Pulau X, 17 November 2021, 06.30 CST (tiga hari sebelum Hotel Poernama di Indonesia diisolasi)
"Kamu baik-baik saja?"
Suara Bayu terasa seperti menggema berkali-kali di dalam kepala Kiya, sebelum kemudian berubah menjadi lebih jelas. Kiya yang baru tersadar dari pingsan, langsung menatap ke arah Bayu dan beberapa orang di dekatnya.
Entah bagaimana, pria itu dan dirinya kini sudah berada di dalam sebuah truk militer berukuran sedang bersama dengan Kevin dan juga kapten pilot private jet yang mereka sewa kemarin. Mereka semua tidak lagi dalam kondisi basah kuyup. Namun, tubuh mereka yang masih lembab membuat wajah mereka semua kini terlihat pucat pasi.
Kevin Koh, pria setinggi Bayu yang memakai kacamata berbingkai bening, tampak duduk meringkuk di pojok truk. Teman terdekat Bayu yang berasal dari Singapura itu terlihat seperti dalam kondisi yang sangat trauma akan sesuatu, sampai ia tidak mempedulikan siapa pun di sana dan terus gemetaran.
Berbeda dengan Kevin, kapten pilot mereka tampak lebih bisa mengendalikan diri. Meski juga tidak setenang seperti sehari sebelumnya, pria itu masih mampu untuk menjawab pertanyaan dari beberapa tentara berkulit putih yang menjaga mereka semua dari bagian belakang truk yang melaju kencang.
"Di mana kita?" tanya Kiya pada Bayu yang masih menatap ke arahnya.
Wajah gadis itu masih tampak syok. Namun, karena melihat mereka sudah berada di dalam truk bersama dengan beberapa orang lainnya, mau tidak mau ia pun bertanya.
"Mereka akan bawa kita ke pusat penampungan mereka," jawab Bayu dengan menggunakan bahasa Indonesia. "Mereka bilang, Gina dan beberapa teman kita lainnya sudah ada di sana."
"Mereka ini ... siapa?" tanya Kiya lagi sambil memandang ke arah para tentara di belakang truk mereka yang membawa senjata berlaras panjang di tangan mereka masing-masing.
"Aku juga enggak tahu," jawab Bayu. "Dari aksen bahasa Inggris mereka, sepertinya mereka gabungan dari beberapa negara. Aku lihat, banyak yang dari Amerika juga seperti Kapten Tyrell, tapi juga ada yang dari negara-negara lainnya."
"Ah, Kapten Tyrell itu kapten pilot pesawat jet kita," sambungnya setelah menangkap kebingungan di wajah Kiya. "Dia tadi cerita ke aku tentang apa yang terjadi semalam. Sama seperti kita, mereka juga tadi baru terbangun di pesisir pantai dan langsung dibawa oleh para tentara ini ke truk. Kita bergabung setelahnya."
"Shi---shinji ... Shinji tadi ...."
"Pramugara kita? Para tentara ini bilang, dia mungkin digigit hiu," jawab Bayu dengan cepat. "Tadi saat tersadar, Kapten Tyrell dan Kevin katanya juga melihat beberapa kru pesawat yang semalam sempat terpisah dari mereka, tewas dalam kondisi yang hampir serupa dengan Shinji. Itu makanya Kevin mengalami syok berat, sama seperti kamu."
"Hiu bisa bawa sisa badan Shinji sampai ke pohon tadi?" tanya Kiya lagi dengan nada ragu. Bola matanya mulai berkaca-kaca mengingat kondisi Shinji yang ia temukan tewas mengenaskan tadi. Terlebih, ia tahu Shinji adalah pria yang sangat baik dan tulus membantu mereka.
Bayu sendiri hanya mengangkat bahunya dengan wajah yang seperti marah. "Aku enggak tahu, tapi yang jelas, begitu kita bisa kembali ke Jepang nanti, aku akan langsung menuntut perusahaan rental jet yang kita sewa kemarin."
"Kapten Tyrell bilang, dia dan sebagian kru pesawat lainnya ternyata juga hanya kru kabin sewaaan," ujarnya lagi. "Mereka enggak benar-benar tahu apa pihak rental sudah melakukan pemeriksaan teknis dengan benar sebelum kita berangkat kemarin atau enggak."
