Blok Satu, 16.00 CST (empat jam sebelum sistem lock island aktif)
Suara derap langkah dari arah lantai dua menggema dari bagian tangga yang mulai gelap. Begitu menjejakkan kakinya di lorong lantai satu, baik Aslan, Tyrell, maupun rombongan lantai dua lainnya langsung berlari ke arah sumber suara tembakan senjata yang baru saja kembali terdengar.
Tidak butuh waktu yang lama bagi kedua pria itu untuk segera mendobrak satu-satunya pintu ruangan di bagian kiri lorong yang dalam kondisi tertutup. Begitu masuk ke dalamnya, keduanya langsung melihat salah satu petugas lantai satu tengah berusaha untuk melompat keluar dari jendela.
Tentunya saat melihat sang petugas akan kabur, Aslan langsung bergerak cepat menarik kerah leher sang petugas dari belakang, sebelum kemudian mendorong tubuhnya ke dinding di samping jendela yang masih terbuka lebar.
"Brengsek! Kalian berencana kabur?" desis Aslan dengan napas yang masih memburu. "Kalian berencana menyelematkan diri sendiri tanpa membawa kami, kan?"
Sang petugas tersebut kini memandang ke arah Aslan, Tyrell, dan rombongan lantai dua lainnya yang sudah berada di sana dengan tampang ngeri. "Ka---kami hanya ingin pergi dari sini karena yakin kalau salah satu dari kalian adalah inang pemangsa yang tadi menyerang rekan kami. Kami hanya...."
Belum sempat pria itu menyelesaikan kata-katanya, Aslan sudah mendorong leher sang petugas dengan lengannya yang kekar dan langsung menghimpitnya ke dinding. "Kamu masih mau berbohong?! Itu makanya kalian tadi membiarkan kami semua masuk ke lantai dua? Kalian sudah berencana untuk pergi dari sini dengan menggunakan kapal?"
Sang petugas yang mulai kesusahan bernapas langsung terbatuk-batuk. "Ka---kapal? Kapal apa maksud kamu?"
Tyrell yang juga kesal, kini bergerak ke arah sang petugas dan langsung menempelkan moncong senjatanya ke arah pelipis pria itu. "Kalau kamu masih berpikir untuk berbohong di saat-saat begini, saya akan memastikan kamu mati. Kamu pikir orang-orang seperti kami yang terisolasi di pulau ini karena kalian akan takut untuk membunuh?!"
Melihat jari Tyrell sudah akan menarik pelatuk senjata di tangannya, sang petugas seketika berteriak ketakutan. "He---hentikan! Jangan bunuh saya! Kalian benar, ada kapal yang saat ini akan merapat ke dermaga. Kami sedang menuju ke dermaga untuk pergi dari pulau ini dengan kapal itu sebelum semuanya terlambat."
"Terlambat?" tanya Tyrell sambil melirik ke arah Aslan yang ada di depan sang petugas. "Apa maksud kamu dengan 'sebelum semuanya terlambat'?"
"Ada sistem perlindungan tingkat tinggi yang diberlakukan di pulau ini untuk mengantisipasi jika sewaktu-waktu kondisi di sini menjadi tidak terkendali," ucap sang petugas dengan suara yang bergetar karena rasa frustrasinya. "Se---seperti yang kalian ketahui, ini pulau yang berbahaya. Untuk melindungi segalanya di sini, para pendiri pulau ini memasang sistem 'lock island' dari bagian dalam laut di sekitar pulau ini untuk mencegah pihak mana pun di pulau ini untuk kabur."
Dahi Aslan kini mengerut. "Dari bagian dalam laut di sekitar pulau ini?"
Sang petugas mengangguk dengan tubuh yang gemetaran. "Sistem itu sudah diaktifkan sejak tadi dan malam nanti mungkin akan mulai bekerja. Kalau sistem itu aktif, enggak akan ada satu orang pun yang bisa keluar dari pulau ini. Saya enggak pernah tahu bagaimana cara kerja sistem ini, tapi yang jelas, ini diberlakukan untuk melindungi rahasia Penjara X dari pihak luar."
