...

4. Isolasi Mendadak

 

Setengah jam sebelumnya...

 

Mereka semua belum ke sini?

 

Kiya menarik napasnya dalam-dalam sambil mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan 213 di lantai dua yang masih kosong. Ruangan itu ternyata hanya berukuran 6x6 meter dan sepertinya merupakan bekas ruang kesehatan sederhana yang cat dindingnya sudah mengelupas di sana-sini.


Ada delapan kasur tipis berukuran kecil di atas lantainya yang besar kemungkinan memang disediakan untuk rombongan Kiya. Empat di antaranya berada di sisi kiri ruangan, sementara empat sisanya di sisi kanan. Masing-masing kasur dilapisi dengan sprei sederhana berwarna hijau memudar, seperti warna khas tentara pada umumnya.


Ada bantal dan selimut tipis di masing-masing kasur yang terlihat cukup bersih dan layak untuk dipakai. Meski begitu, Kiya tidak merasa yakin kalau teman-temannya yang semuanya berasal dari kalangan keluarga kaya raya akan mampu untuk beradaptasi dengan cepat di sana.


Orang seperti Gina yang terbiasa dimanja pasti akan syok melihat ini, ucap Kiya dalam hatinya karena teringat dengan temannya yang merupakan anak tunggal konglomerat Malaysia tersebut. Bayu juga. Dia bukan orang yang terbiasa tidur di kasur berukuran kecil, apalagi yang tipis begini.

 

Mungkin karena memang mengirit tempat, jarak antar kasur ke kasur lainnya di sana cukup sempit. Di waktu normal, Kiya mungkin akan merasa risi ditempatkan dalam satu kamar yang sama dengan kaum pria. Namun, situasi yang cukup mencurigakan di pulau itu membuat Kiya entah bagaimana justru merasa lega bisa ditempatkan dalam satu kamar yang sama dengan teman-temannya.


Untungnya ada dua jendela di sana yang membuat sirkulasi udara di ruangan itu cukup baik, dan satu meja panjang yang sepertinya diperuntukkan untuk meletakkan barang bersama. Selain itu, Kiya juga melihat ada satu pintu di pojok ruangan yang terlihat seperti pintu kamar mandi untuk mereka semua.


Apa kotak-kotak ini berisi makanan untuk kami?

 

Kiya menatap ke arah lima kotak di atas meja panjang tadi dan langsung membuka salah satunya. Sesuai dugaannya, kotak-kotak tersebut ternyata berisi makan pagi bagi rombongannya. Menu di dalamnya sangat sederhana, hanya ada satu kotak kecil susu, satu telur rebus dingin, dan juga satu tangkup roti panggang. Melihat itu, Kiya langsung menahan senyum gelinya.


Apa mereka semua akan bisa memakan ini?

 

Ia sendiri sudah akan memakan bagiannya, tetapi suara panggilan menggelegar seseorang dari arah pintu kamar yang terbuka lebar di belakangnya, membuatnya mendadak menoleh dengan kaget.


"Perempuan beasiswa?! Kamu juga di sini?"


Somsak Jirapong, teman Bayu lainnya yang berasal dari Thailand, mendadak muncul di sana. Pria itu langsung tersenyum lebar begitu melihat Kiya dan kini berjalan ke arah sang gadis dengan wajah antusias.


"Aku kira aku hanya sendiri di sini karena mereka tadi bawa Daniel pergi," ujarnya lagi. "Aku dan Daniel subuh tadi terdampar bersamaan di pulau ini. Baru saja sampai di sini, tahu-tahu kami langsung dibawa sama tentara yang ada di pantai ke tempat aneh ini."


Kiya menatap dengan canggung ke arah Somsak. "Kalau aku datang ke sini bareng Bayu, Kevin, dan kapten pilot pesawat kita."


Somsak memang lebih ramah dibanding teman-teman Bayu lainnya dan punya karakter yang ceria. Walau tidak berada di jurusan yang sama dengan mereka semua, ia adalah teman satu tim Bayu dan Kevin di klub hoki es kampus mereka. Meski pria itu terbilang baik, tetapi ada satu hal yang pernah terjadi di antara mereka dulu yang membuat Kiya hingga saat ini sedikit malu kalau harus bertemu dengan Somsak.


