"Kita harus menunjuk tiga orang pengarah di tim kita," kata Fori ke seluruh anggota timnya yang sedang berkumpul. "Ada ide siapa yang mahir menggambar, mahir menggunakan bahasa tubuh, dan punya pengetahuan luas soal lagu?"
"Ketua harus menjadi pengarah pertama!" seru salah satu dari peserta tim hitam yang langsung disetujui oleh yang lainnya.
"Oke ... oke," jawab Fori dengan terpaksa. Ia tidak pernah benar-benar mahir menggunakan bahasa tubuhnya dan kini merasa sedikit khawatir. "Jadi, bagaimana dengan pengarah kedua? Ada yang mahir menggambar di tim kita?"
Tidak ada satu pun dari mereka yang sudi menjawab. Ini menandakan kalau memang kebanyakan dari mereka tidak ada yang mahir menggambar.
"Bagaimana kalau Xynth saja?"
Xynth yang sedang duduk di pinggir jendela seorang diri, langsung mendelik ke arah salah satu peserta yang mengusulkan namanya. Namun, belum sempat ia menolak, seluruh orang di sana sudah langsung bersorak gembira. Saat itu, ia mendadak merasa menyesal karena sudah setuju dengan taruhan Antares yang membuatnya tidak bisa menggunakan kekuatannya di masa orientasi.
"Baik, kalau begitu, Xynth akan jadi pengarah di bagian menggambar," ucap Fori. "Sekarang, ada yang mau jadi pengarah ketiga?"
"Bagaimana kalau aku saja?" jawab Siska secara tiba-tiba dan dengan sedikit malu-malu. "Semuanya mungkin tahu banyak lagu dibanding aku, sementara aku hanya sering mendengar instrumental sejak kecil. Tapi ... aku hanya perlu membaca liriknya saja, kan?"
"Kamu hanya selalu mendengar musik instrumental sejak kecil?" tanya Fori dengan raut terkejut. Ia tidak pernah tahu ada orang yang hanya mendengar instrumental sepanjang hidupnya.
"Setahu aku, Siska itu pianis," celetuk salah satu peserta di sana.
"Itu dulu," jawab Siska mengoreksi. "Tangan aku mengalami kecelakaan saat SMA dan sudah susah bermain piano lagi. Tapi sampai sekarang, aku masih mendengar musik instrumental klasik. Jadi, aku tetap enggak terlalu paham dengan lagu-lagu populer."
"Ah, kamu ternyata pernah menjadi pianis," ujar Fori sambil manggut-manggut. "Oke, karena Siska sudah mengajukan diri, dia akan jadi pengarah ketiga. Sekarang, kita harus pikirkan kata apa yang akan kita berikan ke tim merah untuk sesi pertama ini? Kalian punya ide?"
"Kita harus membuatnya sesusah mungkin," kata Xynth padanya.
"Satu suku kata kan?" tanya seorang peserta. "Bagaimana kalau kita ambil dari cabang olahraga tertentu, misal istilah 'birdie' dari golf?"
"Tapi siapa pun yang mengerti akan langsung bisa menebaknya kalau mereka tahu itu dari olahraga golf," komentar Xynth. "Sebaiknya, gunakan istilah dari olahraga yang enggak terlalu populer karena potensi mereka untuk bisa menebaknya nanti akan lama. Misal, 'tekong' dalam sepak takraw."
"Di Indonesia banyak pemain sepak takraw," kata Fori. "Bagaimana kalau 'inning' dari olahraga baseball? Itu agak susah diperagakan, kan?"
Semua peserta tim langsung bersorak setuju. Fori pun segera mengambil kertas dan menuliskan 'inning' di kertas tersebut.
"Kamu yakin mereka akan kesusahan? Mengingat ini universitas dari golongan menengah ke atas, aku rasa ... lebih banyak yang mengerti soal baseball dibanding sepak takraw," bisik Xynth ke telinga Fori.
"Ah, tapi mereka akan susah untuk memperagakannya."
Xynth hanya mengangkat bahunya dan akhirnya kembali duduk di tempatnya. Fori sendiri segera maju dan memberikan kertas itu ke senior yang mengawasi pertandingan. Tidak berapa lama, pengarah kedua tim maju ke depan dan saling bersiap diri.
