...

9. Kemarahan Bayu #1

 

Blok Satu, 11.00 CST (sembilan jam sebelum sistem lock island aktif)

 

"Ini semua orang-orang dari Blok Tiga?" tanya Somsak dari bawah hujan sambil memandangi rombongan orang-orang Blok Tiga yang berlarian ke arah lobi Blok Satu. "Jumlah mereka banyak juga."


"Ini hanya setengahnya. Jumlah orang di Blok Tiga seharusnya lebih dari 70 orang," timpal Danica sambil ikut memandangi mereka. "Pasti ada yang terjadi di dalam Blok Tiga kalau sampai mereka keluar lagi dan sekarang lari ke sini."


Somsak mengerutkan dahinya. "Aku baru tahu kalau ada anak-anak juga di pulau ini. Kenapa mereka bisa sampai ke tempat berbahaya kayak begini?"


"Satu bayi dan sepasang anak kembar yang usianya tujuh tahun," ujar Danica sambil menghela napas. "Kalau yang bayi lahir di sini; kalau yang anak kembar di sana... mereka dibawa ke pulau ini sama ayahnya. Aku enggak tahu kenapa mereka lari dari negara mereka dan gimana mereka bisa berakhir di sini."


Kiya yang juga bersama Somsak dan Danica ikut memandang ke arah sepasang anak kembar berambut merah yang kini berdiri di pojok teras dalam kondisi tubuh yang basah dan tampak luar biasa ketakutan.


"Mereka sudah di sini, jadi mereka harus lebih dulu diselamatkan," gumamnya dengan tampang cemas.


Sambil mengusap wajahnya yang basah, gadis itu lalu memandang ke arah jendela di lantai dua Blok Satu yang akan dipanjatnya. "Jarak ke atas enggak sampai empat meter, tapi meski pipanya dari bahan galvanis yang permukaannya lebih kasar, ini enggak dirancang untuk bisa nahan beban tubuh manusia. Potensi bahaya tetap ada kalau penyanga pipanya lepas."


Melihat tatapan bingung Danica ke arah Kiya, Somsak lansung berbisik, "Dia yang terpintar di antara kami."


"Siapa namanya tadi?" tanya Danica.


"Kalau enggak salah ... Kiya, tapi biasanya kami panggil dia Perempuan Beasiswa."


"Kiya, berapa berat badan kamu?" tanya Danica pada Kiya, sambil melirik ke arah Tyrell dan Bayu di bagian ujung kanan yang masih terus terdengar menembakkan senjata mereka ke arah belakang gedung Blok Satu.


"Berat aku 48," jawab Kiya. "Aku enggak tahu apa aku bakal bisa naik dalam kondisi hujan begini, tapi... akan aku usahakan."


Gadis itu, Danica, dan Somsak, kemudian sama-sama menoleh ke arah suara riuh orang-orang dari Blok Tiga yang mulai menggedor-gedor pintu lobi Blok Satu. Hampir semua dari mereka yang ada di sana kini berteriak-teriak agar diperolehkan untuk masuk.


"Jangan hanya usahakan naik, usahakan cepat naik," seloroh Danica kemudian dengan panik. "Mereka bisa kapan saja mendobrak pintu Blok Satu dan membuat situasi di sini nanti malah jadi berisiko bagi kita semua."


Setelah mengucapkannya, Danica lalu berlari meninggalkan Somsak dan Kiya di sisi luar teras, untuk berjaga-jaga di sisi kiri Blok Satu sesuai instruksi dari Tyrell. Melihat kondisi yang semakin ricuh di berbagai sisi Blok Satu, Kiya tidak mau menyia-nyiakan waktunya.


Gadis itu lalu langsung berusaha memanjat ke atas. Namun baru mencoba memanjatnya sebentar, ia sudah langsung kembali tergelincir jatuh ke bawah.


"Perempuan Beasiswa, kamu enggak apa-apa?" tanya Somsak dengan tampang cemas.


