Braaak! Begitu pintu darurat pesawat dibuka, dua orang awak kabin yang masih tampak pucat pasi setelah pesawat mereka melakukan *ditching, langsung terbelalak kaget. Wajah mereka segera diterpa oleh air hujan yang masuk melalui pintu pesawat dan juga oleh percikan ombak laut yang terasa lengket di kulit mereka.
Pramugara yang sebelumnya berbicara dengan Kiya, kini kembali menoleh ke arah semua penumpang di sekitarnya dengan tubuh yang masih bergetar. Ia melihat sebagian dari penumpang kelas atas mereka masih duduk di kursi masing-masing dengan sabuk pengaman yang tidak juga dilepas.
Beberapa dari mereka -- baik pria maupun wanita -- masih tampak menangis dan berteriak karena syok berat. Beberapa lainnya ada yang langsung membuka sabuk pengaman mereka dan langsung muntah di lantai pesawat yang berantakan. Sementara mereka yang tersisa, masih mematung di kursi masing-masing dengan ekspresi wajah yang sangat ketakutan.
Tanpa banyak berbicara, ia lalu berlari dengan susah payah ke sebagian dari mereka yang masih terlihat belum memakai jaket pelampung mereka dengan benar. Salah satunya adalah Kiya yang baru saja muntah di kursinya sendiri akibat kesusahan untuk membuka sabuk pengamannya.
"Nona Kiya, saya akan bantu Anda untuk memakai ini," ucap sang pramugara sambil menepis masker oksigen yang jatuh dari atas kompartemen Kiya dan menutupi wajah gadis itu.
Sama seperti kebanyakan dari mereka, Kiya sendiri masih membisu. Ia hanya memandang ke arah sang pramugara yang berjuang untuk membantunya dengan tatapan yang masih kosong karena syok. Baru ketika ia mendengar teriakan kapten pilot dari arah depan yang meminta mereka untuk segera keluar, ia mulai bereaksi.
"Ki---kita benar-benar harus terjun ke laut?" tanya gadis itu dengan suara yang nyaris tak terdengar. Ia yang masih kesusahan untuk bernapas itu menoleh ke arah luar jendela pesawat dan terlihat lebih syok karena melihat kondisi ombak yang begitu tinggi dan kelam serta cuaca di luar yang sangat buruk.
"Harus secepatnya, Nona," ucap sang pramugara dengan pita suara yang sama bergetarnya. "Kapten bilang, ditching tadi mungkin sudah mengakibatkan masalah di badan pesawat. Kalau enggak keluar sekarang, bagian-bagian badan pesawat yang retak bisa pecah sewaktu-waktu dan akan membuat kita semua tenggelam dalam waktu yang sangat cepat."
"Dasar brengsek kalian!"
Teriakan pria yang sebelumnya meledek Kiya terdengar menggelegar dari bagian depan, membuat Kiya dan pramugara tadi langsung menoleh ke arahnya. Entah apa yang terjadi di sana, pria itu mendadak terlihat memukul wajah kapten pesawat yang kini berdiri tak jauh darinya.
Sang pria sudah memakai jaket pelampungnya, tetapi karena ia tadi gagal memakai sabuk pengamannya dengan benar dan cepat, ia sempat terhempas ke dinding pembatas kabin saat pesawat melakukan ditching, dan terpaksa hanya terus berpegangan di bagian bawah besi kursi saat semua itu terjadi.
"Untuk apa kalian dibayar mahal kalau hal ini seperti ini malah terjadi ke kami?!" sambung pria itu lagi dengan wajah yang masih sangat merah akibat murka. "Apa kalian amatir?! Kalian enggak mengecek mesin pesawat dengan benar sebelum kita berangkat dari Tokyo tadi?!"
Suara pukulan dan teriakan pria itu langsung membuat Gina Lee yang duduk tak jauh dari Kiya mulai menangis lebih kencang. Gadis itu tampak lebih syok dibanding Kiya, sampai-sampai ia tidak bisa bergerak dari kursinya sendiri. Karena sang pramugara sudah selesai membantu memompa pelampung Kiya, pria itu kini langsung melesat ke arah tempat duduk Gina.
