...

2. Lima Belas

 

 

Suara gemuruh petir bertubi-tubi menggema di sepanjang lorong aula Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Immaculata. Fori baru saja berjalan ke luar dari ruang orientasi mahasiswa baru Fakultas Ilmu Komunikasi. Ia melongok ke kiri dan kanan, berusaha mencari teman satu panti asuhannya dulu, Beth, yang juga mahasiwa baru di universitas swasta tersebut.

 

Temannya itu mendaftar di Fakultas Psikologi yang terpisah satu gedung dengan gedung fakultas tempat Fori belajar. Siang itu, mereka berjanji akan makan siang bersama selepas sesi orientasi pengenalan perkuliahan di fakultas masing-masing. 

 

Begitu melihat temannya itu berdiri di dekat salah satu pilar bagian ujung lorong, Fori langsung tersenyum. Ia melihat Beth kini melambaikan tangan ke arahnya.

 

"Kamu sudah lama nunggu aku?" tanya Fori pada gadis berwajah cekung dengan rambut merah ikal yang selalu dikuncir kuda tersebut. Beth mengenakan kacamata tebal berbingkai hitam dan memakai kawat gigi bermotif dan berwarna merah muda pada baris gigi di bagian atasnya.

 

"Dua puluh tujuh menit," jawab Beth sambil nyengir. "Tapi enggak masalah. Wifi di gedung fakultas kamu lebih kencang dibanding dengan wifi Fakultas Psikologi. Jadi, aku malah asyik menunggu kamu sambil nonton Youtube."

 

"Hah, kok kamu bisa nonton Youtube? Setahu aku, koneksi wifi di kampus ini agak lemot dan hanya bisa dipakai untuk apa pun yang terkait pembelajaran saja," ucap Fori dengan mata terbelalak.

 

Fori memiliki bentuk mata yang menarik. Kedua bola matanya besar, tetapi memiliki sudut khas bak tupai. Wajahnya juga mungil dan bulat dengan rambut lurus model bob seleher yang membuatnya terlihat imut. Ia memiliki postur tubuh kurus dengan tubuh sependek 158 senti, setipe dengan temannya Beth.

 

"Aku enggak sengaja melihat kertas password wifi para dosen Ilmu Komunikasi saat nanya lokasi ruang orientasi kalian tadi," bisik Beth sambil terkekeh. "Bagaimana mungkin password para dosen Ilmu Komunikasi adalah 'bintang 12345'? Terlalu sederhana, kan?"

 

"Sebentar, aku juga akan pakai password itu," ujar Fori sambil berhenti sebentar di tempatnya dan kemudian mengutak-ngatik pengaturan wifi ponselnya. Ia dan Beth sama-sama tertawa saat Fori melakukannya.

 

"Wah, hujan sudah turun," kata Beth mendadak sambil melihat ke arah luar gedung. "Bagaimana ini, kita enggak bakal bisa makan ke kantin Fakultas Psikologi kalau begini. Enggak mungkin kita harus memutar jauh melalui jembatan antar fakultas di lantai dua, kan?"

 

Fori ikut menoleh ke luar dan melihat langit gelap yang disertai gemuruh petir. Hanya dalam beberapa detik, hujan mulai turun dengan lebih deras dan membuat kaca-kaca di sekitar lorong mengembun seketika.

 

"Apa kita makan di kantin fakultas aku saja? Tapi aku belum pernah makan di sana sebelumnya."

 

"Kita coba saja, siapa tahu ada makanan enak yang murah di sini," ucap Beth sambil merapatkan jas universitas mereka.

 

Universitas Immaculata yang jelas merupakan bagian dari naungan Yayasan Immaculata sangatlah besar dan megah. Satu komplek universitas itu begitu luas dan besar. Bahkan jika ditelusuri, universitas ini memiliki hutan dan danau tersendiri yang luas, meski hanya terdiri dari sepuluh fakultas saja. Gedung di sana besar-besar dengan plafon yang sangat tinggi. Dindingnya dicat dengan warna merah bata dan membuat keseluruhan universitas itu terlihat menjadi sangat klasik dan berkelas.

 

Di setiap taman fakultas, mereka menanam berbagai bonsai di atas rumput golf dan bebatuan coral Italy yang berwarna putih. Sementara di pinggiran jalan pada berbagai lokasi di universitas itu, banyak terdapat bunga bougenville berwarna pink pucat serta putih, yang membuat suasana taman kampus terlihat seperti kondisi musim semi di Jepang.

