Delapan tahun kemudian, 4 September 2023
Suara geledek terdengar menggelegar di langit Jakarta yang basah. Hari itu, Kiran Kania tampil sangat rapi dan jauh dari penampilan keseharian. Gadis berusia 27 tahun itu baru saja menerima kabar yang sangat mengejutkan. Ia diterima bekerja di Baven Technology, sebuah perusahaan papan atas di Jakarta yang sebenarnya jauh di luar jangkauannya!
Tentunya, kabar itu sangat menggemparkan seisi kompleksnya yang tahu kalau ia selama ini hidup sebagai pecundang dan menjadi beban keluarga. Karena itu, untuk menyemangati Kiran yang mulai masuk ke dalam dunia budak korporat profesional, para tetangganya sampai menebar bunga di jalan untuk mengantar kepergiannya. Tidak sedikit yang diam-diam juga menebar garam karena takut kalau nasib sial gadis itu akan berpindah pada mereka.
"Kiran, selamat, ya! Akhirnya kamu resmi menjadi manusia utuh yang normal!" teriak salah satu tetangganya dengan wajah penuh haru di bawah payung raksasanya.
"Terima kasih, Tante," jawab Kiran ke sang tetangga dengan senyum yang lebar.
"Tunggu sebentar," sambungnya sambil mendadak memutar tubuhnya di bawah payung hitam khas pemakaman miliknya. "Menurut Tante, apa aku terlihat cantik hari ini?"
Suara geledek terdengar lebih keras sesaat setelah gadis itu bertanya. Sang tetangga sendiri hanya terdiam membisu selama beberapa saat sambil memandang ke arah rambut kering sebahu Kiran, sebelum akhirnya menjawab, "Se---setidaknya kali ini kamu enggak akan membuat orang-orang yang baru kamu kenal langsung kabur saat pertama melihat kamu."
Kiran tertawa kecil, sebelum kemudian melambai ceria pada beberapa tetangganya dan berlalu. Ia terlalu bahagia hari itu untuk merengut hanya karena sebuah ejekan bercanda kecil.
Pada dasarnya, Kiran bukan perempuan jelek. Ia hanya tidak mengerti bagaimana harus merawat dirinya dengan benar karena jarang memiliki teman yang mempengaruhinya untuk tampil cantik. Ia juga tidak pernah tahu baju apa yang paling pantas untuk dikenakannya, dan hanya selalu mengenakan pakaian serba hitam untuk menutupi kulit tubuhnya yang putih pucat.
Meski matanya sangat kecil hingga nyaris tidak eksis, Kiran memiliki bentuk wajah menarik yang membuatnya terlihat imut. Namun, di atas itu semua, sang gadis memiliki bentuk tubuh yang luar biasa indah. Sayangnya, ia merasa tidak percaya diri dengan onderdilnya yang menawan sampai ia selalu memakai baju longgar-longgar.
Empat tahun pasca lulus dari sebuah universitas swasta yang tak dikenal dan tak juga dipercaya ada, ia hidup bak pengangguran memalukan. Ia bahkan tidak punya pengalaman bekerja di perusahaan mana pun sebelumnya. Karena itulah, ia sempat merasa heran saat mendengar kabar kalau lamaran iseng-isengnya ke Baven Technology diterima begitu saja, bahkan tanpa melalui prosedur tes berbelat-belit sama sekali.
"Selamat, Mbak Kiran Kania, Anda diterima bekerja sebagai resepsionis di perusahaan kami. Mulai 4 September nanti, Anda diminta untuk langsung bekerja. Silakan balas pesan ini dengan menyertakan ukuran pakaian dan sepatu Anda, agar kami bisa langsung menyiapkan seragam untuk Anda pakai nanti."