Dari bagian tim merah, seorang pria bertubuh gempal pendek yang sepertinya juga merupakan ketua tim itu, maju dan tersenyum ke Fori. Fori membalas senyumannya dengan percaya diri. Namun, hanya sesaat setelah seorang senior di sana menyerahkan kertas milik tim merah ke tangannya, wajah Fori langsung berubah total.
"Tim hitam mendapat giliran pertama," ucap sang senior pada mereka semua.
Fori mendadak pucat pasi melihat peserta tim hitam berkumpul dengan serius dan menatap ke arahnya dengan penuh harapan. Ketika senior tersebut meletakkan jam countdown di meja bagian depan dan mengatakan bahwa game dimulai, Fori langsung panik. Dengan refleks, ia langsung berusaha membuat gerakan berlari. Tentunya kemudian berbagai tebakan segera muncul.
"Ah, ini dari cabang atletik. Lari? Marathon?"
“Start? Finish?”
“Fartlek? Cadence? Pace?”
Fori menggeleng keras saat timnya menyebut istilah-istilah itu. Ia lalu mengangkat satu tangannya dan berlagak seperti sedang menunjukkan ototnya yang langsung disertai gelak tawa dari kelompok merah.
"Apa dari olahraga angkat besi? Binaraga? Sesuatu tentang otot?"
Fori kembali menggeleng, dan kali ini Fori bersikap seolah-olah sedang kembali berlari lagi, lalu berakting seperti meraih piala kemenangan dengan wajah semringah hingga tim merah kembali terpingkal-pingkal.
"Apa maksud ketua? Cabang olahraga apa ini?"
"Juara? Piala? Trofi?"
Kali ini, Fori terlihat seperti berenang, lalu bergerak seperti kembali meraih kemenangan dan mendapat medali. Ia juga memperagakan berbagai olahraga sehingga membuat timnya kemudian bertambah bingung.
Seluruh timnya pun berlomba-lomba menyebutkan semua istilah dari berbagai cabang olahraga. Karena frustrasi melihat waktu tersisa sedikit bagi mereka, Fori kembali mengulang gerakan awalnya dan membuat yang lain mulai sama paniknya. Kali ini, ia seperti melakukan gerakan meminum sesuatu, lalu kembali berolahraga.
"Minum?" tebak Xynth menjelang detik-detik terakhir. Fori terlihat antusias mendengar jawaban Xynth, lalu mengangkat tangannya untuk meminta Xynth menebak lagi. Gadis itu kemudian kembali memperagakan gerakannya tadi berulang-ulang dan kini menunjukkan ototnya lagi.
"Steroid? Ah, Doping!" jawab Xynth. Sayangnya, saat Xynth menjawab 'doping' dan Fori berteriak girang, waktu tanda berakhirnya game juga berbunyi. Jawaban benar Xynth pun didiskualifikasi karena waktu mereka sudah habis.
"Seharusnya dari awal kamu langsung membuat gerakan minum atau menyuntik," komentar Xynth pada Fori dengan sikap santai. Namun, Fori yang sudah kecapaian dan berkeringat dingin, langsung mendelik sensitif ke arah Xynth yang terlihat kecewa.
"Kenapa enggak kamu saja yang tadi maju dan memperagakannya? Kamu enggak lihat seluruh tim merah sudah menertawakan aku habis-habisan?!"
"Aku hanya mengevaluasi game tadi, kenapa kamu langsung marah begini? Kamu ini sedang datang bulan atau apa?! Lagi pula, kalau kamu membuat gerakan minum sejak awal, semuanya mungkin akan dengan mudah menjawab 'doping'!"
Fori yang merasa disalahkan pun langsung meradang. "Kamu bodoh? Aku sudah memperagakan berbagai olahraga dan kemenangan, kenapa kamu lamban sekali berpikir dan menjawab 'doping'?!"
Xynth melotot mendengar ucapan emosional Fori, dan mereka sudah seperti akan perang mulut. Untungnya, Siska segera melerai keduanya.
"Tenang ... tenang, masih ada dua sesi game lagi hari ini," kata Siska sambil berusaha menenangkan mereka. "Sekarang, kita doakan saja tim merah akan gagal menjawab punya kita."
Tim merah segera bersiap ketika ketua tim mereka yang bertubuh gempal sudah diberikan kertas milik tim hitam. Ia lalu membacanya dan langsung tersenyum lebar. Ketika game dimulai, pria itu segera bergerak seolah-olah tengah memegang tongkat baseball. Gerakannya langsung disusul dengan berbagai tebakan dari peserta tim merah.