"Mereka semua adalah kru yang jadwal penerbangannya menipis akibat pandemi Covid. Mungkin karena mendadak mendapat tawaran dengan bayaran tinggi, mereka semua langsung mengiyakan begitu saja. Katanya, mereka semua juga sebenarnya baru saling dikenalkan sebelum kita berangkat kemarin."
"Mereka kru profesional?"
"Kapten Tyrell itu bekas pilot Angkatan Udara Amerika. Dia sudah sangat terbiasa membawa pesawat jet pribadi orang-orang tertentu. Rekan pilotnya juga orang Amerika. Kalau sisanya berasal dari orang-orang maskapai komersial Jepang, seperti Shinji dan dua pramugari kemarin."
Kiya mengusap air matanya yang baru saja menetes akibat mengingat apa yang terjadi pada Shinji. "Apa yang harus kita lakukan ke jasad Shinji? Dia harus dibawa pulang ke Jepang secepatnya, begitu juga kru lain yang ditemukan tewas."
Bayu terdiam sesaat, sebelum kemudian menghembuskan napasnya. "Aku tahu, tapi kata mereka tadi, ada masalah dengan jaringan komunikasi di area ini sejak kemarin malam. Mereka juga kesusahan untuk berkomunikasi dengan salah satu kapal logistik yang katanya akan masuk hari ini."
"Tapi ... mereka janji akan segera mengurus jasad kru pesawat kita. Kamu tahu kan kalau tentara di mana pun enggak diperbolehkan untuk memperlakukan orang-orang seperti kita dengan buruk. Mereka janji akan segera menghubungi negara kita masing-masing untuk memberitahukan soal kondisi kita saat ini. Mereka juga akan menghubungi pihak rental jet begitu jaringan komunikasi sudah kembali membaik."
"Kamu tahu kita saat ini berada di mana?"
Bayu menggeleng. "Mereka hanya bilang kalau pulau ini sebenarnya pulau tanpa nama, tapi para nelayan sering menyebut pulau ini dengan sebutan Pulau X. Yang jelas, kita masih di wilayah Laut China Selatan."
"Setidaknya kita enggak terlalu jauh dari Indonesia," gumam Kiya sambil menatap ke arah luar truk yang mendadak melaju lebih pelan dengan wajah lesu. Namun, alis mata gadis itu langsung mengernyit saat melihat penampakan tembok tinggi kelabu di bagian ujung hutan pohon waru yang sedang mereka lewati.
"Itu ... tempat penampungan kita?" tanya gadis itu lagi dengan suara yang pelan. Wajahnya tetap fokus melihat ke arah tujuan mereka yang kini sudah semakin dekat.
"Itu adalah tempat kita sementara tinggal sebelum bantuan untuk kita datang. Kata mereka, itu sebenarnya penjara," timpal Tyrell, sang kapten pilot, yang kebetulan sudah tidak lagi berbicara dengan para tentara misterius di belakang truk. Ia tidak mengerti bahasa Indonesia, tetapi ia yakin kalau Kiya sedang membicarakan tentang bangunan di ujung jalan tersebut.
"Penjara?" Bayu langsung menoleh ke arah Tyrell dengan kaget. "Di pulau terpencil begini ada penjara?"
"Karena nama penjaranya Prison X, banyak orang yang kemudian menyebut pulau ini dengan nama Pulau X. Kata mereka, penjara itu menampung beberapa penjahat-penjahat internasional yang kabur dari negara mereka dan tidak lagi diterima masuk ke negara mana pun. Itu makanya banyak tentara di pulau ini."
"Tapi, negara mana yang mengelola pulau ini? Bukannya kita ada di area Laut China Selatan yang masih diperebutkan?"
Tyrell mengangguk ke arah Bayu, lalu melirik ke arah para tentara di belakang yang masih mengawasi jalanan di belakang truk mereka. Kemudian dengan berhati-hati, ia bergerak mendekat ke arah Bayu dan Kiya.
"Mereka enggak menjawab mereka dari negara mana," bisik Tyrell, seolah-olah takut suaranya terdengar oleh para tentara itu. "Saya tadi sudah memancing mereka untuk berbicara tentang militer Amerika karena yakin kalau sebagian dari mereka berasal dari Amerika, tapi dari reaksi mereka ... sepertinya mereka juga bukan bagian dari tentara Amerika."
