Beberapa Saat Sebelumnya
"Aku yakin baru-baru ini dengar nama Kiran Kania, tapi kok aku lupa di mana aku dengar nama itu sebelumnya," gumam Jevan dari jok belakang mobilnya, ke arah Paskal yang duduk di jok depan bersama dengan supirnya.
"Di kantor kita ada beberapa orang dari SMA yang sama dengan kamu, termasuk Selia dan Aldi. Bisa saja kamu dengar nama itu enggak sengaja disebut-sebut mereka sebelumnya," kata Paskal. "Kamu belum nanya ke Selia dan Aldi soal nama itu? Menurut satu angkatan, seharusnya mereka saling kenal, kan?"
"Belum," jawab Jevan. "Selia tadi sibuk dengan tamunya dan habis itu langsung ikut rapat. Kalau Aldi ... aku enggak sudi."
Paskal seketika tertawa geli. "Ya sudah, tapi ngomong-ngomong, Jevan ... sampai kapan kita akan diam begini di depan rumah dia? Ini udah lewat magrib, aku rasa ini waktu yang udah cukup sopan untuk bertamu ke rumahnya, kan? Lagian, kamu kan juga pernah tinggal di sekitar sini? Mungkin aja mereka masih kenal sama kamu dan akan sambut kedatangan kamu dengan baik."
Jevan menoleh ke arah sebuah rumah sederhana dengan pekarangan berukuran sedang di samping mobilnya. Setelah memandanginya selama beberapa detik, ia lalu menoleh lagi ke arah Paskal.
"Kamu enggak ikut turun?" tanya pria itu pada asistennya.
"Aku akan ikut kamu turun, tapi aku mau ngerokok dulu," jawab Paskal sambil membuka pintu mobil di sisi kirinya. "Perjalanan ke sini di jam-jam pulang kerja kelewat macet, aku udah dari tadi pengen ngerokok dulu. Kamu duluan aja, Jevan, nanti aku akan langsung 'nyusul kamu setelah ngerokok."
Jevan tidak menjawabnya. Ia hanya langsung keluar dari mobilnya dan berjalan menuju ke arah depan rumah Kiran. Ia sempat melihat ke rumah lama Selia yang ada tepat disebelahnya dan juga jalanan menuju ke arah panti asuhannya dulu. Namun, ketika ia kembali menoleh ke arah pagar rumah Kiran untuk menekan belnya, suara seorang wanita tua yang berdeham mendadak terdengar dari arah dalam.
Jevan refleks mendongak. Karena tubuhnya tinggi, dari bagian atas pagar, ia bisa melihat ada seorang wanita tua pucat dengan penampilan yang masih tradisional tengah menatap ke arahnya. Wanita tua yang sedang duduk di depan teras rumah Kiran itu langsung tersenyum saat melihat kedatangan Jevan di sana.
"Langsung masuk aja, Nak," ujar wanita tua itu padanya.
Jevan yang merasa kaget karena disuruh langsung masuk sebelum ia bahkan sempat memperkenalkan dirinya, tentunya hanya bisa menurut. Bak terhipnotis, tangannya tanpa sadar sudah membuka pagar rumah Kiran yang ternyata tak terkunci.
Namun, saat ia melangkah masuk, nenek tua di depan teras tadi mendadak menghilang begitu saja. Sebagai gantinya, ia tiba-tiba melihat seorang gadis muncul dari arah pekarangan dan langsung memandanginya dengan tatapan kaget, sampai-sampai ia langsung terjungkal ke belakangnya sendiri.
Jevan mencoba melangkah maju untuk segera membantunya. Namun di detik saat ia melihat ke mata gadis itu, Jevan mendadak langsung merasa seperti mendengar dentang suara gamelan yang ditabuh dengan keras. Entah bagaimana, secara tiba-tiba, suasana di sekitarnya berganti dengan sangat cepat.
Pria itu mendadak kembali melihat seorang gadis yang tidak mengenakan pakaian apa pun, tengah menari sambil bersenandung di sekeliling kobaran api. Hanya saja, jika dulu ia melihat sosok itu secara samar dalam bayangannya, kini ia melihat segalanya dengan lebih jelas --- bahkan lebih jelas dibanding saat terakhir ia melihat hal yang sama di toilet Baven Technology.
Sosok wanita yang selama ini terus bersenandung di kepalanya, ternyata adalah orang yang sama dengan gadis yang baru saja dilihatnya.