"Loh, Bayu dan Kevin juga di sini? Mereka sekarang ada di mana?" tanya Somsak sambil mengedarkan pandangannya ke arah kasur-kasur di lantai. "Belum ada keranjang pakaian ganti mereka di sini."


"Kayaknya mereka belum selesai di ruang pemeriksaan," jawab Kiya.


Gadis itu lalu teringat akan sesuatu. "Kamu tadi sempat lihat Gina? Kata petugas medis yang periksa aku tadi, dia juga ada di pulau ini sama Daniel."


"Ya, dia tadi ada di truk yang satunya," jawab Somsak. "Tapi setelah dari ruang pemeriksaan, kami semua terpencar. Sampai sekarang, aku sendiri belum ketemu sama mereka lagi."


Kiya menghela napasnya. "Berarti benar kata mereka tadi. Daniel dan Gina langsung dibawa ke tempat yang terpisah dengan kita karena dianggap sebagai pasien suspect Covid."


"Aku enggak tahu dengan Gina. Dia tadi memang terlihat seperti kurang sehat, tapi ... Daniel?" Somsak seketika mengernyitkan alis matanya. "Daniel sama sekali enggak terlihat lagi sakit tadi. Hanya saja ... kakinya memang lagi terluka karena dia sempat tergores karang saat tadi kami berusaha untuk mencapai pantai."


Luka?

 

Kiya mendadak teringat kalau ia tadi sampai diminta melepaskan semua bajunya hanya untuk pemeriksaan luka di tubuhnya.


Enggak mungkin kan Daniel dikarantina terpisah hanya karena dia punya luka? Covid sama sekali enggak ada hubungannya dengan luka di tubuh.

 

"Pantas saja tadi aku cari-cari mereka ke luar dan enggak ketemu," sambung Somsak lagi. "Ternyata mereka sedang dirawat terpisah? Kenapa para petugas tadi sama sekali enggak bilang ke aku kalau Daniel dan Gina akan dibawa ke tempat lain?"


"Memangnya kamu tadi sempat cari mereka di luar?" tanya Kiya lagi.


Somsak mengangguk. "Aku lihat tadi banyak penjaga yang mendadak berlarian ke luar, Jadi, aku langsung cari Daniel dan sekalian lihat-lihat ke sekeliling tempat ini. Tapi sebelum masuk ke area bangunan yang katanya Blok Dua dan Blok Empat, penjaga di sana langsung usir aku dan marah-marah. Aku bahkan sempat hampir ditembak."


Kiya terdiam sejenak. "Ada banyak orang di sana?"


"Dua gedung itu paling sepi, tapi petugas yang berjaga di sana paling banyak dan semuanya galak-galak," jawab Somsak dengan tampang yang terlihat seperti masih kesal.


Kiya mengerutkan dahinya. Apa mungkin itu penjara yang dimaksud sama Kapten Tyrell tadi?

 

"Mereka bilang ada lebih dari 200 orang di pulau ini," ujar Kiya lagi pada Somsak. "Kamu enggak lihat ada banyak orang di tempat lainnya tadi?"


Ditanya hal tersebut, Somsak mendadak tersenyum dengan lebar. "Ah, Blok Tiga paling ramai dan menarik! Aku tadi sempat lewat sana pas mereka semua lagi sarapan di bawah."


"Kamu tahu," ucap Somsak mendadak bersemangat, "di sana banyak sekali imigran gelap dari Eropa Timur dan Asia Tengah. Sebagian besar dari mereka perempuan-perempuan cantik yang enggak lagi punya penghasilan di masa pandemi Covid."


"Katanya, mereka sebenarnya berencana masuk ke Thailand dan Indonesia secara ilegal, tapi agen mereka tertangkap sebelum mereka sempat masuk, dan mereka langsung dibawa sama agen lainnya ke sini. Banyak pelabuhan yang memang penjagaannya lagi sangat ketat di masa pandemi. Kasihan mereka karena malah berakhir di sini."


"Ngapain mereka ke sini? Mereka enggak langsung pulang ke negara mereka saja?" tanya Kiya dengan bingung.