"Yang lebih tahu soal sistem 'lock island' ini adalah para petugas senior yang sejak awal ada di sini," sambung sang petugas lagi. "Sa---saya benar-benar enggak tahu banyak soal ini, tapi kalau melihat para peneliti utama di Blok Dua menganggap bahwa jalan keluar satu-satunya dari pulau ini hanya dengan cara menaiki kapal tercepat yang akan berlabuh di sini, itu artinya sistem 'lock island' sangat berbahaya."
Karena merasa curiga, Tyrell segera menggerakkan sebelah tangannya ke arah saku celana sang petugas dan langsung mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. "Radio komunikasi? Kalian berkomunikasi dengan para peneliti utama di Blok Dua dengan menggunakan ini sejak tadi? Kami bisa bicara dengan mereka saat ini?"
"Baterainya sudah habis sesaat setelah kami menerima instruksi dari mereka tadi," jawab petugas pria tersebut. "Alat untuk mengisi daya radio komunikasi tersebut ada di kamp militer. Kami sendiri belum mendengar perkembangan lebih lanjut dari orang-orang di Blok Dua setelah instruksi terakhir."
"De---dengar, kita enggak punya banyak waktu lagi," lanjut sang petugas sambil melirik ke arah luar jendela dengan tampang yang sangat panik. "Kami diminta keluar dari sini tepat jam empat. Rekan-rekan saya yang lainnya sudah mengarah ke kamp militer, begitu juga dengan para peneliti dari Blok Dua. Kami harus segera menuju ke dermaga secepatnya sebelum kondisi di sini semakin memburuk."
"Kalau waktunya sudah mepet, kenapa kalian harus ke kamp militer lebih dulu?" tanya Tyrell dengan ekspresi menyelidik.
"Kondisi di luar penjara sangat berbahaya karena tadi lebih banyak tentara yang mati di area hutan dan sekarang sudah pasti menjadi pemangsa," jawab sang petugas. "Kami butuh kendaraan untuk menuju ke arah dermaga dan semua kendaraan operasional penjara ini diparkir di kamp militer. Karena itu, kami harus lebih dulu ke sana untuk memakai kendaraan yang ada."
"Memangnya di mana dermaga kalian?"
"Saya tahu di mana dermaga mereka," jawab Aslan sambil melirik ke Tyrell. "Kami dibawa ke sini dengan menggunakan kapal, jadi kami semua yang dari Blok Tiga tahu di mana dermaga tersebut. Posisinya enggak terlalu jauh; agak ke barat laut dari penjara ini, tapi harus melalui sedikit area hutan dan tempat deret panel solar mereka."
Sang petugas kembali terbatuk. "Saya enggak tahu apa yang terjadi, tapi kebetulan para pemangsa lagi enggak banyak di sekitar sini. Tadi hanya ada dua pemangsa di area depan Blok Satu yang saya tembak. Itu makanya rekan-rekan saya sudah lebih dulu lari ke kamp militer. Kalau kalian juga mau selamat, kita semua harus memanfaatkan situasi ini dengan cepat. Penjara ini akan sangat gelap dan berbahaya malam nanti."
"Ah, peduli setan dengan semuanya!" teriak Mia dari belakang rombongan lantai dua yang masih berdiri di depan pintu kamar sang petugas. "Dia benar, kita harus menyelamatkan diri kita selagi ada kesempatan untuk melakukannya!"
Gadis tersebut mendadak berlari menerobos semua orang untuk menuju ke arah jendela yang sedang terbuka lebar di samping Tyrell. Setelah itu, ia lalu langsung melompat keluar sebelum Aslan sempat menghentikannya. Melihat tindakan Mia, Sara langsung ikut bergerak ke arah jendela.