Jevan terpaku. Ia menahan napasnya sambil terus memandangi visual ritual tradisional aneh yang kini tersaji di hadapannya. Namun, di detik saat tubuhnya bergerak, suara-suara gamelan dan senandung sang gadis tiba-tiba berhenti terdengar, sampai kini tidak lagi ada suara apa pun di sekeliling Jevan.
Sang gadis mendadak tampak terdiam. Lalu secara perlahan, ia menoleh ke arah Jevan dan langsung memandang tajam ke arah sang pria melalui bola matanya yang berkilau seperti berlian. Hanya beberapa detik setelah keduanya saling beradu pandang, sang gadis mendadak mengeluarkan suara-suara bisikan aneh yang terbawa semilir angin sampai ke telinga Jevan.
Jevan yang masih kebingungan, langsung mengeluarkan keringat dingin begitu mendengarnya. Jantungnya mulai berdebar kencang saat ia mendengar suara-suara bisikan tersebut semakin intens dari mulut sang gadis, bahkan kini seperti melekat dan menggema di kepalanya sendiri.
Sebelah tangan pria itu kini memegangi sisi kepalanya yang mendadak terasa sangat sakit. Sementara sebelah lainnya, tampak seperti tengah berusaha untuk meraih pegangan apa pun yang bisa membuatnya bertahan berdiri.
Namun, bukannya mendapatkan sandaran bagi tangannya, suara-suara bisikan tersebut malah terdengar semakin kencang dan berulang-ulang, sampai akhirnya berubah menjadi sangat jelas baginya.
"Chakshusha tvam avocham. Chakshusha tvam alingya. Chakshusha tvam manasi pravishya. Chakshusha tvam hridayam gruhnami. Kevalam yasya drishyo'sti, sa eva tvam aham anubhave. Etat tvaya padau shirasi atmanam arpayaami."
Begitu ia selesai mendengar kalimat-kalimat dari mulut sang gadis tersebut, jantung Jevan mendadak terasa seperti berhenti berdetak. Pria itu secara tiba-tiba terjatuh di lututnya sendiri.
Sebelum ia bisa menyadari apa yang sebenarnya sedang terjadi padanya, pandangan matanya mendadak mengabur. Lalu dalam beberapa detik setelahnya, pria malang itu tiba-tiba terjatuh menghantam tanah ... dan mulai tak sadarkan diri.
7 September 2023 (satu hari setelahnya)
"Jevan? Jevan, kamu sudah sadar?"
Suara Paskal yang sebelumnya terdengar samar, berubah menjadi lebih jelas begitu Jevan membuka kedua matanya. Pria itu kini memandangi asistennya dengan wajah bingung, seperti berusaha untuk menebak mengapa ia mendadak terbaring di sebuah ranjang asing dan ruangan yang tidak familiar baginya.
"Syukurlah kalau kamu sudah sadar," ucap Paskal lagi. "Kamu sudah 24 jam enggak sadarkan diri. Kata dokter, kamu terlalu kecapekan dan kurang tidur. Itu makanya kamu sekarang ada di rumah sakit dan terpaksa diinfus."
Paskal lalu menyandarkan punggungnya ke kursi yang tengah didudukinya di samping ranjang Jevan. "Aku baru tahu kalau kamu ternyata sudah terlalu sering paksain diri enggak tidur-tidur karena takut penyakit somnambulis kamu kambuh. Akibatnya, sekarang kekebalan tubuh kamu menurun drastis dan tekanan darah kamu kemarin sempat sangat tinggi."
"Hah? Aku sudah 24 jam enggak sadarkan diri?" tanya Jevan dengan tampang kaget sambil berusaha untuk langsung duduk. "Trus gimana dengan persiapan ulang tahun Baven Group besok?"
"Ya orang-orang di kantor yang urus itu!" jawab Paskal dengan ketus. "Masih bisa-bisanya kamu mikirin kantor di saat-saat begini. Kamu enggak tahu kalau dokter sudah menginstruksikan kamu untuk istirahat dengan benar mulai sekarang? Kamu enggak lagi dibolehin bergadang dan sementara ini diwajibkan untuk minum obat tidur kamu secara rutin. Apa harus ada Selia terus di rumah kamu supaya kamu nurut soal ini?"
