...

14. Siapa di Antara Mereka? #4

 

Blok Satu, 15.15 CST (lima jam sebelum sistem lock island aktif)

 

"Maaf, Gergő mendadak menangis lagi dan mungkin suaranya buat kamu jadi terbangun."

 

Seorang wanita dengan rambut cokelat panjang yang diikat ke belakang menatap ke arah Kiya dengan pandangan cemas. Meski terlihat sangat lelah, wanita berusia sekitar 20-an tahun dari Blok Tiga itu tampak terus berusaha menenangkan bayi dalam gendongannya.

 

"Enggak apa-apa. Sempat tidur satu jam sudah lebih mending dibanding enggak istirahat sama sekali," ujar Kiya sambil melihat ke arah orang-orang lainnya di sana, termasuk Gina, yang masih terlelap di kasur masing-masing. "Kamu sendiri sempat tidur? Kayaknya tadi aku sempat lihat bayi kamu sudah enggak nangis lagi."

 

Wanita tersebut menghembuskan napasnya. "Aku dan Gergő sebenarnya sudah sempat sama-sama ketiduran. Ini nasib seseorang yang baru jadi ibu kayak aku. Kalau bayi aku terbangun secara mendadak dan menangis, aku juga jadi ikut terbangun. Maklum, bayi masih sangat sensitif."

 

"Umurnya berapa bulan?" tanya Kiya padanya.

 

"Delapan bulan," jawab wanita tersebut. "Ngomong-ngomong, usia kita sepertinya enggak terlalu berbeda jauh. Aku harus panggil kamu dengan...?"

 

Kiya tersenyum. "Aku Kiya, tapi teman-teman aku selama ini panggil aku dengan sebutan Perempuan Beasiswa. Nama kamu sendiri?"

 

"Perempuan Beasiswa?" Sofia tertawa. "Aku Sofia Szabó. Aku dari Hungaria."

 

"Kalau aku dari Indonesia," respons Kiya sambil mengangkat tubuhnya dari kasur dan mengucek matanya. "Teman aku yang lagi tidur namanya Gina; dia dari Malaysia. Kecuali Kapten Tyrell yang dari Amerika, rombongan aku sisanya yang tidur di kamar lain, semuanya berasal dari negara-negara berbeda di Asia Tenggara."

 

Sofia langsung mengerutkan dahinya. "Indonesia itu di mana?"

 

"Kamu tahu Bali?" tanya Kiya lagi.

 

Sofia mengangguk.

 

"Bali itu di Indonesia," sambung Kiya. "Aku sering dapat pertanyaan yang sama tentang di mana Indonesia. Kebanyakan orang tahu tentang Bali, tapi enggak tahu kalau Bali adalah salah satu pulau di Indonesia. Jadi, kalau aku harus jelaskan di mana Indonesia, aku akan jelaskan tentang ini dengan menghubungkannya ke Bali dulu."

 

Sofia kembali tertawa mendengar penuturan Kiya.

 

"Emh, aku tadi belum berterima kasih ke kamu dan teman-teman kamu yang lainnya karena sudah menyelamatkan aku dan Gergő dari bawah sana," ucap Sofia dengan nada sungkan ke arah Kiya. "Kondisi tadi sangat kacau dan Gergő terus menangis. Jadi, aku belum sempat bicara ke kamu dan teman-teman kamu yang tadi bantu aku."

 

Kiya tidak menjawab ucapan itu dan hanya memandangi Sofia yang sedang meletakkan bayinya yang baru kembali tertidur ke atas kasur. "Kamu sudah berapa lama ada di sini? Kamu hanya sendirian di pulau ini sama bayi kamu?"

 

"Aku pergi dari Hungaria delapan bulan setelah melahirkan Gergő," jawab Sofia. "Papanya Gergő adalah orang Inggris yang kebetulan kerja di Taiwan. Kami bertemu waktu aku kerja di salah satu klub malam sana. Setelah itu, kami sempat menjalin hubungan khusus. Aku baru tahu kalau aku hamil waktu aku kembali ke Hungaria. Itu makanya aku bawa Gergő ke Taiwan lagi untuk bertemu dengan papanya."

 

"Sayangnya, agen aku bawa aku kembali ke Tawain melalui China," lanjutnya. "Awal bulan ini, Taiwan dan China lagi ramai soal kasus saling deportasi, apalagi ini masa Covid-19. Setelah sempat luntang-lantung dan susah masuk ke Taiwan, ada pihak yang mendadak bawa aku ke sini. Aku dan Gergő sudah hampir dua minggu di sini dan enggak tahu kenapa tinggal di Blok Tiga yang kayak penjara."

