Blok Satu Pulau X, 17 November 2021, 10.05 CST (sepuluh jam sebelum sistem 'lock island' aktif)
"Apa yang kalian lakukan?! Hentikan!"
Kiya berteriak dengan keras saat melihat dua orang petugas di Blok Satu berusaha untuk menutup pintu depan bangunan itu. Beberapa menit setelah pengumuman isolasi dikumandangkan, hampir semua staf di Blok Satu tampak seperti langsung sangat terburu-buru untuk memblokade berbagai jendela dan pintu yang bisa menjadi akses keluar masuk tempat mereka.
"Tunggu sebentar! Jangan dulu tutup ini, teman saya masih di luar!" teriak Kiya lagi sambil menarik tangan salah satu petugas laki-laki yang sedang berusaha untuk memberedel pintu.
Merasa dihalangi, petugas tersebut seketika menoleh ke arah Kiya dengan mata yang melotot marah. "Kalian enggak ngerti situasi di luar sana! Sifat pengumuman tadi adalah segera! Ini artinya, Blok Satu juga harus langsung ditutup dari orang luar atau kita semua akan mati!"
Suasana di ruang lobi lantai satu mendadak hening. Kiya yang masih mencengkeram lengan petugas tersebut, Somsak yang sudah dengar cerita Kevin, dan Kevin sendiri yang masih kaku, serempak langsung mematung.
"Mati? Kami ... akan mati?" tanya Somsak yang sejak tadi masih berdiri bersama Kevin di belakang Kiya dan dua petugas yang tengah berusaha memebredel pintu. "Kenapa? Kenapa kami akan mati kalau pintu ini enggak ditutup?"
Kiya juga menatap tajam ke arah sang petugas . "Ya, kenapa kami akan mati? Apa sebenarnya yang kalian sembunyikan di pulau ini? Sejak awal, saya lihat banyak tentara di pulau ini seperti lagi siaga akan sesuatu. Orang-orang dari pesawat kami juga banyak yang langsung tewas begitu sampai di pantai pulau ini."
Suara tembakan demi tembakan dan juga jeritan histeris orang-orang yang sejak tadi terdengar dari kejauhan, kembali mengumandang. Hampir semua orang yang berada di dekat pintu lobi, kini terdiam dengan tegang sambil mendengarnya.
"Ah, brengsek!" gumam petugas tadi sambil menepis cengkeraman Kiya di lengannya. Tanpa peduli, ia lalu kembali berusaha untuk memberedel pintu Blok Satu.
"Sa---saya bilang hentikan!" teriak Kiya lagi dengan wajah yang terlihat kaget. "Teman saya masih di luar saat ini!"
"Kamu enggak dengar suara-suara di luar barusan? Kalau teman kamu memang masih di luar, kamu aja yang keluar dari sini untuk mencarinya dan jangan malah menghalangi tugas kami! Tapi ingat, sekalinya kamu memutuskan untuk keluar dari sini, kamu enggak akan lagi diterima untuk masuk ke dalam!"
Kiya ternganga. "A---apa? Kalian enggak akan buka pintu ini lagi setelah memberedelnya?"
Somsak yang mendengarnya, mendadak langsung maju dan berusaha untuk menenangkan sang petugas dan juga temannya sendiri. "Perempuan Beasiswa, tunggu sebentar, ini mungkin hanya salah paham aja. Masalah kayak gini biasanya bisa diatasi dengan sikap 'damai'."
Pria itu lalu menoleh ke arah sang petugas di depan pintu sambil merangkul bahunya. "Kawan, dengar, kami bukan orang-orang biasa. Kami semua punya banyak uang --- banyak sekali. Kamu lihat teman laki-laki saya di sana? Dia Kevin Koh, anak pemilik banyak kasino dan klub malam di Singapura. Saya sendiri anak dari seorang menteri di Thailand."
"Kamu tahu siapa tiga teman kami lainnya yang masih di luar?" lanjutnya. "Yang namanya Bayu Wiyasa adalah anak seorang anggota DPR di Indonesia yang juga punya jabatan tinggi di salah satu partai politik besar di sana. Papanya sangat berpengaruh di Indonesia. Kalau mamanya di Jepang adalah konglomerat. Kamu tahu merk mobil sangat terkenal yang pabriknya ada di hampir di seluruh dunia itu, kan?"
