berbisik, sambil menoleh ke arah seorang bayi di kamar itu yang sedang menangis dalam gendongan ibunya. "Ada anak kembar juga di sini yang sejak tadi ikut-ikutan nangis. Gimana kalau para pemangsa di bawah dengar suara mereka nanti?"

 

"Semua kasur dari kamar 214 sudah diambil," jawab Tyrell. "Sprei dan selimut di kamar 212 juga sudah dijadikan tali sama Kiya. Baik kamar 212 dan 214 sekarang hanya berisi meja-meja atau beberapa lemari kecil dari ruangan-ruangan yang dikosongkan. Hanya kamar ini yang sekarang bisa ditempati sama mereka karena kamar ini besar."

 

"Kenapa rombongan kita malah berpencar? Seharusnya kita tetap ada di satu kamar yang sama kayak tadi, kan?" keluh Gina sambil kembali menatap ke arah Tyrell. Gadis itu jelas merasa tidak nyaman dengan masuknya beberapa orang dari Blok Tiga ke kamar yang ia dan Kiya tempati.

 

"Ini tadi sudah saya rundingkan dengan pemimpin dari Blok Tiga, Aslan. Perempuan-perempuan Blok Tiga di sini juga sebenarnya enggak mau masuk ke kamar ini. Tapi, sudah enggak ada ruangan kosong lagi karena kamar 212 dan 214 sekarang dipenuhi banyak meja dan lemari dari ruang-ruang lainnya. Apalagi, jendela kamar 212 juga sudah pecah."

 

"Seharusnya yang ada di luar kamar ini hanya kaum laki-laki," sambung Tyrell, "tapi kebetulan Danica dan Sara sudah terbiasa tinggal di kamar sendiri. Karena besar kemungkinan mereka juga akan masuk ke dalam daftar orang-orang yang akan gantian berjaga, jadi mereka dibiarkan mendapat kamar masing-masing."

 

Denah Lantai Dua

 

"Benar-benar sudah enggak ada ruang kosong lainnya yang mungkin bisa ditempati sama mereka yang di sini?" tanya Gina lagi dengan penuh harap.

"Di lantai ini, kamar mandi hanya ada di tiga kamar besar. Kamar mandi di kamar 214 sudah disepakati untuk jadi kamar mandi bagi kaum perempuan yang enggak tidur di kamar ini. Kalau kamar mandi di kamar 212 akan jadi kamar mandi kaum laki-laki. Memang ada ruang pertemuan kosong di dekat tangga, tapi ruang itu kemungkinan akan kami jadikan ruang untuk kita berkumpul. Jadi, karena hanya ruangan ini yang layak bagi mereka, terpaksa mereka ditempatkan di sini."

 

"Lantai satu...?"

 

Tyrell menggeleng. "Semua pintu ruangan di lantai satu dikunci dan sepertinya diblokade dari dalam. Mereka yang di bawah kayaknya enggak mau ambil risiko sedikit pun untuk keluar."

 

Gina kemudian menghela napasnya. "Saya hanya khawatir kalau bayi ibu itu akan sering-sering menangis dan mengundang perhatian dari para pemangsa di bawah. Belum lagi, perempuan Blok Tiga yang satu lagi agak sedikit menyebalkan dan sejak tadi bersikap kasar."

 

"Kata Aslan, ibu dari bayi itu namanya Sofia, sementara bayinya namanya Gergő," ujar Tyrell. "Kalau perempuan yang satu lagi namanya Mia, dan si kembar bernama Pavel dan Paloma."

 

"Orang tuanya si kembar tadi tewas," lanjutnya, "Begitu juga dengan teman dari yang namanya Mia. Mereka mungkin anggap orang-orang kita yang menyebabkan masalah di sini, itu makanya mereka enggak ramah ke kita. Karena itu sabar dulu saja karena sebenarnya mereka juga lagi dalam kondisi syok."

 

Tyrell melihat Gina langsung terdiam. Karena itu, ia kemudian berbicara lagi, "Kamu dan Kiya bisa bantu memasak untuk makan malam, kan? Karena semua orang di luar kamar ini mungkin akan gantian berjaga malam, jadi mereka tadi minta kalian yang ada di kamar ini yang bertugas memasak. Kita beruntung ada beberapa bahan makanan yang tadi bisa dibawa dari lantai satu ke dapur lantai dua."