"Kalau ini langkah krusial yang diambil oleh para petugas di sini, kita semua tahu ini artinya memang kita harus melakukannya. Mereka di sini lebih tahu apa pun dibanding kita," ucap Sara sambil melirik ke arah Aslan dan Danica di belakangnya, sebelum kemudian ikut melompat keluar untuk menyusul Mia dan menembus rintik hujan di luar.
"Mereka benar. Lagi pula, tempat ini terlalu mengerikan dan aku... aku mau pulang. Aku rasa aku akan ikut mereka saja," seloroh Gina sambil memandang ke arah teman-temannya di belakang. Setelah mengucapkannya, gadis yang awalnya terlihat serba bingung dan takut itu mendadak langsung ikut melompat ke luar jendela.
"Gina, apa yang kamu lakukan?!" teriak Daniel dengan kaget dari belakangnya. Karena khawatir dengan temannya tersebut, Daniel kemudian ikut melompat ke luar dan langsung disusul oleh Somsak yang terlihat terpaksa melakukannya.
Karena melihat fokus Tyrell dan Aslan kini mengarah ke rombongan yang melompat ke luar, sang petugas pria tadi langsung memanfaatkan kesempatan itu dengan melepaskan cengkeraman Aslan dari lehernya, lalu langsung cepat-cepat ikut melompat ke luar. Aslan sendiri hanya bisa terpaku saat melihat baik Igor dan Ivan kini sudah ikut menyusul keluar.
"Yang pegang senjata di antara mereka hanya Sara dan petugas itu, kan?" tanya Danica dengan cepat sambil melirik ke arah Aslan dan Tyrell. "Aku akan berusaha melindungi mereka!"
Melihat Danica ikut melompat ke luar sambil membawa busur panahnya, Aslan seketika langsung bergerak untuk menyusulnya. Tyrell sendiri kini menoleh ke arah Bayu dan Kevin yang masih terdiam membisu di belakangnya.
"Mungkin ini memang jalan untuk selamat," ujar Tyrell sambil bergerak ke arah jendela. "Aku akan memastikan mereka tetap menunggu kalian di kamp militer dan enggak pergi lebih dulu dengan kendaraan yang ada. Pastikan kalian dan Kiya bisa menyusul kami dengan cepat, oke?"
Setelah mengucapkannya, Tyrell langsung melompat ke luar jendela untuk bergabung dengan yang lainnya di bagian depan.
Bayu sendiri yang baru tersadar akan sesuatu, mendadak menoleh ke belakangnya. "Kev, di mana Perempuan Beasiswa dan ibu bayi tadi? Apa mereka enggak ikut kita ke bawah?"
Kevin langsung ikut menoleh ke belakang dan mengerutkan dahinya. Meskipun bingung, pria itu kemudian teringat akan sesuatu. "Bayu, Perempuan Beasiswa tadi lagi berusaha menyelidiki kamar 212. Dia curiga dengan sesuatu di sana yang mungkin berkaitan dengan inang pemangsa di antara kita," ucapnya dengan wajah panik.
Mendengar ucapan Kevin, Bayu secara refleks langsung berlari ke arah atas dan segera disusul oleh Kevin. Begitu menjejakkan kaki di lantai dua, kedua pria itu langsung melihat Sofia yang sedang menggendong bayinya di depan pintu kamar 213.
"Kenapa dengan kalian?" tanya Sofia sambil mengerutkan dahinya saat melihat Kevin dan Bayu kembali muncul di sana. "Di mana yang lainnya?"
Menyadari kalau Sofia tidak tahu akan perkembangan yang ada, Bayu langsung menoleh ke arah Kevin. "Kev, bawa dia dan bayinya keluar dari sini. Kamu dan mereka harus langsung menyusul yang lainnya ke kamp militer."
"Ta---tapi kamu dan Perempuan Beasiswa...?"
"Aku akan menyusul dengan dia nanti," potong Bayu dengan cepat. "Wanita ini membawa bayi, jadi kamu harus lebih dulu selamatkan dia. Aku pegang senjata, jadi kamu enggak perlu khawatir dengan aku dan Perempuan Beasiswa."