"Mungkin China?" tanya Bayu lagi. "Sampai saat ini, Laut China Selatan sangat konfliktual. China dan semua negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, selalu berdebat panas karena China berusaha terus mengeklaim sebagian besar Laut China Selatan. Mereka juga sering mengganggu kapal mana pun yang katanya lewat di perairan ini."
"Mungkin saja," jawab Tyrell. "Tapi saya rasa, ini mungkin milik gabungan beberapa negara sekaligus dan sifatnya agak rahasia. Amerika dan negara-negara lainnya sering melakukan patroli di Laut China Selatan, begitu juga dengan China. Enggak mungkin kalau mereka enggak saling tahu kalau ada tempat begini di salah satu titik Laut China Selatan, kan?"
"Kapten, apa tempat ini benar-benar aman? Saya merasa tetap aneh dengan adanya penjara di pulau begini. Terlebih, dengan tembok penjara setinggi itu, kenapa masih banyak tentara bersenjata yang berjaga di depannya?"
Kali ini giliran Kiya yang bertanya. Ia memandang ke arah deret tentara dengan senjata berlaras panjang yang menjaga bagian gerbang penjara tersebut dengan cara yang aneh. Hampir semua dari mereka terlihat terlalu tegang dan kaku.
Kalau Kiya pikir-pikir, bahkan sebagian tentara yang menjaga mereka di truk itu, sejak tadi juga mengacungkan senjata mereka ke arah luar truk, seolah-olah sangat khawatir kalau mendadak ada yang akan tiba-tiba menyerang mereka dari arah luar.
Apalagi, laju truk itu tadi terhitung terlalu kencang untuk ukuran kendaraan yang tengah melaju di jalanan area pulau yang sepi dan bahkan tidak beraspal. Mengingat bagaimana Shinji mati, ia menjadi lebih curiga dengan segalanya.
"Sebagian dari mereka juga sepertinya masih di pantai untuk mencari sesuatu," gumam Tyrell dengan raut sama curiganya. "Mungkin ... ada salah satu tahanan mereka yang lepas?"
Tyrell mengingat pembicaraan yang malam tadi masuk ke sistem komunikasi pesawat mereka. Namun, pria itu memutuskan untuk tidak membicarakannya pada Kiya dan Bayu karena ia sendiri belum yakin dengan apa yang didengarnya semalam.
"Bisa jadi, tapi tahanan mana yang bisa kabur dari sini kalau pulau ini saja letaknya di tengah lautanlluas?" komentar Bayu. Pria itu sudah akan membuka mulutnya lagi, tetapi mereka semua mendadak mendengar suara rentetan senjata yang menggelegar dari arah tengah hutan.
Entah mengapa saat mendengar itu, hampir semua tentara, baik yang ada di depan gerbang penjara maupun yang ada di belakang truk mereka, tiba-tiba terlihat menjadi lebih tegang. Nyaris semua yang ada di depan penjara kini serempak mengacungkan senjata mereka ke arah hutan. Sementara mereka yang di truk, langsung menepuk dinding truk, seakan-akan menyuruh pengemudi truk mereka untuk cepat-cepat masuk ke dalam gerbang penjara.
"A---apa yang sedang terjadi?" bisik Kiya dengan tubuh yang ikut menegang.
Tidak satu pun dari Bayu maupun Tyrell yang bisa menjawabnya. Mereka semua tampak hanya menahan napas saat melihat gerbang besar di depan mereka, akhirnya perlahan terbuka bagi mereka.
Begitu truk mereka memasuki gerbang, Kiya dan yang lain-lainnya dapat melihat segerombolan besar tentara bersenjata lainnya berhamburan keluar dari bagian dalam dan langsung melesat menuju ke arah hutan. Sementara beberapa orang berseragam putih seperti tim medis, tampak berdiri di teras gedung terdepan, entah untuk menunggu rombongan Kiya ... atau juga untuk mencari tahu tentang kondisi di luar penjara.