"Bagaimana kita semua akan bertahan hidup kalau diminta berenang di laut seperti itu?" gumam Gina setelah melihat ke arah luar jendela sambil menangis. "Kita semua akan mati, kan?"
"Nona Gina, dengarkan saya," ucap sang pramugara langsung berusaha untuk menenangkannya. "Nama saya Shinji. Saya akan membantu Anda untuk keluar dari sini dengan selamat. Jangan khawatir, Anda hanya perlu untuk berusaha keluar dari pesawat secepatnya sekarang dan segera berenang menjauh dari badan pesawat. Semuanya akan baik-baik saja."
"Tapi Daniel benar," ucap Gina lagi, merujuk pada pria yang tadi memukul wajah sang kapten, "ini semua enggak seharusnya terjadi ke kami."
Shinji menoleh ke arah pintu darurat yang terbuka tadi dan melihat kapten pilot tampak tetap fokus untuk menyelamatkan yang lain-lainnya di bagian depan, meski orang bernama Daniel baru saja memukulnya. Melihat seluruh rekannya sibuk membantu penumpang lainnya di depan, Shinji pun langsung berusaha untuk memompa pelampung Gina dengan lebih cepat.
"Nona, kapten pesawat ini adalah orang yang sangat berpengalaman," sambung Shinji yang berdarah Jepang. "Dia sudah melakukan langkah yang tepat dengan melakukan pendaratan darurat secepatnya untuk menyelamatkan kita semua. Kalau dia tadi tetap memaksakan terbang dengan kondisi sistem cadangan dan radio komunikasi pesawat yang tiba-tiba rusak, kita bisa kecelakaan kapan saja."
"Karena itu," lanjutnya, "Anda harus berjuang untuk tetap selamat sekarang. Saya janji, Anda akan selamat. Pusat kontrol penerbangan akan segera menyadari kondisi kita dan mereka akan cepat bergerak untuk mencari kita nanti. Sementara ini, kita harus berenang. Anda bisa melakukannya, kan?"
Mau tidak mau, Gina pun mengangguk. Setelah Shinji membenarkan pelampung di badannya, gadis itu akhirnya mencoba berdiri meski dengan kaki yang masih lunglai. Kini, baik dirinya dan Kiya mulai sama-sama berjalan ke arah pintu darurat yang sudah dipenuhi oleh teman-teman mereka lainnya dengan wajah yang masih bercampur antara syok dan takut.
"Ombaknya tinggi sekali," ucap salah satu dari teman mereka dari bagian depan pintu darurat dengan napas yang tercekat. "Kalian yakin kita akan selamat dan bisa segera ditemukan nanti? Kondisi di luar sangat mengerikan."
"Tuan, Anda harus cepat melompat. Kita sudah enggak punya banyak waktu lagi," ujar kapten pilot pada pria yang berdiri paling depan, dengan wajah yang cemas. "Seperti saya bilang tadi, kalau pesawat ini tenggelam, kita semua bisa ikut terhisap ke dalam laut dan itu akan sangat berbahaya."
"Ta---tapi, bagaimana kalau kita semua terpencar di laut?" tanya orang lainnya yang tampak seperti tengah menahan rasa ingin muntahnya akibat pergolakan keras badan pesawat yang diterpa ombak. "Bagaimana kalau kita nantinya malah enggak bisa ditemukan?"
"Berenanglah menuju ke arah utara moncong pesawat," sambung sang kapten lagi. "Saya lihat melalui navigasi kami tadi, ada satu pulau yang letaknya enggak terlalu jauh dari sini. Kita semua bisa berenang ke sana dan menunggu sampai tim penyelamat tiba untuk menolong kita. Tapi, kita harus cepat karena kondisi di dalam sini sudah berbahaya."
"Ta---tapi...."
Byuuur!