 

"Mereka bilang yang dibawa ke sini hanya imigran gelap," komentar Kiya dengan hati-hati.

 

Sofia langsung menggeleng. "Aku enggak termasuk imigran gelap. Memang susah masuk ke Taiwan atau China di saat-saat kayak begini, tapi visa aku diterima. Ini mungkin karena konflik dua negara saja yang lagi memanas dan kebetulan aku memang lagi sial. Mereka di sini bilang aku akan dipulangkan ke Hungaria setelah masa Covid-19 berakhir, tapi melihat banyak orang yang tinggal lama di sini, aku ragu dengan itu."

 

Kiya menatapnya dengan prihatin. "Kamu diperlakukan dengan baik di sini?"

 

"Mereka kasih kami tempat tidur yang layak dan bersih, tapi banyak dari kami yang harus berbagi sel yang sempit dengan yang lainnya," jawab Sofia. "Makanan di sini sederhana, tapi cukup gizi. Mereka juga kasih tambahan susu dan vitamin untuk Gergő, serta pakaian ganti baru untuk setiap orang setiap harinya. Hanya saja, mereka belum sekali pun kasih kami kesempatan untuk menelepon."

 

"Hah?" Wajah Kiya berubah kaget. "Kamu sudah dua minggu di sini dan belum dikasih kesempatan untuk menelepon sama sekali?"

 

"Ya, aneh, kan?" timpal Sofia. "Ada harga yang harus dibayar untuk itu. Misalkan, untuk bayar semua yang diterima di sini, kami harus bantu mencuci baju atau bersih-bersih. Tapi, mereka enggak pernah kasih harga yang jelas bagi kami untuk pakai telepon. Setiap ada yang tanya soal ini, jawaban mereka selalu berubah dan harganya sering kali enggak masuk akal. Jadi, enggak satu pun dari kami pernah pakai telepon."

 

"Selain itu," sambungnya, "mereka juga menyita semua barang bawaan kami dan enggak tahu menyimpannya di mana. Itu terjadi ke semua orang di Blok Tiga. Hampir semua dari kami bawa ponsel dan uang ke pulau ini, tapi semua barang bawaan kami disita. Katanya, mereka meletakkan barang kami di tempat yang aman dan enggak akan sentuh itu. Mereka janji akan mengembalikannya begitu kami keluar dari pulau ini."

 

"Masalahnya, enggak ada yang tahu apa ada yang pernah benar-benar keluar dari sini atau enggak," lanjut Sofia. "Mereka bilang, banyak yang sudah pulang. Tapi kata yang lainnya, dibanding pulang, mereka lebih bisa disebut menghilang. Aneh kan kalau orang-orang yang katanya pulang itu pergi begitu saja tanpa pamit ke siapa pun di Blok Tiga? Kalau lihat apa yang terjadi sekarang, aku mulai mengerti apa yang terjadi di sini."

 

Sofia lalu menarik napasnya dalam-dalam. "Mungkin lebih baik kita enggak bicarakan soal ini dulu. Apa yang terjadi ke kita semua tadi masih terlalu berat untuk aku cerna. Teman-teman kamu yang di kamar lainnya masih tidur?"

 

"Kayaknya begitu. Mereka semua pasti kecapekan," jawab Kiya.

 

Sofia tersenyum. "Kalau bukan karena tangisan Gergő , aku juga mungkin masih tidur, apalagi di luar hujan deras. Mungkin sehabis makan malam, kita tidur lagi saja. Biasanya kalau malam Gergő enggak terlalu rewel, jadi habis makan nanti dia juga pasti langsung tidur."

 

"Ah ya, aku dan kamu yang bertugas memasak, kan? Aku belum lihat ada bahan makanan apa di dapur," kata Kiya, tiba-tiba teringat akan itu.

 

"Apa kita mau coba lihat sebentar ke sana supaya bisa merencanakan akan masak apa untuk makan malam nanti?" saran Sofia.

 

Kiya mengangguk. "Itu bukan ide yang buruk."

 

Gadis itu dan Sofia kemudian sama-sama beranjak dari tempat masing-masing dan langsung keluar dari kamar mereka. Kondisi di lantai dua masih terlihat sangat sepi saat keduanya bergerak menuju ke dapur di bagian ujung lorong.