Alih-alih merespons ucapan Paskal terkait kesehatannya, Jevan malah mendadak teringat akan hal lainnya. "Paskal, saksi perempuan kemarin ternyata ...."
"Kiran Kania, resepsionisnya Aldi yang sempat kita bahas di rapat Baven Energy," potong Paskal dengan cepat. "Aku enggak tahu apa yang terjadi ke kalian, tapi pas aku 'nyusul kamu masuk ke rumahnya kemarin, aku lihat kamu dan dia tahu-tahu udah sama-sama pingsan di depan teras."
Jevan tampak lebih terkejut lagi. "Perempuan itu juga pingsan?"
Paskal mengangguk. "Aku dan mamanya yang bawa kamu dan dia ke rumah sakit ini kemarin malam. Kalau kamu pingsan karena kecapekan, dia kayaknya pingsan karena maag. Katanya, dia belum makan seharian setelah dengar kabar kalau dia dipecat dari Baven Technology. Mungkin asam lambungnya naik karena itu, dan juga karena ditambah stresnya."
"Kamu juga bawa dia ke rumah sakit ini?"
"Apa boleh buat, dia pingsan waktu ketemu sama kamu," jawab Paskal lagi. "Tapi dia udah sadar kok dari pagi tadi. Mungkin besok pagi dia udah bisa keluar dari sini."
"Tadi juga aku baru jenguk dia di ruangannya dan ketemu sama Aldi di sana," tambah Paskal. "Itu makanya aku tahu kalau dia lagi syok karena dipecat sama Selia. Gara-gara kasus itu, aku jadi enggak berani kasih tahu Selia kalau ada resepsionis yang dia pecat di sebelah kamar kamu saat ini."
"Dia ada di kamar sebelah?" tanya Jevan lagi dengan sorot mata yang kali ini lebih terlihat seperti antusias dibanding dengan kaget.
"Kamu mau aku tempatkan dia di kamar biasa setelah mamanya tahu kalau anaknya stres karena mendadak dipecat dari kantor kita? Jelas aku terpaksa kasih servis terbaiklah buat mereka. Aku sengaja kasih dia kamar VVIP yang sama dengan kamu, karena toh dia juga pingsan setelah didatangi sama kamu," terang Paskal.
"Tapi ngomong-ngomong," sambung Paskal, "Jevan, apa yang sebenarnya terjadi ke kamu kemarin malam? Kamu sempat ngomong sesuatu yang sadis ke dia sebelum kalian berdua pingsan?"
Jevan mendadak kembali teringat akan hal-hal aneh yang kemarin dilihat dan dirasakannya begitu ia bertemu dengan Kiran di rumah sang gadis. Namun, karena yakin kalau ia mungkin hanya sedang berhalusinasi karena terlalu capek seperti kata Paskal, pria itu memilih untuk hanya diam saja.
Tidak mungkin baginya untuk mengaku ke Paskal kalau sebenarnya sejak dulu ia sering berhalusinasi tentang sosok seorang perempuan yang bersenandung, apalagi setelah semalam merasa seperti melihat perempuan tersebut menari telanjang di depannya sambil komat-kamit mengucapkan sesuatu yang aneh.
Paskal akan anggap aku orang cabul gila kalau aku bilang ke dia soal ini, ucap Jevan dalam hati.
"Aku belum bicara apa pun ke dia sama sekali. Seperti kata kamu, mungkin aku hanya lagi terlalu capek setelah terus menerus ikut rapat ulang tahun Baven Group, dan juga karena adanya kasus Dudi kemarin," jawab Jevan akhirnya. "Aku malah kaget dengar kamu bilang kalau dia kemarin juga ternyata pingsan."
"Aku sampai enggak enak sama mamanya kemarin," gumam Paskal dengan wajah prihatin. "Mamanya pasti anggap perusahaan kita terdiri dari orang-orang kejam karena sudah tega pecat orang yang baru masuk kerja tiga hari, apalagi ini jelang ulang tahun Baven Group. Aku sampai bingung harus jawab apa waktu mamanya kemarin nanya alasan pemecatan anaknya."
"Mungkin karena kasihan sama Kiran," lanjut Paskal, "Aldi sepertinya akan ketemu sama Selia malam ini untuk minta keputusan itu dicabut."
Jevan tiba-tiba mengernyitkan alis matanya. "Kenapa Aldi sepertinya mati-matian banget untuk pertahankan resepsionisnya? Apa mereka punya hubungan khusus sampai dia segitunya?"