Daniel yang kesal mendadak menendang tubuh temannya tersebut dari belakang untuk membuat sang teman langsung terjun ke laut. Ia sendiri sempat menoleh ke arah kapten pesawat yang tadi dipukulnya dengan sorot mata yang masih marah, sebelum kemudian ikut menyusul meloncat ke laut tanpa mengatakan apa pun.
Pergerakan Daniel membuat semua orang yang berdiri di dekat pintu jadi mulai lebih berani. Satu per satu, mereka pun mulai terjun ke permukaan laut dengan memakai jaket pelampung masing-masing dan membawa barang yang seadanya.
Kiya sendiri sudah akan ikut melompat saat gilirannya tiba, tetapi suara heboh dari arah kanannya mendadak menghentikan langkahnya. Gadis itu langsung menoleh dan melihat dua orang temannya, Bayu dan Kevin, kini sedang dipapah oleh Shinji dan rekan awak kabinnya ke arah pintu darurat.
"Kenapa dengan mereka berdua?" tanya Kiya dengan kaget sambil memandang ke arah Bayu dan Kevin yang sama-sama seperti sedang pingsan.
"Mereka enggak apa-apa," jawab Shinji. "Mereka tadi ada di kursi masing-masing dengan sabuk pengaman yang masih terpasang, tapi belum pakai jaket pelampung. Sepertinya, Tuan Bayu dan Tuan Kevin sama-sama dalam kondisi mabuk berat dan enggak sadar kalau saat ini kondisi kita sangat darurat."
"Terus, bagaimana mereka akan berenang nanti?"
"Tenang, Nona, saya dan kru lainnya akan membantu mereka di laut nanti, sampai kita semua bisa tiba di pulau yang dimaksud oleh kapten," jawab Shinji berusaha tampak meyakinkan.
Mendengar itu, Gina langsung berdecak. Meskipun begitu, ia lalu mengacuhkan kedua teman prianya yang masih mabuk tersebut dan langsung menoleh ke arah Kiya dengan cepat.
"Kita harus lompat sekarang. Kamu mau lompat bareng aku?" tanyanya ke arah Kiya dengan tampang yang masih terlihat sedikit ragu dan takut. "Aku benar-benar enggak mau sendirian di bawah sana."
Kiya hanya terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya mengangguk.
"Tapi tunggu sebentar, Gina," kata Kiya mendadak teringat sesuatu, "aku harus ambil sesuatu dulu dari kabin depan."
Gadis itu kemudian bergerak dengan cepat ke arah depan dan menghilang selama beberapa saat, sebelum akhirnya kembali lagi dengan membawa sesuatu di tangannya. Begitu ia kembali ke tempatnya, ia langsung mengajak Gina untuk terjun bersamanya sebelum Gina sempat bertanya apa pun padanya.
Hal pertama yang dirasakan Kiya begitu tubuhnya sudah berada dalam air adalah dingin --- sangat dingin. Kondisi laut di malam hari yang juga ditambah hujan deras, membuatnya kini sampai menggigil dan beberapa kali terombang-ambing oleh ombak.
Setelah mengusap air di wajahnya yang terasa asin, gadis itu lalu memandang ke arah permukaan laut di sekitarnya yang berwarna hitam dengan gentar. Baru pertama kali itu dalam hidupnya, ia melihat secara langsung bagaimana mengerikannya kondisi di tengah lautan saat malam hari.
"Si---sialan, di sini dingin sekali!" keluh Gina yang kini mendekat ke arah Kiya dengan tubuh dan kepala yang sudah basah kuyup. Ia tampak tidak berhenti mengucek-ngucek matanya sendiri. "Mata aku pedih karena air laut dan susah melihat karena di sini hujan. Kiya, jangan jauh-jauh dari aku. Aku takut."
Kiya hanya mengangguk. Dengan tangan Gina di pelampungnya dan tangannya sendiri yang sedang membawa sebuah ransel anti air, Kiya mulai merasa kesulitan untuk mempertahankan stabilitas tubuhnya yang mengapung.
"Di mana yang lain-lainnya?" tanya Gina lagi sambil mengedarkan pandangannya yang kabur ke sekelilingnya.
