Beberapa saat sebelumnya
"What the ...? Makhluk apa ini? Tolong! TOLONG AKU!!!"
Somsak, di atas sebuah pohon, menjerit dengan histeris. Tadi saat ditinggalkan oleh Kiya dan Kevin, ia langsung mengambil sisi kanan belakang bangunan Blok Satu sesuai anjuran Kevin. Namun, karena mengira Kiya tidak mungkin akan mengambil rute pepohonan yang terlihat gelap, pria itu dengan percaya dirinya langsung mengambil rute lain yang lebih besar dan terang.
Siapa sangka kalau begitu mengambil rute itu, ia sudah langsung dihadapkan dengan situasi yang mengerikan. Tidak saja melihat banyak tentara yang tergeletak dalam kondisi mengenaskan di rutenya, dari kejauhan, ia juga melihat beberapa makhluk-makhluk aneh berkeliaran dengan darah di bagian mulutnya.
Di depannya persis tadi, Somsak sempat melihat salah satu dari tentara sedang merintih kesakitan akibat terluka. Karena khawatir, ia lalu mendekati sang tentara dan menanyakan kondisinya. Sayangnya, entah bagaimana, Somsak justru berakhir dengan dikejar-kejar oleh sang tentara sampai ia harus terbirit-birit memanjat ke atas pohon saking ketakutannya.
"P---pak Tentara, tolong pergi dari saya!" teriak Somsak lagi sambil memukul-mukul kepala sang tentara dari bagian atas pohon dengan ranting kecil di tangannya. "KIta enggak pernah punya dendam pribadi sebelumnya, kan? Tolong pergi dari saya!"
Rupanya Somsak berharap terlalu banyak. Bukannya berhasil mengusir tentara aneh tersebut, sepatu Somsak kini malah berhasil ditarik sampai terlepas oleh sang tentara di bawahnya. Melihat tentara tersebut langsung menggigit sepatunya, Somsak pun mulai sadar kalau ada yang tidak beres dengan sang tentara berwajah pucat.
Karena luar biasa panik, ia langsung berusaha untuk memanjat lebih ke atas lagi. Sayangnya, pria itu justru nyaris terpeleset jatuh ke bawah saat melakukannya, dan membuat sang tentara kini merenggut bagian ujung celananya kuat-kuat. Saking syok dan ketakutannya, Somsak secara refleks langsung cepat-cepat melepaskan celana longgarnya tersebut.
"Ambil itu kalau Bapak memang mau!" teriak pria yang kini hanya mengenakan celana dalam saja di bawah pinggangnya itu dengan histeris. "Itu hanya celana murahan dari petugas medis di sini tadi. Kalau Bapak memang koleksi celana dan sepatu orang, seharusnya Bapak bilang aja dari tadi! Saya bisa belikan Bapak banyak celana dan sepatu kalau Bapak bersedia pergi jauh-jauh dulu dari saya!"
Melihat sang tentara mendadak membuang celananya dan kini melotot ke arahnya, Somsak seketika menggeleng dengan wajah pucat. "Enggak ... enggak, saya enggak bakal biarin Bapak ambil celana dalam saya juga. Ini merk Calvin Klein!"
"To---tolong!" jerit Somsak, kini dengan nada lebih panik, sambil berusaha untuk memanjat lebih ke atas lagi. "Siapa pun, tolong saya! Ada makhluk aneh di sini!"
Somsak sudah berteriak putus asa dengan oktaf tertinggi. Sayangnya, dalam usahanya untuk menyelamatkan dirinya, pria malang itu malah menginjak sebuah dahan lebih kecil di atasnya yang langsung patah dan membuatnya seketika kehilangan keseimbangan. Hanya dalam sedetik setelahnya, ia terjatuh dari atas pohon dan langsung mendarat di permukaan pasir dalam kondisi tengkurap.
Karena tahu kalau ia berada dalam bahaya besar, pria asal Thailand itu langsung berusaha untuk berdiri lagi tanpa membiarkan dirinya sempat mengaduh kesakitan. Namun, dengan gerakan yang luar biasa kilat, sang tentara tadi langsung meraih bagian belakang baju Somsak yang sudah akan kabur darinya. Akibat hal tersebut, baju Somsak seketika robek besar.
