"Apa mama bilang?" Kiran mendelik kaget ke arah ibunya dari ranjang kamar rawat inapnya. "Jevan? Dia mau ketemu sama aku?"
Ibu Kiran mengangguk. "Dia ada di depan pintu sekarang sama Paskal yang tadi juga ke sini buat ngobrol sama Aldi."
"Hah?! Dia udah di depan pintu?!"
Sang ibu mendadak bergerak mendekat ke arah Kiran dan berbisik, "Semalam karena mama fokus ke kamu, mama enggak sempat lihat dia dengan benar dan nanya soal dia. Mama enggak nyangka kalau dia Jevan yang dulu di panti asuhan dekat rumah kita. Kiran, mama sampai kaget lihat dia sudah sangat besar dan ganteng begitu. Mama ampe deg-degan lihat dia sekarang. Dia yang bayarin kamar rawat inap semewah ini?"
"Mama lupa? Dia juga yang punya Baven Group, kantor yang udah depak aku!" sambar Kiran dengan galak karena melihat ibunya malah senyum-senyum.
Karena mendadak panik, ia kemudian beranjak dari tempat tidurnya dan langsung lari ke arah wastafel di dalam toilet. Di sana, ia langsung berusaha untuk merapikan penampilannya yang masih awut-awutan dengan cepat.
"Tapi kenapa dia semalam ke rumah kita?" tanya sang ibu yang mengikutinya ke toilet sambil tetap berbisik. "Kiran, apa jangan-jangan dia mau bantu kamu soal kasus pemecatan kamu?"
Sambil menyisir rambutnya yang kusut, Kiran mendadak terdiam. Ia baru ingat soal kedatangan Jevan ke rumahnya semalam yang terasa sangat mengejutkan baginya. Setelah lama tidak melihatnya dengan jelas, malam tadi saat Kiran akhirnya menatap bosnya itu, ia sempat merasa kalau ia melihat aura gelap dan sangat menakutkan menyelimuti diri sang pria. Saking menakutkannya, Kiran sampai jatuh pingsan.
Apa semalam itu halusinasi? Kenapa aku lihat ada bayangan hitam bermata merah yang mengerikan di belakang Jevan? Kiran bertanya-tanya dalam hatinya.
Ia ingat jelas kalau ia juga merasakan hawa sangat dingin yang sampai terasa menusuk ke tulangnya begitu melihat sosok di belakang Jevan tersebut. Sebelum ia pingsan, ia bahkan juga sempat mendengar adanya suara-suara bisikan mantra aneh yang tidak bisa ia pahami.
"Kalau dia enggak datang untuk bicara soal pemecatan kamu, apa mungkin Jevan datang karena ingat soal laporan kamu tentang dia ke polisi dulu?" Sang ibu bertanya lagi dengan ringan. Namun begitu mendengar pertanyaan menggumam ibunya itu, Kiran mendadak bergidik ngeri.
"Ah, tapi enggak mungkin, kan?" sambung ibunya sambil mengibas-ngibaskan tangannya dan tertawa. "Masa dia dendam sampai delapan tahun ke kamu? Enggak mungkin dia sependendam itu."
Ibunya mungkin berusaha untuk menenangkannya, tapi Kiran yang dulu pernah melihat bagaimana Jevan balas dendam ke preman yang melukainya, jelas malah tambah ketakutan.
Benar juga, ujar Kiran dalam hatinya. Enggak ada alasan paling mungkin bagi orang kayak Jevan untuk datang ke rumah aku kalau bukan karena kasus delapan tahun yang lalu. Apa dia udah tahu kalau aku yang laporin dia dulu?
"Cepat, Kiran!" desak ibunya sambil berlalu dari toilet. "Enggak enak kan kalau kamu buat orang sepenting dia sampai nunggu kamu lama di depan pintu? Lagian, kamu juga enggak acak-acakan banget, kok."
"Mama, tunggu sebentar!" Kiran segera berseru dengan panik sambil menahan lengan ibunya di depan pintu toilet. "To---tolong bilang aja ke mereka kalau aku udah ketiduran karena tadi kelamaan ngobrol sama Aldi. Bilang aja aku enggak bisa nemui mereka sekarang karena aku mendadak sakit lagi."
"Sakit apa?" tanya ibunya sambil mengangkat sebelah alis matanya ke arah putrinya yang mendadak tampak cemas. "Mereka kan juga tahu kalau kamu hanya kena maag dan sekarang udah sehat. Masa kamu minta mama bohong ke mereka?"