Area penjara tersebut ternyata cukup luas. Di bagian depan ada wilayah parkir truk tentara dan juga beberapa kamp tempat mereka beristirahat. Di bagian lebih dalam, ada empat bangunan berlantai dua yang berukuran sedang dan tampak kokoh.
Satu yang terdepan tampak lebih ramai dibanding tiga lainnya yang lebih sepi. Meskipun demikian, kondisi di luar empat gedung tersebut bisa dibilang cukup asri dengan banyak pohon-pohon khas pantai yang menghiasinya.
Begitu sampai di gedung terdepan, masing-masing dari Kiya, Bayu, Tyrell, maupun Kevin, langsung dihampiri oleh petugas medis yang menunggu mereka di sana. Secara terpisah, mereka semua lalu langsung dibawa masuk ke dalam gedung untuk menjalani pemeriksaan dan tanya jawab.
Kiya sendiri digiring masuk ke sebuah ruangan tertutup di lantai satu oleh dua petugas medis perempuan yang mendampinginya. Yang membuat Kiya kaget, begitu sudah berada dalam ruangan tersebut, dua orang petugas medis tadi langsung membuka bajunya tanpa permisi.
"Se---sebentar, apa yang sedang kalian lakukan?" tanya Kiya merasa dibuat risih.
"Baju kamu basah," jawab salah satu dari petugas medis yang berambut ikal kecokelatan sambil tetap membuka baju gadis itu. "Kami akan segera memberi kamu baju pengganti. Tapi sebelum itu, kami harus memeriksa apa ada di luka di badan kamu atau enggak."
"Luka? Saya enggak terluka sama sekali," jawab Kiya masih dengan tampang bingung.
Dua petugas tadi tidak menjawabnya. Mereka kini malah menelanjangi Kiya dan entah mengapa memeriksa tubuhnya dengan sangat teliti, sebelum kemudian mengukur suhu tubuh gadis itu dan mengecek bagian dalam mulut serta matanya.
"Mandilah," ucap wanita tadi seusai melakukan pemeriksaan, sambil menyodorkan sebuah keranjang berisi peralatan mandi dan satu setel baju ganti ke arah Kiya. "Kamu bisa mandi di dalam kamar mandi ruangan ini. Setelah itu, kami akan melakukan tanya jawab sebentar ke kamu sebelum kamu kami persilakan untuk beristirahat dan sarapan."
"Apa teman saya yang lain-lainnya dari pesawat kami ada di sini?" tanya Kiya yang penasaran pada dua wanita tersebut. Namun, karena tidak satu pun dari mereka menjawab pertanyaannya, Kiya pun memutuskan untuk langsung ke kamar mandi yang dimaksud dan membersihkan tubuhnya yang terasa lengket akibat terkena air laut.
Begitu selesai mandi, Kiya yang sudah mengenakan setelan baju seperti piyama hitam yang longgar, langsung menghampiri dua petugas tadi yang sudah menunggunya di sebuah meja bundar berukuran sedang.
"Anda salah satu dari penumpang di pesawat jet yang malam tadi melakukan pendaratan darurat di dekat sini?" tanya wanita yang berambut ikal tadi.
Kiya mengangguk.
"Teman Anda sempat memberi daftar nama kalian ke kami tadi. Di luar dari lima orang kru pesawat, kalian sebagai penumpangnya ada sebelas orang. Dua di antaranya perempuan dan sembilan sisanya laki-laki. Anda yang bernama Ki ...?"
"Kiyati," jawab Kiya mulai merasa tenang. "Nama saya Kiyati Maheswara."
"Yang dari Indonesia?"
"Ya."
Wanita di depan Kiya kembali membaca lembar dokumen di tangannya. "Kalau begitu, selain Anda dan satu lainnya yang bernama Gina Lee, dua kru pesawat yang perempuan ada di mana?"
Kiya menggeleng pelan. "Saya enggak tahu. Saya ke sini hanya dengan Gina dan dua orang lainnya. Tapi, satu orang di antara kami meninggal dunia begitu sampai di sini. Katanya, dia dan beberapa kru pesawat lainnya yang tiba menyusul digigit hiu dan ...."
Gadis itu tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Bola matanya kembali berkaca-kaca saat ia mengingat apa yang menimpa Shinji tadi.