"Saya rasa yang lainnya sudah langsung berenang ke utara sesuai instruksi kapten tadi," timpal Shinji secara tiba-tiba dari arah belakang mereka. Pria itu tampak tengah mengikat jaket pelampung Bayu yang masih tidak sadar ke jaket pelampungnya sendiri. "Mungkin karena takut pesawat akan tenggelam sewaktu-waktu, mereka berenang lebih cepat untuk menjauh dari sini."
"Kevin dan kru kabin lainnya?"
"Tuan Kevin di belakang bersama kapten dan awak kabin lainnya," jawab Shinji lagi sambil mengusap wajahnya yang basah. "Nona Gina, Nona Kiya, ikuti saya saja. Kalau kita bisa cepat pergi dari sini, kita semua tentu akan baik-baik saja. Usahakan saja untuk terus berenang dan jangan sampai tertidur di laut."
Gina dan Kiya tidak menjawabnya. Meskipun begitu, keduanya langsung sama-sama mengekor di belakang Shinji dengan harapan untuk mencapai pulau yang dimaksud dengan lebih cepat. Sayangnya, sampai satu jam selanjutnya setelah susah payah berenang, tidak satu pun dari mereka yang melihat adanya penampakan daratan di sekitar lautan tersebut.
"Apa kamu yakin kalau kita sudah berenang ke arah yang benar?" tanya Gina pada Shinji dengan suara yang mulai terdengar letih. Wajah gadis itu sudah terlihat pucat pasi dan tubuhnya tidak berhenti menggigil karena kedinginan.
Hampir sama seperti Gina, Kiya juga mulai merasa lemas. Satu-satunya yang membuatnya lega adalah kondisi cuaca dan gelombang laut yang sudah mulai membaik. Meskipun begitu, ia merasa kedua tangan dan kakinya sudah kebas.
"Sepertinya kita terpisah dari rombongan yang lainnya," gumamnya dengan suara gigi yang menggeletuk. Sejak tadi, ia terus membantu Shinji untuk menyelamatkan Bayu yang beberapa kali nyaris tersapu ombak, sekaligus menemani Gina yang mudah panik dan ketakutan.
"Saya sudah mengikuti arahan kapten dengan benar dan enggak melenceng sedikit pun dari arah utara," jawab Shinji, kini mulai terdengar ikut ragu dengan dirinya sendiri. "Mungkin ... kita harus terus berenang ke utara?"
Gina yang saat ini berada paling dekat dengan Shinji tidak langsung bereaksi. Tubuhnya kini tampak dibiarkan mengapung dan wajahnya mulai terlihat pasrah.
"Aku sudah 'ngantuk sekali," ujarnya dengan sinar mata yang mulai sayu. "Aku enggak yakin bisa terus berenang dalam kondisi sedingin ini. Mereka semua juga mungkin sudah terpencar karena kondisi ombak tadi."
Kiya yang panik, langsung berenang mendekat ke arah Kiya. "Gina, kamu dengar kata Shinji tadi, kan? Jangan sampai kamu tertidur di sini. Akan berbahaya kalau kamu tertidur sebelum kita bisa mencapai daratan."
Gadis itu lalu menarik pelampung Gina dengan keras untuk membuat teman kampusnya itu tersadar dan kembali bergerak bersamanya. "Aku akan bantu kamu untuk berenang ke sana. Ayo Gina, sebentar lagi kita pasti sampai. Di sana nanti, kita semua pasti bisa tidur lebih nyaman dan dalam kondisi yang lebih hangat."
Itu kata-kata Kiya yang sebenarnya diucapkan untuk membuat dirinya sendiri bisa mempertahankan pengharapannya. Namun, setelah memaksakan dirinya untuk kembali berenang dengan membawa Gina, satu jam kemudian ... ia yang tanpa sadar malah tertidur di tengah lautan.
___
Pukul 05.30 CST
"Bangunlah!!"