Merasa syok berat, pria itu langsung cepat-cepat berlari sambil melepaskan baju yang telah robek-robek di badannya, sebelum kemudian melemparkan bajunya itu ke wajah sang tentara yang mengejarnya dengan jengkel.
"Apa yang salah dengan kamu, hah?!" jerit Somsak dengan nada frustrasi. "Kenapa kamu terobsesi dengan semua pakaian yang saya pakai?!"
Pria yang kini hanya berbalut selembar celana dalam itu terus berusaha berlari sambil menjerit-jerit histeris. Namun, sang tentara tampak tidak terpengaruh dengan ratapan Somsak dan tetap ngotot mengejarnya. Untungnya, saat Somsak sudah hanya tersisa satu jengkal saja dari tentara di belakangnya tersebut, sebuah suara tembakan keras mendadak terdengar mendesing sampai ke belakang kepalanya.
Somsak yang kaget, seketika berhenti berlari dan langsung menoleh ke belakangnya. Betapa terkejutnya pria itu saat melihat sang tentara yang mengejarnya, kini sudah roboh dalam kondisi kepala yang tertembak.
"Kamu baik-baik saja?" teriak seseorang, mendadak muncul dari sisi kiri Somsak.
Begitu Somsak menoleh, ia melihat kapten pesawat jet yang ia dan teman-temannya sewa, Tyrell, datang mendekat padanya sambil memegang sebuah senjata berlaras panjang.
"Ka---kapten?" ucap Somsak dengan nada kaget ke arah sang kapten yang membawa ransel besar di punggungnya. "Barusan itu ...?"
"Hati-hati, ada wabah virus yang sepertinya lagi menyebar di sini," ujar Tyrell dengan cepat sambil tetap mengamati sekelilingnya dengan sikap waspada. "Mereka yang terinfeksi kayaknya berubah jadi pemakan sesama manusia dan anggap kita sebagai mangsa mereka."
Somsak terbelalak. "Ma---mangsa?"
Alih-alih menjawab, Tyrell malah langsung berjongkok di dekat mayat sang tentara yang ia tembak tadi. Tangan pria itu lalu terlihat merogoh bagian dalam saku baju sang tentara yang tewas, dan kemudian mengambil stok peluru yang ada di dalamnya.
"Kita harus mengumpulkan sebanyak mungkin peluru atau senjata untuk melindungi diri kita," tukas Tyrell pada Somsak yang terlihat seperti masih kebingungan. "Kamu dan teman-teman kamu bisa menggunakan senjata api?"
Somsak perlahan menggeleng. "Saya enggak suka dengan suara ledakannya. Di antara kami, Kevin yang paling mahir menggunakan senjata api karena latar belakang keluarganya yang agak keras. Bayu juga lumayan mahir, tapi dia lebih jago soal bela diri. Sejak kecil dia dilatih Karate dan Krav Maga."
"Krav Maga? Menarik," komentar Tyrell sambil tersenyum. "Kamu sendiri?"
Somsak langsung menggaruk kepalanya sendiri. "Mmh, saya juga enggak bisa bela diri, tapi saya terbiasa main hoki es dan dart."
"Permainan dart yang melempar anak panah kecil ke sasaran?" tanya Tyrell tanpa meledeknya.
Pria itu kemudian memutuskan untuk merogoh baju tentara tadi lagi, lalu mengambil sebilah pisau dari pinggang tentara tersebut dan langsung melemparnya ke arah kaki Somsak. "Kalau 'gitu, gunakan ini sebagai pengganti anak panah."
"Hah? Pisau?"
Baru saja Somsak memungut pisau tersebut, ia mendadak mendengar suara jeritan melengking dari arah belakang Blok Satu. Tahu siapa pemilik suara yang baru saja berteriak, ia pun langsung menoleh ke arah Tyrell.
"Kapten, itu suara Perempuan Beasiswa," ucap Somsak dengan nada tegang. Ia lalu mengerutkan dahinya. "Apa mungkin Perempuan Beasiswa tadi masuk ke wilayah pohon-pohon yang gelap di sana?"