Begitu isi pesan dari HRD Baven Technology dua minggu lalu yang membuat ibunya sampai langsung potong ayam kampung dan menangis terharu. Bagaimana tidak? Semua anak perusahaan Baven Group adalah perusahaan besar yang dikenal bergaji besar. Bahkan, profesi resepsionis di sana saja juga mendapat banyak tunjangan yang akan membuat Kiran sejahtera.
Saking senangnya, ia bertekad untuk bekerja sebaik mungkin di sana meski badai dan tsunami menerpa kantor tempatnya bekerja. Ya, Kiran masih materialistis. Ia bahkan sanggup menghamba pada pohon mangga kering tetangganya jika itu bisa memberikan banyak uang padanya.
Mengubah nasib selalu membutuhkan uang. Hanya orang yang enggak punya ambisi menjadi manusia maju dan sebenarnya pemalas saja yang selalu mengeluarkan kalimat klise, "bahagia itu sederhana". Meraih kebahagiaan, enggak pernah selalu dengan jalan sederhana. Manusia terlalu kompleks dan selalu memiliki keinginan yang berkembang.
Itu prinsip Kiran yang selalu diembannya. Makanya, ia juga sangat perhitungan soal uang, meski sebenarnya juga polos dan sempat lama hidup gagal tanpa pendapatan.
Masalahnya, Kiran tidak tahu apa yang sebenarnya membuatnya diterima bekerja Di Baven Technology saat itu. Ia tidak pernah mengira kalau ada sentuhan keajaiban sekaligus ancaman hidup yang akan menyertainya setelah itu. Baru satu jam setelah menjalani perjalanan macet khas Jakarta dengan menggunakan busway, ia mendapatkan jawaban dari pertanyaan krusialnya.
Aldi Abbas!
Kiran menahan napasnya dengan wajah yang masih melongo, lima belas menit setelah ia memasuki ruangan direktur dari Baven Technology. Ia tidak pernah menyangka kalau di hari itu, ia akan bertemu secara langsung dengan direktur dari perusahaan itu yang merupakan seseorang dari masa lalunya yang kelam.
Aldi tidak banyak berubah. Ia masih memiliki potongan rambut cepak yang sama seperti dulu, memiliki postur tubuh yang juga sama, dan wajah tampan penuh senyum yang sedikit pun tidak berubah dari masa SMA mereka. Yang berbeda hanya ... ia saat ini berpenampilan lebih mewah dengan setelan jas mahal yang ia kenakan di balik meja kerjanya yang kokoh.
"Kamu ... yang ternyata menerima aku bekerja di sini?" tanya Kiran untuk kesekian kalinya pada Aldi, setelah ia melihat sang direktur tersebut masuk ke dalam ruang kerjanya dan langsung menyapa Kiran dengan ramah.
Beberapa detik setelah menanyakannya, gadis itu langsung menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri dengan wajah yang panik. "Enggak ... anu, maaf, saya seharusnya berbicara dengan lebih sopan ke Bapak."
Seketika, Aldi langsung tertawa melihat reaksi Kiran yang serba kebingungan sendiri. "Jangan terlalu formal kalau enggak ada orang-orang lainnya di sekitar kita, Kiran. Kamu tetap bisa panggil aku dengan nama aku seperti dulu. Aku bukan orang yang suka dengan panggilan kehormatan seperti 'Bapak', apalagi kalau itu datang dari teman sekolah aku dulu."
"Ta---tapi bagaimana kamu bisa ...?"
"Menjadi direktur di perusahaan ini?" tanya Aldi dengan suara lembutnya yang khas. "Kamu pasti masih ingat dengan Selia, kan? Dia adalah corporate secretary perusahaan induk Baven Group. Dia yang merekrut aku untuk bekerja di anak perusahaan Baven Group ini."
"Selia sudah pulang ke Indonesia? Dia ... sekretaris di sini?"