"Jangankan kamu, mereka saja bingung kenapa dibawa ke sini," balas Somsak. "Perempuan yang tadi ngobrol sama aku dari Moroko. Dia baru dua hari yang lalu dibawa ke sini karena enggak punya uang untuk pulang. Katanya, agen mereka ditangkap di pelabuhan Indonesia dan Thailand. Terus agen lain yang membantu kepulangan mereka, tahu-tahu malah menempatkan mereka di pulau ini dan pergi begitu saja."


"Kamu tadi enggak nanya ke perempuan itu tentang pulau ini?"


"Dia juga baru di sini dan masih kebingungan," jawab Somsak. "Aku tadi sempat mau nanya juga ke beberapa orang yang sepertinya lebih lama di sini. Sayangnya, mereka yang lebih lama di sini rata-rata tertutup dan enggak mau diajak ngobrol sama sekali. Sehabis sarapan, mereka semua banyak yang langsung kembali ke kamar mereka masing-masing seperti robot."


"Aneh sekali, kan?" ujar pria itu lagi. "Ini pulau tropis yang sangat cantik, biasanya orang-orang kayak mereka setidaknya akan berenang atau berjemur di pantai dengan hanya pakai bikini."


Melihat bagaimana Somsak tetap ceria dan berpikiran seperti biasanya, Kiya sangat yakin kalau pria itu belum tahu apa yang terjadi pada beberapa kru pesawat mereka yang tewas di pantai tadi. Meski begitu, Kiya tidak mau menjadi orang yang memberitahu Somsak tentang hal mengerikan tersebut.


"Jumlah mereka di sana banyak?" tanya Kiya lagi setelah sempat terdiam.


"Imigran-imigran tadi itu? Ya, Mereka banyak dan luar biasa cantik-cantik. Bayu dan Kevin yang paling suka dengan perempuan-perempuan cantik pasti akan sangat senang di sini."


Saat mengucapkan itu, Somsak mendadak seperti tersadar akan sesuatu dan langsung menutup mulutnya dengan cepat. Pria itu lalu menatap ke arah Kiya dengan sikap yang kini tampak canggung.


"Maaf, aku lupa kalau kamu suka sama Bayu," ujarnya kemudian. "Kamu tenang saja, sampai sekarang, aku belum kasih tahu Bayu kalau dulu aku pernah lihat kamu hampir cium dia waktu dia lagi ketiduran di ruang ganti hoki es."


"A---aku enggak ...."


Kiya baru akan menjawab Somsak, tapi ucapannya mendadak terputus. Betapa kagetnya gadis itu saat tiba-tiba melihat ada Bayu dan Kevin di sana. Dua pria itu tampak seperti baru datang dan langsung mematung di depan pintu kamar mereka. Bayu bahkan hanya terdiam sambil memandang ke arah Somsak dan Kiya, tanpa melangkah masuk sama sekali.


Hanya ketika Somsak ikut menyadari keberadaan mereka dan langsung menyapa keduanya dengan sikap yang canggung, Bayu baru bisa kembali bereaksi. Ia dan Bayu kemudian berbincang-bincang sebentar di dekat pintu, sementara Kevin langsung melangkah masuk tanpa bicara apa pun.


Kiya sendiri yang merasa sangat malu, hanya bisa terdiam seribu bahasa dengan kepala yang tertunduk ke bawah. Ia sangat yakin kalau Bayu dan Kevin tadi mendengar ucapan Somsak padanya.


"Aku hanya antar Kevin ke sini sebentar." Gadis itu mendengar Bayu berbicara pada Somsak dari arah pintu. "Sekarang aku harus langsung ke bawah lagi untuk cari cara menelepon ke Indonesia."


Kiya memandang ke arah punggung Bayu yang kembali menghilang dengan cepat dari depan pintu kamar mereka. Wajah gadis itu kini tampak pucat pasi.


Kalau dia mendengarnya, kenapa dia hanya diam saja dan sama sekali enggak nyapa aku sampai dia pergi tadi?

 

"Psst, kenapa dengan Kevin?" bisik Somsak sambil mendekat ke arah Kiya lagi. "Biasanya dia ceria, kok mendadak jadi aneh begitu?"


Kiya menoleh ke arah Kevin yang ternyata sejak tadi hanya berdiri di atas deret kasur yang ada di sana tanpa bergerak sedikit pun. Namun, gadis itu tidak bisa memberikan jawaban pada Somsak dan hanya ikut diam. 


