Beberapa Saat Sebelumnya di Sisi Kiri Penjara X
"Kamu enggak apa -apa?"
Kevin berlari ke arah seorang gadis asing yang sedang merangkak di area pepohonan dengan wajah yang terlihat pucat. Sejak meninggalkan Kiya dan Somsak di Blok Satu, pria itu memilih untuk mengambil rute pepohonan di bagian terkiri penjara untuk menuju ke area belakang.
Ia sengaja memilih rute itu untuk menghindari kondisi ricuh dan berbahaya di bagian tengah penjara, di mana suara-suara tembakan dan teriakan terus terdengar. Namun, setelah menyusuri jalanan di area pepohonan rindang tersebut dengan berhati-hati, sang pria mendadak melihat ada seorang gadis berseragam merah yang tengah dalam kondisi terluka parah.
"Apa yang terjadi?" tanya Kevin sambil memandang ke arah bahu kanan sang gadis yang terluka. "Kamu terkena tembakan?"
Sang gadis cantik yang berambut pirang dan memiliki bola mata kelabu itu mengangguk dengan lemah. "Me---mereka enggak sengaja tembak aku waktu aku berusaha kabur dari bagian tengah. Aku terpaksa lari ke sini karena ...."
Gadis tersebut tidak sanggup melanjutkan kata-katanya dan kemudian malah menangis. Melihat gadis itu menyentuh bahunya yang tidak berhenti mengucurkan darah, Kevin langsung berusaha merobek bagian bawah bajunya sendiri. Dengan gerakan cepat, pria itu lalu meletakkan robekan bajunya ke bahu sang gadis yang terluka.
"Siapa nama kamu?" tanya Kevin sambil menekan kain tersebut ke bahu sang gadis untuk mengurangi pendarahannya.
"Lilia," jawab sang gadis itu sambil meringis menahan rasa sakit akibat tekanan Kevin di pundaknya.
"Lilia, kita harus bawa kamu ke petugas medis secepatnya," ucap Kevin dengan serius. "Apa di sini ada klinik atau semacamnya?"
Lilia menelan ludahnya dengan susah payah. "Klinik terbaik ada di Blok Dua, tapi di sana kondisinya lagi kacau balau."
"Blok Dua kacau balau?" tanya Kevin yang sebenarnya tadi dalam perjalanan menuju ke sana untuk mencari Gina dan Daniel. "Kamu tahu apa yang terjadi di sana?"
Lilia menggeleng. "Tapi ... ada klinik lebih sederhana di setiap di Blok."
"Apa blok yang terdekat dari sini?" tanya Kevin padanya.
"Blok Empat, tapi tempat itu tertutup rapat dan susah ditembus," jawab Lilia dengan suara napas yang terdengar semakin berat.
Kevin menarik napasnya. "Kalau Belok Empat tertutup rapat, Blok Dua dalam kondisi kacau balau, dan Blok Satu sudah pasti ditutup, jadi ... klinik yang bisa didatangi saat ini hanya yang ada di Blok Tiga?"
Lilia mengangguk. "Tapi Blok Tiga ada di seberang kita dan untuk ke sana aku harus lewat tengah. Area tengah saat ini adalah area yang sangat berbahaya. Lagi pula, orang-orang di sana pasti enggak akan mau terima aku. Enggak ada tempat yang sekarang diperbolehkan untuk terima orang dalam kondisi luka kayak aku."
Melihat gadis itu kembali menangis dengan wajah yang bertambah pucat, Kevin mendadak terenyuh. Pria itu kemudian berjongkok di depan Lilia dan menoleh ke arah sang gadis di belakangnya.
"Kamu bisa naik ke punggung aku, Lilia?" tanya Kevin sambil tersenyum. "Aku akan coba bawa kamu ke sana karena kamu butuh untuk segera diobati."
Lilia tampak tertegun. "Ta---tapi ...."
"Sebentar lagi hujan akan turun dan kamu juga akan kehabisan darah kalau kamu enggak langsung diobati. Jadi, cepat naik ke punggung aku. Aku akan coba bawa kamu ke sana," kata Kevin padanya dengan nada serius.
Awalnya, Lilia terlihat ragu untuk menerima bantuan Kevin. Namun, karena mendengar suara gemuruh di langit yang menandakan hujan akan turun seperti kata Kevin, mau tak mau gadis itu pun langsung bergerak menaiki punggung pria tersebut.