Aldi kembali tertawa. "Corporate secretary bukan seperti sekretaris biasa yang kamu tahu. Corporate secretary adalah jabatan sangat penting yang nyaris setara dengan direktur. Dia berada di bawah jajaran direksi perusahaan induk secara langsung, dan punya tanggung jawab besar untuk menjaga citra semua perusahaan Baven Group. Itu makanya ruang kerjanya ada di lantai teratas bersama jajaran orang terpenting Baven Group."
"Aku ini bawahan Selia," sambung pria itu, masih dengan wajah ramah. "Aku hanya direktur dari salah satu anak perusahaan Baven Group. Mereka punya tujuh anak perusahaan di gedung ini dan aku bertugas untuk memimpin perusahaan teknologi mereka di lantai sembilan. Meski begitu, aku punya hak untuk merekrut kamu bekerja di sini. Selia juga sudah tahu kok soal ini."
"Kamu masih berpacaran dengannya?" tanya Kiran dengan hati-hati. Ia masih cukup bingung dengan segala tentang Aldi dan Selia.
"Aku dan Selia? Aku sudah putus dengan dia sejak kita semua lulus SMA. Hubungan kami dulu hanya berlangsung selama beberapa bulan saja, kira-kira sampai dia pindah ke luar negeri," jawab Aldi dengan tampang serius. "Aku masih sendiri saat ini. Kalau Selia ... dia mungkin akan bertunangan dengan Presiden Direktur Baven Group. Meski begitu, kami masih berteman dekat."
"Oh, aku enggak tahu kalau kalian sudah putus sejak lama," gumam Kiran dengan ekspresi kaget bercampur canggung.
Aldi hanya tersenyum. Pria itu kemudian membuka map di mejanya yang berisi CV milik Kiran dan mulai membacanya dengan raut geli.
"Aku sudah baca ini sebelumnya dan merasa ada yang sangat menarik di sini," ucap pria itu pada Kiran. "Kamu belum pernah bekerja kantoran sebelumnya dan hanya punya pengalaman sebagai kasir di kedai mama kamu dan ... sebagai pawang hujan?"
Wajah Kiran seketika terlihat gugup. "A---aku dulu sempat kesusahan untuk mencari pekerjaan. Jadi, aku memang sempat menjadi pawang hujan."
"Pawang hujan, Kiran?" ulang Aldi sambil tergelak. "Apa itu karena nenek kamu dulunya dukun terkenal? Apa yang kamu lakukan saat menjadi pawang hujan dulu?"
"Ehm, banyak hal yang terkait dengan usaha untuk mencegah hujan turun di acara-acara outdoor tertentu," jawab Kiran dengan suara yang tertelan karena merasa malu. Jelas ia malas untuk menjelaskan kalau ia bahkan pernah memakan bunga dan berdandan bak ondel-ondel untuk itu.
"Kamu sering berhasil menahan hujan turun?"
Kiran terdiam sesaat, sebelum akhirnya menggeleng lemah. "Itu makanya aku enggak laku sebagai pawang hujan. Aku lebih sering dihujat karena malah mengakibatkan banjir di banyak acara yang aku tangani."
Aldi kembali tergelak mendengar kejujuran Kiran. Dibanding mengasihani dirinya, gadis itu lebih tampak seperti sangat mudah berterus terang, tanpa mempertimbangkan kredibilitas dirinya sendiri sama sekali.
"Kamu sendiri ... kenapa menerima aku bekerja sebagai resepionis di perusahaan sebesar ini?" tanya Kiran setelah Aldi berhenti tertawa. "Kamu sudah membaca CV aku dan tahu kalau aku hanya lulusan universitas jelek. Pengalaman bekerja aku secara profesional juga enggak ada. Bagaimana aku akan duduk di bangku terdepan dan menerima tamu perusahaan ini kalau citra diri aku saja buruk?"
Aldi mendadak terdiam dan menunduk. Baru beberapa menit setelahnya ia kembali mendongak ke arah Kiran.
"Anggap saja kalau aku punya utang besar ke kamu dalam hidup aku ... dan aku sudah lama sangat ingin untuk melunasinya," jawab pria itu dengan pandangan yang kembali terlihat seperti sangat merasa bersalah pada Kiran.