Melihat raut wajah Kiya yang muram, Somsak pun langsung merasa bersalah. "Maaf, tadi aku enggak tahu kalau Bayu---"


"Perempuan beasiswa,"---Kevin mendadak memotong perkataan Somsak, tanpa menoleh ke arah mereka---"kamu tadi lihat apa yang terjadi ke pramugara pesawat kita. Menurut kamu, apa dia benar-benar dimakan hiu seperti yang lainnya?"


"H---hah?" Kiya mendadak merasa perutnya mual ketika mendengar Kevin kembali menyinggung soal Shinji yang tewas tidak wajar tadi.


"Di antara kami semua, kamu yang paling pintar," sambung Kevin lagi, kini sambil menoleh ke arahnya. "Apa masuk akal kalau orang sudah mencapai pantai dengan selamat, mendadak tewas dengan organ tubuh yang terburai?"


"Aku ... baru meninggalkan dua kru pesawat perempuan yang semalam bersama aku dan Bayu," ucapnya lagi dengan tatapan yang kini terlihat sangat takut bercampur syok. "Bagaimana mungkin hanya sepuluh menit setelah aku dan pilot tadi meninggalkan mereka di pantai, begitu kembali, aku sudah melihat mereka tewas dengan organ-organ tubuh yang terburai? Bagaimana mungkin?"


___


Di waktu bersamaan dengan pertemuan Gina dan Daniel

 

"Jadi, saya masih belum bisa menelepon pihak Indonesia ataupun Jepang sekarang?" tanya Bayu lima menit kemudian pada seorang petugas administrasi di lantai bawah. Wajah pria itu tampak sangat kesal dan frustrasi saat bertanya.


"Maaf, tapi jaringan kami masih belum juga selesai diperbaiki," jawab petugas dengan kantung mata hitam yang sedang tampak sibuk di mejanya tersebut. "Belakangan ini, pulau ini sering mendadak dilanda hujan deras dan badai. Karena ini pulau terpencil, penanggulangan masalah jadi lebih lambat."


"Enggak hanya jaringan, kami juga sedang mengalami masalah dengan panel surya kami," lanjut sang petugas tanpa menoleh ke arah Bayu. "Pulau ini memakai sumber listrik dari panel surya. Kalau ini enggak bisa diperbaiki cepat sebelum hujan kembali turun, maka malam ini kondisi di sini akan jadi gelap gulita lagi."


"Berapa lama biasanya hal-hal seperti ini akan mampu untuk kalian tangani?" tanya Bayu dengan tidak sabar.


Sang petugas menarik napasnya dalam-dalam dan kini menoleh ke arah Bayu. "Dalam lima tahun terakhir sejak tempat ini berdiri, ini adalah masalah pada jaringan yang terlama untuk bisa kami perbaiki. Bukan hanya Anda yang butuh untuk menelepon, kami semua sejak semalam juga butuh untuk menelepon ke luar dan kondisi kami lebih darurat."


Lima tahun? Tempat ini sudah berdiri sejak lima tahun yang lalu?

 

Bayu menatap ke arah sang petugas di depannya dengan tatapan yang menyelidik.


Kondisi darurat apa yang sebenarnya sedang mereka hadapi di sini ... yang membuat orang ini sampai menganggap kasus kematian kru pesawat kami enggak sepenting masalah mereka?

 

Melihat sang petugas mendadak mengambil setumpuk dokumen dengan tangannya, lalu berjalan tergesa-gesa dari mejanya tanpa mengacuhkannya lagi, Bayu pun terpaksa menyerah. Pria itu sudah akan menaiki tangga ke lantai dua untuk kembali ke kamarnya lagi, tetapi ia tiba-tiba menghentikan langkahnya di bawah tangga dan terdiam.


Aku belum bisa ke atas sekarang. Situasinya masih akan canggung kalau aku sekarang berhadapan dengan dia.

 

Setelah menarik napasnya, ia kemudian memutuskan untuk mengubah arah langkahnya dan berjalan ke luar. Pria itu sempat menyipitkan matanya dengan heran saat melihat cuaca di luar mendadak sudah gelap karena mendung, padahal tadi saat mereka tiba, langit masih terlihat sangat cerah.