"Itu artinya, dua perempuan lainnya ... Nona Mayumi Inoue dan Nona Keiko Ogawa enggak bersama dengan Anda?"
"Mereka pramugari pesawat kami. Mereka mungkin termasuk orang-orang yang pagi tadi juga ... ditemukan dalam kondisi tewas digigit hiu."
"Saya mengerti," jawab wanita tersebut tanpa bertanya tentang itu lebih lanjut karena melihat tampang Kiya yang masih syok. "Kalian semua berangkat dari Jepang, kan?"
"Ya," jawab Kiya perlahan. "Kami semua mahasiswa di salah satu universitas Jepang yang sedang dalam perjalanan ke Batam, Indonesia. Rencananya, kami akan berlibur ke Pulau Natuna dari sana."
Petugas di depan Kiya seketika mengangkat sebelah alis matanya. "Indonesia memperbolehkan kalian masuk dengan tujuan seperti ini? Setahu saya, angka Covid-19 di Indonesia sedang tinggi dan mereka enggak sembarangan menerima turis masuk saat ini."
Kiya hanya terdiam. Sampai saat ini, ia sendiri masih belum tahu bagaimana Bayu dan yang lainnya bisa mendapat akses untuk masuk ke Indonesia di tengah-tengah masa pandemi, bahkan sampai mendapat izin untuk berlibur ke Pulau Natuna. Karena tujuan kali ini adalah Indonesia yang adalah negaranya, Kiya sebenarnya hanya ikut-ikutan saja dengan mereka.
"Anda sudah pernah menerima vaksin Covid?" Petugas tadi segera mengalihkan pertanyaannya.
"Sudah, tiga minggu yang lalu."
"Kalau enggak salah, di Indonesia banyak yang menggunakan vaksin Fasola?"
"Yang saya dengar dari keluarga saya begitu. Tapi, saya kebetulan mendapat vaksin di Jepang dan enggak menggunakan Fasola," jawab Kiya dengan jujur.
"Selain Nona Gina dan Tuan Daniel, apa ada lagi di rombongan Anda yang mungkin juga menggunakan vaksin Fasola?"
"Daniel ... juga di sini?"
"Mohon jawab dulu saja pertanyaan saya," ujar sang petugas. "Apa ada yang menggunakan vaksin Fasola di rombongan Anda?"
Kini, Kiya mengerutkan dahinya dengan heran. "Saya ... kurang tahu dengan itu. Apa vaksin yang kami gunakan sangat penting untuk diketahui di sini?"
"Hanya prosedur saja karena ini sedang masa pandemi. Orang yang baru masuk ke sini jelas harus kami cek terlebih dahulu sesuai peraturan internasional. Terlebih, mayoritas dari kalian enggak membawa dokumen bukti vaksin."
"Kalau kalian memang memakai standar pandemi internasional, bukannya seharusnya kalian semua memakai masker saat berbicara dengan saya saat ini? Sejak di luar tadi, saya enggak lihat satu pun dari kalian yang pakai masker," ucap Kiya sebenarnya asal saja. Namun, perkataannya ini sempat membuat wanita di depannya terdiam.
"Nona Kiyati, Anda pernah pakai doping?" Wanita itu memutuskan untuk melanjutkan pertanyaannya pada Kiya.
Kiya sendiri kini merasa dibuat kembali heran dengan pertanyaannya. "Doping? Kenapa dengan doping?"
"Jawab saja pertanyaannya."
"Enggak sama sekali. Untuk apa saya memakai doping? Saya bukan atlet."
"Di antara teman-teman Anda, apa ada yang mungkin pernah pakai doping?"
Kiya langsung menarik napasnya dalam-dalam. "Maaf, tapi bukannya pihak kalian sedang melakukan tanya jawab juga dengan mereka? Kenapa Anda tetap menanyakan soal ini ke saya kalau rekan Anda bisa tanya soal ini secara langsung ke mereka?"
"Ini hanya untuk mengonfirmasi jawaban mereka saja."
"Enggak ada satu pun dari teman saya yang atlet. Mereka hanya ikut klub-klub olahraga kampus seperti hoki, baseball, dan lain-lainnya. Setahu saya, orang enggak perlu sampai pakai doping kalau hanya untuk beraktivitas di tingkat klub olahraga sekolah atau kampus."