Sampai saat ini, Aldi dan Selia sebenarnya tidak tahu kalau Kiran tahu rahasia mereka di balik kasus bocornya soal ujian dulu. Meski begitu, Kiran berhenti berbicara dengan Selia saat sahabatnya itu dulu mengakui kalau ia sudah berpacaran dengan Aldi. Itu makanya Kiran tidak pernah tahu perkembangan Selia lagi setelah masa suram itu.
"Aldi, apa jangan-jangan ... kamu sebenarnya meminum minuman yang dulu aku kasih ke kamu?" tanya Kiran dengan ekspresi curiga karena melihat kebaikan Aldi padanya. Ia masih bingung kenapa setelah bertahun-tahun, pria itu masih terus merasa bersalah padanya dan kini membantunya, meski sebenarnya masuk ke Baven Group sangat mustahil bagi Kiran.
"Minuman? Minuman apa maksud kamu?" tanya Aldi dengan fokus yang mendadak beralih ke pertanyaan aneh wanita di depannya.
"Kamu masih ingat? Dulu aku pernah memberikan kamu minuman soda dingin setelah kita pulang sekolah dan kamu baru saja selesai bermain basket. Kamu enggak ingat itu?"
Aldi mengerutkan dahinya. "Ah, minuman yang kamu kasih ke aku dulu itu? Memangnya kenapa dengan minuman itu? Apa itu sangat penting?"
Kiran tidak menjawabnya. Ia malah tetap memandang serius ke arah Aldi, seakan-akan dirinya bersikeras menunggu jawaban dari sang direktur.
Aldi yang merasa kikuk dipandangi seperti itu oleh Kiran, kemudian menjawab dengan ekspresi yang tampak seperti berusaha mengingat-ingat, "Minuman itu bukan aku yang minum. Kalau enggak salah ... Jevan yang meminumnya."
"Jevan?" tanya Kiran dengan perubahan ekspresi wajah yang drastis. "Jevan bekas kakak kelas kita dulu?"
"Ya, dia sudah dua tahun lulus sekolah saat mendadak datang ke area sekolah kita lagi. Karena dulu dia memang agak brengsek, dia merampas begitu saja minuman dari tangan aku dan langsung meminumnya setelah sempat ikut bermain basket denganku."
Seketika, Kiran langsung bengong di kursinya. "Dia juga ada di lapangan basket saat itu? Orang itu ... yang ternyata meminumnya?"
"Ya," jawab Aldi dengan pandangan menyelidik yang tampak lebih seperti curiga. "Kiran, kenapa dari tadi kamu mengungkit-ungkit soal minuman itu? Apa sebenarnya kamu memasukkan pelet ke dalamnya?"
Kiran sempat mematung selama beberapa detik saat mendengar pertanyaan Aldi tersebut, sebelum mendadak memukul meja kerja Aldi dengan keras dan langsung memaksakan dirinya untuk tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, Aldi, memangnya kamu percaya hal-hal seperti itu? Apa karena aku cucu dukun makanya kamu kira aku akan memelet kalian?" tanya Kiran dengan intonasi suara yang berlebihan. "Padahal kamu berkeja di dunia teknologi, masa kamu percaya dengan pelet?"
Wajah Aldi tiba-tiba berubah menjadi seperti merasa malu akan pertanyaannya sendiri. "Aku enggak percaya hal-hal semacam itu kok. Aku tadi hanya ... bercanda saja ke kamu."
Kiran yang melihat Aldi kini ikut tertawa bersamanya, langsung mengusap keringat dingin yang mendadak mengalir di keningnya.
Sialan, Jevan yang ternyata meminum minuman itu? Psikopat pembunuh itu?
Gadis itu langsung meracau di dalam benaknya sendiri. Ia mendadak teringat sosok Jevan yang dulu pernah dikenalnya.