Pria itu baru saja mendengar suara-suara tembakan dan teriakan lagi dari sisi kanan Blok Satu. Sementara dari sisi kiri, ia terus mendengar orang-orang menggedor-gedor pintu lobi dengan disertai teriakan-teriakan hujatan.


"Aku enggak apa-apa. Doakan saja aku bisa naik sebelum kondisi di sini berubah rusuh," jawab Kiya dengan cepat.


Gadis itu lalu cepat-cepat melepas sepatunya dan kemudian langsung menginjak-injak pasir dengan kaki telanjangnya. Setelah melakukannya, ia menarik napasnya dalam-dalam, dan kini kembali berusaha memanjat ke atas.


___


Di Sisi Kanan Blok Satu


"Kevin, cepat lari! Kenapa dengan kamu?!" 


Daniel berteriak ke arah Kevin yang masih tampak melotot marah saat ditarik menuju ke arah Blok Satu. Sementara di sisi sampingnya, Gina mulai terlihat semakin pucat karena demam dan rasa stresnya yang memuncak.


"Aku akan bunuh dia," gumam Kevin dengan wajah yang masih terpaku menatap bangunan Blok Tiga yang sedang mereka tinggalkan. "Aku akan bunuh perempuan itu, Lilia!"


"Dasar brengsek, kenapa di saat-saat begini kamu malah enggak bisa fokus lari saja?!" maki Daniel dengan kesal. "Ini lagi hujan! Kamu enggak lihat kondisi Gina yang lagi sakit?! Dia juga butuh pertolongan secepatnya kayak perempuan monster yang kamu bawa ke Blok Tiga tadi!"


Sadar kalau ia salah berucap, Daniel lalu mengusap hujan yang membasahi wajahnya. Sambil mengamati para pemangsa di depan Blok Tiga yang masih sibuk memangsa beberapa orang yang terlambat keluar dari dalam lobi, ia lalu menatap ke arah Kevin lagi.


"Kev, dengar," sambungnya dengan intonasi suara yang kini melunak, "jangan salahkan diri kamu atas situasi di Blok Tiga tadi. Kamu hanya mau bantu orang yang lagi dalam kondisi terluka, tapi perempuan monster itu manfaatin kamu untuk bisa masuk ke area teramai di penjara ini. Bukan salah kamu bawa dia ke Blok Tiga, kamu kan enggak tahu apa-apa tentang dia dan pulau ini."


Kevin hanya terdiam. Meskipun begitu, ia lalu menoleh ke arah Gina dan hanya memandangi mantan pacarnya itu dengan sorot iba tanpa bicara apa pun.


"Kalian juga dengar suara tadi, kan?" sambung Daniel. "Barusan ada suara tembakan dari arah Blok Satu. Itu artinya, ada pihak-pihak lain yang juga pegang senjata di Blok Satu selain Kevin. Kita akan lebih aman kalau sudah sampai di sana."


"Tapi... tiga orang tentara di dalam Blok Tiga tadi juga pegang senjata," respons Gina dengan suara yang terdengar bergetar. "Kamu enggak lihat makhluk-makhluk ini banyak yang dari kaum tentara? Kalau tentara yang pegang senjata dan sangat terlatih saja bisa mati atau berubah jadi makluk mengerikan kayak begitu, gimana dengan nasib kita nanti?"


"Kita bakal baik-baik saja," jawab Daniel, berusaha terdengar meyakinkan. "Di Blok Satu banyak teman-teman kita. Kalau kita semua sudah berkumpul, kita akan langsung pikirkan cara terbaik untuk keluar dari pulau ini, oke? Bagaimanapun, ketemu dengan orang-orang yang sudah lama kita kenal di tempat asing kayak begini, pasti bisa buat kita nanti lebih tenang."


Baru saja mengucapkan itu, suara teriakan tiba-tiba terdengar dari arah lantai dua Blok Tiga di belakang mereka. Baik Daniel, Kevin, dan Gina, kini serempak menoleh ke arah sumber suara tersebut, dan melihat ada dua orang pria yang berbadan besar mendadak melompat keluar dari salah satu jendela di sana.