"Gina Lee, teman kami lainnya, dia adalah anak pemilik grup rumah sakit terkenal di Malaysia. Kalau yang namanya Daniel ... dia anak pemilik banyak hotel dan mal di Filipina. Jadi, kalau kamu bersedia nunggu tiga teman kami itu sampai mereka masuk ke sini, saya pastikan nanti kamu akan dapat banyak hadiah istimewa dari kami. Kamu ngerti, kan?"
Somsak mengedip ke arah sang petugas sambil tersenyum penuh arti. Namun, alih-alih tergoda, sang petugas malah balik tersenyum padanya. "Apa kamu tahu siapa-siapa saja pemilik tempat ini? Kawan, mereka bukan sekadar sangat kaya, mereka kaum elite global. Bahkan kalau mereka ada di pulau ini dan juga lagi ada di luar Blok Satu sekarang, saya tetap akan kunci pintu ini. Kamu paham?"
Kiya terdiam dengan dahi yang mengerut. Kaum elite global ...?
"Kamu enggak mau dapat banyak uang dari kami dan langsung pensiun aja dari pulau aneh ini?" tanya Somsak dengan bingung. "Biasanya enggak ada yang nolak dapat penawaran kayak begini dari kami!"
"Pensiun dari pulau ini? Kita bahkan belum tentu bisa keluar dari sini hidup-hidup," tambah sang petugas sambil menertawakan ide Somsak. "Lagi pula, dua di antara teman kamu tadi lagi dikarantina di Blok Dua dan tadi seharusnya masih dikunci di sel mereka masing-masing. Yang tersisa dari kalian di luar sana hanya dua orang lainnya saja!"
"Ah ya, selain Bayu juga ada Kapten Tyrell!" ucap Kiya tiba-tiba teringat. "Kenapa dari tadi dia belum juga kelihatan?"
"Setelah pemeriksaan kesehatan, dia tadi keluar untuk ngobrol sama tentara-tentara kami di depan sana. Mungkin sekarang dia lagi terlibat kondisi rusuh di luar. Kalau yang satu lagi, yang tadi mau pinjam telepon, saya enggak tahu dia ke mana. Kami enggak bisa ambil risiko nunggu mereka untuk tutup pintu ini. Kondisi di tempat ini sekarang sudah sangat bahaya."
"Tadi kamu bilang, kita mungkin enggak akan bisa keluar dari tempat ini hidup-hidup?" Kevin mendadak bersuara. "Bahaya apa yang sebenarnya ada di luar pintu ini sekarang?"
Sang petugas terdiam sejenak, sebelum kemudian membuka mulutnya lagi, "Kalau kamu mau tahu, keluar saja dan lihat sendiri. Yang jelas, kami tetap akan mengisolasi Blok Satu, sesuai instruksi melalui pengumuman tadi."
"Sampai kapan isolasi ini?"
"Saya enggak tahu," jawabnya lagi pada Kevin dengan nada mulai ketus, meski juga jujur. "Kecuali ada intervensi dari pihak luar pulau, saya enggak yakin akan bisa buka pintu ini lagi dalam waktu satu-dua hari ke depan."
"Apa kamu bilang?" Somsak mendadak bereaksi serius. "Terus, gimana dengan nasib dua teman kami yang lagi dikarantina di Blok Dua seperti kata kamu tadi?"
"Iya, kalau memang mereka dikunci, gimana nanti mereka akan makan atau minum? Ada yang akan tetap antarkan itu semua ke mereka?" tanya Kiya, menyambung ucapan Somsak.
Suasana di sana kembali hening. Namun, setelah mereka kembali mendengar suara-suara tembakan dan teriakan dari arah belakang Blok Satu, sang petugas mendadak kembali bergerak.
"Peduli setan dengan semuanya!" seru petugas itu sambil mengangkat rantai dan gemboknya lagi. "Saya akan kunci pintu ini. Kalian tinggal pilih, mau aman di sini tapi nurut sama kita, atau ke luar sana dan lepas total dari tanggung jawab kami."
"Gimana ini? Bayu dan yang lain-lain masih di luar sana," gumam Kiya ke arah dua temannya di sana dengan ekspresi yang semakin panik.
Karena melihat dua petugas di depan pintu tidak lagi menggubris mereka, Kevin mendadak mendorong pundak dari salah satu petugas itu ke samping, dan langsung membuka sisi pintu bagian kanan yang masih belum terkunci. Melihat Kevin mendadak melesat ke luar, Kiya spontan mengikutinya.