"Ta---tapi ...."
Sang ibu langsung melepas lengan anaknya sambil mendelik. "Apa-apaan sih, kamu?! Mama malu kalau kamu enggak sopan 'gitu! Masa kamu nolak ketemu sama orang yang punya perusahaan tempat kamu kerja, yang udah kasih kamu kamar VVIP dan datangi kamu dengan sopan 'gini?!"
"Tapi gimana kalau dia masih dendam ke aku soal yang dulu itu?" ucap Kiran, masih dengan nada panik.
"Mukanya tadi enggak kelihatan kayak lagi marah, kok," komentar sang ibu sambil melangkah ke arah depan dan mengacuhkan suara mengeluh anaknya.
"Itu kan karena default mukanya memang selalu enggak punya ekspresi," protes Kiran. Namun, sang ibu tetap berjalan menuju ke arah ruang tamu kamar rawat inap Kiran.
Sebelum Kiran sempat mencari-cari alasan lagi, wanita tersebut mendadak sudah membuka pintu kamar rawat inap Kiran untuk mempersilakan Jevan dan Paskal masuk ke dalam. Kiran yang tidak siap dengan kedatangan Jevan, refleks langsung menyambar selendang tipis milik ibunya dari kursi terdekat dan langsung melilitkannya ke wajahnya sendiri.
"P---pak paskal, Pak Jevan," sapanya begitu melihat dua pria itu masuk ke dalam ruang bagian dalam kamarnya.
Melihat Jevan dan Paskal langsung bengong menatap ke wajahnya yang bak mumi, Kiran langsung tertawa dengan kikuk. "Ah, maaf, saya lagi kena alergi karena gigitan serangga, jadi saya terpaksa harus nutupin wajah saya yang lagi bentol-bentol."
"Loh, tadi kayaknya kamu masih baik-baik aja," respons Paskal dengan tampang bingung. "Memangnya kamu bisa bernapas dengan wajah tertutup kayak gitu?"
Kiran mengangguk. "Bisa, Pak. Saya juga masih bisa lihat kalian, kok. Ini alergi bawaan yang memang suka tiba-tiba kambuh."
Ibu Kiran juga melongo melihat tampilan baru putrinya. "Kapan kamu---"
"Mama!" potong Kiran dengan cepat dan dengan suara yang setengah berteriak. "Mama tadi mau ke bawah untuk beli buah, kan?"
"Buah? Di sini udah banyak buah...," gumam ibunya dengan wajah yang terlihat sama bingungnya dengan Paskal. Namun setelah menangkap sinyal lanjutan dari anaknya, sang ibu langsung mengangguk dan kemudian segera mengambil tas tangannya. "Ah ya, mama lupa. Tadi kamu minta buah yang lain. Kalau 'gitu... mama ke bawah dulu, ya?"
"Aldi udah pulang?" tanya Paskal setelah melihat ibu Kiran melangkah pergi dari sana.
"Setengah jam yang lalu, Pak," jawab Kiran. Gadis itu lalu mengarahkan pandangannya pada Jevan yang sejak tadi hanya tampak diam sambil terus menatap ke arah dirinya.
"Kamu... punya hubungan khusus sama Aldi?" Begittu membuka mulutnya, pria itu secara tiba-tiba menanyakan hal yang cukup mengejutkan pada Kiran. "Kenapa direktur Baven Technology kayak dia sampai harus langsung datang ke sini untuk jenguk kamu sepulang kerja?"
"Hah?"
"Kamu pacarnya dia?" tanya Jevan lagi dengan dahi yang mengerut.
Kiran seketika menggeleng dan langsung kembali tertawa canggung. "Bukan, Pak, saya hanya teman satu sekolah Pak Aldi dulu."
"Ah ya... kata Paskal, kamu dan Aldi dulu satu SMA? Itu artinya kamu dulu adik kelas saya?" Sang bos kembali bertanya. "Aneh, kenapa saya enggak ingat kalau pernah lihat kamu dulu di sekolah?"
Orang ini kenapa selalu lupa sama aku, sih?! Kiran membatin dengan perasaan yang tiba-tiba jengkel. Meski begitu, gadis itu tetap tersenyum dari balik selendang tipisnya.
"Iya, Pak, saya dulu juga adik kelas Bapak. Tapi, kita mungkin jarang ketemu karena saya bukan barisan anak populer."