Tentunya beberapa detik kemudian setelah dua pria itu jatuh menghantam tanah, mereka langsung berusaha mati-matian untuk berdiri lagi. Namun, karena hal ekstrim yang dilakukan keduanya, para pemangsa yang masih sibuk dengan mangsa mereka di ujung teras Blok Tiga tadi, langsung menoleh ke arah mereka.


Tahu kalau para pemangsa itu mulai menargetkan mereka, dua pria itu pun langsung berlari secepat kilat ke arah rute yang sedang ditempuh oleh Daniel dan kawan-kawan. Karena kedua orang itu kini dikejar oleh sekawanan pemangsa, baik Daniel maupun Gina langsung serempak berlari menjauh lebih dulu.


"Sialan! Kenapa dengan dua orang itu, sih?!" maki Daniel dengan panik sambil berlari kencang ke arah Blok Satu.


Gina yang berlari di sebelahnya, entah mengapa tiba-tiba menoleh ke belakang dan mendadak berhenti berlari.


"Da---daniel, tunggu," ucapnya dengan napas yang tersengal-sengal. "Kevin... dia...."


Daniel ikut berhenti berlari. Begitu menyadari kalau Kevin ternyata tidak berlari bersama mereka, Daniel sontak menoleh ke belakang. Betapa terkejutnya pria itu saat melihat Kevin ternyata masih ada di posisinya semula dan malah berdiri sambil membidik ke arah para pemangsa yang mengejar kedua pria tadi.


"APA-APAAN DIA?!" jerit Daniel dengan tampang bengong. "Dia enggak jera juga prioritaskan orang lain dibanding keselamatannya sendiri?! Apa dia mendadak jadi terobsesi untuk bunuh para zombi sialan itu?"


Kevin sendiri masih tidak bergerak dari posisinya. Begitu dua pria tadi sudah melewatinya, ia mulai melepaskan tembakan ke arah para pemangsa di depannya. Yang tidak diperhitungkan oleh pria itu ketika berusaha bersikap heroik adalah... sisa pelurunya.


Baru setelah melepaskan tiga tembakan ke arah para pemangsa yang mendekatinya, Kevin yang pada dasarnya memang sering kelewat nekat itu, akhirnya sadar kalau ia ternyata sudah kehabisan peluru. Hal itu pun membuatnya seketika membisu.


Peluru aku habis? Ia memandang ke arah senjatanya sendiri dengan wajah yang mendadak pucat. Mati aku!


Ia sudah terperangah memandang ke arah seorang pemangsa paling depan yang akan melompat ke arahnya. Namun, Dewi Fortuna ternyata berpihak kepadanya sekali lagi. Belum sempat pemangsa itu menyerangnya, sekelebat bayangan mendadak melintas dari sisi kanannya.


Kevin menoleh dan melihat sahabat terbaiknya, Bayu, tahu-tahu meluncur dengan gerakan sangat kilat, dan langsung mengarahkan tendangan memutar yang sangat keras ke arah kaki sang pemangsa. Begitu pemangsa tersebut jatuh berlutut, pria itu langsung melompat ke atas bahunya, dan kemudian menjepit kepala pemangsa itu dengan kakinya, sambil memutar tubuhnya dengan keras.


Bunyi retakan langsung terdengar bersamaan dengan patahnya leher sang pemangsa. Namun, Bayu tidak berhenti sampai di sana saja. Pria itu mendadak meraih batu karang tajam dari atas pasir di dekatnya, dan entah mengapa langsung menghujamkan batu tersebut ke bagian bola mata sang pemangsa sampai bagian mata makhluk tersebut hancur total.


Begitu sudah memastikan makhluk tersebut tak lagi bergerak, Bayu lalu berdiri dan menoleh ke arah teman-temannya yang memandang ngeri ke arahnya. Bersamaan dengan itu, beberapa tembakan lainnya melesat dari belakang Kevin dan langsung melumpuhkan para pemangsa lainnya yang masih ada di belakang Bayu.


Kevin yang kaget, segera menoleh ke belakangnya dan melihat Tyrell juga muncul di sana sambil membawa senjata di bahunya. Napas pria itu masih tampak tersengal-sengal saat ia berlari ke arah Kevin untuk menghampirnya.