 

Universitas itu sebenarnya adalah tempat bagi banyak anak orang kaya raya kuliah, tapi beasiswa selalu disediakan bagi mereka yang berprestasi secara akademis, ataupun mereka yang merupakan bagian dari Yayasan Immaculata. Fori tidak masuk kategori pintar. Namun, karena ia sejak dulu adalah bagian dari Panti Asuhan Immaculata, ia mendapat bantuan kuliah bebas biaya di universitas tersebut.

 

Ini sebenarnya cukup berat bagi Fori yang sejak SMP hingga SMA berada di sekolah milik yayasan yang sama. Tidak seorang pun di sekolahnya dulu yang mau berteman dengannya karena Fori tidak berada di kelas sosial yang sama dengan mereka.

 

Tidak saja diasingkan, Fori bahkan terkadang dirundung karena ia satu-satunya anak di panti asuhan yang sejak kecil tidak dipilih untuk diadopsi orang tua mana pun. Maka dari itu, sejak kecil hingga besar, semua yang satu sekolah dengannya sering mengejek nasib sial Fori. Fori kini bahkan bisa disebut sebagai anak yang paling senior di pantinya.

 

Itulah mengapa ia bertekad akan menyelesaikan kuliahnya dengan cepat dan segera bekerja untuk mencari uang. Ia ingin agar suatu saat nanti, ia bisa tinggal sendiri di tempat berbeda. Ia bahkan sudah tahu akan memilih karir apa demi masa depannya. 

 

Fori ingin bekerja di bidang penyiaran; itu sebabnya ia memilih Fakultas Ilmu Komunikasi. Sialnya, hampir semua teman sekolahnya yang dulu menyebalkan dan sering menjahilinya juga berada di fakultas yang sama. Ya, tidak seperti namanya "Fortuna" yang berarti keberuntungan, nasib Fori malah selalu sial.

 

Karena kesialannya, Fori memandang temannya, Beth, dengan sedikit iri. Beth yang seusia dengannya muncul di panti hanya sebulan setelah insiden Sega. Namun, tidak sampai dua tahun setelahnya, ia diadopsi dan pindah ke luar kota. Mungkin karena Beth anak yang sangat pintar, mereka memindahkan sekolahnya ke ibu kota. 

 

Meskipun begitu karena Fori dan Beth sudah terlanjur akrab, keduanya rajin saling kontak dan akhirnya bertemu lagi di universitas yang sama sebagai mahasiswa baru. Keduanya bahkan sama-sama memilih untuk tinggal satu kamar di asrama universitas. Hanya sesekali keduanya berkunjung ke Panti Asuhan Immaculata untuk bertemu Suster Elsa yang kini sudah menjadi kepala panti.

 

"Ramai sekali di sini," desis Beth membuyarkan lamunan Fori. Keduanya ternyata sudah berada di depan pintu kantin fakultas itu dan terkejut karena suasana di sana sangat ramai.

 

"Bagaimana kalau aku yang memesan dan kamu cari tempat duduk saja?" tawar Fori pada Beth. 

 

Beth mengangguk setuju. "Aku mau mi rebus yang panas dan pedas. Kalau bisa pakai bakso," ujarnya sebelum melengos pergi untuk mencari meja yang kosong.

 

Fori dengan cepat langsung membalikkan badannya dan mencari pesanan Beth. Kebetulan sekali, ia juga sedang menginginkan makanan yang sama dengan Beth. Begitu ia selesai memesan, ia pun langsung mencari lokasi duduk Beth dan seketika bengong saat menemukan temannya itu duduk di pojok kantin. Beth memilih posisi duduk yang sangat dekat dengan Hannah dan kelompoknya. Mereka adalah teman-teman sekolah Fori yang sangat dibenci oleh Fori dan selalu menjahili Fori sejak SMP hingga SMA.

 

Dengan lemas, Fori lalu melangkah gontai ke arah Beth sambil memalingkan wajahnya agar Hannah tidak perlu melihat kehadirannya di sana. Sayangnya, segalanya sudah terlambat. Perempuan berambut panjang dan berombak yang diwarnai coklat tersebut sudah menangkap kehadirannya. Melihat Fori, ia pun langsung berbisik-bisik ke arah kelompoknya dan secara serempak cekikikan di meja mereka.

 

"Dari semua tempat, bagaimana kamu bisa memilih untuk duduk di depan meja para iblis itu?" cetus Fori sambil meletakkan kayu berukir nomor tanda pesanan makanannya dan Beth di atas meja mereka.

 

"Iblis?" tanya Beth dengan bingung sambil menoleh ke arah meja di belakangnya. "Maksud kamu, para iblis itu... perempuan-perempuan di belakang kita?"