 

"Ada beberapa makanan kemasan di sini," ucap Sofia dengan nada berbisik ke arah Kiya sesampainya mereka di dapur kecil yang terlihat cukup bersih. "Mungkin kita masak pasta tuna dan sup krim jagung saja untuk mereka?"

 

Kiya menggenggam beberapa kaleng dan kotak makanan di depannya. "Karena ini semua makanan yang sebenarnya enggak terlalu repot untuk dimasak, kita nanti mulai masak jam lima saja supaya makanan tetap hangat waktu disajikan."

 

Sofia mengangguk. "Karena memasak ini lumayan praktis dimasak dan tangan kamu masih luka, biar aku saja yang masak ini."

 

"Kamu yakin?" tanya Kiya dengan sungkan. "Kamu bisa masak untuk kami semua?"

 

"Sebelum kerja di klub malam Taiwan, aku sempat kerja di bawah sebuah yayasan sosial Hungaria. Dulu di sana aku masak untuk banyak tuna wisma sekaligus," kata Sofia sambil tersenyum. "Aku bukan orang kaya dan enggak termasuk pintar, jadi... aku banyak lakukan pekerjaan-pekerjaan kayak begitu dulu."

 

"Aku juga sempat kerja di restoran Jepang untuk nambah biaya hidup aku," timpal Kiya, ikut tersenyum. "Pulang kuliah, aku terpaksa belajar sambil mengupas bawang di dapur mereka."

 

Sofia mendadak mengangkat alis matanya. "Eh? Aku dengar tadi Aslan bilang kalian orang-orang kaya yang alami masalah dengan pesawat jet kalian. Itu makanya kalian ke pulau ini, kan?"

 

"Teman-teman aku yang lain memang kaya, tapi aku jauh dari kaya," ujar Kiya dengan sedikit malu. "Aku kuliah di tempat mereka dengan bantuan beasiswa."

 

Sofia mulai kembali tertawa. "Aku tahu rasanya jadi orang yang enggak mampu, tapi berada di lingkungan orang-orang kaya. Papanya Gergő dulu sering bawa aku ke komunitasnya dan itu kadang buat aku jadi serba kebingungan."

 

"Papanya Gergő orang baik?" tanya Kiya dengan hati-hati.

 

Sofia mengangguk dan wajahnya mendadak terlihat berseri. "Dia sangat baik, setia, dan benar-benar tulus. Dulu dia sudah pernah lamar aku, tapi karena aku kurang percaya diri sama latar belakang diri aku, aku menolak lamaran dia."

 

"Sekarang... kalau ada keajaiban," lanjutnya, "aku mau keluar dari pulau ini dan bawa Gergő untuk ketemu sama papanya. Mungkin menikah dengan papanya Gergő bukan ide yang terlalu buruk. Dia yang terbaik. Seseorang akan sadar tentang hal-hal semacam ini ketika sudah berhadapan dengan hal-hal terburuk dalam hidupnya, atau berada dalam kondisi yang terancam mati."

 

Kiya mendadak melirik ke arah lorong di luar pintu dapur. "Ada yang terbangun dan kayaknya lagi menuju ke arah sini."

 

Sofia yang mendengar suara-suara langkah kaki yang sama langsung berbisik, "Ah ya, ada dua orang. Di bagian ujung depan lorong ini ada toilet. Mungkin mereka mau ke sana."

 

Begitu mendengar suara-suara orang yang sedang menuju ke arah ujung lorong adalah Bayu dan Kevin, gadis itu langsung berjalan ke arah pintu dapur. Namun, pembicaraan di antara kedua pria tersebut membuat ia seketika menghentikan langkahnya.

 

"Kamu sudah ngomong sama Perempuan Beasiswa soal yang tadi pagi?" Kiya mendengar Kevin bertanya ke Bayu. Suara pria itu memang berbisik, tetapi terdengar sampai ke posisi Kiya yang masih berdiri di pintu dapur bersama dengan Sofia.

 

"Soal yang mana?" Bayu balik bertanya pada Kevin.

 

"Tadi pagi Somsak bilang kalau Perempuan Beasiswa suka sama kamu," ujar Kevin lagi. "Bagaimanapun, selama ini kamu selalu dibantu sama Perempuan Beasiswa. Dia yang masak untuk kamu, bantu tugas-tugas kuliah kamu, dan dia juga yang selalu rawat kamu kalau kamu lagi sakit dan sendirian di apartemen kamu. Kamu harus ngomong sama dia supaya dia enggak salah paham soal sikap kamu yang langsung pergi tadi."