"Ada yang menunjukkan gejala aneh di antara teman-teman Anda yang bersama dengan Anda kemarin? Misalnya ... sering demam, susah makan, dan sering menggigil tiba-tiba, atau lain-lainnya?"
"Nona," ucap Kiya tiba-tiba dengan suara keras, "kami semua enggak akan bisa melakukan perjalanan keluar dari Jepang kalau enggak divaksin sebelumnya. Jangan khawatir, enggak ada yang terkena Covid di antara kami."
"Nona Gina dan Tuan Daniel adalah suspek Covid karena menderita batuk dan demam tinggi. Hasil rapid test mereka juga kurang bagus," ucap petugas tersebut secara mengejutkan. "Kami sedang mengisolasi mereka di tempat terpisah saat ini. Kalau mereka terbukti positif Covid dengan PCR test, kami terpaksa juga mengarantina kalian yang bersama dengan mereka sampai kemarin malam."
"Isolasi? Artinya, mereka akan di sini sampai 14 hari?"
"Itu mungkin saja kalau pihak Malaysia dan Filipina, negara mereka, mengizinkan ini," jawab wanita tersebut dengan santai. "Biasanya, ini memang prosedur yang harus dijalani. Banyak negara yang saat ini enggak akan memperbolehkan pasien Covid masuk ke wilayah mereka."
"Nona, kami semua semalaman berenang di laut dalam kondisi hujan deras dan sesekali ... tanpa sengaja kami menelan air laut. Wajar kalau saat ini sebagian dari kami demam tinggi dan sedikit batuk," jawab Kiya mulai merasa kesal.
"Kami hanya butuh tempat sementara untuk menunggu bantuan datang bagi kami. Enggak masuk akal kalau nantinya kami malah dipaksa untuk dikarantina selama 14 hari di sini!"
"Kalau begitu, silakan jawab saja pertanyaan saya tadi," balas wanita berambut ikal tanpa berkedip. "Apa ada yang menunjukkan gejala aneh di antara teman-teman Anda lainnya?"
"Saya ... saya sebenarnya baru kemarin ketemu mereka lagi setelah kampus kami lama belajar secara online," jawab Kiya akhirnya dengan nada lemah. "Saya kurang tahu bagaimana kondisi mereka sebelumnya, tapi yang jelas, kemarin di bandara dan di pesawat, mereka semua terlihat baik-baik saja."
"Nona Gina bilang, Anda sempat terlihat kurang sehat di pesawat?"
Kiya kembali menarik napasnya dengan kesal. "Saya kurang sehat karena pesawat kami mengalami turbulence berkali-kali. Sangat wajar kalau di pesawat kemarin saya jadi terlihat kurang sehat karena saya memang sangat mual."
Petugas medis tersebut lagi-lagi tidak langsung bereaksi. Selama hampir satu jam, ia terus mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan aneh yang terasa lebih seperti sesi interogasi bagi Kiya. Baru setelah semuanya berakhir, ia melepaskan Kiya sambil memberikan keranjang baru ke tangan gadis itu.
"Barang ini bisa Anda pakai untuk sementara," ucapnya. "Seharusnya kami menempatkan kalian di Blok Tiga seperti orang-orang lainnya yang mendadak masuk ke pulau ini, tapi di sana saat ini sedang penuh."
"Sementara ini, kami akan menempatkan kalian di gedung ini bersama kami. Orang-orang telanjur menyebut gedung ini dengan sebutan Blok Satu, jadi ... ya, anggap saja ini Blok Satu. Kalian yang datang belakangan, akan diberikan tempat tidur di satu ruang yang sama, di ruang 213 yang kosong di ujung kiri lorong lantai dua."
"Ada banyak orang di sini?" tanya Kiya dengan wajah penasaran, mengingat wanita itu menyebutkan kata 'penuh' dan juga memberikan Kiya dan teman-temannya hanya satu kamar saja.
"Terlihat sepi?" tanya petugas tersebut sambil menyunggingkan senyuman tipis. "Ditambah kalian bertujuh yang selamat dan berhasil tiba di sini, total di pulau ini sekarang ada 259 orang."
___
Pukul 09.00 CST
"Kenapa kalian menempatkan saya di sini? Saya sama sekali enggak punya gejala Covid."