"Dari olahraga baseball? Stick? Homerun?"
“Pitcher? Catcher?”
“Base? Hit?”
“Infield? Outfield?”
"Inning," tebak Antares secara tiba-tiba, yang langsung disambut dengan sorakan gembira sang pria gempal.
Setelah tahu kalau tebakan Antares benar, seluruh tim merah ikut bersorak hingga mengeluarkan gemuruh di seluruh ruang aula. Antares kini memandang ke arah Xynth dari tempatnya sambil tertawa penuh kemenangan. Ini tentunya memicu perasaan kesal dari Xynth yang sombong. Entah bagaimana, darah kompetitifnya mendadak muncul.
"Kita harus memberikan mereka kata-kata yang sulit di game kedua!" ucap Xynth pada Fori yang duduk dikelilingi oleh tim hitam. Mendadak, pria itu terlihat jadi lebih ambisius dan penuh tekad.
"Dua sampai tiga suku kata dari bidang pemberitaan," gumam Fori padanya. Wajah gadis itu tidak kalah serius. "Apa kata-kata yang akan membuat tim merah akan kesusahan untuk menjawab?"
"Running text? Laporan langsung?" saran seorang peserta.
"Itu mudah digambar," jawab yang lain dengan segera.
"Bagaimana kalau prakiraan cuaca?"
"Itu mudah," celetuk Xynth. "Vox pop saja, mereka akan kesusahan untuk jawab vox pop."
"Vox pop? Sepertinya itu memang akan susah untuk digambarkan. Ide kamu bagus sekali, Xynth!" puji para peserta yang lain dengan penuh semangat.
"Benar, aku akan menulis vox pop saja," tambah Fori dengan nada antusias. Ia segera menuliskan kata itu di kertas tim mereka dan memberikannya ke senior di bagian depan yang sedang menyiapkan white board kecil beserta sebuah spidol hitam.
"Tim merah yang maju pertama," ujar sang senior.
Kali ini, Antares yang maju dengan penuh percaya diri dan tampang cengar-cengir. Ia kemudian mengambil kertas dari sang senior dan langsung terdiam di tempat. Begitu game dimulai, Antares langsung membuat berbagai gambar wawancara, dan seluruh peserta tim merah menjawab dengan berbagai istilah jurnalistik.
"Interview? Wawancara?"
Antares mengangguk sambil mengangkat satu tangan untuk membuat timnya terus menebak dengan petunjuk itu.
"Ehm, live interview? Wawancara langsung?"
"Doorstop?"
"Jumpa pers? Narasumber?"
Antares menggambar lebih banyak orang yang diwawancarai, tetapi tidak satu pun dari mereka berhasil menebaknya. Tim merah yang mulai frustrasi kini mencoba menyebut berbagai istilah jurnalistik dengan asal saja.
Sayangnya, hingga akhir, tim merah gagal menjawab dan membuat tim hitam langsung bersorak girang. Kini, gantian Xynth yang menatap ke arah Antares dengan senyum ejekan.
Untuk game kedua, Xynth yang maju ke depan untuk mewakili timnya. Pria itu mengambil sebuah kertas dari senior, lalu membacanya. Ia kemudian tersenyum, dan langsung mengambil spidol hitam yang tersedia dengan sikap tenang. Begitu game dimulai, ia langsung menggambar sebuah buku di papan tulis.
"Buku? Sampul? Naskah berita?" tanya Fori.
"Naskah berita? Koran?" tebak yang lainnya.
Xynth kali ini menambah gambar dua koin dengan permukaan yang berbeda.
"Berita ekonomi?" tanya salah satu peserta.
"Kenapa dia menggambar dengan sangat detail dan rapi? Dia akan menghabiskan waktu dengan menggambar terlalu bagus," komentar Fori lagi yang langsung membuat konsentrasi Xynth terganggu. Meskipun begitu, ia mencoba menggambar ulang sesuatu.
"Itu seperti sampul buku atau televisi. Apa yang dia gambar sebenarnya?" ucap Fori masih kebingungan. "Itu seperti gambar kotak ... apa peti mati? Ah, berita tragedi? Aura gambarnya sangat suram."
Xynth mencoba untuk mengacuhkan ucapan Fori barusan, meski mulai meradang karena gantian tim merah yang menertawakan semua komentar Fori padanya.