Apa perubahan cuaca di wilayah sini memang selalu seekstrim ini?

 

Merasa bahwa situasi di sekelilingnya sedang sepi, ia lalu berjalan dengan leluasa ke arah belakang bangunan Blok Satu. Ada sebuah bangunan lainnya yang terpisah oleh deret pepohonan pantai berukuran cukup besar dari posisinya.


Berdasarkan ucapan petugas medis yang memeriksanya tadi, Bayu sangat yakin kalau bangunan yang sedang dilihatnya adalah bangunan Blok Tiga yang paling ramai. Karena itu, ia pun memutuskan untuk ke sana demi mencari informasi seputar situasi mereka saat ini.


Ia sudah berdiri di bagian bawah bangunan tersebut ketika tiba-tiba ia mendengar suara teriakan histeris dari kejauhan yang mirip dengan suara milik dua temannya, Gina dan Daniel. Mendengar teriakan mengejutkan itu, Bayu pun langsung cepat-cepat mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Ia berusaha mencari lokasi sumber suara tadi. Namun, karena ia tidak lagi mendengarkan suara-suara susulan, pria itu pun langsung berpikir kalau apa yang baru saja ia dengar dari kejauhan tadi, mungkin hanya suara angin yang kencang.


Karena itu, ia pun memutuskan untuk kembali fokus dengan tujuannya. Namun, baru saja ia akan kembali melangkah ke arah pintu masuk Blok Tiga, sesuatu mendadak melayang di atas kepalanya dan kini terjatuh ke wajahnya. Begitu ia menyentuh benda yang kini menutupi matanya tersebut, pria itu langsung melongo.


Ini ... beha perempuan?

 

"Maaf, bisa tolong ambilkan itu?" Suara seseorang yang berteriak padanya dari arah atas langsung mengagetkannya. "Aku tadi lagi ngejemur itu di dekat jendela dan mandi sebentar, tapi sepertinya angin barusan terlalu kencang dan membuat itu tertiup. Kamu bisa lempar itu ke atas sini?"


Bayu mendongak dan langsung mematung. Tak jauh dari tempatnya berdiri, ada seorang perempuan luar biasa cantik di salah satu jendela lantai dua yang terbuka lebar, sedang menatap ke arahnya. Perempuan yang tampak seperti berdarah Eropa Timur tersebut masih setengah basah dan hanya mengenakan handuk tipis untuk melilit tubuhnya saat berbicara dengan Bayu.


"Kamu di kamar nomor berapa?" tanya Bayu padanya.


"Hah?"


"Aku enggak bakal bisa lempar ini ke atas sana karena ini benda ringan," sambung Bayu. "Kamu juga enggak akan mungkin bisa turun ke bawah dengan penampilan begitu, kan?"


Setelah sempat terdiam dan mengernyitkan alis matanya ke arah Bayu, gadis itu akhirnya menjawab, "Kamar 224."


Mendengar itu, Bayu langsung mengangguk dan berjalan ke arah bagian dalam bangunan Blok Tiga yang sedikit lebih kumuh dibanding dengan bangunan Blok Satu. Begitu ia memasuki area lantai satu Blok Tiga, ia langsung melihat deret ruangan kecil seperti sel yang saling berhadap-hadapan dan banyak dihuni oleh kaum pria.


Sebagian jeruji sel di sana tertutup oleh potongan kain-kain sederhana yang sepertinya dimaksudkan untuk mencegah orang lain bisa melihat ke dalamnya. Namun, ada juga beberapa sel lainnya yang tampak lebih terbuka dan diisi oleh dua orang sekaligus.


Apa bangunan ini dulunya diperuntukkan sebagai penjara?

 

Bayu bertanya-tanya dalam hatinya sambil memandang ke arah orang-orang dari dalam sel terbuka yang langsung membalas tatapannya dengan dingin. Hampir semua yang ada di sana tampak tegang dan seperti tidak suka melihat kehadiran Bayu di wilayah mereka.


Meskipun begitu, pria itu beruntung karena ketika naik ke lantai dua, situasinya menjadi lebih menarik baginya. Dari balik beberapa jeruji sel yang terbuka, ia bisa melihat banyak perempuan asing yang cantik-cantik menatap ke arahnya dengan lebih ramah. Sebagian lainnya malah tersenyum padanya.