"Anu, kamu ... bawa senjata?" tanya Lilia dengan suara yang terdengar takut saat merasakan tubuh Kevin mulai berdiri sambil menggendongnya. "Bahaya bagi kita untuk menempuh rute ke tengah kalau kita enggak bawa senjata untuk melindungi diri."
"Kita akan coba cari cara terbaik yang juga cepat," jawab Kevin sambil kembali menarik napasnya dalam-dalam.
Untuk menuju ke area terbuka di tengah, pria itu lalu berjalan melintasi pepohonan di area kiri penjara yang sebenarnya relatif lebih aman dan sepi. Namun, wajahnya langsung tertegun begitu ia sampai di titik luar area pepohonan tersebut.
"A---aku sudah bilang tadi, area ini berbahaya," bisik Lilia sambil menahan napas saat melihat banyak mayat tentara bergelimangan di area tengah. Sementara di bagian atas tubuh para tentara tersebut, tampak ada gerombolan-gerombolan pemangsa yang tengah sibuk menggerogoti isi tubuh mereka secara terpencar.
Melihat pemandangan mengerikan itu, Kevin seketika merasa mual dan bergidik. Ia ingin mengikuti nalurinya untuk tetap berjalan menyusuri area di belakangnya yang lebih sepi, tetapi mendengar Lilia kembali merintih, pria itu pun langsung menarik napasnya sekali lagi.
"Dua puluh meter." Pria itu mendadak bergumam, seolah-olah tengah berbicara pada dirinya sendiri. "Dua puluh meter dari sini, ada senapan otomatis yang tak bertuan."
"Hah, apa?" tanya Lilia dengan bingung.
Kevin tidak menjawab pertanyaan Lilia itu dan hanya kembali menoleh. "Pegangan yang kuat ke pundak aku, Lilia. Kita mungkin akan lewat terlalu dekat dengan gerombolan mereka yang ada di tengah sana nanti. Ingat baik-baik untuk jaga keseimbangan kamu, apa pun yang terjadi."
Sebelum Lilia sempat bertanya lagi, pria itu tiba-tiba membawanya berlari kencang untuk menyeberang ke arah Blok Tiga. Melihat Kevin dan Lilia nekat melintas, para pemangsa yang ada di sekitar sana tentunya langsung serempak berdiri, dan seketika bergerak untuk mengejar mereka.
"A---apa yang kamu lakukan?! Kamu gila?!" jerit Lilia dengan panik dari belakang pundak Kevin. Tubuh gadis itu langsung menegang saat melihat pria itu kini malah membawanya berlari ke arah gerombolan pemangsa di bagian paling tengah, tepatnya di depan mereka, yang kini menyadari kedatangan mereka.
Namun, di saat yang bersamaan dengan waktu mereka mulai berdiri dari tempat mereka, Kevin mendadak sudah langsung membungkukkan badannya ke arah rerumputan di bawahnya untuk meraih sebuah senapan serbu yang tergeletak begitu saja. Begitu merasakan tubuhnya terdorong sampai mendekat ke arah pemangsa di depannya, tangan kiri Kevin refleks langsung menembakkan senjata tersebut ke arah para pemangsa di sana.
Gerakan Kevin yang sangat ekstrim tentunya membuat Lilia di belakangnya langsung kehilangan keseimbangan. Hanya dalam hitungan detik saat Kevin yang kidal mulai menembakkan senjatanya, gadis itu langsung terjungkal jatuh dari punggung Kevin dan membentur ke tanah.
Lilia jelas langsung berteriak kesakitan. Melihatnya terjatuh, Kevin langsung kehilangan fokus dan menoleh ke arahnya.
"Maaf, kamu kesakitan?" tanya pria itu sambil cepat-cepat mengangkat tubuh Lilia lagi ke punggungnya.
"Di belakang," gumam Lilia pada Kevin dengan wajah yang mendadak terlihat luar biasa takut, "di belakang kamu ...."
Kevin menoleh. Melihat seorang pemangsa dengan bagian dada yang bolong kini bangkit lagi dari bawah setelah sempat ditembak olehnya, tubuh Kevin sontak mematung. Saking kagetnya, pria itu bahkan tidak sempat bergerak saat melihat sang pemangsa melompat ke arahnya.