Suara pekikan Kiya menggema di pesisir sebuah pantai kosong tempatnya terdampar. Ia dalam kondisi panik --- luar biasa panik. Terlebih, saat mendadak terbangun di sana tadi, entah bagaimana ia hanya menemukan Bayu di sampingnya dan tidak melihat Shinji dan Gina sama sekali.
Karena melihat Bayu seperti sudah tidak lagi bernapas, ia pun dengan refleks langsung berusaha untuk melakukan kompresi dada pada pria tersebut. Yang ia tidak tahu, teman prianya tersebut sebenarnya masih hidup dan hanya sedang tidak sadarkan diri saja.
"Bangun, tolong bangun! Aku enggak mau sendirian di sini!" teriak Kiya lagi sambil menangis. "Bangun kamu, dasar brengsek!"
Seperti mendengar suara makian dan raungan Kiya, pria di bawahnya tersebut mendadak bergerak. Begitu membuka matanya dan melihat ke arah Kiya yang masih terlihat sangat panik di atasnya, ia langsung terbatuk dan mengerutkan dahinya.
"Perempuan beasiswa ...?" ucap pria itu dengan suara yang serak sambil memandang ke arah Kiya yang tampak masih sedikit basah. Secara perlahan, ia lalu melirik ke arah kiri dan kanannya dan langsung terlihat kebingungan. "Kita ... sudah sampai di Natuna?"
Kiya yang mendengar itu segera mengusap air matanya dengan jengkel dan langsung melemparkan pelampung dari badannya ke arah wajah Bayu. "Natuna kepalamu! Ini akibatnya kalau kamu terus meminum alkohol! Apa kamu tahu kalau semalam kamu bisa saja mati?!"
Gadis itu kemudian berdiri dari tempatnya dan langsung mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Karena matahari sudah mulai terbit di kejauhan, ia bisa melihat dengan jelas betapa indahnya pulau tempat mereka berada saat ini.
Pasir di bawah kakinya terasa sangat halus dan putih berkilauan. Sementara laut di belakangnya tampak tidak semengerikan seperti yang semalam dilihatnya. Air laut di sana berwarna biru jernih seperti berlian, dengan diwarnai suara ombak dan kicauan burung yang merdu. Di sana-sini, ada berbagai pohon pesisir yang membuat area pulau tempatnya berada saat itu semakin indah.
"Perempuan beasiswa, kok aku pakai jaket pelampung?"
Kiya mengacuhkan suara Bayu yang bertanya dari belakangnya, lalu mulai melangkah ke sekelilingnya untuk mencari Gina dan Shinji. Mengingat ia bisa sampai dengan selamat di pulau itu setelah sempat tidak sadarkan diri, ia sangat yakin kalau Shinji dan Gina yang membantunya juga selamat.
"Hei, ada yang terjadi ke kita semalam? Sebenarnya kita ada di mana sekarang? Di mana yang lainnya? " tanya Bayu lagi dengan lebih keras. Kali ini, pria itu beranjak dari pasir dan mulai ikut berjalan mengikuti Kiya dari belakang dengan ekspresi wajah yang lebih bingung.
Ya, di mana mereka semua? Gadis itu bertanya dalam hatinya sambil tetap mengacuhkan rentetan pertanyaan Bayu padanya. Apa Gina dan Shinji sedang mencari rombongan kami yang lainnya? Mereka semua pasti juga sudah sampai di sini, kan?
Kiya terus berjalan selama beberapa menit lagi sambil memasang matanya. Ia terlalu fokus untuk mencari rombongan mereka yang lainnya, sampai mendadak ia mendengar suara Bayu menyerukan sesuatu dari arah yang sedikit berjauhan dengannya.
Rupanya, pria itu sudah menyadari ada yang tidak beres terjadi padanya dan refleks ikut mencari teman-teman mereka ke arah yang berbeda dari Kiya.
"Perempuan Beasiswa, di sini juga ada beberapa jaket pelampung!" teriak pria itu dari balik sebuah batu karang tinggi yang membelah pantai tersebut.