 

Fori hanya menghambuskan napasnya dengan wajah lesu. Mendadak ia merasa mood-nya menghilang. Terlebih, karena rombongan Hannah terdengar seperti mengatakan sesuatu yang bernada mengejek ke arah mereka berdua.

 

"Dia bilang apa?" bisik Fori pada Beth dengan wajah yang sengaja dibuat datar. Ia berpura-pura tidak melihat ke arah Hannah.

 

"Sesuatu tentang jas kampus kita," ujar Beth tidak yakin.

 

Fori melihat ke arah Beth dan dirinya secara bergantian, lalu dengan refleks memandangi orang-orang lainnya di kantin. Ia pun kemudian merasa malu karena di antara semua mahasiswa di sana, hanya Fori dan Beth yang mengenakan jas kampus. Tidak seorang pun di sana yang memakai itu selain mereka berdua. Kini, ia paham mengapa Hannah langsung memiliki alasan untuk mengejeknya.

 

"Beth," ucap Fori ke arah Beth di depan kursinya, "hanya kita berdua di sini yang pakai jas kampus."

 

"Hah?"

 

Fori mendelik ke arah Beth. "Lihat baik-baik, semua orang memakai baju bebas. Mereka hanya pakai jas saat sesi orientasi. Sekarang, kita satu-satunya di sini yang berseragam."

 

"Lalu?" Beth malah tambah bingung. Baru sedetik kemudian ia mulai mengangkat kerah jasnya sendiri. "Mereka mengejek kita karena ini?"

 

Fori menunduk dan mengangkat tangan kanannya untuk menutupi wajahnya. "Aduh, aku baru sadar. Memalukan sekali, seakan-akan kita bangga sekali menjadi bagian dari universitas ini."

 

Temannya langsung tertawa. "Tapi kalau kita langsung melepasnya, mereka akan tahu kalau kita malu. Sebaiknya kita enggak usah pedulikan mereka."

 

Fori setuju, dan mereka tertolong karena salah seorang petugas kantin mengantarkan pesanan mereka ke meja. Perhatian keduanya pun segera teralih ke mi rebus dengan bakso sapi dan telur puyuh yang terlihat sangat enak.

 

Fori yang lapar langsung menelan air liur melihatnya. Baginya, di saat hujan, memang makanan berkuah panas yang selalu menjadi pilihan yang terbaik. Apalagi ketika keluar dari kamar asrama subuh tadi, ia hanya sempat memakan setengah sisa roti keju dari Beth.

 

"Ngomong-ngomong, laki-laki yang dulu teman kamu itu ... yang tinggal di rumah bukit besar itu ... siapa namanya? Xynth ...?" tanya Beth mendadak sambil menyeruput mi kuah miliknya.

 

"Teman aku dulu namanya Sega. Aku enggak kenal laki-laki bernama Xynth dan aku enggak suka sama dia," jawab Fori ketus.

 

Ia membenci Sega semenjak teman masa kecilnya itu diadopsi oleh orang kaya, lalu mengganti namanya menjadi Xynth. Di atas segalanya, ia membenci Xynth karena pria itu seperti tidak lagi mengenalnya.

 

"Kamu tahu kalau mereka juga mendaftar masuk ke kampus ini?" tanya Beth serius. "Kamu sudah melihat mereka di ruang orientasi hari ini? Katanya, dia dan dua teman serumahnya mendaftar di fakultas yang sama dengan kamu."

 

Seketika, Fori menatap Beth dengan wajah melongo. "Apa maksud kamu? Bukannya orang-orang di rumah bukit itu selama ini selalu menjalani homeschooling? Setahu aku, mereka enggak pernah banyak keluar dan berinteraksi dengan lingkungan sosial mana pun."

 

"Selama ini yang aku dengar juga begitu." Beth memiringkan kepalanya sambil setengah berpikir, sebelum melanjutkan, "Aneh kan? Mendadak mereka semua masuk ke universitas publik."

 

"Yang lebih aneh, mereka masuk Fakultas Ilmu Komunikasi. Padahal, hampir semuanya dari mereka konon jenius di bidang matematika dan sains. Mereka bertiga bahkan lulus tes masuk universitas ini dengan nilai sempurna, sama dengan aku. Jadi, untuk apa mereka masuk komunikasi?"

 

"Mereka masuk ke sini melalui jalur tes? Buat apa? Bukannya mamanya Xynth itu sekarang adalah donatur terbesar Yayasan Immaculata? Wajar saja kalau mereka meraih nilai tertinggi karena status sosial mamanya," jawab Fori pura-pura tak acuh.

 

"Mereka tapi benar-benar pintar kok. Mereka mendapat banyak penghargaan di bidang sains sejak kecil."