"Ah, sepertinya aku tahu jawabannya," gumam Siska pada Fori. Siska sebenarnya sudah akan menjawab, tapi karena ia memiliki tipe suara yang kecil dan tidak bisa menaikkan intonasi suaranya, ia menyentuh bahu Fori untuk meminta tolong.
"Dia sedang apa? Terlalu banyak detail hiasan pada gambar. Apa dia sedang berusaha melukis?" tanya Fori lagi dengan heran. Namun, suaranya kembali terdengar sampai ke tim merah dan membuat tim merah lagi-lagi tergelak.
"Fo---fori, aku tahu maksud gambar Xynth," ucap Siska dengan takut-takut setelah melihat tubuh Xynth sudah bergetar hebat menahan amarahnya. "Maksud Xynth itu ... cover both ...."
Ucapan gadis itu langsung tertelan setelah mendengar suara spidol dipatahkan oleh Xynth dari depan. Kini, pria pemarah itu langsung berteriak marah ke arah Fori.
"Kamu tolol atau bagaimana?! Kamu bisa menjawab sampul, tapi enggak bisa menebak ini 'cover both sides'?!"
Amukan Xynth barusan membuat satu ruangan aula sampai serempak tertawa keras. Bahkan para senior di ruangan itu langsung melihat ke arah tim hitam yang begitu heboh karena perdebatan ketua timnya dengan Xynth.
"Mereka mungkin sebelumnya berjodoh. Sejak tadi, mereka terus bertengkar seperti anjing dan kucing," komentar salah satu peserta di tim hitam dengan keras sampai membuat ruangan aula bertambah heboh dan langsung menonton perdebatan mereka.
"Berjodoh? Aku enggak sudi berjodoh dengan gadis dungu seperti dia!"
"Kamu kira aku mau dengan kamu?!"
Rigel yang tadinya sedang sibuk dengan timnya sendiri, kini melirik ke arah Antares. Ia memberi isyarat pada pria itu untuk menenangkan Xynth, tapi Antares justru tertawa. Sebuah peluit mendadak ditiupkan oleh senior yang mengawasi tim merah dan tim hitam. Suddenly, a whistle pierced the air, drawing attention to the senior overseeing the red and black teams.
"Tiga poin tambahan diberikan ke tim merah karena pengarah tim hitam bersuara," ujar sang senior berusaha menahan tawanya. "Status sementara, enam poin untuk tim merah, dan nol untuk tim hitam. Karena sudah memimpin, tim merah akan maju duluan di sesi ketiga ini. Silakan bersiap-siap bagi kedua tim!"
"Kamu masih marah?" tanya Fori padanya sambil tersenyum geli setelah ketegangan di antara mereka mulai mereda.
"Kamu buat aku seperti orang bodoh di depan. Akibatnya, mereka semua jadi menertawakan aku. Kamu berharap aku enggak marah sama kamu setelah semua itu?!"
Fori menepuk lengan Xynth dengan pelan. "Maaf, aku hanya enggak sadar saat menebak tadi karena terlalu ingin menang. Aku menyebutkan apa saja yang terlintas di kepala aku tanpa sadar kalau kamu sudah jadi bahan tertawaan."
"Sebaiknya kamu memikirkan sesi ketiga dengan lebih baik," ujar Xynth. "Kalau sampai skor kita nol, aku akan minta pertanggungjawaban dari kamu sebagai ketua."
"Baiklah," jawab Fori sambil tersenyum. Ia lalu berbalik ke arah tim hitam yang lain dan mengajak mereka semua untuk memikirkan strategi di sesi ketiga.
"Ada yang punya ide lagu yang sulit ditebak untuk sesi ketiga ini? Kuncinya adalah chorus dari lagu era lama," ujar gadis itu pada semua anggota timnya. "Xynth, biasanya ide kamu bagus. Kamu punya strategi untuk sesi ketiga?"
Xynth yang amarahnya sudah mereda terlihat mulai memikirkannya. "Karena pengarah hanya boleh memberi petunjuk melalui lirik dan enggak boleh menggunakan satu pun kata dari judul lagunya, kita harus cari lagu yang banyak menggunakan kata dari judul itu sendiri."
"Ah, benar juga. Tim merah akan kebingungan untuk menebak kalau banyak kata yang harus pengarah mereka hilangkan nantinya," timpal seorang peserta.