"Jevan ke sini mau bicara soal pemecatan kamu." Paskal mendadak menyela pembicaraan mereka sambil berjalan ke arah sofa terdekat untuk duduk. "Sepertinya, sekretaris Jevan kemarin sudah salah paham dengan instruksi dari kami terkait status kamu, dan malah kirim email soal pemecatan kamu dan Dika ke Baven Technology."
Bola mata Kiran mendadak berbinar. "Salah paham? Maksudnya, saya dan Dika sebenarnya enggak dipecat?"
Paskal mengangguk sambil tersenyum. "Mungkin Jevan yang akan jelaskan soal ini secara langsung ke kamu."
Merasa akan mendapat kabar bagus, Kiran langsung kembali menoleh ke arah Jevan dengan tatapan penuh harap. Jevan sendiri yang masih tampak fokus menatap ke arahnya dalam diam, tiba-tiba terlihat seperti tersadar akan tatapan balik Kiran padanya dan Paskal. Ia pun kemudian berdeham.
"Ah ya, soal kamu dan resepsionis yang satu lagi...," ujarnya, "siapa namanya tadi Paskal?"
“Dika.”
"Ya, Dika!" seru Jevan dengan cepat. "Kamu dan Dika sebenarnya enggak dipecat. Kalian seharusnya hanya dimutasi."
"Mutasi?" Kiran mulai bingung. "Saya yang masih baru kerja akan dimutasi?"
"Ya, kamu dan teman kamu itu akan dimutasi ke lantai teratas," jawab Jevan dengan cuek.
Kiran yang mendengar itu, mendadak pucat pasi. "Kami akan kerja di lantai teratas? Kami enggak akan kerja di bawah Pak Aldi lagi?"
"Kenapa? Kamu memangnya mau tetap kerja sama Aldi?" tanya Jevan dengan alis mata yang mengernyit, seakan-akan terganggu dengan reaksi Kiran barusan.
"Saya enggak boleh pilih itu aja, Pak?" Kiran balik bertanya dengan tampang was-was. "Saya masih sangat baru dan belum banyak pengalaman. Takutnya kalau saya langsung kerja di lantai top eksekutif, saya malah akan mengganggu ritme kerja di sana. Apalagi, saya baru beradaptasi di Baven Technology."
"Kamu tahu kalau kerja di lantai teratas gajinya akan dinaikkan dua kali lipat?" Jevan bertanya dengan suara yang terdengar mulai jengkel. "Bukan hanya gaji kamu yang akan dinaikkan kalau kamu kerja di lantai atas, tapi kamu juga akan dapat fasilitas khusus yang berbeda dengan lantai lainnya. Itu belum termasuk dengan bonus tahunan yang besar. Dengan semua ini, kamu malah pilih mau tetap kerja di bawah Aldi?"
Sesuatu mendadak terlintas di benak Kiran saat mendapat tawaran mengejutkan dari Jevan tersebut. Pada dasarnya, Kiran mengira pria itu akan datang dan bersikap sinis padanya karena mungkin sudah tahu kalau ia yang dulu melaporkannya ke polisi. Namun, pria itu ternyata tidak membahas kasus delapan tahun lalu sama sekali, dan malah menawarkan sesuatu yang istimewa pada Kiran.
Apa malam tadi aku enggak mengkhayal? Semalam ... mata kami memang sudah saling bertemu?
Merasa curiga dengan perubahan sikap Jevan, Kiran mendadak melakukan sesuatu yang nekat hanya untuk mengetes reaksi lebih lanjut pria itu terhadapnya.
"Saya menghargai tawaran dari Bapak," ucapnya dengan hati-hati, "tapi saya rasa ... Pak Aldi juga akan naikkan gaji saya setelah tiga bulan masa penilaian saya nanti. Saya akan sangat berterima kasih kalau bisa diperbolehkan tetap kerja di bawah Pak Aldi bareng teman saya, Dika."
Kaget karena tawaran istimewa darinya tidak langsung disikapi dengan antusias sesuai perkiraannya, Jevan mendadak menarik napasnya dalam-dalam.
"Tiga kali lipat," ucap pria itu kemudian. "Saya akan naikkan gaji kamu tiga kali... ah, enggak, saya akan naikkan gaji kamu empat kali lipat dari sekarang kalau kamu mau kerja di lantai teratas."
Kalau aku mau kerja di lantai teratas? Orang ini lagi bujuk aku? Dia benar-benar udah kena pelet aku?