"Guys, ka---kalian mau ke mana?" teriak Somsak dari belakang. "Kalian yakin mau keluar? A---apa enggak sebaiknya kita tunggu mereka di dalam sini aja dulu?"
Pertanyaan pria itu tidak dijawab oleh Kiya dan Kevin yang kini sudah berada di area teras Blok Satu. Keduanya tampak langsung sibuk memandang ke arah kiri dan kanan mereka.
"Sialan!" desis Somsak dengan wajah mulai pucat. Meskipun takut, pria itu kemudian langsung menyusul dua temannya ke luar.
"Somsak, kamu bisa Muay Thai, kan?" tanya Kevin dengan tergesa-gesa. "Kamu lindungi Perempuan Beasiswa saja."
Somsak refleks mendelik protes. "Kamu kira hanya karena aku dari Thailand, aku sudah pasti bisa Muay Thai?"
Kevin tampak tak terpengaruh. "Kamu sama Perempuan Beasiswa cari rombongan kita ke bagian kanan belakang aja. Aku akan coba cari mereka ke sisi kiri belakang. Nanti kita semua kumpul lagi di sini."
"Ka---kamu nekat sendirian?" Somsak melongo. "Bukannya tadi kamu masih syok berat dan enggak peduli apa pun?"
"Di mana nanti kita akan kumpul lagi kalau mereka sudah tutup pintu Blok Satu?" tanya Kiya, mengacuhkan ucapan Somsak.
"Kita akan paksa mereka buka lagi pintu Blok Satu, apa pun caranya," jawab Kevin.
Sebelum Kiya dan Somsak bertanya lagi padanya, pria itu tiba-tiba sudah langsung melesat ke sisi kiri teras Blok Satu, dan kemudian menghilang ke bagian belakang. Somsak sendiri baru akan menarik napas untuk menyiapkan mentalnya. Namun baru meleng satu menit, mendadak ia melihat Kiya juga sudah menghilang dari sisi kanannya, dan meninggalkannya sendirian.
Di Blok Dua (sisi kanan belakang Penjara X)
"Gina sadar! Kita harus cepat keluar dari sini. Kamu jangan diam terus kayak 'gitu!" Gina yang masih berjongkok di lantai sebuah ruangan kecil dengan tubuh yang gemetaran, kini mendongak ke arah Daniel, temannya. Ia sejak tadi masih terus menangis ketakutan karena mendengar suara-suara tembakan dan juga teriakan-teriakan pilu dari arah luar Blok Dua.
"Di luar sudah sepi," sambung Daniel sambil mengintip ke arah luar pintu ruangan administrasi di lantai satu bangunan itu. "Mereka semua sudah enggak ada di sini lagi. Jadi, kita sudah aman sekarang."
"Ke---kenapa kita harus keluar? Kamu lihat sendiri makhluk yang kita lihat di ruang bawah tanah mereka tadi. Orang itu ... memakan bola mata dua petugas di sana. Di---dia bukan manusia. Dia mirip kayak sosok yang aku lihat menyerang Shinji subuh tadi di pantai."
Daniel bergidik ngeri saat kembali teringat dengan apa yang terjadi padanya dan Gina saat keduanya masih ada di lorong sel bawah tanah Blok Dua. Ia luar biasa syok saat melihat sebuah sosok mengerikan, mendadak meremuk mata dua petugas di sana dan kemudian menelan bola mata mereka. Meski takut, saat itu ia memutuskan untuk segera mengambil kunci sel dari saku dua petugas yang bersimbah darah tersebut dan langsung membebaskan Gina.
Daniel ingat jelas kalau ia sudah melempar lagi kunci itu jauh-jauh dari sel makhluk mengerikan tersebut, dan kemudian membawa Gina lari ke atas. Namun entah bagaimana, situasi aneh terjadi di sana tak lama setelahnya.
Saat sudah mencapai tangga teratas dan akan kabur, ia dan Gina tiba-tiba mendengar ada suara langkah mendekat ke arah mereka. Karena takut ketahuan dan kembali dibawa ke bawah, ia lalu menarik tangan Gina untuk masuk ke sebuah pintu di ujung tangga. Namun, belum sampai lima belas menit setelah bersembunyi di dalamnya, ia dan Gina kembali mendengar suara-suara langkah. Hanya saja, kali ini suara derap langkah-langkah tersebut berujung dengan jeritan-jeritan.