Jevan Adrian adalah orang yang sudah dikenalnya sejak lama, lebih lama dibanding Aldi dan Selia. Ia adalah anak laki-laki di panti asuhan dekat rumah Kiran dan juga merupakan kakak kelas Kiran di SMA mereka dulu. Saat Kirana kelas sepuluh, ia sudah duduk di kelas dua belas.
Sejak dulu, pria itu terkenal mengerikan dan tidak pernah punya ekspresi apa pun di wajahnya. Ia ingat kalau Jevan tidak pernah punya teman dan selalu bersikap bak berandalan solo di lingkungan sekolah mereka.
Pria itu tidak pernah takut dengan apa pun dan siapa pun, dan sering menyerang atau melukai teman-teman di angkatannya sendiri sampai babak belur dan masuk rumah sakit. Ia terkenal dingin dan sekaligus brutal kalau sedang marah. Banyak rumor yang mengatakan kalau ia sering membunuh hewan-hewan di sekitar panti asuhannya dulu.
Meskipun begitu, ia juga dikenal sangat pintar dan berbakat dalam banyak hal. Itu makanya para guru sering berhati-hati menghadapinya. Karena hal-hal tersebutlah, banyak yang kemudian menyebut Jevan sebagai psikopat berdarah dingin.
Pada dasarnya sebelum mengenal Aldi, Kiran sempat hampir menyukai pria itu. Mereka sudah lama tidak pernah bertemu di area dekat panti asuhan Jevan, dan saat masuk ke SMA yang sama, Kiran melihat pria itu sudah menjadi sangat tampan dan tinggi.
Hanya saja setelah melihat pria itu pernah memukuli preman di dekat sekolah mereka dengan sangat sadis, Kiran menjadi luar biasa takut pada pria itu. Ia bahkan bertambah takut pada Jevan setelah delapan tahun yang lalu, ia pernah menjadi saksi satu-satunya dalam kasus kriminal yang melibatkan sang pria.
Saat masih disibukkan dengan kasus bocornya soal ujian dulu, kedua orang tua Selia ditemukan warga dalam kondisi tewas terbunuh di rumah mereka. Insiden itu juga yang membuat Kiran tidak langsung melakukan konfrontasi atas pengkhianatan Selia padanya.
Namun, ada satu hal terpenting di balik itu. Beberapa jam sebelum ditemukan, Kiran sebenarnya sempat melihat sosok Jevan berlari keluar dari pintu depan rumah Selia melalui jendela rumahnya. Ia sangat ingat itu karena merasa heran mengapa ada Jevan di sana, padahal ia tahu persis kalau pria itu dan Selia tidak pernah saling mengenal sebelumnya. Apalagi, tangan Jevan seperti berlumuran darah.
Kiran baru sadar kalau Jevan mungkin adalah seorang pelaku pembunuhan, setelah warga menemukan mayat kedua orang tua Selia beberapa jam berikutnya. Karena itu, ia sempat melaporkan hal tersebut ke polisi secara diam-diam dan mengakibatkan Jevan ditahan selama beberapa waktu sebagai tersangka.
Meskipun pada akhirnya pria itu dilepas karena kurangnya bukti dan setelah itu ia menghilang dari wilayah mereka, Kiran masih terus merinding setiap mengingat Jevan. Entah mengapa, ia sangat yakin kalau pria itu memang adalah orang yang membunuh orang tua Selia.
Satu-satunya yang membuat Kiran merasa beruntung adalah bahwa Jevan tidak tahu kalau ia yang melaporkan pria itu ke polisi. Namun, setelah mendengar ucapan dari Aldi barusan, Kiran merasa luar biasa kaget. Ia tidak pernah menyangka kalau kalau pria itulah yang ternyata meminum ramuan pelet darinya dulu dan bukan Aldi.