Beruntung baginya, seseorang dari arah sampingnya mendadak mengayunkan sebatang kayu untuk memukul wajah pemangsa tersebut sebelum sang pemangsa bisa mendarat di tubuh Kevin. Suara hantaman keras dari kayu itu terdengar seiring dengan munculnya seseorang di depan tubuhnya.
Begitu sang pemangsa tadi sudah kembali ambruk ke tanah, Kevin segera mengarahkan pandangannya ke orang yang baru saja menyelamatkannya, dan saat itu juga ia langsung tertegun.
"Daniel?" gumamnya dengan ekspresi sangat kaget. "Bagaimana kamu bisa ...? Aku tadi sedang berusaha untuk cari kamu dan Gina."
"Kamu mau nyelamatin aku sama Gina, tapi malah berakhir dengan diselamatkan aku," desis Daniel dengan nada mengejek dan suara napas yang terdengar tersengal-sengal.
Sebelum Kevin sempat bertanya lagi, Daniel yang merupakan pemukul istimewa di klub baseball kampus mereka, langsung menarik tangan temannya itu. "Cepat lari dari sini sebelum kita semua mati! Makhluk-makhluk brengsek di belakang sana sudah makin dekat!"
Sambil menarik lengan Kevin untuk berlari, pria itu melirik sekilas ke arah Lilia di punggung Kevin.
"Perempuan berambut pirang lagi, Kev? Di saat-saat kayak begini?" tanya Daniel dengan raut yang seperti tak percaya.
"Dia kena luka tembakan, brengsek! Aku lagi berusaha untuk bawa dia ke Blok Tiga untuk diobati," jawab Kevin dengan nada sewot sambil berusaha keras untuk tetap memegang senjatanya dan membawa Lilia sekaligus.
"Kasih senjata kamu ke aku," ucap Daniel dengan usaha untuk meringankan beban temannya.
Pria itu awalnya memang hanya berencana untuk membantu Kevin. Namun, melihat para pemangsa yang ditembak oleh Kevin tadi kini sudah kembali bangkit untuk mengejar mereka, mau tak mau mau pria itu langsung menggunakan senjata Kevin untuk menembak makhluk-makhlukdi belakang mereka tersebut. Sayangnya, karena tidak terbiasa menggunakan senapan serbu kaliber besar, tembakan Daniel malah nyasar ke mana-mana.
"Ah, brengsek!" maki Daniel dengan frustrasi. Pria itu secara mendadak lalu langsung menyerahkan senjata tersebut ke tangan Kevin lagi, dan kini mengambil alih Lilia dari punggung temannya itu. "Kamu lebih mahir menggunakan senjata, Kev, jadi biar aku aja yang ambil alih perempuan ini."
"Aku udah nembak mereka tadi, kenapa mereka masih belum mati juga?" tanya Kevin dengan syok sambil memandang ke arah para pemangsa di belakang mereka.
"Aku enggak tahu," kata Daniel dengan nada yang terdengar sama frustrasinya. "Di Blok Dua tadi, aku juga mukul makhluk kayak gitu dengan vas bunga, tapi dia hanya tumbang sebentar dan setelah itu kejar aku dan Gina lagi. Itu makanya kami lari sampai ke sini dan kebetulan lihat kamu."
"Gina sama kamu? Di mana dia?" tanya Kevin sambil memandang ke sekelilingnya.
"Di depan sana," ujar Daniel sambil menunjuk ke arah Gina, mantan pacar Kevin, yang tampak sedang menunggu mereka dari samping bangunan Blok Tiga dengan tampang yang cemas.
"Cepat masuk!" teriak Gina saat melihat mereka mulai mendekat ke arahnya. "Tempat ini katanya tadi sebenarnya sudah ditutup, tapi kebetulan mereka membuka pintunya lagi karena ada tentara yang kebetulan juga sedang memaksa masuk bersama orang-orang lainnya."
"Blok kita bukan di sini," ujar Kevin ke arah Gina begitu ia sudah sampai di depan gadis itu. "Kita di Blok Satu bersama rombongan pesawat kita yang lainnya. Aku tadi hanya niat antar Lilia ke sini karena dia butuh bantuan medis secepatnya."