 

Fori terdiam. Jika Beth yang mengatakannya, ia akan percaya. Temannya itu adalah salah satu orang paling pintar yang pernah dikenalnya. Ia bahkan sejak dulu selalu masuk sekolah melalui jalur beasiswa karena prestasi, bukan karena bantuan dana seperti dirinya.

 

"Wah, kamu akan sering bertemu dengan mereka, Fori. Pasti menyenangkan, ya. Aku belum pernah melihat mereka secara langsung, loh!" ucap Beth seperti mengiri.

 

"Sebenarnya ... dua bulan yang lalu aku bertemu lagi dengan Sega ... maksud aku, Xynth," ujar Fori dengan wajah ragu.

 

"Eh? Kamu belum menceritakan soal ini ke aku. Apa yang terjadi? Dia sudah mengenali kamu lagi? Seingat aku, dulu kamu pernah cerita ke aku kalau dia mendadak jadi sombong dan enggak mau main sama kamu lagi?"

 

"Ya, tapi ...." Fori terdengar ragu dan malu sekaligus. "Ah, ini sangat memalukan!"

 

Beth mengacungkan garpunya ke wajah Fori dengan pandangan mengancam. "Apa yang terjadi? Ceritakan ke aku kalau kamu masih anggap aku teman kamu!"

 

Fori mengambil napas sejenak. "Kamu ingat enggak, dua bulan yang lalu, aku pernah hubungi Whatsapp kamu dan bilang kalau aku akan menghadiri pesta perpisahan SMA aku?"

 

Beth mengangguk.

 

"Nah, para wanita iblis di belakang kita ini, menjahili aku di pesta itu," lanjut Fori. "Mereka paksa aku meminum beberapa gelas wine di sebuah permainan menyebalkan sampai aku mabuk, dan aku berakhir di kantor polisi tengah malamnya. Saat itu, aku melaporkan Xynth atas pelecehan."

 

Beth terbelalak. "Pelecehan? Kamu serius?! Apa yang terjadi?"

 

"Setelah aku pulang dari pesta itu, aku dan Xynth bertemu di jalan. Saat itu, anehnya dia mendadak membuka bagian atas baju aku. Karena kesal, aku langsung melaporkan dia ke polisi. Sayangnya saat itu CCTV jalanan rusak, aku enggak punya bukti, tapi ... polisi mendapat rekaman black box yang sangat jelas dari mobil Xynth."

 

Fori menenggak minumannya sebelum kembali melanjutkan ceritanya. "Entah bagaimana, dalam rekaman itu ternyata bukan dia yang membuka baju aku, tapi aku yang melakukan itu ke dia."

 

"Pada akhirnya, aku masuk sel tahanan selama semalam akibat dianggap membuat laporan palsu tentang pelecehan. Apalagi, aku tertangkap mabuk-mabukan di bawah usia legal untuk minum alkohol. Saat kejadian kan aku belum resmi berusia 21 tahun."

 

"A-apa?!" jerit Beth sambil berdiri dari kursinya. Ia kemudian kembali duduk dan menutup mulutnya dengan hati-hati. Gadis itu kemudian terlihat seperti menahan tawanya. "Bagaimana itu bisa terjadi? Wah, Fori, ternyata kamu perempuan hidung belang yang agresif!"

 

"Bukan begitu!" seru Fori dengan spontan dan suara yang nyaring. "Aku benar-benar ... dengar, seingat aku, aku sedang berjalan pulang dan berhenti di sebuah tiang listrik karena merasa sangat mual."

 

"Mobil Xynth lewat, dan aku ingat mendadak dia berhenti, turun dari mobil, lalu langsung menyingkap bagian atas baju aku dengan paksa. A---aku enggak ingat pernah melakukan yang sebaliknya ke dia. Enggak tahu bagaimana, hasil rekaman dari kotak hitam mobil mereka malah seperti itu."

 

"Karena mabuk, kamu mungkin jadi enggak ingat dengan jelas, Fori! Tangkapan video kan enggak mungkin berbohong?!"

 

Fori membenamkan wajahnya di meja dengan malu ketika mengingat kejadian di kantor polisi bersama Xynth. "Ah, memalukan sekali! Dulu dan sekarang, aku selalu memiliki halusinasi aneh tentang dia!"

 

"Dulu?" respons Beth dengan wajah penasaran. "Dulu pernah ada kejadian serupa?"

 

"Aku belum pernah cerita ini ke kamu, tapi sebenarnya... dulu aku juga pernah mimpi aneh tentang Sega ... atau Xynth. Aku mimpi dia diculik ke atap rumah sakit tengah malam saat kami dirawat di sana."