Jiwa materialistis Kiran seketika menggelora mendengar ucapan Jevan itu. Tangannya langsung mencengkeram keras-keras pahanya sendiri untuk memastikan dirinya tidak langsung pingsan akibat dihadapkan pada rezeki nomplok.
"Tawaran ini ... juga berlaku untuk Dika?"
"Ya, tentunya 'gitu," jawab Jevan, meski sebenarnya karena sudah telanjur basah.
Kiran menahan senyumnya sampai mulutnya bergetar. Namun, meski sudah ingin melompat girang, gadis itu memilih untuk tetap jual mahal.
"Tapi, Pak, yang saya dengar, kerja di lantai teratas sangat berisiko tinggi. Saya hanya orang baru, kalau saya enggak sengaja buat kesalahan lagi---"
"Saya akan kasih kamu tugas yang mudah-mudah aja," potong Jevan dengan tidak sabar. "Teguran, apalagi pemecatan atas kamu, hanya boleh datang dari saya sendiri. Jadi, kamu enggak perlu khawatir soal risiko ini dan itu. Kamu akan selalu aman hanya dengan selalu menurut ke saya."
Kiran langsung mematung dengan syok. Nini... nini benar-benar luar biasa! Sialan, kalau tahu pelet akan menguntungkan aku kayak 'gini, seharusnya dari awal aku langsung ketemu aja dengan orang ini!
"Gimana, kamu mau atau enggak?" tanya Jevan membuyarkan 1001 rencana licik Kiran padanya.
"Tugas apa yang akan saya kerjakan di lantai atas, Pak?" tanya Kiran dengan isi kepala yang tidak lagi fokus. Jantungnya kini berdebar, sibuk menghitung pundi-pundi uang yang bisa dihasilkannya dengan memanfaatkan kekayaan Jevan.
"Iya, Jevan, tugas apa yang harus Kiran kerjakan di lantai atas?" tanya Paskal yang ternyata juga sedang syok. "Sudah ada resepsionis di lantai atas dengan masa kerja yang lama di kantor kita. Kamu juga udah punya banyak sekretaris. Kamu enggak mungkin pecat mereka untuk digantikan Kiran, kan? Jadi, posisi apa yang kamu tawarkan ke Kiran dan Dika?"
"Paskal, sampai sekarang kamu masih sendirian di posisi asisten," jawab Jevan dengan wajah datar.
Mendengar itu, Paskal seketika melongo. "Jangan bilang... kamu mau angkat Kiran dan Dika sebagai asisten kamu?"
"Kamu kan selama ini selalu 'ngeluh kecapekan karena beban kerja kamu berat?"
Paskal lagi-lagi menatap Jevan dengan tampang bengong. "Hah, kapan aku 'ngeluh?"
"Kamu ngerjain urusan kantor untuk aku dan juga urusan hukum sebagai pengacara aku. Selain itu, kamu juga yang selama ini tangani urusan-urusan tertentu aku di luar. Gara-gara beban kerja kamu banyak, belakangan kamu jadi mulai enggak fokus," tuduh Jevan dengan semakin asal.
"Aku...? Enggak fokus...?" Paskal mulai terlihat terpukul.
"Mulai sekarang, kamu fokus ke semua urusan terpenting aku di luar dan persoalan hukum aku aja. Ini supaya kamu mulai bisa punya waktu untuk cari pasangan hidup sesuai permintaan mama kamu," kata Jevan padanya. "Biar urusan aku di kantor mulai sekarang diurus sama yang namanya Bika aja."
"Dika, Pak, bukan Bika," koreksi Kiran dengan cepat.
"Ah ya, yang namanya Dika," sambung Jevan lagi. "Biar Dika aja yang mulai sekarang kerja sama dengan kepala sekretaris aku untuk urus semua yang di Baven Group."
"Aku baru akan ulang tahun ke-27 bulan November nanti, kenapa aku harus cepat-cepat cari pasangan hidup?!" ucap Paskal dengan kesal. "Kamu yang udah mau 30 tahun aja belum mau nikah-nikah juga sama Selia!"
Meski mengutuk keputusan Jevan yang terkesan suka-suka, pria itu kemudian menghembuskan napasnya. "Tapi ... ini sebenarnya memang bukan ide yang terlalu buruk. Kerja 24 jam sama kamu buat aku selalu khawatir kalau suatu saat nanti aku bakal punya potensi stroke. Aku butuh sesekali hidup tanpa dapat telepon dari mana-mana terus."