Gina hanya melirik sekilas ke arah Lilia di punggung Daniel, dan kemudian menatap dengan sinis ke arah Kevin. "Lihat ke sekeliling kamu baik-baik. Kalau kita melewatkan kesempatan emas ini, menurut kamu, apa kita akan bernasib lebih baik dari mereka?"
Kevin langsung mengarahkan pandangannya mengikuti arah pandang Gina ke lantai. Begitu melihat banyak mayat tewas dengan kondisi tubuh yang tidak lagi utuh di sana, pria itu langsung terbelalak kaget.
"Apa yang terjadi tadi di sini?" tanya Kevin dengan napas yang kini tertahan setelah melihat banyak percikan darah di seluruh tembok luar Blok Tiga.
"Katanya, enggak semua dari orang-orang di Blok Tiga tadi sempat masuk saat ini terjadi. Itu makanya mereka yang di luar dan selamat, sekarang maksa untuk diperbolehkan masuk lagi," jawab Gina.
"Enggak ada yang bantu mereka sama sekali tadi?"
Gina tidak menjawabnya. Sebagai gantinya, Daniel yang langsung berseru dengan panik ke arahnya, "Kev, makhluk-makhluk itu sudah hampir dekat! Kita harus cepat masuk ke dalam sebelum terlambat!"
Orang-orang Blok Tiga yang kebetulan sedang dalam baris antrean terujung untuk masuk, tanpa sengaja ikut melihat ke arah para pemangsa yang kini sudah mendekat ke rombongan Kevin. Karena mereka langsung menjerit ketakutan saat melihatnya, kondisi di bagian pintu Blok Tiga pun seketika kembali rusuh.
Hampir semua dari mereka langsung berdesak-desakkan untuk menyelamatkan diri lebih dulu dan membuat penjaga di bagian pintu jadi kehilangan kontrolnya. Dua penjaga di pintu tersebut kini sama-sama langsung terseret masuk tanpa bisa melakukan pemeriksaan terlebih dahulu pada semua orang yang masuk ke dalam.
Melihat situasi memburuk, Gina dan juga Daniel yang membawa Lilia kemudian langsung ikut membaur di keramaian orang yang tengah berusaha untuk menerobos masuk. Kevin sendiri pada dasarnya belum memutuskan apa ia akan menyusul dua temannya itu masuk, atau kembali ke Blok Satu sesuai janjinya pada Somsak dan Kiya.
Namun, melihat para pemangsa kini mulai memasuki area teras Blok Tiga, pria itu pun secara refleks langsung menyusul ke dalam.
"Cepat tutup pintunya!" teriak beberapa orang di sekitar Kevin, bersamaan dengan masuknya pria itu ke sana.
Kevin yang mendengar instruksi itu langsung berbalik ke arah pintu dan segera berusaha untuk menutupnya sebelum para pemangsa di luar tadi mencapai pintu mereka. Ia sudah menghembuskan napas lega ketika akhirnya berhasil melakukannya. Namun, saat ia berbalik lagi, situasi di belakangnya ternyata sudah menjadi sangat hening.
Tiga orang tentara yang ada di bagian tengah lobi Blok Tiga tersebut mendadak mengangkat senjata mereka ke arah Daniel yang baru saja meletakkan tubuh Lilia di atas sebuah kursi. Berpikir bahwa para tentara itu tahu kalau ia dan Gina kabur dari sel bawah tanah Blok Dua, Daniel segera mengangkat kedua tangannya ke udara dengan wajah pucat.
Namun setelah mengamatinya dengan lebih baik, Daniel baru sadar kalau moncong senjata dan tatapan semua orang di ruangan itu tidak sedang mengarah padanya atau Gina, melainkan pada Lilia yang kini duduk di belakangnya. Mendapat firasat yang tiba-tiba buruk, pria itu pun secara perlahan langsung menarik lengan Gina untuk berjalan menjauh dari kursi Lilia.
"Kenapa kamu bawa perempuan itu ke sini?" Pertanyaan dari salah satu tentara di sana mendadak memecah kesunyian di lobi Blok Tiga dan menghentikan langkah Daniel.
"Sa---saya? Anda sedang bertanya ke saya?" tanya Daniel dengan ekspresi yang berpura-pura bodoh.