 

"Hah? Sa---saya enggak bisa masak sama sekali," jawab Gina dengan wajah kaget. "Setahu saya, Kiya yang terbiasa masak. Saya enggak tahu apa dua perempuan Blok Tiga di sini bisa masak atau enggak."

 

"Sofia tadi sudah konfirmasi ke Aslan kalau dia akan bantu masak," kata Tyrell. "Kalau yang namanya Mia juga enggak bisa masak, tapi dia janji akan bantu cuci piring nanti. Kamu harus paham kalau semua orang di sini mungkin akan diminta untuk kasih andil masing-masing. Kita lagi dalam situasi darurat, Gina."

 

"Saya paham, tapi saya benar-benar enggak terbiasa masak dan cuci piring," ujar Gina dengan wajah yang seperti merasa bersalah. "Bagaimana kalau saya jaga anak-anak di kamar ini saja? Mereka juga perlu diawasi kalau ibunya dan yang lain-lainnya lagi sibuk, kan?"

 

Tyrell yang tahu latar belakang Gina langsung tersenyum. "Itu ide yang masuk akal karena jaga anak-anak juga bukan tugas mudah. Kalau begitu, masalah pembagian tugas sudah selesai. Saya dan Aslan nanti akan umumkan tugas kita masing-masing untuk sementara waktu sampai bantuan datang. Kiya masih mandi?"

 

Gina perlahan mengangguk. "Nanti saya akan kasih tahu ke dia soal ini. Ngomong-ngomong, Kapten, apa ada peluang bantuan akan datang cepat ke pulau ini?"

 

Tyrell terdiam sesaat. "Penjara ini pasti bekerja sama dengan orang-orang, organisasi, atau perusahaan tertentu. Saya rasa, pihak yang mengatur apa pun di pulau ini pasti sudah tahu kalau sekarang ada masalah di sini dan mungkin akan segera datang untuk mengecek situasi. Apalagi, kondisi jaringan dan listrik di pulau ini lagi mati dan orang-orang di sini enggak bisa dihubungi."

 

"Kalau listrik enggak juga menyala, apa yang akan terjadi ke kita malam nanti?" tanya Gina dengan nada yang kembali cemas. "Itu artinya kondisi di sini malam nanti akan serba gelap gulita, kan?"

 

"Ya," jawab Tyrell. "Kami tadi hanya menemukan satu lampu darurat di gudang, tapi itu mungkin akan dipakai sama orang-orang yang berjaga di lorong nantinya. Jadi, ya... kondisi semua kamar malam nanti akan gelap gulita."

 

"Setidaknya kita masih beruntung karena meski listrik mati, keran air di sini masih menyala dan tabung gas di dapur masih bisa dipakai," sambungnya. "Sayangnya, stok makanan hanya bisa bertahan sampai dua hari ke depan. Karena itu, doakan saja orang luar akan datang lebih cepat ke sini nanti."

 

"Apa yang akan terjadi kalau mereka enggak datang sampai stok makanan kita habis nanti?" tanya Gina lagi dengan wajah yang tegang.

 

Tyrell menahan napasnya, sebelum akhirnya menjawab, "Kalau itu terjadi, kita terpaksa harus keluar dari Blok Satu untuk mencari makanan."

 

___

 

Di lorong luar, Kevin memandang ke arah moncong AK-47 yang kini mengarah ke wajahnya. Pemegang senjata itu, Sara Dudka, sedang menatap tajam ke arahnya dengan aura yang mengancam.

 

"Aku kasih kamu senjata itu karena Kapten Tyrell yang tadi suruh," ujar Kevin tanpa menggerakkan tubuhnya. "Dia minta aku untuk lihat cara kamu memegangnya dan bagaimana kamu mengisi peluru ke dalamnya. Senjata ini bukan untuk kamu gunakan untuk bercanda kayak begini karena pelurunya sudah diisi penuh."