"Ah, enggak masalah! Aku toh enggak akan pernah bertemu lagi dengan psikopat pembunuh itu! Kalau kami enggak bertemu, kami enggak harus terlibat dalam situasi yang rumit," ujar Kiran pada dirinya sambil kembali menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras.
Kiran mengira kalau ia masih berbicara di dalam benaknya sendiri. Sayangnya, ia tidak sadar kalau sebenarnya ia baru saja berseru dengan keras di hadapan Aldi yang langsung mengerutkan dahinya.
"Psikopat pembunuh ...? Kamu sedang berbicara soal Jevan?" tanya pria itu menduga-duga.
"H--hah?"
"Barusan kamu ngomong soal psikopat pembunuh. Kamu sedang membicarakan kasus yang membuat Jevan ditahan polisi delapan tahun yang lalu?"
"A---aku bilang begitu?" Kiran malah balik bertanya dengan gugup karena mendengar Aldi menyinggung soal Jevan yang ditahan polisi karena dirinya. "Aku enggak sedang berbicara soal dia sama sekali kok. Aku enggak tahu banyak tentangnya dan barusan hanya berbicara dengan asal saja."
"Bagus kalau begitu," komentar Aldi sambil kembali tersenyum. "Akan repot kalau kamu sentimen ke Jevan dan ikut curiga padanya seperti banyak orang-orang lainnya dulu. Meski Jevan memang agak kejam, Selia enggak mungkin akan bertunangan dengannya kalau memang Jevan yang membunuh kedua orang tuanya."
Mendengar ucapan Aldi, wajah Kiran seketika berubah menjadi pucat pasi. "Kamu bilang tadi ... Selia akan bertunangan dengan presiden direktur Baven Group. Kenapa sekarang kamu bilang ...."
Pandangan mata Aldi kini menyipit ke arah Kiran yang tidak melanjutkan kalimatnya. "Kiran, kamu sebenarnya selama ini sering membaca berita atau enggak? Jevan itu ya presiden direktur Baven Group. Dia mengubah nama belakangnya menjadi Baven sejak delapan tahun yang lalu. Semua orang tahu soal ini, masa kamu enggak?"
"Ba---Baven? Na---namanya sekarang ... Jevan Baven?"
"Ya, Jevan itu atasan tertinggi kita," jawab Aldi dengan tatapan geli ke arah Kiran. "Kamu belum pernah bertemu dengannya lagi setelah delapan tahun yang lalu, kan? Tenang saja, meski dia terkenal sangat mudah marah dan memecat orang, kalau mereka yang dari sekolah kita selama ini selalu dilindungi sama Selia. Jadi, setidaknya kamu akan aman bekerja di kantor ini tanpa mengkhawatirkan soal Jevan."
"Mereka yang dari sekolah kita?"
"Ah, aku lupa bilang ke kamu. Karena ada Selia dan aku di Baven Group, tentu saja juga banyak orang-orang dari sekolah kita dulu yang juga bekerja di sini," ujarnya lagi dengan suara yang bak menggema di kepala Kiran.
"Kamu akan mudah beradaptasi di kantor ini nanti karena ada banyak orang-orang yang sudah kamu kenal sejak masa SMA kita, termasuk Selia. Jevan juga sering ke lantai kita untuk rapat sama aku. Jadi, kamu nanti jelas akan bertemu dengan mereka semua lagi setelah delapan tahun enggak ketemu."
"Tenang saja, Kiran," lanjut seorang Aldi Abbas dengan tersenyum penuh kehangatan pada Kiran yang semakin mematung dengan wajah syok. "Banyak yang sudah dewasa saat ini dan enggak lagi kekanakkan seperti dulu. Kamu akan merasa sangat senang nantinya di sini karena kamu ... akan sering bertemu dengan mereka semua lagi."
Bagus ceritanya bikin penasaran, tapi ini belum ada lanjutannya lagi ya kak?
Aku bacanya sambil senyum² karena bayangan visualnya babang lee min ho sosok yg ditakuti Kiran