Betapa kagetnya pria itu saat mengintip ke luar pintu, ia melihat situasi di luar sudah berubah jadi mengerikan dalam sekejap. Banyak petugas di Blok Dua yang tahu-tahu sudah tergeletak di lantai dalam kondisi berdarah karena luka-luka robekan atau cabikan di tubuhnya. Sebagian dari mereka masih terdengar meraung kesakitan, sementara sebagian lainnya bahkan sudah tidak lagi terlihat bergerak.
Karena mendadak juga terdengar suara-suara tembakan dari bagian teras Blok Dua, Daniel yang takut pun kemudian memutuskan untuk langsung menutup kembali pintu ruangan tempatnya dan Gina bersembunyi, lalu menguncinya dari dalam. Baru setelah kondisi di luar pintu mereka agak sepi, Daniel berani membuka lagi pintu itu.
Sayangnya, Gina sudah telanjur takut untuk berdiri dari tempatnya dan keluar. Meski Daniel sudah membujuknya untuk segera kabur dari Blok Dua, gadis itu terus saja berjongkok ketakutan di bawah meja.
"Gina, kita sudah harus keluar sebelum mereka semua yang normal nutup pintu mereka bagi kita," ucap Daniel lagi sambil mengurut pelipisnya dengan frustrasi. "Kamu dengar kan pengumuman tadi? Mereka semua diminta masuk ke tempat mereka masing-masing dan langsung mengunci diri. Mungkin akan bahaya kalau kita terus bertahan di area rawan kayak begini."
"Justru karena dengar pengumuman tadi aku jadi lebih takut," sahut Gina dengan pita suara yang bergetar. "Pulau ini diisolasi karena pasti ada sesuatu yang lagi terjadi di luar sana. Mungkin akan lebih bahaya bagi kita kalau kita nekat keluar dari ruangan ini, Daniel. Aku rasa---"
"Kita harus berani ambil pilihan. Kamu mau terus sembunyi di sini dan mati tanpa makanan dan minuman?" potong Daniel sambil mencengkeram bahu gadis itu. "Kita harus cepat cari tempat yang aman. Kamu bilang tadi ... ada Bayu dan Perempuan Beasiswa juga di sini, kan? Setidaknya, kita harus cari mereka dan juga Somsak supaya kita bisa cari solusi bersama dibanding hanya sendirian di sini tanpa tahu apa pun."
Melihat Gina mendadak terdiam, Daniel kemudian melepaskan cengkeramannya dari bahu temannya itu. "Aku juga takut, tapi terus sembunyi di sini bukan pilihan yang bagus. Lagi pula, suara-suara tembakan itu sudah semakin jauh dari sini, jadi ... pasti sudah enggak ada siapa-siapa lagi di tempat ini. Kita harus keluar mumpung di sini sepi, Gina."
"Apa kita yang menyebabkan semua ini?" tanya Gina, memecah keheningan yang sempat tercipta di antara dirinya dan Daniel. "Setelah kita kabur dari bawah tadi, mendadak suasana di luar jadi rusuh. Dua petugas di bawah tadi juga sepertinya ...."
Daniel langsung menggeleng. "Bukan karena kita. Enggak mungkin karena kita. Sejak awal, mereka yang enggak kasih tahu kenapa mereka kurung kita di ruang bawah tanah dan ada apa dengan pulau aneh ini. Kita enggak salah apa pun."
"Tapi semua keributan tadi bermula dari arah tangga menuju ruang bawah tanah," ujar Gina lagi. "Apa ini ada kaitannya dengan makhluk di bawah tadi? Apa mungkin dia juga kabur?"
Daniel tidak lagi menjawab Gina. Pria itu malah memutuskan untuk langsung mengangkat pundak Gina dari lantai di bawah meja.
"Kamu dalam kondisi demam dan butuh obat," ujarnya lagi setelah menyentuh kulit tubuh Gina yang terasa panas di tangannya. "Setidaknya kalau ada di sekitar orang-orang normal kayak teman-teman kita, kita akan ngerasa lebih aman. Mungkin saja Perempuan Beasiswa bawa paracetamol yang bagus untuk kamu saat ini. Dia tipe perempuan berkantong ajaib, kan?"
"Tapi di luar sana ...."
Gina belum sempat menyelesaikan kalimatnya, tapi Daniel mendadak langsung menarik tangannya untuk menuju keluar. Begitu temannya itu membuka pintu persembunyian mereka, gadis itu langsung merasa kedua tungkai kakinya seketika kembali melemah.