Kiya yang mendengar itu, sontak langsung berlari ke arah Bayu. Bola matanya mulai tampak bersinar-sinar ketika akhirnya melihat ada beberapa jaket pelampung pesawat mereka lainnya yang tampak dibuang sampai berserakan begitu saja di atas pasir.
"Ah, mereka ternyata juga di sini!" seru gadis itu dengan nada lega. "Ternyata mereka juga selamat!"
"Selamat?" Bayu kembali memandang ke arah Kiya dengan bingung. "Apa maksud kamu dengan 'mereka juga selamat'?"
"Aku akan ceritakan semuanya ke kamu nanti, yang jelas sekarang kita harus lebih dulu cari ...."
Ucapan Kiya terputus begitu saja. Mendadak dari kejauhan, ia melihat ada sosok berseragam seperti Shinji tengah duduk membelakanginya di balik sebuah pohon yang tak jauh dari garis pantai.
Dengan antusias, gadis itu lalu segera berlari menuju ke arah area yang dipenuhi deret pohon waru laut yang rindang dan memiliki dahan-dahan yang bercabang cukup besar. Namun, saking terlalu bersemangatnya, Kiya sampai tidak mendengarkan suara panggilan Bayu lagi dari arah belakangnya dan malah terjatuh karena tersandung sesuatu.
Sambil meringis, gadis itu lalu menyentuh kakinya yang terasa sakit dan melihat ke arah sesuatu yang membuatnya tersandung tadi. Namun, saat ia berbalik ke belakang lagi, kedua bola matanya justru terfokus pada sesuatu di sekitar Bayu yang membuatnya kaget.
Hampir selusin tentara dengan warna seragam yang berbeda dari biasanya, mendadak muncul dari arah sisi lain pantai yang berbatas batu karang tadi. Mereka semua terlihat berjalan mendekat ke arah Bayu secara perlahan sambil mengacungkan senjata berlaras panjang mereka ke arah kepala pria itu.
Melihat hal yang mengejutkan tersebut, gadis itu langsung berusaha untuk berdiri dari tempatnya lagi dengan wajah yang tampak terperangah. Ia bahkan belum sempat untuk mengangkat tubuhnya saat bola matanya mendadak teralih ke arah sesuatu di dekat kakinya sendiri yang tadi membuatnya terjatuh.
Sebuah potongan betis manusia yang berlumuran darah dan tertempel oleh pasir pantai, ada di sana --- tergeletak di dekat ujung sepatu Kiya yang masih basah dan membuat dingin telapak kakinya.
Kiya yang masih terduduk di pasir ingin tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya. Entah apa yang terlintas dalam benaknya, secara refleks, ia pun langsung menoleh ke arah Shinji yang tadi dilihatnya sedang duduk di belakang pohon waru, hanya beberapa meter darinya.
Benar saja, begitu mengarahkan matanya untuk mengecek Shinji, jantungnya seakan-akan langsung berhenti berdetak begitu saja. Dari posisinya saat ini, ia kini bisa melihat pramugara pesawat yang semalam membantunya itu dengan lebih jelas.
Shinji ternyata memang benar sedang duduk di sana. Hanya saja, ia tidak duduk dengan kondisi badan yang utuh lagi. Hampir seluruh bagian bawah tubuhnya --- dari perut hingga ke kakinya --- sudah menghilang. Yang tersisa darinya saat ini hanyalah ... wajahnya yang masih menyisakan kengerian, dan darah yang bersimbah di bawah sisa tubuhnya ... yang menutupi pasir putih indah pulau itu.
AUTHOR’S NOTE
"Ditching" dalam istilah penerbangan mengacu pada pendaratan darurat pesawat di atas air, biasanya dalam situasi di mana pesawat tidak dapat mencapai landasan pacu karena kerusakan mesin, kehabisan bahan bakar, atau masalah kritis lainnya dengan aman. Manuver ini sering kali dilakukan sebagai upaya terakhir untuk meminimalkan korban dan meningkatkan peluang keselamatan penumpang dan awak pesawat.
Kenapa seringkali orang yang pingsan pada saat kejadian malah selamat, sedangkan yg terjaga malah gak selamat?