"Kamu kehabisan peluru?" tanya Tyrell pada Kevin yang masih termanggu, sambil menyodorkan sebuah senjata lainnya ke tangan teman Bayu itu. "Bawa senjata Bayu ini. Dia bilang tadi dia enggak terbiasa pegang rifle. Jadi, kamu bisa gunakan itu. Katanya di sini kamu yang paling mahir menembak, kan?"


"Bayu juga bisa menembak," jawab Kevin, masih dengan tampang linglung. "Hanya saja, dia lebih biasa pakai pistol dibanding rifle."


Daniel yang baru sadar ada pilot pesawat mereka di sana, mendadak berjalan mendekat ke arah Tyrell dan langsung berbisik, "Kapten, kenapa dengan Bayu? Dia kok seperti orang yang lagi marah?"


"Mungkin karena lihat temannya tadi hampir mati, dia jadi syok dan merasa bersalah," jawab Tyrell. "Berdasarkan pengalaman saya, biasanya orang yang alami hal kayak begini akan kembali membaik dan justru akan jauh lebih berani setelah memasuki fase marah seperti sekarang."


"Bayu ternyata petarung jarang dekat yang sangat bagus," lanjutnya. "Dia akan sangat berguna kalau nanti sudah benar-benar bisa menerima situasinya."


"Kapten!" Suara teriakan Somsak dari kejauhan yang bernada panik, mendadak mengagetkan mereka semua. "Di depan sana ... di depan sana kondisinya memburuk! Para pemangsa muncul dari sisi kiri Blok Satu dan langsung menyerang orang-orang di sana! Perempuan Beasiswa...."


Belum sempat Somsak selesai berbicara, hampir semua dari mereka sudah langsung berlari ke arah Blok Satu. Betapa kagetnya mereka ketika tiba di sana, suasana yang tadinya masih kondusif di area depan Blok Satu, kini mendadak sudah berubah bak neraka.


Sebagian orang yang tadi berkumpul di depan pintu Blok Satu, kini terlihat sudah tewas secara mengenaskan. Sementara Danica tampak sedang berjuang sendirian untuk melindungi seorang ibu yang tengah menggendong bayinya, dan juga dua anak kecil di belakangnya.


Hal yang lebih menakutkan terjadi di sisi Kiya. Karena ketakutan, orang-orang Blok Tiga yang tersisa, kini berebut ikut memanjat ke pipa yang sama dengan yang dipanjat oleh Kiya. Tindakan mereka tidak saja membuat besi penyangga pipa itu mulai terlepas satu demi satu, tetapi juga langsung menarik perhatian gerombolan besar pemangsa di bawah mereka.


Kondisi mengerikan ini membuat orang-orang yang ingin menyelamatkan diri mereka, mulai berusaha untuk mencapai kedua kaki Kiya yang posisinya sudah mencapai jendela. Namun, yang membuat situasi Kiya menjadi luar biasa kritis adalah ... gadis itu kini bergantung di sisi bawah kaca jendela lantai dua yang pecah, dengan kondisi kedua tangannya yang sudah berlumuran darah.

Subscribe
Notify of
guest

1 Komentar
Terlama
Terbaru Vote Terbanyak
Inline Feedbacks
View all comments
Dina
Guest
Dina
7 months ago

Kapan update lagi Thor

error: KONTEN INI DIPROTEKSI!!!
#!trpst#trp-gettext data-trpgettextoriginal=4498#!trpen#Seraphinite Accelerator#!trpst#/trp-gettext#!trpen##!trpst#trp-gettext data-trpgettextoriginal=4499#!trpen#Optimized by #!trpst#trp-gettext data-trpgettextoriginal=4498#!trpen#Seraphinite Accelerator#!trpst#/trp-gettext#!trpen##!trpst#/trp-gettext#!trpen#
#!trpst#trp-gettext data-trpgettextoriginal=4500#!trpen#Turns on site high speed to be attractive for people and search engines.#!trpst#/trp-gettext#!trpen#