 

"Dalam mimpi aku, semua orang-orang di sana diam seperti patung, dan ada sekelompok pemuja setan di atap gedung yang membunuh seorang kakek tua sekarat dan mengambil darahnya untuk diminum Sega. Karena takut, aku langsung kabur. Tapi besok paginya, aku dengar kabar kalau Sega ternyata baik-baik saja."

 

Fori melihat Beth terdiam mematung sambil menatapnya dengan tajam. Beberapa detik kemudian, temannya itu mendadak tertawa terpingkal-pingkal dan melirik ke arah Fori dengan tatapan geli.

 

"Fori, kamu benar-benar memiliki imajinasi yang kelewat tinggi. Jangan-jangan kamu delusional! Kamu bilang ada sekelompok pemuja setan?!" ucap Beth terpatah-patah akibat tak bisa menahan tawanya.

 

Fori merasa kesal dengan reaksi sahabatnya, tapi rupanya bukan hanya gadis itu yang merasa jengkel. Rombongan wanita iblis di meja belakang mereka sepertinya tidak suka melihat Beth dan Fori tertawa-tawa. Mereka pun melempari Beth dengan kerupuk dan membuat remahannya menempel di rambut ikal Beth.

 

"Berisik!" hardik Hannah dengan sinis ke arah Beth dan juga Fori. Ia melempar dua kerupuk lagi, kali ini mengenai wajah Beth dan Fori.

 

Beth terdiam di tempatnya, sebelum perlahan memungut kerupuk yang terselip di rambutnya. Ia lalu berdiri dan membalikkan badannya ke arah Hannah dan teman-temannya dengan tampang kesal.

 

"Kamu tahu, aku sedang kesal saat ini," desis Beth dengan suara yang dalam ke arah Hannah.

 

"Terus kamu bisa apa?!" ejek Hannah menantang Beth. Ia kini ikut berdiri dari kursinya sendiri.

 

Akibat pertanyaan Hannah ... yang terjadi selanjutnya adalah malapetaka. Beth melempar Hannah dengan segelas teh hangat yang membuat blouse putih wanita cantik itu basah seketika.

 

Hannah menjerit, dan teman-temannya langsung bengong menatapnya. Tidak sampai beberapa detik kemudian, Hannah balas melempar Beth dengan sisa makanan di meja mereka, tapi Beth mengelak dengan cepat. Akibatnya, jelas Fori yang menjadi korban. Wajah, rambut, dan bajunya langsung basah semua akibat lemparan Hannah.

 

Belum cukup sampai di sana kesialan Fori. Ia baru sadar bahwa yang dilempar Hannah adalah kuah cuko empek-empek, yang artinya ... ia akan bau asam seharian, sementara Fori masih harus melanjutkan ospek mereka hari itu. Namun, baik Hannah dan Beth sepertinya tidak peduli dengan kondisi Fori.

 

Kalau tidak dilerai orang-orang di sekitar mereka, keduanya nyaris saling jambak menjambak di sana. Buntutnya, baik Hannah dan kelompok iblisnya serta Beth dan Fori, akhirnya diusir keluar oleh petugas kantin di hari orientasi pertama mereka sebagai mahasiswa baru universitas tersebut.

 

___

 

"Ggrrhh, wanita iblis itu ternyata memang benar-benar menyebalkan!" gerutu Beth di sepanjang lorong perjalanan ke luar dari kantin, sementara kelompok Hannah memilih untuk langsung ke toilet dan membersihkan diri mereka sambil mengomel-ngomel.

 

"Aku enggak bisa membayangkan, bagaimana kamu mampu menghabiskan enam tahun di sekolah yang sama dengan dia! Dasar perempuan iblis!" sambung Beth dengan tensi lebih tinggi.

 

"Ehm, Beth, aku tahu kamu masih kesal, tapi ... aku basah dan bau cuka di sini," ujar Fori mengingatkan. Beth lalu menoleh ke arah Fori dan mendadak merasa bersalah.

 

"Aduh, maaf Fori, aku enggak sadar. Duduk di sini sebentar, ya!" katanya begitu tersadar akan kondisi temannya, sambil cepat-cepat mengeluarkan satu bungkus tisu dari dalam tasnya. Ia kemudian membantu Fori mengusap bagian basah di wajah, rambut, dan baju Fori.

 

"Aku akan bau seharian, kan?" tanya Fori dengan tampang pasrah.

 

"Sepertinya begitu," jawab Beth kembali merasa bersalah. "Sebentar lagi kelas orientasi akan dilanjutkan. Aku rasa, kita enggak akan punya waktu untuk kembali ke asrama dan ganti baju dulu. Apalagi, di agenda ospek selanjutnya dengan para senior, kita wajib menggunakan jas kampus. Kamu tahu kan di acara seperti itu para senior akan benar-benar menyiksa kita?"