“Pssst!”

 

Bayu yang masih mengamati sekelilingnya, kini melihat ke arah perempuan berhanduk yang tengah menyembulkan kepalanya dari arah dalam sebuah pintu sel di depannya. Melihat sang pemilik bra di tangannya, Bayu pun langsung cepat-cepat meluncur masuk ke dalam pintu sel perempuan yang memanggilnya tersebut.


"Enggak seharusnya orang luar, apalagi laki-laki, masuk ke lantai dua tempat kami," ujar perempuan berhanduk itu dengan aksen bahasa Inggris yang unik, sambil menutup jeruji selnya dengan kain. "Apa kamu selalu sebaik ini sampai nekat masuk ke sini hanya untuk mengantarkan barang orang asing yang terjatuh?"


"Hanya kalau ada perempuan cantik yang melempar pakaian dalamnya ke muka aku," jawab Bayu sambil tersenyum. Ia melihat perempuan yang postur tubuhnya nyaris setinggi dirinya itu, kini juga ikut tersenyum.


"Ternyata ada banyak orang di Blok Tiga," ujar Bayu sambil menyodorkan pakaian dalam sang gadis ke tangannya. "Kalian semua dari mana saja?"


"Ada 40 sel di Blok Tiga, masing-masing dua puluh sel di setiap lantainya," jawab perempuan cantik tersebut sambil meraih potongan pakaian dalamnya dari tangan Bayu. "Kami dari berbagai negara dan jumlah kami di sini sekarang mungkin ... sudah hampir 80 orang."


"Kamu sendiri?" sambung perempuan tersebut sambil menatap ke arah Bayu melalui mata birunya yang menawan. "Untuk apa orang seperti kamu ada di tempat kayak begini?"


"Orang seperti aku?"


Gadis itu kemudian mengarahkan pandangannya ke arah pergelangan tangan Bayu. "Hanya orang-orang yang luar biasa kaya yang bisa memakai jam tangan semahal itu. Itu edisi terbatas, kan?"


Alih-alih menjawab pertanyaannya, Bayu malah menjulurkan tangannya. "Aku Bayu, nama kamu ...?"


"Danica," jawab gadis itu tanpa membalas uluran tangan Bayu ke arahnya.

characters of island x part 2


"Danica? Kamu dari Eropa Timur?"


"Ukraina. Kamu?"


"Indonesia," jawab Bayu. "Ehm, sebenarnya papa aku yang Indonesia, kalau mama aku orang Jepang."


Mendengar itu, Danica mendadak tersenyum geli. "Aku pernah dua tahun kerja di Indonesia dan sempat pulang sebentar untuk menemui keluarga aku di Ukraina. Tapi saat mencoba kembali masuk ke Indonesia di akhir tahun lalu, mereka malah tangkap aku. Itu yang buat aku sekarang berakhir di pulau ini."


"Kamu ... sudah hampir satu tahun di pulau ini?"


Danica mengangguk.


"Memangnya dulu kamu kerja apa di Indonesia?" tanya Bayu lagi dengan penasaran. “What were you doing in Indonesia?” 


"Menyenangkan kaum pria di atas ranjang," jawab Danica tanpa beban.


Gadis itu mendadak membuka handuknya di depan Bayu dan langsung mengenakan pakaian gantinya dengan cuek. Melihatnya telanjang, Bayu yang luar biasa kaget jelas langsung menjadi tidak fokus dan gugup.


Untuk menghindarkan matanya dari pemandangan luar biasa di depannya, ia pun langsung mengarahkan wajahnya ke arah satu tas ransel besar di lantai yang di dalamnya berisi setumpuk kayu-kayu berukuran kecil dan sangat tajam. "Itu anak panah?" tanya Bayu dengan mata menyipit. "Kenapa ada banyak sekali anak panah di tas kamu?"


Danica menoleh ke arah tas ranselnya sambil mengancing bajunya. "Di Ukraina, aku tinggal di wilayah terpencil pegunungan Karpatia. Di sana kami masih sering berburu dan memanah. Enggak banyak kerjaan di pulau ini, jadi ... sesekali aku menghabiskan waktu dengan cara membuat anak panah."