Sama seperti apa yang tadi sempat diintip oleh Daniel, ia melihat banyak petugas Blok Dua yang sudah dalam kondisi tak bergerak di lantai. Gina bahkan bisa melihat percikan-percikan darah kini menempel di sisi-sisi dinding area tersebut.
"Ini yang kamu mau?" gumam Daniel sambil ikut memandangi kondisi mengerikan di depan mereka dengan tampang suram. "Kamu mau terus sembunyi di sini setelah melihat ini semua? Mereka semua aja sudah mati, siapa yang nanti akan bisa menolong kita di sini?"
Gina tidak menjawabnya. Namun, kepalanya kini menoleh ke arah tangga ke ruang bawah tanah di sebelah kirinya yang gelap.
"Da---daniel," ucapnya sambil menarik lengan baju sang pria, "se---sepertinya ada orang yang terluka di bawah sana. Aku dengar seseorang mengerang."
Daniel berhenti bergerak. Ia lalu ikut menoleh ke arah tangga yang gelap tersebut dan memandang ke arah sumber suara rintihan di sana dengan mata yang memicing.
Begitu bayangan samar di tangga tersebut bergerak semakin naik dan kini berdiri di tangga teratas, baik Gina dan Daniel serempak langsung terkejut. Tak jauh dari depan mereka, muncul seseorang dengan kondisi mata yang terpejam dan berlumuran darah.
"Pe---petugas yang di bawah tadi?" bisik Gina ke arah Daniel dengan bola mata yang terbelalak.
"Enggak masuk akal," gumam Daniel dengan raut wajah yang sama kagetnya dengan Gina. "Dia masih bisa bertahan hidup dengan darah yang keluar sebanyak itu dari matanya? Aku kira mereka tadi sudah mati."
Melihat orang tersebut kembali merintih, Gina refleks bergerak maju untuk membantunya. Namun, sebelum ia melangkah lebih jauh, tangan Daniel mendadak menahannya dari belakang.
"Gina, tunggu sebentar," ujar Daniel dengan alis mata yang mengernyit. "Orang itu sepertinya bukan sedang merintih kesakitan. Dia menggeram."
"Hah?"
"Dia menggeram!" ulang Daniel setelah lebih yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. Namun, karena suara Daniel kali ini sedikit lebih keras, sosok petugas medis di atas tangga tersebut kini mendongak ke arah mereka.
Hanya dalam hitungan satu detik saja setelah itu, sang petugas mendadak berlari ke arah Daniel. Gina yang posisinya paling depan, jelas langsung menjerit kaget ketika melihat sosok tersebut membuka matanya yang kosong. Karena suara jeritannya itu, sang petugas medis kini malah memilih untuk langsung melompat ke arahnya.
Baik Gina dan petugas medis itu kini sama-sama terbanting ke lantai dengan posisi tubuh yang bertindihan. Namun, sebelum petugas medis tersebut mampu mengggigit bahu Gina, Daniel dengan cepat langsung menghantam kepalanya dengan sebuah vas bunga dari meja terdekat.
Kesempatan itu langsung diambil oleh Gina dengan segera mendorong tubuh sang petugas medis ke sampingnya. Dengan kaki yang kini kembali bergetar, ia lalu mengangkat tubuhnya, dan segera menarik lengan baju Daniel untuk menjauh dari sana.
"Lari!" teriak gadis itu dengan panik. "Kita harus cepat lari dari sini!"
Di belakang Blok Satu (sisi kanan depan Penjara X)
Suara gemuruh langit menggelegar bersamaan dengan suara tembakan-tembakan yang semakin terdengar mendekat. Bayu masih berdiri mematung di tempatnya tanpa bisa menggerakkan tubuhnya. Pandangannya terpaku pada sosok pria tua berambut putih panjang di depannya, dan juga pada seorang tentara yang sekarat di bawah tubuh sang pria tua.
Melihat bagaimana pria tua itu kini berdiri secara perlahan dari tempatnya sambil menatap ke arahnya, jantung Bayu langsung berdegup kencang. Otaknya berteriak memerintahkannya untuk segera lari, tetapi yang terjadi, ia justru jatuh terduduk di atas pasir dengan posisi badan yang masih menghadap ke arah yang sama.
Kini, Bayu melihat sang pria tua melangkah mendekat ke arahnya. Bau amis darah tercium sangat menyengat di hidung Bayu saat sosok tersebut akhirnya berdiri di hadapannya. Namun saking takutnya, ia bahkan tidak bisa merasa mual karenanya, dan hanya terus mematung ke arah sang pria tua yang mulutnya dipenuhi dengan darah segar itu.