"Apa yang terjadi di bawah?" tanya Sofia, kini dengan tampang yang curiga ke arah Kevin dan Bayu. "Ada hal buruk yang terjadi di luar Blok Satu?"
Kevin hanya terdiam dan tetap memandang ke arah Bayu dengan cemas. Meskipun begitu, ia kemudian bergerak ke arah Sofia dan segera menarik pelan lengan wanita itu untuk mengikutinya.
"Tunggu sebentar, a---apa yang kamu lakukan?" tanya Sofia dengan kaget.
"Semua orang saat ini sedang menuju ke kamp militer untuk menyelamatkan diri," terang Kevin. "Kita harus ikut ke sana secepatnya agar bisa sama-sama menuju ke dermaga dan setelah itu pergi dari pulau ini dengan menggunakan kapal."
Sebelum Sofia sempat bertanya lagi, pria itu lalu kembali menarik lengan sang wanita dan langsung membawanya untuk turun. Sementara Bayu sendiri mulai membuka pintu kamar 212 yang tertutup di depannya dengan sangat hati-hati.
Beberapa menit sebelumnya
Kiya memandang ke arah rombongan orang-orang lantai dua yang mendadak berlari ke arah bawah setelah mendengar percakapan di antara Tyrell dan Bayu. Gadis itu sebenarnya sudah ikut berlari ke tangga, tetapi begitu mendengar suara tangisan Gergő dari arah kamar 213, ia berhenti melangkah dan langsung menoleh ke belakangnya.
Karena melihat Sofia mendadak kembali ke kamar 213 untuk melihat kondisi bayinya, gadis itu pun refleks mengikuti Sofia. Namun, sesuatu membuat perhatiannya mendadak teralih. Entah bagaimana, gadis itu melihat kondisi pintu kamar 212 yang tadinya masih tertutup rapat, kini tiba-tiba sudah dalam kondisi yang sedikit terbuka. Karena sejak awal merasa curiga akan sesuatu di dalamnya, ia pun memutuskan untuk mendekat ke arah pintu kamar 212. Begitu sudah sampai di depannya, gadis itu lalu membuka pintu tersebut dan kemudian melangkah perlahan ke dalam.
Setengah dari kamar 212 kini dipenuhi dengan berbagai perabotan dari ruangan-ruangan lainnya. Karena ada beberapa lemari yang menutupi jendela yang sudah pecah, pencahayaan di kamar itu terasa lebih gelap dibanding dengan kamar-kamar lainnya. Meskipun begitu, angin dari luar masih bisa berhembus ke dalam melalui celah-celah jendela yang pecah.
Pundak Kiya langsung tersentak kaget saat mendengar suara pintu di belakangnya mendadak tertutup dengan sendirinya. Namun, belum sempat ia melakukan apa pun, pandangan matanya tiba-tiba terhenti ke satu titik tertentu di ruangan itu dan membuatnya seketika terpaku.
"Ka---kamu yang namanya Paloma, kan?" tanya Kiya begitu melihat adanya sosok seorang gadis kecil yang sedang berjongkok di lantai sambil memegangi sesuatu. "Apa yang kamu lakukan di sini? Di mana kembaran kamu?"
Gadis kecil cantik yang berambut pirang tersebut tidak langsung menjawab pertanyaan Kiya. Ia hanya meremas baju penuh darah di tangannya dengan wajah yang ketakutan.
"Aku tadi baru ingat; waktu aku bangun, aku sebenarnya enggak benar-benar lihat ada kamu di samping kembaran kamu, Pavel," sambung Kiya sambil melangkah ke arah Paloma dengan hati-hati. "Saat itu, sesuatu yang Pavel peluk di sampingnya bukan kamu, kan? Dia mengambil selimut Gergő dan berusaha membuat selimut itu untuk terlihat seperti kamu yang sedang tidur di sampingnya."