Daniel Mabini, teman Bayu yang berdarah Filipina, bertanya dengan intonasi dalam ke arah beberapa petugas yang tengah mendatanginya di sebuah ruangan kecil kosong yang hanya memiliki satu tempat tidur saja. Dari balik cahaya temaram, tampak jelas kalau sorot mata pria itu menyimpan kemarahan besar.
"Yang sedang demam itu teman saya, Gina. Kenapa saya juga dibawa ke sini, padahal saya enggak menderita Covid? Dua minggu yang lalu saya sudah mendapat vaksin kedua," ujarnya lagi.
Bukannya mendengar jawaban dari dua orang petugas medis di sana, pria itu malah mendengar suara teriakan temannya, Gina, dari bagian luar lorong.
"Daniel? Daniel,kan?"
Begitu tahu kalau ternyata Gina juga diletakkan di salah satu ruangan yang tak jauh dari sana, Daniel langsung menoleh ke arah lorong di belakang pintu kamarnya yang masih terbuka.
"Gina?" balas Daniel dengan kaget.
Pria itu lalu menoleh ke arah dua petugas yang sedang berusaha mengambil darahnya. "Gina juga di sini?"
Dua petugas tersebut tetap fokus dengan jarum unik mereka dan hanya mengacuhkannya.
"Gina! Gina Lee!" teriak Daniel secara mendadak ke arah luar lorong di belakang pintunya yang terbuka.
"Daniel?" Suara Gina terdengar mulai antusias. "Daniel, tolong aku! Ada yang enggak beres dengan pulau ini! A---aku melihat sesuatu yang aneh tadi di pulau ini. Tolong aku!"
Daniel mendadak langsung berusaha untuk turun dari tempat tidurnya. Namun, dua pria yang sedang mengambil darahnya segera menahannya.
"Lepaskan aku!" bentak Daniel sambil memukul wajah salah satu dari petugas yang ada di sampingnya.
Melihat bahwa rekannya kini terkena percikan darah Daniel, petugas lainnya secara refleks langsung mendekat ke arah temannya dengan panik. Hal ini pun langsung dimanfaatkan oleh Daniel dengan segera berlari keluar.
"Gina, kamu di mana?!" teriak pria itu ketika sudah berada di lorong luar kamarnya yang temaram. "Gina?!"
"Aku di sini! Tolong aku, Daniel!' balas Gina dari ujung lorong.
Tanpa menunggu, pria itu pun seketika berlari ke arah sumber suara Gina. Begitu sampai di depan pintu tempat Gina berteriak, ia langsung menggedor-gedor pintu ruangan temannya itu dan berusaha membukanya. Kini, ia mulai bisa melihat wajah Gina yang tampak ketakutan dari bagian lubang kecil pintu kamar tersebut.
"Gina ...? Kenapa mereka menempatkan kamu di tempat yang seperti penjara begini?" tanya Daniel dengan wajah kaget saat melihat bekas nampan sarapan Gina ada di bawah kakinya. "Mereka mengirimkan sarapan ke kamu dari bawah pintu?"
Gina belum sempat menjawabnya, tapi dua orang petugas tadi tiba-tiba sudah menyergap Daniel dari belakang punggungnya. Daniel yang emosional, tentunya langsung memberontak. Tanpa sengaja, ia mendorong keras dua petugas tersebut ke arah pintu lain di seberang kamar Gina.
Saat itu, Daniel sebenarnya melakukannya tanpa sadar dan tanpa mengetahui apa pun risikonya. Namun, apa yang terjadi selanjutnya di lorong temaram tersebut membuat pria itu dan Gina langsung serempak mematung kaku.
Gina dan Daniel sama-sama langsung menjerit dengan histeris. Terlebih, ketika mereka melihat dua tubuh petugas tersebut terjatuh ke bawah, dan menyisakan sebuah wajah pucat mengerikan di balik lubang pintu itu yang menyeringai pada mereka ... sambil kemudian melahap bola mata kedua petugas tadi dengan mulutnya yang penuh bercak darah kering.
Belum update ya?
Semangat kak rouz
Pasti ada aja yg berontak, udah ditolongin malah makin nyusahin..