Baru saja pria tua itu akan mengarahkan tangannya yang pucat dan kurus ke wajah Bayu, sesuatu mendadak terjadi. Sebuah batu berukuran sedang mendadak terlempar ke arah kepala sang pria tua dan langsung menghantam wajahnya dengan keras. Pria tua itu kini mundur terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi wajahnya sendiri.
Seperti baru tersadar akan situasinya, Bayu secara refleks langsung menoleh ke arah belakangnya sendiri. "Pe---perempuan beasiswa?"
"Lari, bodoh!" teriak Kiya dengan histeris ke arah Bayu yang masih terpekur di atas pasir. "Kenapa kamu malah bengong aja di sana?! Kamu mau mati?!"
Melihat Kiya mendadak muncul di sana dengan kondisi tubuh yang sudah basah dengan keringat, Bayu langsung berusaha untuk bangkit. Sayangnya, di saat yang bersamaan, sang pria tua juga tersadar akan perubahan situasi di sana. Melihat Bayu sudah akan kabur darinya, tangannya dengan cepat langsung menarik bagian belakang baju Bayu, sebelum kemudian ia menghempaskan tubuh teman Kiya tersebut ke atas pasir lagi.
Ia sudah akan melompat ke arah Bayu, tetapi langkahnya langsung terhenti saat ia melihat sebuah anak panah tiba-tiba melesat melewati bagian depan hidungnya, dan kini menancap di salah satu batang pohon kecil yang tak jauh darinya. Sang pria tua mencoba bergerak sekali lagi. Namun, satu anak panah lainnya kembali melesat dari arah kanannya, dan berhasil menancap di bahunya.
Pria tua itu kini menatap ke arah sosok seorang perempuan yang tampak muncul dari arah Blok Tiga sambil berlari mengangkat busur panahnya. Entah bagaimana, setelah beberapa detik terdiam sambil memandang ke arah wanita itu, ia mendadak memutuskan untuk melangkah mundur, dan kemudian berlari menghilang di balik bayangan pepohonan yang gelap.
"Ambil senjata tentara itu!" teriak perempuan, yang ternyata adalah Danica tadi, ke arah Bayu. "Cepat ambil!"
Baik Bayu --- dan juga Kiya yang kebetulan ada di sana --- seketika menatap dengan bingung ke arah Danica yang tampak masih berlari panik ke arah mereka. Namun, pertanyaan di benak keduanya langsung terjawab di beberapa detik setelahnya. Segerombolan orang dengan kondisi baju yang penuh dengan darah, muncul dari arah sudut gelap pepohonan di belakang Danica. Mereka semua ternyata sejak tadi tengah mengejar gadis Ukraina tersebut.
Panik, Bayu lalu berdiri dari tempatnya dan langsung berlari ke arah tentara yang sekarat tadi. Tangannya bergetar saat ia terpaksa harus merebut senapan serbu Karabin M4 yang masih ada dalam genggaman sang tentara.
"Maaf," ucap pria itu pada tentara tersebut, sambil berusaha untuk tidak melihat ke arah perut sang tentara yang sudah setengah terbuka. "Maafkan saya karena harus mengambil ini."
Pria itu lalu berbalik untuk segera menyelamatkan Danica. Namun saat ia melakukannya, bola matanya langsung beralih fokus ke titik lainnya. Ia melihat sosok makhluk mengerikan lainnya, tiba-tiba muncul dari arah yang berlawanan, dan langsung berusaha untuk menyerang Kiya.
Menyadari hal yang sama dengan Bayu, Kiya seketika menjerit. Sambil berusaha untuk lari, ia melirik ke arah Bayu yang kini sudah memegang senjata di tangannya.
"Ba---bayu, tolong aku!" teriak gadis itu dengan suara yang bergetar. "Tolong aku!"
Sayangnya, beberapa detik kemudian, Bayu justru mengambil tindakan yang di luar dari perkiraannya. Pria itu memang mulai membidikkan senjatanya. Hanya saja, ia memutuskan untuk menyelamatkan Danica dibanding diri Kiya.
Kiya oh Kiya udah bagus di blok 1 malah mau jadi tumbal. Hadeeh..
Kiya oh Kiya udah bagus di blok 1 malah mau jadi tumbal
Di chicken dinner mbak Danica ini masih ada tapi Bayu Kiya Somsak Kevin Gina dn Daniel udah gak ada, apa mereka selamat atau terbunuh?