"Tindakan Pavel membuat Gergő terbangun dan langsung menangis," sambung Kiya, "tapi... Sofia enggak sadar kalau selimut Gergő saat itu sudah enggak ada. Aku juga baru sadar soal ini saat tadi mengingat kembali kondisi kamar 213 sebelum aku dan Sofia ke dapur. Paloma, ke mana kamu tadi waktu semua orang lainnya lagi tidur?"
Paloma mendadak melepaskan baju penuh darah dari tangannya. Gadis kecil itu lalu menatap ke arah Kiya dengan tampang takut-takut sambil menyeret mundur tubuhnya yang masih berjongkok di lantai.
"Bu---bukan aku," ucap Paloma dengan aksen Rusia. Ia terlihat gugup saat melihat Kiya melirik ke arah baju yang tadi sempat dipegang olehnya.
Kiya sendiri langsung mengangkat sebelah tangannya ke arah Paloma. "Jangan takut, kamu memang masih kecil, tapi aku yakin kalau kamu sangat cerdas. Aku hanya mau nanya soal ini saja, di mana kamu waktu orang-orang lainnya tadi lagi tidur?"
Paloma menggelengkan kepalanya dan tetap melangkah mundur secara perlahan. "Bukan aku... bukan aku yang nakal."
Melihat Paloma tetap ketakutan, Kiya segera menghentikan langkahnya. "Jadi, Pavel yang nakal? Pavel itu adik kamu, kan?"
Paloma mengangguk dan mulai meneteskan air matanya. "Aku hanya berusaha membersihkan darahnya setelah menyuruh Pavel ganti baju. Aku enggak mau kami diusir dari tempat ini; aku takut di luar."
"Paloma," ucap Kiya dengan napas yang tertahan, "apa Pavel yang tadi yang menyerang orang di bawah dan kamu yang membersihkan sisa darahnya?"
Paloma kembali mengangguk sambil tetap menangis. "Pavel bilang dia lapar. Dia ke bawah dan hampir dipukul sama orang di bawah tadi. Itu makanya Pavel menyerangnya. Karena Pavel tadi ketakutan, aku ganti baju Pavel di sini dan suruh dia kembali ke kamar. Aku sendiri langsung turun untuk membersihkan semuanya. Aku hanya enggak mau kami diusir."
"Pa---Paloma, apa kamu juga merasa lapar?" tanya Kiya lagi dengan hati-hati. "Apa kamu punya keinginan untuk memakan sesuatu yang lain?"
Paloma menggeleng. "Aku enggak nakal seperti Pavel."
Kini Kiya mulai merinding. "Apa sebelumnya Pavel pernah merasakan lapar kayak tadi? Kamu tahu sejak kapan adik kamu berubah?"
"Aku enggak tahu," jawab Paloma sambil menggeleng. "Aku takut sama Pavel sekarang."
"Di---di mana dia sekarang?" tanya Kiya sambil melirik ke kiri dan kanannya dengan rasa takut.
"Pavel sembunyi di dalam kamar mandi," jawab Paloma sambil menunjuk ke arah pintu kamar mandi di belakangnya sambil gemetaran. "Pavel takut kalian marah dan akan mengusirnya."
Mendengar itu, Kiya langsung berjalan cepat ke arah sang gadis cilik. "Paloma, jangan takut sama aku. Aku enggak akan menyakiti kamu, tapi untuk sementara ini kita harus segera pergi dari sini dan minta bantuan ke yang lainnya. Kamu mau ikut aku?"
Paloma sejenak terlihat terdiam. Namun, beberapa detik berikutnya ia langsung mengusap air matanya dan mengangguk lagi.
"Kamu kesusahan untuk berdiri?" tanya Kiya lagi setelah menyadari kalau Paloma mungkin sudah lama berjongkok sampai tungkai kakinya melemah. Ia lalu cepat-cepat berjongkok di depan Paloma dan menunjuk ke arah punggungnya. "Naik ke sini, aku akan segera bawa kamu ke luar."