"Perempuan Beasiswa?" tanya Tyrell dengan bingung. "Maksud kamu, Kiyati ... salah satu dari rombongan pesawat kita?"
Melihat Somsak mengangguk, Tyrell seketika berlari ke arah yang disebut oleh Somsak tadi dengan langsung diikuti oleh Somsak sendiri. Betapa kagetnya mereka saat sudah menembus area pepohonan rindang di belakang Blok Satu, mereka melihat perempuan yang dimaksud Somsak tengah menghadapi kondisi serius.
Kiya ada di sana, dalam kondisi terlentang di atas pasir, sambil berusaha untuk menahan wajah seorang tentara yang tengah berusaha untuk menggigitnya dari atas tubuhnya. Tak jauh dari posisi Kiya, ada Bayu dan seorang perempuan tak dikenal yang juga terlihat sedang berada dalam masalah besar. Keduanya tengah berjuang untuk menjatuhkan beberapa makhluk aneh sekaligus yang sedang berlari mendekati mereka.
Bola mata Somsak terbelalak melihat Kiya tengah berjuang seorang diri dengan kondisi yang paling tidak menguntungkan. Karena kasihan melihat baju Kiran yang juga sudah sampai sobek, Somsak tanpa sadar langsung bergerak maju dan berteriak ke arah sang tentara.
"Kanibal brengsek! Apa kalian semua memang selalu terobsesi dengan pakaian orang?!"
Mendengar suara Somsak, sang tentara mendadak menoleh ke arahnya. Pada dasarnya saat berteriak, Somsak tidak siap dengan risikonya sendiri. Namun, melihat sang tentara kini berbalik ke arahnya, Somsak yang mendadak takut langsung melemparkan pisau dari tangannya ke arah sang tentara dengan kecepatan penuh.
Betapa kagetnya Somsak saat melihat pisau yang dilemparkannya melesat menembus mata sang tentara sampai ke bagian dalam kepalanya. Mengira kalau ia sudah membunuh seseorang karena melihat sang tentara tumbang, Somsak seketika jatuh terduduk di tempatnya.
"Di---dia mati? A---aku membunuhnya?" ucap Somsak dengan tubuh yang mendadak gemetaran.
Tyrell yang kini ada di sebelah Somsak hanya menepuk-nepuk sekilas pundak pria yang terlihat syok tersebut. Sang kapten pilot kemudian berlari ke arah Kiya dan langsung membantu gadis yang tengah menangis ketakutan itu untuk duduk dan menenangkannya sebentar.
Setelah melakukannya, Tyrell lalu langsung menuju ke titik darurat lainnya dan bergabung dengan Bayu yang tampak seperti tengah kehilangan fokus, dan perempuan di sebelahnya, Danica, yang terlihat seperti sedang dilanda panik.
"Kenapa dengan kamu?!" bentak Danica pada Bayu sambil tetap mengarahkan panahnya ke gerombolan makhluk yang sudah sangat dekat dengan mereka. "Kamu sudah memegang senjata, tapi kenapa dari tadi kamu malah enggak menembak dan enggak bantu aku sama sekali?!"
"Mental block," sambar Tyrell yang mendadak muncul dari belakang punggung Danica.
Begitu sudah berdiri di posisi terdepan, pria itu langsung menembakkan senjata di tangannya ke arah makhluk-makhluk yang sudah akan melompat ke arah Bayu dan Danica tadi. Baru ketika ia sudah selesai menembak jatuh semua makhluk mengerikan tersebut, ia kembali menoleh ke arah Danica yang tampak masih bengong melihat kehadirannya yang mendadak di sana.
"Mental block sering dialami sama mereka yang sebenarnya mampu untuk melakukan sesuatu, tapi tiba-tiba kehilangan kemampuan mereka karena tekanan tinggi atau stres akibat kondisi mengagetkan yang mendadak terjadi padanya," sambung Tyrell sambil menatap ke arah Danica yang dibanjiri dengan keringat.
"Temannya yang bernama Kevin juga tadi mengalami situasi yang mirip," kata Tyrell lagi sambil menggerakkan ujung kepalanya ke arah Bayu. "Kevin mengalami disosiasi mental karena syok melihat orang-orang di sekitarnya mendadak tewas secara mengenaskan. Saya sering lihat hal-hal seperti ini terjadi ke satu dua orang saat saya dulu masih jadi bagian dari tentara Amerika."