 

"Ucapan kamu enggak membantu situasi aku sama sekali. Kamu bawa parfum?" tanya Fori dengan lemas.

 

Beth menggeleng. "Kamu tahu aku enggak pernah suka pakai parfum. Tapi sepertinya di ruang administrasi fakultas kalian tadi, aku sempat lihat ada semprotan anti serangga dengan aroma lavender. Biasanya itu cukup wangi. Apa kita pinjam itu saja?"

 

"Kamu gila?!" teriak Fori putus asa. "Kamu mau menyemprot aku dengan semprotan serangga?!"

 

"Ah, maaf, Fori, aku hanya---" ucapan Beth tiba-tiba menggantung. Mendadak ia terdiam dan berhenti menyeka wajah Fori. Ia kini memandang ke arah lorong di seberang kiri mereka dengan mata yang tampak mendelik.

 

Dengan refleks, Fori ikut menoleh dan melihat ke arah sumber pandangan Beth dengan wajah yang langsung tampak terkejut. Xynth dan dua temannya yang sama-sama memiliki tinggi tubuh sekitar 190 senti, tengah berjalan di lorong kantin dan mengakibatkan para mahasiswi di sana semuanya serempak menahan napas.

 

Tiga pria itu semuanya begitu tampan dan memiliki bentuh tubuh sangat ideal. Dari kejauhan, Fori memandangi Xynth yang memiliki rambut berwarna hitam dengan bola mata keperakannya yang sangat memikat. Hidungnya sangat mancung, serasi dengan bibirnya yang berwarna segar seperti darah. Terlebih, kulitnya sangat pucat, khas orang yang jarang keluar dari rumahnya. Matanya sipit dan tajam seperti elang. Namun saat berjalan, ia seperti tidak peduli dengan sekelilingnya sama sekali.

 

Entah bagaimana, pesona kedua temannya hampir mirip dengannya. Mereka semua berwajah khas, seperti berdarah campuran asing semua. Tidak saja itu, ketiganya nyaris sempurna: sama-sama jenius dan sangat kompeten di berbagai bidang. Setahu Fori dari orang-orang di sekitar rumah bukit, pria yang berambut panjang lurus dan selalu diikat ke belakang bernama Rigel. Ia terlihat seperti pangeran kerajaan kuno jaman dahulu yang bersikap sangat kaku.

 

Satu lagi yang berambut pirang ikal bernama Antares. Di antara ketiga pria itu, Antares yang terlihat paling ceria dan ramah, sedangkan Rigel paling pendiam.

 

Xynth sendiri terlihat seperti paling tidak ramah, pemarah, dan memiliki aura superior di antara dua temannya yang lain. Meskipun begitu, Xynth memang terlihat paling berkilau di antara mereka. Uniknya, mereka semua berpenampilan sedikit kuno, preppy, dan klasik.

 

Kalau saja tidak memiliki pengalaman halusinasi soal kelompok pemuja setan di sekeliling Xynth dulu, mungkin Fori akan langsung menyukai mereka seperti kebanyakan wanita-wanita lainnya. Namun, yang terjadi saat ini malah Fori sedikit takut pada mereka.

 

"Manekin," gumam Fori tanpa sadar dari bibirnya karena menganggap ketiga pria itu terlihat seperti manekin pria di butik-butik baju. 

 

Ia mengoceh-ngoceh pada Beth dari tempatnya sambil mengomentari dan mengejek penampilan Xynth. Fori yakin kalau ia hanya setengah berbisik dari tempatnya yang berjarak lebih dari sepuluh meter dari ketiga pria tersebut. Namun anehnya, ketiganya mendadak menoleh ke arah Fori dan memandangi wanita itu dari kejauhan, seolah-olah mereka mendengar ejekan Fori barusan.

 

Fori segera memalingkan wajahnya karena tidak yakin dengan penglihatannya, tetapi kemudian dengan hati-hati, ia kembali mengintip ke arah tiga pria itu melalui ujung matanya. Ia tidak salah, ketiga pria itu memang tengah menatap ke arahnya dari posisi mereka. Hal itu jelas membuat Fori langsung merinding.