Meski awalnya sempat terlihat ragu, Paloma lalu mengikuti instruksi Kiya. Setelah gadis cilik itu naik ke punggungnya, Kiya pun mulai berjalan ke arah pintu. Sayangnya, baru berjalan beberapa langkah, suara seseorang yang menggema dari dalam kamar mandi mendadak terdengar dari belakangnya.
"A---apa ada orang di luar?" tanya orang tersebut dari balik pintu kamar mandi.
Kiya menghentikan langkahnya dan kini berbalik ke arah pintu kamar mandi. "Pavel...?"
Seperti terkejut saat mendengar suara Kiya, anak laki-laki itu mendadak membuka pintu kamar mandi dari dalam. Beberapa detik setelahnya, kepala sang anak melongok ke luar dan menunjukkan wajahnya yang pucat pasi. Kiya sempat melihat bagian tangan anak tersebut dipenuhi dengan darah sebelum kemudian sang anak cepat-cepat menyembunyikan tangannya lagi.
"Pa---pavel, apa yang kamu lakukan di kamar mandi? Kenapa dengan tangan kamu?" tanya Kiya sambil bergerak mundur dengan perlahan.
Anehnya, begitu melihat kakak kembarnya ada di punggung Kiya, anak itu langsung cepat-cepat menutup pintunya lagi dan kembali bersembunyi di dalam kamar mandi. Pergerakan ganjil Pavel pun segera mendatangkan firasat buruk dalam diri Kiya.
"Pavel? Kamu kenapa?" tanya Kiya dengan suara yang bergetar. "Kamu terluka?"
Awalnya, Pavel tetap diam. Namun beberapa saat setelahnya, ia mulai membuka suara. "Pa---paloma, dia gigit tangan aku."
Kiya merasakan seluruh tubuhnya mendadak berubah kaku dan butiran keringat kini menetes dari dahinya. "Paloma yang menyerang orang di lantai satu tadi? Kamu lari ke kamar... karena ketakutan setelah melihat kakak kamu menyerang orang di bawah?"
Pavel tidak menjawab pertanyaan Kiya, tetapi suaranya di dalam kamar mandi kini berubah menjadi rintihan ketakutan. Sementara di belakang punggung Kiya, Paloma secara perlahan mengikik.
Mendengar tawa Paloma tersebut, tubuh Kiya pun semakin menegang. Ia tahu kalau dirinya dalam bahaya besar, tetapi tidak mampu untuk mencari cara menghindar dari Paloma yang kini sudah memeluknya dari belakang.
"Pa---paloma, kenapa... kenapa kamu menyakiti adik kamu sendiri?" Kiya memberanikan dirinya untuk bertanya meski jantungnya sudah sangat berdegup kencang. Namun, jawaban yang ia terima justru membuatnya langsung lebih ketakutan.
"Itu karena aku masih lapar dan ingin memakannya," bisik Paloma di telinga Kiya.
Setelah mengucapkan itu, Paloma mendadak menyenandungkan lagu anak-anak dalam bahasa Rusia dari belakang punggung Kiya. Kiya yang sudah merasa terjebak, hanya bisa memandang ke sekeliling ruangan yang gelap tersebut sambil menggendong tubuh Paloma dalam diam.
Untungnya, beberapa detik selanjutnya, ia mulai mendengar suara-suara samar pembicaraan beberapa orang dari luar pintu kamar 212. Merasa Paloma mendadak terdiam, Kiya memanfaatkan situasi itu dengan segera melepaskan lengan Paloma dari lehernya. Setelah itu, ia memutar tubuhnya sendiri dan langsung membenturkan punggungnya sendiri ke lemari terdekat.
Usahanya untuk melepaskan diri dari Paloma nyaris berhasil kalau saja Paloma yang jatuh terjungkal ke lantai, tidak mendadak menarik pergelangan kaki Kiya dari bawah. Karena tindakan Paloma, Kiya jelas langsung ikut terjatuh ke lantai dan kini menjerit kesakitan.
"Lepaskan!" teriak Kiya dengan histeris sambil mengibas-ngibaskan kakinya sendiri. "Lepaskan aku!"