"Kalau saya bagaimana, Pak?" tanya Kiran menyela pembicaraan Jevan dan Paskal karena sudah terlalu penasaran. "Kalau memang saya jadi asisten Bapak, tugas saya apa?"
Jevan terdiam sejenak dengan pandangan tajam ke arahnya, sebelum kemudian menjawab, "Kamu akan urus semua keperluan pribadi saya. Ini pekerjaan paling mudah untuk kamu lakukan, sesuai harapan kamu tadi."
"Keperluan pribadi Bapak?"
"Ya, kamu jadi asisten pribadi saya," ucap Jevan dengan suara yang dipelankan, seperti malu pada Paskal saat harus mengucapkannya ke Kiran. "Karena kasus semalam, dokter di sini katanya sudah ingatkan saya untuk mulai jaga kondisi saya. Kamu akan urus semua yang terkait itu dan juga kebutuhan saya lain-lainnya."
"Kebutuhan apa, Jevan?" tanya Paskal mulai curiga dengan ucapan aneh Jevan tersebut. "Bukannya selama ini Selia yang tangani urusan pribadi kamu?"
"Selia juga udah terlalu sibuk," ujar Jevan. "Kerjaan Selia di kantor lebih banyak dibanding kamu. Apalagi, dia juga salah satu pengacara aku. Karena itu, hal-hal kecil tentang aku mulai sekarang akan diurus sama Kiran aja."
Kiran kembali mematung. Apa aku salah dengar? Dia mau aku urus semua urusan pribadi dia? Maksudnya apa? Kenapa ini tiba-tiba buat aku jadi khawatir?
"Paskal, sekarang kamu bisa hubungi orang-orang Baven Technology dan tim sekretaris aku untuk kasih tahu soal keputusan terbaru aku ini. Suruh mereka kirim kontrak kerja baru untuk ditandatangani sama Kiran sekarang juga,"
"Anu... tapi saya belum bilang kalau saya mau," gumam Kiran dengan tampang seperti orang linglung.
Jevan mendadak menoleh ke arahnya dengan tatapan yang lebih tajam lagi. "Saya bukan orang yang suka lihat orang jual mahal dan sengaja ulur waktu dalam ambil peluang emas, apalagi setelah saya kasih mereka kesempatan terbaik. Saya yakin teman kamu Bika tadi enggak akan mikir dua kali untuk terima tawaran ini, begitu juga dengan karyawan-karyawan lainnya di kantor. Kalau kamu enggak mau, saya akan kasih peluang ini ke mereka aja."
Panik karena merasa diancam, Kiran terpaksa langsung mengangguk cepat. "Sa---saya mau, Pak, saya mau! Tapi... biar saya bilang dulu soal ini ke Pak Aldi karena bagaimanapun dia yang bawa saya."
Jevan mendadak tersenyum tipis. "Silakan kasih tahu dia soal ini. Lalu jangan lupa, setelah kamu resmi jadi asisten pribadi saya nanti, kamu juga harus cepat kemasi barang-barang kamu dari rumah kamu. Seperti Paskal, mereka yang jadi asisten saya ... wajib tinggal di rumah saya."
___
Di tempat lainnya
"Aldi, di sini!"
Aldi menoleh ke arah Selia yang melambai ke arahnya dari sebuah meja di bagian ujung sebuah restoran atap terbuka yang tak jauh dari rumah sakit tempat Jevan dirawat. Pria itu lalu melangkah mendekat ke arah Selia dan langsung duduk di depannya tanpa tersenyum.
"Akhirnya kamu mau makan bareng aku lagi," ujar Selia dengan wajah ceria sambil menyerahkan buku menu ke tangan Aldi. "Kayaknya terakhir kali kamu makan sama aku itu... tiga bulan lalu?"
Alih-alih menerimanya, Aldi malah mendadak mengembalikan buku menu tersebut pada Selia. "Aku enggak datang ke sini untuk makan. Selia, ada yang mau aku bicarakan sama kamu."
Meski terlihat kecewa, Selia memutuskan untuk tetap tersenyum pada Aldi. "Kayaknya apa yang mau kamu bicarakan ke aku kali ini sangat serius sampai kamu enggak mau senyum ke aku sama sekali."
"Ini soal pemecatan yang kamu lakukan ke Kiran dan Dika," ujar Aldi lagi tanpa mempedulikan sindiran Selia barusan. "Aku datang ke sini untuk minta kamu cabut keputusan kamu itu."