"Tapi untuk apa?" tanya Bayu lagi dengan raut masih bingung. "Memangnya kamu diperbolehkan berburu di sini sampai buat anak panah segini banyaknya?"


"Itu masih kurang," jawab Danica sambil berjalan ke arah jendelanya karena mendadak mendengar suara-suara keramaian dari luar. "Katanya ada lebih dari 200 orang di pulau ini sekarang. Aku baru membuat sekitar seratus anak panah."


Bayu langsung tertawa. "Kamu punya rencana untuk bunuh semua orang di pulau ini dengan anak panah kamu?"


"Kalau suatu saat harus," gumam Danica dengan serius sambil memandang ke arah sesuatu di kejauhan. "Sepertinya di luar lagi ada masalah. Banyak tentara yang sedang mengarah ke Blok Dua."


"Ada apa di Blok Dua?"


"Itu pusat karantina sekaligus tempat penelitian mereka," jawab Danica dengan wajah yang masih terlihat seperti tidak fokus. "Kalau mereka semua sampai ke sana dan terlihat panik, pasti ada sesuatu yang terjadi di sana barusan."


Bayu langsung menoleh dengan kaget. "Tunggu sebentar, mereka ... punya tempat penelitian di sini?"


Pria itu belum sempat mendengarkan jawaban dari Danica, tiba-tiba sebuah suara sirine alarm terdengar menggaung dari berbagai penjuru pulau tersebut. Sedemikian keras dan melengkingnya suara tersebut, sampai-sampai Bayu dan Danica serempak langsung menutup telinga mereka sambil berjongkok.


"A---ada apa ini?" teriak Bayu dengan panik ke arah Danica.


Danica langsung menggeleng. "Aku enggak tahu. Ini belum pernah terjadi sebelumnya."


Baru hampir setengah menit kemudian, alarm tersebut berhenti bersuara, dan mendadak berganti dengan bunyi gaung mikrofon yang seperti baru saja dihidupkan.


"Perhatian untuk semua penghuni pulau ini; kami mengimbau Anda untuk segera kembali ke tempat Anda masing-masing," ucap suara dari mikrofon tersebut dengan nada yang terdengar bergetar. "Sekali lagi, kami imbau Anda semua untuk segera kembali ke tempat Anda masing-masing, SECEPATNYA."


"Pastikan bahwa Anda langsung mengunci semua akses masuk ke blok kalian masing-masing setelah kalian semua berada di tempat kalian," sambung suara tersebut. "Jangan sekali pun keluar dari tempat kalian, atau bahkan sekadar membuka pintu bagi siapa pun orang luar yang berusaha memasuki tempat kalian, apa pun kondisinya."


"Kami peringatkan dengan tegas, dilarang mempersilakan orang-orang dalam kondisi terluka untuk memasuki wilayah kalian, atau berada di dekat orang-orang tertentu yang mendadak mengalami demam tinggi dan menggigil. Pengumuman ini bersifat sangat serius dan mutlak. Sampai dengan adanya pengumuman lebih lanjut dari kami, mulai detik ini, kami resmi mengisolasi pulau ini."


Suasana di sekitar Blok Tiga mendadak hening total. Namun, bukannya langsung mengikuti perintah dari petugas yang memberi pengumuman tadi, hampir semua orang di sana justru langsung berduyun-duyun turun ke bawah untuk mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi di luar.


Danica sendiri mendadak meraih sebuah busur panah besar yang tergantung di dinding kamarnya dan juga ransel berisi anak panah yang dilihat oleh Bayu lagi. Sebelum ia melangkahkan kakinya keluar, gadis itu menoleh sebentar ke belakangnya.


"Kalian orang-orang kaya biasanya bisa menembak, kan?" Ia bertanya pada Bayu dengan wajah yang terlihat gusar. "Kalau kamu bisa menembak, dengarkan saran aku baik-baik. Kalau kamu nanti melihat ada tentara yang tewas dalam kondisi masih memegang senjata, langsung ambil senjata mereka. Jangan pernah meremehkan satu senjata pun yang tidak lagi bertuan dan bisa kamu ambil dengan cepat."