"Jevan, Aldi sendiri yang terima Kiran kerja di Baven Technology," ujar Paskal. "Jelas sekarang dia ngerasa enggak enak sama Kiran yang malah dipecat dalam waktu singkat. Lagian, mereka kan teman sejak SMA, jadi mungkin ini buat Aldi jadi lebih terbeban dan ngerasa harus bertanggung jawab atas nasibnya Kiran."
"Justru itu, kenapa dia yang harus tanggung jawab dengan nasib Kiran?" tanya Jevan lagi dengan tampang sewot. "Dia tahu aku ada di sebelah kamarnya Kiran. Kan dia bisa aja datang ke sini dan minta aku yang cabut keputusan pemecatan Kiran?"
Paskal langsung menyipitkan matanya ke arah Jevan. "Kamu enggak ingat kemarin dia udah datangi kamu secara langsung untuk bicara soal ini? Kata Aldi, kamu bahkan bilang kalau urusan resepsionis terlalu rendah untuk kamu urus."
"Aku enggak pernah bilang 'gitu," jawab Jevan dengan nada berkelit. "Kemarin itu aku hanya lagi enggak fokus karena paginya baru diinterogasi polisi terkait kasus tewasnya Dudi. Itu makanya aku enggak benar-benar bisa mencerna apa aja yang Aldi bilang ke aku kemarin."
"Meski begitu," lanjutnya, "aku kemarin sebenarnya juga sadar kalau apa yang Selia lakukan memang agak di luar batas. Selia enggak seharusnya langkahi orang-orang Baven Technology dan pecat resepsionis yang baru masuk tiga hari ... yang jelas masih berusaha beradaptasi dengan situasi di perusahaan kita."
"Jevan, kamu bahkan pernah pecat wakil direktur Baven Property di hari pertamanya kerja untuk kita, hanya karena kesal mobilnya parkir di spot parkir kamu dan dia enggak langsung pindahin mobilnya setelah dikasih tahu," sindir Paskal.
"Aku pernah gitu?" Jevan malah balik bertanya.
"Kamu mungkin enggak ingat karena bagi kamu dia enggak penting," ucap Paskal dengan suara yang dipelankan.
"Apa pun itu ... itu mungkin hanya kasus berbeda," balas Jevan, sekali lagi berkelit. Pria itu mendadak berdiri dari ranjangnya. "Soal perempuan ini jelas beda. Dia sekarang adalah orang yang mungkin bisa bantu kita pecahkan kasus orang tua Selia di masa lalu. Enggak sepantasnya Selia malah pecat dia."
"Tu---tunggu, Jevan, kamu mau ke mana?" tanya Paskal dengan mata yang terbelalak saat lihat Jevan mendadak mencabut selang infus di tangannya dan mulai berjalan ke luar. "Kamu seharusnya masih pakai infus dan istirahat di sini sampai kamu sehat total."
"Aku mau ke kamar sebelah. Enggak seharusnya perempuan itu bergantung ke Aldi untuk bantu dia. Memangnya siapa Aldi? Di sebelah kamarnya saat ini ada aku, orang yang punya Baven Group."
"Kenapa ini malah terdengar kayak kamu lagi enggak mau kalah sama Aldi?" gumam Paskal, lagi-lagi dengan intonasi yang dipelankan. Namun, melihat Jevan tetap cuek melangkah ke luar, mau tidak mau ia langsung mengikutinya dari belakang.
"Aldi mungkin sudah pulang karena dia mau ketemu Selia," kata Paskal pada Jevan dengan raut wajah yang khawatir. "Kamu memangnya mau bilang apa ke Aldi? Kalau hanya soal pencabutan keputusan pemecatan Kiran, biar aku aja yang bilang ke Aldi dan kirim emailnya ke HRD Baven Technology."
"Aku bukan mau ketemu sama Aldi, tapi perempuan itu."
"Apa?" Paskal langsung ternganga. "Ka---kamu mau ngapain ke dia, Jevan?"
"Dibanding hanya sekadar mempekerjakannya lagi seperti yang diperjuangkan sama Aldi, aku akan kasih dia penawaran yang lebih menarik yang enggak akan bisa dia tolak," sambung Jevan sambil berjalan ke arah kamar di sebelahnya ... dan langsung membuka pintunya.