"Siapa di sini yang suka karaoke?" tanya Fori lagi. Semua orang di sana langsung mengangkat tangan mereka, kecuali Xynth dan Siska. "Oke, kalau begitu, kali ini semua orang wajib memberikan ide masing-masing. Tiga menit dari sekarang, kita akan memilih lagu mana untuk kita ajukan ke tim merah."
Baik tim merah dan tim hitam terlihat sama-sama serius dalam menentukan pilihan lagu masing-masing. Ketika sudah selesai, masing-masing ketua tim pun maju dan langsung memberikan kertasnya pada senior di depan.
Kali ini, tim merah diwakili oleh seorang gadis berkacamata. Ia membaca judul dari tim hitam dan mendadak terlihat seperti sangat bingung. Wajah gadis itu berubah pucat pasi, dan ia malah tampak seperti meminta pertolongan dari timnya sendiri. Sikapnya jelas langsung membuat tim hitam tersenyum penuh harapan.
"Ingat," ujar senior di depan pada seluruh peserta yang lain. "Dilarang menjawab dengan kata-kata. Kalau sudah tahu lagu apa yang dimaksud, langsung nyanyikan bagian utama lagu tersebut dan enggak boleh sampai terputus atau terhenti."
Gadis dari tim merah tersebut kemudian membuka ponselnya dan membaca sesuatu, seolah-olah sedang berusaha keras untuk tidak menyeploskan judul lagu tim hitam.
“Lift yourself up off by the floor, like today never happened, today never happened before,” ucapnya dengan keras.
"Hanya itu saja?" tanya ketua tim merah dengan bingung.
"Ya, hanya itu yang boleh dibaca," jawab wanita di depan dengan tampang frutrasi. Seluruh tim merah kini saling memandang.
"Coba ulangi lagi kata-katanya," ucap Antares padanya. Namun, meski wanita itu mengulanginya sampai beberapa kali, tidak satu pun dari mereka yang mampu untuk menjawab judul lagu tersebut sampai bel tanda waktu habis berbunyi.
"Jadi, lagu apa yang sebenarnya tim hitam maksud?" tanya Antares pada gadis tadi.
"Lagunya Switchfoot, 'Dare You to Move,'" jawab sang gadis dengan wajah seperti mau menangis, sebelum berlari kembali dari depan ke barisan timnya.
Di tim hitam, Fori tak berhenti tersenyum dengan bangga. Ia lega karena lagu tadi adalah pilihannya sendiri dan karena itu, ia berhasil membuat tim merah kesusahan dan memberi peluang bagi timnya sendiri untuk meraih tiga poin sebagai pengganti kegagalannya.
Kini, Siska maju ke depan dan mengambil kertas dari tim merah. Ia langsung membuka ponselnya dan mencari lirik lagu tersebut pada situs pencarian, lalu menarik napas panjang saat game dinyatakan dimulai bagi tim mereka.
“Dreams are my… The only kind of… fantasy. Illusions are a common thing. I try to live in dreams. It seems as if it’s meant to be.”
Xynth langsung tersenyum di beberapa detik pertama Siska mengucapkannya. Ia lalu menoleh ke arah Fori yang masih mengerutkan dahinya.
"Aku tahu lagu ini," katanya pada gadis itu. "Tapi, aku enggak mau menyanyikannya."
"Memangnya ini lagu apa?"
“‘Reality’ dari Richard Sanderson.”
"Ah, ya, sekarang aku ingat! Tapi ... bagaimana, aku enggak hapal nadanya. Kamu nyanyikan saja dulu bagian awalnya, nanti aku akan bantu kamu melanjutkan nyanyi setelah ingat nadanya."
"Hah?! Apa?!"
"Jangan sampai waktu habis, Xynth! Kamu mau kita hanya dapat poin nol hari ini?"
"Tapi aku ..., ah sudahlah, daripada skor kita semua nol di klasemen!" ujar Xynth kemudian. Ia lalu menarik napas dalam-dalam sebelum mulai bernyanyi.
“Dreams are my reality, the only kind of real fantasy. Illusions are a common thing. I try to live in dreams. It seems as if it’s meant to besenandung Xynth dengan nekat, yang membuat suasana di aula mendadak hening.
Setelah Fori teringat, ia pun langsung membantu Xynth untuk menyanyikannya. Duet keduanya yang diikuti oleh seluruh tim hitam pun kemudian membuat Rigel dan Antares tersenyum-senyum sendiri.
“Dreams are my reality. A different kind of reality. I dream of loving in the night. And loving seems alright. Although it’s only fantasy.”