Danica kini melirik lagi ke arah Bayu yang ternyata sedang memandang ke arah Kiya dengan raut wajah yang seperti sedang merasa sangat bersalah. Melihat ada mayat seorang tentara di dekat Kiya, Danica langsung menoleh lagi ke arah Tyrell.
"Saya belum pernah lihat Anda sebelumnya di sini," ujar Danica sambil menatap tajam ke arah Tyrell. "Melihat baju Anda, sepertinya Anda bukan tentara baru di sini."
"Saya Tyrell," jawab Tyrell sambil memperbaiki letak ransel besar yang melekat di punggungnya. "Saya kapten pesawat jet mereka yang kebetulan dulu pernah bergabung di Angkatan Udara Amerika."
Pria itu lalu melirik ke arah busur panah besar di tangan Danica. Namun dibanding bertanya soal itu, Tyrell malah langsung berbalik dan berlari lagi ke arah Kiya yang masih terduduk dengan syok di atas pasir --- sama syoknya dengan Somsak yang juga masih melongo memandangi mayat tentara yang tewas karena pisaunya.
"Kamu enggak apa-apa?" tanya Tyrell pada Kiya yang masih terlihat gemetaran.
Alih-alih langsung menjawab pertanyaan Tyrell, gadis itu kini malah menoleh ke arah Bayu yang juga mendekat ke arahnya bersama dengan Danica. Secara mengejutkan, sang gadis mendadak meraup segenggam pasir dari samping tubuhnya dan tiba-tiba melemparkannya ke wajah Bayu.
"Kamu tahu benar kalau tadi aku dalam kondisi lebih genting!" teriak Kiya ke arah Bayu dengan bola mata yang berkaca-kaca karena emosi. "Kamu dengar tadi aku sudah minta tolong ke kamu! Kamu lihat makhluk itu sudah akan 'nyerang aku!!!"
Bayu tidak bereaksi. Ia hanya terdiam sambil mengusap perlahan wajahnya yang terkena pasir. Melihat pria itu tidak bersuara, Kiya langsung berdiri dari tempatnya dengan ekspresi yang masih penuh kemarahan.
"Aku 'nyesal tadi sudah khawatir sama kamu," desis Kiya, mendadak dalam bahasa Indonesia. "Aku kira, karena selama ini kamu serba mampu dan kita sama-sama dari Indonesia, kamu akan bisa bawa aku dan yang lainnya pergi dari pulau aneh ini. Itu makanya aku sampai nekat keluar dari Blok Satu untuk pastikan kamu selamat."
"Ternyata," sambung gadis itu dengan air mata yang menetes, "aku salah anggap kamu sebagai harapan terbesar aku. Seperti biasanya, Bayu, kamu hanya orang brengsek egois yang enggak peduli apa pun selain kepentingan pribadi kamu!"
Dengan wajah yang memerah karena murka, Kiya lalu segera berjalan meninggalkan mereka semua untuk menuju ke arah bangunan Blok Satu lagi. Melihatnya sendirian, Tyrell kemudian langsung mengikuti Kiya untuk melindunginya.
Danica sendiri hanya menatap prihatin ke arah Bayu yang tampak terpukul. Namun, mengingat mereka tidak punya banyak waktu di sana, ia langsung menggiring Bayu dan membawanya mendekat ke arah Somsak. Begitu tiba di depan Somsak, gadis itu secara mengejutkan langsung menampar wajah pria asal Thailand itu dengan keras.
"Sadarlah!" ucapnya dengan galak ke arah pria malang yang penampilannya nyaris bugil tersebut. "Kita harus cepat cari tempat berlindung sebelum mereka menemukan kita dan menyerang kita lagi!"
Somsak yang baru kembali tersadar akan situasinya, langsung ternganga menatap wajah cantik Danica yang baru saja menamparnya. Dengan sikap yang sigap, pria itu mendadak langsung berdiri lagi dan refleks mengekor langkah Danica menuju ke Blok Satu.