Merasa khawatir dengan Daniel yang kini ditodong pertanyaan yang sepertinya sangat serius, Kevin mendadak melangkah maju. "Bukan dia yang bawa Lilia ke sini. Saya yang melakukannya. Kalian jangan khawatir, dia hanya sedang terluka karena tembakan dan bukan karena hal-hal lainnya."
"Itu dia, brengsek! Kenapa kalian bawa dia ke dalam sini?! DIA ADALAH SALAH SATU TAHANAN PALING BERBAHAYA DI BLOK EMPAT YANG MALAM TADI TERLEPAS!!! "
Mendengar bentakan histeris dari tentara tersebut, Kevin mendadak mematung. Pria itu, Daniel, dan juga Gina, kini serempak menatap ke arah Lilia yang menunduk di kursinya.
Di antara kesunyian yang kembali tercipta di sana, suara tawa terkekeh gadis itu mendadak terdengar. Dengan sangat perlahan, gadis itu mendongak dan kini menatap ke arah Kevin sambil tersenyum geli.
"Kamu ... yang baru datang ke pulau ini pagi tadi, kan?" tanya Lilia ke arah Kevin. "Itu makanya kamu enggak tahu arti baju merah yang aku pakai ... dan benar-benar mengira kalau tentara di sini, yang dilatih secara khusus, akan salah sasaran dalam menembak?"
Kevin yang masih terpaku, kini menatap ke arah baju merah yang dikenakan Lilia. Entah mengapa ia baru menyadari kalau di baju yang dikenakan Lilia tersebut, terdapat banyak noda-noda darah kering yang warnanya sudah berbaur dengan warna baju sang gadis.
Lilia lalu kembali tertawa saat mendengar tiga tentara di lobi Blok Tiga tadi mulai mengokang senjata laras panjang manual mereka ke arahnya. Ia lalu menoleh ke arah bahunya yang terluka, dan tiba-tiba memasukkan jari-jari lentik dan pucatnya ke dalam lukanya sendiri untuk mengambil peluru dari dalamnya.
"Nama kamu Kevin, kan?" ucapnya sambil menjatuhkan peluru dari bahunya sampai mendenting ke lantai. "Aku akan kasih tahu kamu satu rahasia, Kevin. Pagi tadi ... aku yang 'menyambut' teman-teman kamu di pantai."
Begitu selesai mengucapkannya, Lilia langsung menyeringai lebar ke arah Kevin. Lalu dengan gerakan yang luar biasa kilat, ia mendadak melompat ke arah satu tentara yang terdekat dengannya dan langsung merobek leher tentara tersebut dengan giginya sampai arteri karotis sang tentara terputus.
Sebelum dua yang lainnya sempat menembakkan senjata mereka ke arahnya, ia lalu melempar tubuh sang tentara tadi ke arah mereka sampai keduanya terjungkal jatuh. Sebelum dua tentara tersebut mampu bangkit lagi, Lilia sudah melompat ke arah mereka dan langsung mematahkan leher mereka satu per satu.
Menyaksikan apa yang dilakukan Lilia di sana, semua orang yang ada di lobi Blok Tiga seketika menjerit histeris. Hampir semuanya dari mereka langsung berhamburan keluar tanpa memperdulikan hujan yang mendadak turun di luar dengan derasnya, serta adanya para pemangsa lain di bagian teras blok tersebut yang sudah menunggu mereka.
Kevin sendiri mematung tanpa bisa menggerakkan senjata di tangannya sendiri. Ia kembali merasa syok. Terlebih, karena ia baru tahu bahwa perempuan yang baru saja diselamatkannya ternyata adalah sumber dari kematian kru pesawat yang bersamanya pagi tadi.
Melihat Lilia kini menyerang banyak orang yang berusaha berlarian dari dalam lobi Blok Tiga, darah Kevin mendadak mendidih. Namun, Daniel yang tahu kalau akan sangat susah bagi temannya itu untuk menggunakan senjata di tengah-tengah keramaian, segera menarik lengan Kevin untuk lari.
"Blok Satu, kata kamu tadi?" ucap Daniel dengan wajah yang kini terlihat lebih tegang. "Persetan dengan semua orang di sini! Kita akan ke sana sekarang juga dan bawa teman-teman kita untuk segera pergi dari pulau ini!"
Lilia inang pemangsa..