 

"Beth, lihat itu," kata Fori sambil menjulurkan sebelah tangannya untuk meraih badan Beth di belakangnya, sambil tetap menatap ke arah Xynth dan dua temannya. "Kelompok pemuja setan itu seperti sedang melihat ke arah aku. Mereka memang melihat aku, kan? Apa mereka mendengar kata-kata aku tadi?" Fori tidak mendengar sahutan dari Beth sama sekali dan tidak merasakan kehadiran sosok Beth dengan tangannya. Ketika ia menoleh ke belakang, Beth ternyata sudah tidak ada. Itu berarti, para pria itu sejak tadi melihatnya sedang berbicara sendiri. Sadar kalau ia tampak memalukan, Fori terdiam kaku selama beberapa detik, sebelum kemudian langsung berbalik dan berlari ke arah toilet wanita. Flustered and embarrassed, Fori swiftly rose from her seat and hurried towards the women’s restroom, desperate to escape the situation.

 

"Sialan, kenapa Beth mendadak menghilang, sih?!" keluh Fori sambil berusaha melenyapkan dirinya dari lorong itu dengan cepat.

 

Ia lalu mengecek ponselnya yang berbunyi dan mengeluarkan notifikasi pesan masuk. Ada satu pesan baru dari Beth yang membuat Fori tambah meringis kesal saat membacanya.

 

"Fori, maaf, aku baru ingat kalau ospek di fakultas aku dimulai lebih cepat dibanding dengan di fakultas kamu. Aku tadi pergi duluan. Maaf ya karena insiden di kantin tadi. Jangan lupa pakai semprotan serangga di bagian administrasi fakuktas kamu. Kamu benar-benar bau cuka!"

 

___

 

Jalannya sesi kedua ospek hari itu bak neraka. Semua orang di aula Fakultas Komunikasi menyadari bahwa ada bau cuka yang juga bercampur bau semprotan anti serangga di sana. Mereka semua berusaha menjauh dari Fori ketika menyadari bahwa sumber bau aneh yang menyengat itu adalah Fori.

 

Tidak saja itu, Xynth dan kedua temannya ternyata benar satu fakultas dengan Fori. Meski datang terlambat, kawanan pemuja setan itu hadir di sesi kedua dan langsung membuat kegaduhan di kalangan mahasiswa baru lainnya yang kagum pada mereka. 

 

Ternyata, banyak dari mereka yang sudah lama tahu berbagai prestasi Xynth dan kawan-kawannya.

 

Lebih naas lagi, para senior yang memimpin sesi kedua kali itu sepertinya bengis dan siap melampiaskan masalah hidup mereka yang kelam dengan menyiksa semua mahasiswa baru. Semua anak baru disuruh maju untuk mengambil pita dalam sebuah kotak untuk menentukan kelompok mereka masing-masing.

 

Xynth dan teman-temannya berdiri duluan di depan untuk mengambil pita. Saat Xynth berbalik dari depan, Fori sempat melihat pria tersebut mendapatkan pita berwarna kuning di telapak tangannya. Pria yang bernama Antares mendapatkan pita merah, sementara Rigel mendapatkan pita berwarna biru.

 

Kini, Fori berjalan sesuai antrean barisan dan berdoa agar ia tidak mendapatkan pita berwarna yang sama dengan Xynth. Ia tidak mau berada dalam satu kelompok dengan pria itu.

 

Gadis itu menunduk ketika orang-orang yang berbaris di dekatnya menutup hidung dan menatap dengan sengit ke arahnya. 

 

Fori sendiri belagak tidak peduli, tetapi sebenarnya emosinya membuncah saat melihat Hannah terlihat antusias saat mendapatkan pita kuning. Fori yakin hampir seisi ruangan di sana tahu bahwa Xynth mendapat pita kuning, karena hampir semua wanita di sana berdoa mendapatkan pita berwarna sama dengannya.

 

Satu-satunya yang membuat Fori lega hari itu adalah ketika ia maju dan mengulurkan tangannya ke dalam kotak, ia berhasil mendapatkan pita berwarna hitam. Dengan wajah semringah, gadis itu pun segera berjalan menuju ke barisan kelompok hitam.

 

Sayangnya, rasa senangnya tidak bertahan lama. Beberapa detik kemudian, ia langsung bengong di tempat.

 

Hampir semua yang mendapatkan pita hitam benar-benar culun, bertubuh kurus kering, dan tidak terlihat bertenaga. Mereka bahkan tampak seperti orang-orang yang ingin mati saja dan tidak berniat untuk berkomunikasi dengan satu sama lainnya.

 

Fori mendekat dengan lemas dan berusaha menyapa seseorang di sana, tapi orang yang disapa Fori malah segera menutup hidungnya dan melesat kabur. Rupanya di balik aura suram orang-orang di sana yang sesuai dengan warna pita mereka, hidung mereka masih bekerja dengan baik.

 

Karena mulai jantungan dengan prospek kelompoknya sendiri, ia lalu duduk di sebuah kursi dan menatap ke sekeliling tim hitam yang sibuk masing-masing. Gadis itu sudah hampir putus asa dengan situasi di timnya yang suram, ketika mendadak suara seseorang mengagetkan semua personel tim hitam.