"Tu---tunggu sebentar, kamu siapa?" tanya Somsak pada Danica dengan wajah penasaran. "Kamu ... orang dari Blok Tiga?"
Danica yang ditanya hanya melirik sekilas ke arah Somsak. "Dibanding ajak aku 'ngobrol, sebaiknya kamu cepat-cepat cari baju dulu untuk nutupi 'onderdil' kamu. Angin di sini makin kencang, artinya sebentar lagi akan hujan deras. Kamu enggak takut akan kedinginan nanti kalau berpenampilan vulgar begitu?"
Somsak yang baru tersadar kalau ia masih berkeliaran dengan hanya memakai celana dalam, refleks menutupi area dadanya dengan kedua tangannya sendiri. Karena merasa tidak berhasil untuk juga menutupi 'onderdil' di bagian bawah tubuhnya, pria itu pun kemudian meraup semak-semak yang terdekat darinya, dan kemudian berjalan sambil menyelipkan semak-semak itu di area selangkangannya.
"Mereka enggak mau buka pintu ini untuk kita!" teriak Tyrell dari depan pintu Blok Satu, begitu melihat Somsak dan yang lainnya juga sudah tiba di sana. "Pintu ini sudah diblokade dari dalam, begitu juga dengan semua jendela di sekitar lantai satu. Sekarang, kita enggak bisa masuk ke dalam sama sekali."
Mendengar itu, Danica langsung menghela napasnya. "Blok Tiga pasti juga sudah dikunci karena banyak yang tewas di sana tadi. Saya tadi dari sana."
"Ada tempat lainnya untuk berlindung di sini?" tanya Tyrell sambil mendongak ke arah langit yang mendadak menurunkan gerimis.
"Blok Empat paling bahaya," kata Danica sambil terlihat berpikir. "Apa mungkin kita harus ke Blok Dua? Itu tempat penelitian mereka."
Tyrell menggeleng. "Blok Dua justru adalah sumber masalah di sini."
Danica seketika mengernyitkan alis matanya. "Bagaimana Anda bisa tahu?"
"Saya tadi sedang bersama dengan beberapa orang tentara di kamp militer mereka sebelum kerusuhan di sini tadi pecah," jawab Tyrell. "Saya sempat dengar dari radio genggam mereka tadi kalau ada kebocoran di Blok Dua penjara ini. Katanya, ada pihak yang sengaja membuka pintu ruang-ruang sel observasi khusus di ruang bawah tanah Blok Dua dan melepas semua yang ada di dalamnya."
"Ada pihak yang sengaja buka pintu sel ruang bawah tanah mereka?" gumam Danica dengan ekspresi terkejut. "Itu tempat di mana mereka biasanya lakukan pengamatan sementara ke orang-orang yang mereka curigai, atau memang terdeteksi sudah terinfeksi virus pemangsa. Sangat aneh kalau ada orang yang nekat membukanya dengan sengaja untuk melepas semua orang yang ada di dalam sel sana."
Tyrell mengerutkan dahinya. "Semua orang di penjara ini tahu apa yang terjadi di sini seperti kamu?"
Danica menggeleng. "Enggak ada yang tahu, tapi besar kemungkinan banyak orang di Blok Tiga yang sudah curiga tentang ini. Satu per satu dari mereka selama ini sering menghilang secara misterius dan enggak pernah kembali lagi setelah dibawa pergi sama para petugas dari Blok Dua."
"Terus ... gimana kamu bisa tahu tentang situasi di sini?"
"Kapten, saya adalah penghuni terlama di Blok Tiga," jawab Danica. "Dalam satu tahun saya di sini, saya sudah bolak-balik diambil darahnya dan pernah satu kali dimasukkan ke sel ruang bawah tanah Blok Dua juga. Saya enggak tahu kenapa mereka pada akhirnya malah melepas saya begitu aja, meski juga enggak biarkan saya pergi dari pulau ini."
Somsak yang mendengarnya, mendadak berjalan mendekat ke arah Danica dan Tyrell. "Mereka beberapa kali ambil darah kamu? Aku juga tadi diambil darahnya saat pemeriksaan. Padahal, kami semua seharusnya hanya sebentar di sini. Ini aneh, kan?"