 

"Kamu kira aku lagi bercanda?" tanya sang gadis bermata hijau pada Kevin. "Kamu tahu semua yang terjadi ke Blok Tiga disebabkan sama kamu tadi? Aslan benar, kamu dan teman kamu yang namanya Bayu itu enggak peduli sama orang-orang lainnya di sini selain rombongan kalian sendiri!"

 

"Sara, hentikan," timpal Danica dari belakangnya. Gadis itu sedang duduk di lantai lorong sambil mengobati luka di pundak belakangnya dengan bantuan Bayu. "Kamu dikasih pegang senjata itu karena kamu dan Aslan akan bertugas jaga malam nanti. Jangan sampai mereka berubah pikiran karena ini. Sebaiknya kamu gunakan waktu kamu sekarang untuk istirahat sampai jam makan malam tiba."

 

Sara lalu menurunkan senjatanya sambil tetap memandang penuh kebencian ke arah Kevin. "Kenapa aku dan Aslan yang harus berjaga? Orang-orang baru ini kenapa enggak ada yang ikut berjaga?"

 

"Keputusannya tadi begitu karena mereka belum istirahat sama sekali sejak jet pribadi mereka kemarin malam mendarat di dekat pulau ini," jawab Danica.

 

"Jet pribadi? Jadi, orang-orang ini dari kalangan orang-orang kaya?"

 

Entah bagaimana setelah mendengar itu, Sara mendadak membalikkan senjatanya dengan cepat dan langsung memukul wajah Kevin dengan menggunakan bagian ujung belakang dari senjatanya.

 

"Apa-apaan kamu?!" seru Kevin dengan kaget sambil memegang wajahnya yang memerah karena pukulan Sara. "Kamu gila, ya?!"

 

"Kamu beruntung karena aku gak tembak mati kamu sekalian," desis Sara dengan mata yang berkilat-kilat marah. "Kalian orang-orang kaya memang brengsek!"

 

Setelah memaki Kevin, Sara lalu berbalik ke arah pintu kamarnya dan kemudian menghilang dari pandangan mata pria itu. Kevin sendiri yang masih meradang langsung menoleh ke arah Danica.

 

"Kamu bilang tadi teman kamu itu mahir memegang senjata?" tanya Kevin dengan nada yang marah. "Dari apa yang aku lihat barusan, dia lebih berpotensi untuk menyalahgunakan senjata di tangannya!"

 

"Jangan marah ke Sara," ujar Danica sambil menoleh ke arah Kevin. "Dia punya tendensi membenci orang-orang kaya karena semua masalah terbesar dalam hidupnya selalu berkaitan dengan orang-orang dari kalangan seperti kalian. Apalagi, mereka yang mengelola pulau terkutuk ini katanya juga dari kalangan orang-orang kaya. Jadi... ya, sabar saja."

 

"Itu bukan alasan bagi dia untuk menggeneralisasikan semua orang kaya sebagai orang-orang terburuk!"

 

"Kamu enggak menggeneralisasikan semua perempuan di Blok Tiga sebagai objek?" Danica balik bertanya. "Waktu kamu tadi dengar dari Igor dan Ivan kalau banyak dari perempuan di Blok Tiga yang berasal dari kalangan wanita penghibur atau pelaku prostitusi, kamu juga langsung meremehkan Sara, kan?"

 

"Aku... aku enggak bermaksud untuk---"

 

"Sara cantik, tapi dia beda dari kami," potong Danica. "Dia benar-benar merupakan bekas petugas pemadam kebakaran yang juga saksi dari kasus pembunuhan terhadap banyak perempuan di sebuah klub malam Kiev. Saat itu, Sara sedang berusaha untuk mencegah kebakaran terjadi, tapi dia malah dilecehkan beramai-ramai oleh kelompok anak mafia kaya di sana."

 

"Itu yang buat Sara dipenjara," lanjut Danica. "Dia bunuh anak-anak kelompok mafia itu. Setelah bebas, dia memutuskan kabur ke Asia sebagai imigran gelap karena semua keluarganya dibunuh para bos mafia yang bermaksud balas dendam ke dia. Itu yang buat dia sekarang ada di sini."

 

Kevin mendadak mematung. "Aku... enggak tahu kalau dia pernah alami hal yang sampai separah itu."