 

"Perempuan Beasiswa? Itu bukannya nama panggilan kamu?" tanya Sofia sambil berbisik. Namun, Kiya tidak langsung menjawab pertanyaan wanita itu.

"Aku... belum tahu harus ngomong apa ke dia," jawab Bayu setelah sempat terdiam sejenak.

 

"Untuk ukuran orang yang selama ini memperlakukan Perempuan Beasiswa hanya seperti pesuruhnya, reaksi kamu di bawah tadi agak ekstrim," ucap Kevin lagi. "Kamu yakin kamu enggak punya perasaan apa pun ke dia? Mengingat kalau tanpa dia, kamu enggak bisa lakukan apa pun yang benar selama empat tahun kita di Jepang, aku enggak akan kaget kalau ada perubahan di situasi kamu."

 

"Jangan sembarangan, aku hanya anggap dia sebagai teman dengan perjanjian khusus selama ini," jawab Bayu dengan nada yang terdengar seperti merasa terganggu dengan ucapan Kevin.

 

"Perjanjian khusus? Sampai empat tahun begini masih tentang perjanjian khusus dulu?" celetuk Kevin sambil tertawa. "Bayu, kamu bahkan enggak akan tahu di mana letak barang-barang di apartemen kamu sendiri tanpa nanya dulu ke Perempuan Beasiswa. Kamu menelepon dia hampir setiap hari hanya untuk nanya di mana baju kamu yang A, B, atau C."

 

"Justru itu," kata Bayu. "Selama ini perjanjian di antara kami hanya soal gaji dan penerbangan pulang-pergi ke Indonesia. Situasi kami selama ini sudah terlalu nyaman untuk berubah. Aku enggak akan bisa bilang ke dia kalau selama ini aku hanya anggap dia sebagai... teman."

 

Begitu melintas di depan pintu dapur dan tanpa sengaja menoleh, Bayu dan Kevin mendadak langsung sama-sama menghentikan langkah mereka. Kedua pria itu baru menyadari adanya Kiya di sana dan sama-sama langsung terdiam.

 

"Perempuan Beasiswa...?" ucap Bayu dengan kaget. "Ka---kamu lagi di sini? Aku...."

 

Ucapan gugup Bayu mendadak terhenti. Secara tiba-tiba, mereka semua mendengar suara teriakan histeris dari arah lantai satu yang sebelumnya sangat sepi. Baik Kevin, Bayu, Sofia, maupun Kiya yang mendengar itu, seketika langsung serempak bergerak ke arah tangga untuk menuju ke lantai satu.

 

Begitu sudah memutar ke arah bawah, mereka melihat ada empat orang petugas di lantai satu yang sedang memandang dengan syok ke dekat bagian bawah tangga tersebut. Melihat Bayu dan yang lain-lainnya muncul dari atas, mereka semua langsung bergerak mundur dengan ketakutan.

 

Kevin dan Bayu sendiri langsung bergerak maju untuk melihat ke balik tembok pembatas tangga yang baru saja mereka turuni. Betapa terkejutnya kedua pria itu saat melihat adanya seorang petugas perempuan bertubuh kecil di sana yang tampak sedang dalam kondisi menggigil berat. Yang lebih mengejutkan lagi, kondisi leher petugas wanita itu sudah robek dan bersimbah darah.

 

"Si---siapa?" ucap salah satu petugas pria di lantai satu sambil mengangkat pistol di tangannya ke arah rombongan Bayu yang baru turun. "Siapa di antara kalian di lantai dua yang baru menyerang rekan kami dan berusaha memangsanya?"

Subscribe
Notify of
guest

1 Komentar
Terlama
Terbaru Vote Terbanyak
Inline Feedbacks
View all comments
Dina
Guest
Dina
6 months ago

Kayaknya yang gigit Gina deh

error: KONTEN INI DIPROTEKSI!!!
#!trpst#trp-gettext data-trpgettextoriginal=4498#!trpen#Seraphinite Accelerator#!trpst#/trp-gettext#!trpen##!trpst#trp-gettext data-trpgettextoriginal=4499#!trpen#Optimized by #!trpst#trp-gettext data-trpgettextoriginal=4498#!trpen#Seraphinite Accelerator#!trpst#/trp-gettext#!trpen##!trpst#/trp-gettext#!trpen#
#!trpst#trp-gettext data-trpgettextoriginal=4500#!trpen#Turns on site high speed to be attractive for people and search engines.#!trpst#/trp-gettext#!trpen#