Bayu yang masih berusaha untuk mencerna situasi aneh di sana, sudah akan bertanya lagi pada Danica. Namun, gadis itu mendadak langsung melenggang pergi begitu saja sambil membawa semua peralatannya.


Tentunya karena ia merasa teman-temannya ada di Blok Satu, Bayu pun langsung ikut beranjak dari tempatnya dan berlari ke luar. Melihat hampir semua orang di lantai dua bangunan Blok Tiga kini ikut berlari ke arah bawah bersamanya, ia pun lebih mempercepat langkahnya.


Satu hal yang membuatnya langsung merasa yakin bahwa ada hal sangat berbahaya yang sedang terjadi di sana ... adalah suara tembakan demi tembakan dari berbagai arah yang mendadak terdengar lebih jelas ketika ia sudah mencapai teras bawah bangunan Blok Tiga yang ramai.


Pria itu menahan napasnya dengan tegang ketika melihat situasi rusuh yang mendadak terjadi di depannya saat ini. Ia merasa seperti baru sepuluh menit saja berada di kamar Danica, tetapi kini hamparan pasir yang tadi dilewatinya untuk menuju ke Blok Tiga, mulai dipenuhi dengan tentara yang berlarian sambil terus menembakkan senjata mereka ke arah belakang.


Yang membuat semua orang di teras Blok Tiga dan juga dirinya langsung syok adalah .... jauh dari bagian belakang sana, ada segerombolan orang yang tampak pucat pasi dengan baju penuh darah, tengah berlarian mengejar siapa pun yang terdekat dari mereka.


Begitu melihat salah satu dari mereka menerjang seseorang di bagian ujung Blok Tiga dan langsung menggigit leher orang tersebut sampai nadinya terputus, Bayu tahu kalau ia sudah harus lari dari sana.


Dengan tubuh yang gemetaran dan suara teriakan dan tembakan yang terus silih berganti di telinganya, ia pun langsung mengayunkan langkahnya dengan cepat ke arah jalanan Blok Satu yang lebih sepi. Sayangnya, ia memilih jalan yang ternyata salah.


Bayu mengira tidak ada siapa pun di sana saat ia berusaha melewati deret pohon pantai yang rindang untuk secepatnya menuju ke bangunan Blok Satu. Namun, langkahnya terhenti ketika ia mendadak mendengar suara rintihan lemah dari seseorang dari balik dahan sebuah pohon yang ada di depannya.


Pria itu tahu kalau seharusnya ia tetap lari, tetapi tubuhnya refleks berusaha untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi di balik pohon tersebut. Begitu ia sampai di sana, jantung pria itu langsung terasa seperti terhenti begitu saja.


Di balik bayangan pohon yang rindang, seorang tentara tengah berjuang untuk mengulurkan tangannya ke arah Bayu dengan pandangan yang seperti memohon untuk diselamatkan. Namun, di atas tubuhnya saat itu, ada seorang pria tua kurus dengan rambut putih yang panjang tengah mengunyah bagian perutnya yang setengah terbuka dan tak berhenti mengeluarkan darah segar.


Seluruh tubuh Bayu langsung bergidik saat melihat pemandangan luar biasa mengerikan di depannya. Terlebih, saat ia kemudian melihat pria tua itu menyadari keberadaannya di sana ... dan kemudian menoleh ke arahnya dengan wajahnya yang pucat dan mulut penuh bercak darah.

Subscribe
Notify of
guest

1 Komentar
Terlama
Terbaru Vote Terbanyak
Inline Feedbacks
View all comments
Ndaaa Kyw
Member
7 months ago

Makin seru nii

error: KONTEN INI DIPROTEKSI!!!
#!trpst#trp-gettext data-trpgettextoriginal=4498#!trpen#Seraphinite Accelerator#!trpst#/trp-gettext#!trpen##!trpst#trp-gettext data-trpgettextoriginal=4499#!trpen#Optimized by #!trpst#trp-gettext data-trpgettextoriginal=4498#!trpen#Seraphinite Accelerator#!trpst#/trp-gettext#!trpen##!trpst#/trp-gettext#!trpen#
#!trpst#trp-gettext data-trpgettextoriginal=4500#!trpen#Turns on site high speed to be attractive for people and search engines.#!trpst#/trp-gettext#!trpen#