 

Fori menoleh dan melihat Xynth tiba-tiba berdiri di belakangnya sambil memegang pita hitam.

 

"Tim ini sudah punya pemimpin?" tanya Xynth dengan suara beratnya. Hanya satu pertanyaan darinya, tapi seluruh tim hitam yang tadi serempak frustrasi, mendadak penuh semangat dan pengharapan. Bola mata mereka semua jadi berbinar-binar.

 

"Be-belum," jawab seorang laki-laki bertubuh sedikit bungkuk dengan wajah penuh bintik. Ia mendekat ke arah Xynth, seperti ingin menjilat pada pria itu. "Kami rasa, kami akan memilih kamu saja sebagai ketua. Semuanya setuju, kan?"

 

Semua orang di tim hitam seketika bersorak mendukung, tapi Fori yang kesal dan masih kaget akan kehadiran pria itu di kelompoknya, tanpa sadar mengungkapkan penolakannya.

 

"Semua? Aku enggak bilang aku setuju," gumam Fori seorang diri. Ia merasa bahwa ia hanya mengatakannya dalam hati, tapi ternyata semua orang di sana mendengarnya. Ketika sadar, Fori hampir menampar mulutnya sendiri.

 

"Kamu mau jadi pemimpin tim hitam?" tanya Xynth pada Fori dengan tatapan tajam.

 

Suasana di sana mendadak berubah hening dan seluruh orang kini memandang ke arah Fori dengan heran. Fori tidak segera menjawab. Sebenarnya, lebih tepatnya ia tidak sanggup untuk menjawab karena ia tidak pernah bermaksud mengajukan dirinya sebagai pemimpin.

 

Fori hanya tidak sengaja mengatakan keberatannya karena sangat yakin bahwa pria itu mendapat pita kuning, dan bukan pita hitam. Ia juga yakin seisi ruangan aula tahu soal itu karena tadi pun ia sempat mendengar beberapa wanita yang mengiri pada tim hitam, mengatakan bahwa mereka melihat Xynth sebenarnya mendapatkan pita kuning.

 

"Nama kamu ... Fortuna?" tanya Xynth sambil mendekat ke arah Fori dan membaca name tag di jas gadis itu. Fori langsung merasa terintimidasi dengan tubuh tinggi tegap Xynth yang membuat tubuhnya sendiri terasa sangat kerdil. 

 

"Aku harus memanggil kamu Fart ... atau Tuna?" lanjut pria itu tanpa beban moral.

 

Semua orang di sana seketika tertawa mendengar ucapan Xynth dan itu membuat wajah Fori langsung memerah karena malu. Ia tahu pria itu sengaja melakukannya. Sekalipun ia lupa kedekatan mereka saat kecil dulu, ia jelas sudah mendengar nama panggilan Fori saat keduanya berada di kantor polisi dua bulan yang lalu.

 

"Karena Fortuna sudah duluan mengajukan diri, maka aku akan mendukung dia sebagai ketua tim hitam," ucap Xynth sambil mengalihkan pandangannya ke para anggota tim hitam lainnya. "Kalian semua setuju, kan?"

 

Bak terhipnotis, mendadak semua yang ada di sana setuju dengan usulan Xynth itu. 

 

Fori bengong di tempat. Ia tidak pernah membayangkan dirinya akan menjadi pemimpin di mana pun, apalagi di ajang ospek yang pastinya penuh ambisi dan sarat kompetisi antar para mahasiswa baru tersebut. Namun, ia tidak bisa membantah keputusan timnya karena semua yang di sana mendadak sepakat untuk memilihnya sebagai ketua.

 

"Sekarang, kamu sudah resmi jadi ketua tim kami, Lima Belas," bisik Xynth ke arah Fori. "Apa yang harus kami lakukan selanjutnya? Kamu akan memimpin rapat strategi tim, kan?"

 

"Tunggu," sela Fori secara mendadak. "Apa tadi kamu baru saja panggil aku 'Lima Belas'?

 

"Enggak, aku panggil kamu Fortuna," jawab Xynth setelah terdiam sejenak.

 

"Enggak, kamu jelas-jelas panggil aku 'Lima Belas' ... dan itu untuk yang kedua kalinya kamu panggil aku begitu."

 

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Terlama
Terbaru Vote Terbanyak
Inline Feedbacks
View all comments
error: KONTEN INI DIPROTEKSI!!!
Seraphinite AcceleratorOptimized by Seraphinite Accelerator
Turns on site high speed to be attractive for people and search engines.