 

Danica tidak menjawabnya lagi. Setelah Bayu selesai membalut luka di bahunya, gadis itu lalu berdiri dan menatap ke arah Bayu dan Kevin. "Kata Aslan, jam enam nanti kita akan kembali berkumpul untuk makan malam, kan?"

 

"Kapten juga bilang begitu. Itu makanya sekarang kita disuruh untuk istirahat dulu," jawab Bayu. "Kamu benar enggak apa-apa tidur sendirian di kamar kamu di saat-saat begini?"

 

"Kenapa? Kamu mau temani aku?" tanya Danica padanya.

 

"Maksud aku, kamu bisa saja gabung ke kamar 213. Dua orang Rusia tadi kayaknya dendam ke kamu karena mereka akhirnya enggak dikasih senjata. Aku hanya khawatir kalau mereka akan cari masalah ke kamu. Mereka kayaknya bukan orang-orang baik," ujar Bayu lagi.

 

Danica langsung tertawa. "Jangan khawatir, mereka enggak punya senjata, tapi aku punya. Jadi, mereka enggak akan berani macam-macam ke aku."

 

"Tapi...," lanjut Danica, tiba-tiba serius, "aku enggak bercanda soal yang tadi. Kalau kamu bosan di kamar kamu, kamu bisa datang ke kamar aku kapan saja. Kamu tadi sudah menyelamatkan aku di bawah, dan aku enggak suka berutang budi ke orang. Jadi, pintu kamar aku akan selalu terbuka untuk kamu."

 

Setelah mengucapkannya, Danica lalu melenggang masuk ke dalam kamarnya dengan cuek, dan meninggalkan Bayu dan Kevin yang langsung bertukar pandang dengan bengong.

 

"Aku barusan enggak salah dengar, kan?" bisik Kevin ke arah Bayu sambil memandang ke arah pintu kamar Danica yang baru saja tertutup. "Dia terang-terangan 'mengundang' kamu?"

 

"Itu dia... padahal dia enggak berutang budi ke aku karena dia yang duluan selamatin aku tadi," gumam Bayu dengan wajah heran.

 

"Bro, kamu tahu jelas apa mau dia," komentar Kevin sambil berbalik dan menepuk pundak Bayu dengan keki. "Dasar orang brengsek yang beruntung!"

 

"Tapi Kev, aku serius soal dua orang Rusia tadi," ucap Bayu sambil menyusul Kevin yang berjalan menuju ke kamar mereka. "Kapten tadi sempat bilang kalau pisau yang ada di dapur mendadak hilang, kan? Dua orang Rusia itu juga mendadak santai setelah tadi sempat emosi karena enggak dikasih pegang senjata. Firasat aku buruk soal mereka, apalagi kamar mereka di dekat dapur."

 

"Mereka memang mencurigakan, tapi Danica pegang panahnya. Jadi, mereka enggak akan berani macam-macam ke dia," jawab Kevin. "Lagi pula, belum tentu mereka yang ambil pisau itu. Bisa saja seseorang di antara kita atau di Blok Tiga yang ambil pisau dapur tadi dan lupa mengembalikannya."

 

"Masalahnya," kata Bayu, "Gina dan Perempuan Beasiswa belum keluar dari kamar 213 sejak tadi. Somsak dan Daniel juga langsung tidur lagi setelah pindah kamar. Kalau waktu ditanya tadi enggak seorang pun dari Blok Tiga yang ngaku kalau mereka yang ambil pisau itu, artinya... salah satu dari mereka punya niat buruk."

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Terlama
Terbaru Vote Terbanyak
Inline Feedbacks
View all comments
error: KONTEN INI DIPROTEKSI!!!
#!trpst#trp-gettext data-trpgettextoriginal=4498#!trpen#Seraphinite Accelerator#!trpst#/trp-gettext#!trpen##!trpst#trp-gettext data-trpgettextoriginal=4499#!trpen#Optimized by #!trpst#trp-gettext data-trpgettextoriginal=4498#!trpen#Seraphinite Accelerator#!trpst#/trp-gettext#!trpen##!trpst#/trp-gettext#!trpen#
#!trpst#trp-gettext data-trpgettextoriginal=4500#!trpen#Turns on site high speed to be attractive for people and search engines.#!trpst#/trp-gettext#!trpen#