Melihat Paloma tetap mencengkeram kakinya, mau tidak mau, Kiya terpaksa meraih sebuah kursi kayu dari sebelahnya dan kemudian menghantamkannya ke kepala sang gadis kecil. Meskipun begitu, beberapa detik setelah melihat Paloma tersungkur ke bagian samping kakinya, ia mendadak dipenuhi rasa khawatir.
"Pa---paloma, kamu enggak apa-apa?" tanya Kiya dengan tampang syok karena melihat gadis kecil itu tidak lagi bergerak.
Sebagian besar dari dirinya merasa bersalah karena tanpa sengaja sudah memukul seorang anak kecil. Karena itu, Kiya kemudian bergerak secara perlahan untuk memeriksa kondisi Paloma. Namun, saat ia melakukannya, Paloma mendadak mendongak dan menatap dengan pandangan tajam ke wajah Kiya yang mendekat ke arahnya.
"Hati-hati!" teriak seseorang dari pintu kamar 212, bersamaan dengan gerakan Paloma yang sudah akan meloncat ke tubuh Kiya. Sebelum Kiya menyadari apa yang terjadi, suara tembakan tiba-tiba terdengar menggema di dalam ruangan sepi tersebut dan semburat darah dari kepala Paloma menyembur ke wajahnya.
Paloma yang bertubuh mungil ambruk seketika ke lantai, sementara Kiya termangu di depannya tanpa bisa bersuara maupun menggerakkan tubuhnya sedikit pun.
"Perempuan Beasiswa, apa yang kamu lakukan?! Apa kamu kira dia masih pantas diperlakukan sebagai anak kecil?!" teriak Bayu dengan emosional dari belakangnya sambil memegang senjata di tangannya. "Kita harus cepat pergi dari sini! Tempat ini sudah kosong dan berbahaya!"
Pintu kamar mandi tiba-tiba kembali dibuka. Pavel yang melihat kakak kembarnya ternyata sudah tergeletak tak bergerak dalam kubangan darah, seketika berseru dengan syok. Anak itu lalu terjatuh di tempatnya sendiri dengan tubuh yang bergetar hebat, dan mendadak menangis histeris dalam raungan pilu.
"Di---dia hanya anak kecil," gumam Kiya ke arah Bayu dengan tubuh yang juga gemetaran. "Paloma masih sangat kecil. Dia dan adiknya sebenarnya enggak tahu apa-apa, tetapi terinfeksi. Kenapa kamu langsung membunuhnya? Mereka belum benar-benar mengerti tentang perubahan diri mereka."
"Kalau aku enggak langsung bunuh dia, dia akan bunuh kamu dan lebih banyak orang lagi," tukas Bayu sambil menatap ke arah Kiya yang mendadak meneteskan air mata ke wajahnya yang penuh dengan darah. Pria itu kini tampak kebingungan karena melihat Kiya menangis.
"Ta---tapi bukan salahnya kalau dia berubah jadi seperti itu. Dia hanya bergerak sesuai instingnya karena terinfeksi," ujar Kiya dengan tatapan sedih dan marah sekaligus ke arah Bayu. "Kenapa...? Bisa saja ada keajaiban suatu saat nanti yang akan buat dia sembuh. Ke---kenapa kamu melakukannya? KENAPA KAMU TEGA MENEMBAK MATI ANAK SEKECIL ITU?!"
Tanpa diduga, Bayu tiba-tiba bergerak cepat untuk meraih pundak Kiya dan langsung memeluk gadis yang tengah menangis karena syok dan ketakutan itu dengan erat.
"Maaf," gumam Bayu dengan suara yang terdengar bingung dan tertekan, "maaf karena aku harus melakukan hal yang kejam. Tapi Perempuan Beasiswa, aku enggak akan bisa biarkan kamu mati lebih dulu dari aku. Aku enggak tahu hidup aku akan seperti apa kalau itu sampai terjadi. Karena itu, selagi aku masih hidup, aku akan menjadi egois dan memaksa kamu untuk tetap bersama aku."