Tyrell mengangguk samar. "Mereka juga ambil darah saya."
"Mereka selalu ambil sampel darah semua orang yang masuk ke pulau ini, bahkan bisa beberapa kali mengambilnya sampai mereka yakin kalau kita enggak terinfeksi virus yang mereka sebut dengan 'virus pemangsa'," terang Danica.
"Karena bolak balik jalani pemeriksaan," sambungnya, "lama-lama saya tahu rahasia mereka. Saya bahkan pernah melihat beberapa dari mereka yang terinfeksi di dalam sel observasi Blok Dua. Mereka yang sudah benar-benar terbukti terinfeksi, biasanya selalu dibawa ke Blok Empat."
"Dua teman saya, Daniel dan Gina, ada di Blok Dua sekarang," ujar Somsak dengan ekspresi cemas. "Apa itu artinya mereka juga terinfeksi virus itu?"
"Enggak semua yang dibawa ke Blok Dua itu sudah pasti terinfeksi. Aku adalah salah satu contohnya," jawab Danica. "Yang jelas, mereka sebut orang-orang yang terinfeksi dengan istilah 'pemangsa'. Ada banyak dari pemangsa di pulau ini. Mereka semua sangat berbahaya."
"Dan salah satunya sudah lepas sejak semalam," gumam Tyrell, mengingat apa yang ia dengar dari radio komunikasi pesawat jet rombongannya kemarin malam. Namun, sebelum Danica dan Somsak sempat bertanya padanya, pria itu mendadak melangkah mundur dari teras dan kini berdiri di luar untuk mendongak ke arah atas bangunan Blok Satu.
"Semua jendela di lantai dua enggak diblokade dari dalam," ucap pria itu pada Danica dan Somsak, bersamaan dengan hujan yang kini turun lebih deras dan langsung membasahinya. "Kita mungkin bisa masuk ke dalam Blok Satu kalau bisa manjat ke atas sana."
Danica seketika ikut melangkah ke luar teras dan memandang ke arah atas sambil mengusap wajahnya yang langsung basah. "Benar, kita bisa masuk lewat atas kalau seseorang membukakan jendela untuk kita dari bagian dalamnya. Tapi ... siapa yang mau membukakan jendela lantai dua kalau mereka yang di dalam aja enggak mau izinkan kita masuk dari bawah?"
"Kita yang harus lakukan itu sendiri," tukas Tyrell sambil menatap ke arah pipa air berukuran sedang yang ada di dekat salah satu jendela lantai dua. "Salah satu dari kita yang berbadan ringan bisa memanjat pipa itu dan kemudian memecahkan jendela lantai dua dari luar. Setelah itu, dia bisa masuk dan merangkai tali dengan menggunakan sprei atau selimut untuk bantu kita naik ke atas."
Danica lalu memandang ke arah Kiya yang masih tampak duduk membisu di dekat pintu lobi Blok Satu. "Hanya dia yang badannya paling ringan di antara kita. Tapi, lihat kondisi dia yang kayak 'gitu, apa dia bisa diandalkan untuk naik ke atas sana dan buka jalan untuk kita? Apalagi, ini sudah hujan. Pipa ke atas sekarang pasti lebih licin."
Tyrell tidak menjawab pertanyaan Danica. Pria itu mendadak malah mengarahkan kepalanya ke sisi lain teras dengan cepat.
"Kamu dengar itu?" tanya pria itu pada Danica. "Ada suara derap langkah ke arah sini."
"Dengar apa?"
Tyrell mendadak berlari ke arah bagian ujung teras yang Blok Satu dan memandang ke arah sesuatu dari arah belakang gedung. Setelah itu, pria itu kemudian kembali berlari ke arah semua yang ada di teras dengan wajah yang tampak pucat pasi.
"Naik!" teriaknya mendadak dengan panik di bawah gerimis yang kini sudah berubah menjadi hujan deras. "Cepat naik! Rombongan besar dari Blok Tiga sedang mengarah ke sini!"
Somsak 😭 ngabrut banget sih 😂😂 deg2an bkln ada banyak yg nyerbu jgn sampe ada yg berkorban, maunya mereka semua selamat..