Mendengar itu, Selia langsung menghembuskan napasnya. "Jadi kamu sudah tahu dan datang ke sini hanya karena itu? Ini makanya aku harus pakai email Jevan untuk pecat mereka. Aku enggak suka harus berhadapan sama kamu soal ini."
Aldi bergeming. "Kenapa kamu pecat Kiran dan Dika? Apa benar ini hanya karena Kiran sudah salah masuk ke toilet laki-laki?"
"Dia buka bajunya di dalam toilet laki-laki," gumam Selia sambil mengalihkan pandangannya ke daftar menu di tangannya. "Kalau ada tamu Baven Technology yang masuk, citra resepsionis kantor kita akan dicap serampangan dan murahan. Kalau yang namanya Dika... aku pecat dia karena katanya dia yang menyarankan itu ke Kiran."
"Tadi aku tanya kronologis kejadian itu ke Kiran secara langsung," jawab Aldi. "Kata Kiran, Dika hanya sarankan dia untuk cuci bajunya di toilet dan langsung mengeringkannya supaya dia tetap terlihat bersih di mata tamu. Meski Kiran yang ceroboh di sini dengan salah masuk toilet, tapi langsung memecat mereka berdua karena alasan ini benar-benar keterlaluan Selia. Kondisi mata Kiran waktu dia salah masuk toilet itu lagi perih."
"Kamu tahu kalau aku sangat dengan peduli dengan citra Baven Group," komentar Selia secara singkat sambil tetap membaca buku menunya.
Mendengar itu, Aldi langsung berdecak. "Bukan karena itu kan alasan sebenarnya kamu pecat Kiran? Kamu bukan orang yang sering pecat-pecat orang sembarangan kayak Jevan karena kamu enggak mau orang anggap kamu sebagai perempuan sadis. Itu juga alasan asli kenapa kamu pakai email Jevan waktu pecat Kiran dan Dika."
"Selia," sambung pria itu, "dulu dan sekarang kamu masih sama. Kamu selalu gunakan orang lain untuk hal-hal buruk yang kamu lakukan hanya demi pertahankan citra sempurna kamu. Kamu udah pernah lakukan hal serupa ke aku dulu waktu kamu manfaatin aku soal kunci jawaban ujian SMA kita yang buat mamanya Kiran sampai dipecat."
"Dulu memang aku biarin kamu manfaatin aku karena aku suka sama kamu," lanjutnya lagi. "Dengan bodohnya, aku tutup mata soal kelakuan kamu sampai Kiran jadi benci sama aku. Tapi hanya demi jaga reputasi baik kamu, sekarang kamu lakukan ini ke Jevan, tunangan kamu sendiri? Kamu manfaatin imagenya yang suka pecat orang dengan pakai emailnya hanya untuk pecat Kiran dan Dika?"
"Aku sangat kenal kamu. Kamu enggak akan pecat Kiran dan Dika hanya karena perkara toilet. Hal begini hanya akan kamu lakukan kalau ini terkait pribadi kamu, jadi apa pun yang kamu lakukan ke Kiran pasti alasannya lebih dari itu. Kalau Dika ... dia sebenarnya hanya jadi korban tambahan supaya kalau orang-orang kebetulan tahu kamu yang pecat Kiran, orang enggak akan curiga kamu punya konflik personal sama Kiran."
Selia mendadak tertawa sinis. "Konflik personal? Kalau aku bilang ke kamu alasan sebenarnya kenapa aku pecat dia, kamu akan ketawain aku dan anggap aku gila."
"Tindakan kamu sendiri aja udah cukup gila bagi aku," jawab Aldi blak-blakan. "Enggak seharusnya kamu pecat Kiran dan Dika tanpa bicara dulu dengan pihak kami, Baven Technology. Apalagi, Kiran masih sangat baru dan masalahnya sebenarnya masih bisa diselesaikan secara baik-baik."
"Kamu ingat kalau nenek Kiran dulu dukun terkenal?" tanya Selia, secara tiba-tiba mengganti topik pembicaraan mereka.
"Kenapa dengan itu?" Aldi balik bertanya dengan alis mata yang mengernyit.
"Beberapa hari yang lalu, aku dengar pembicaraan telepon Kiran dengan seseorang di toilet Baven Technology," ujar Selia dengan tampang serius. "Aku dengar dengan jelas waktu dia 'ngaku kalau dia udah pelet seseorang di kantor kita. Aku sebenarnya enggak percaya soal ini, tapi dulu...."
Selia tiba-tiba menahan kalimatnya sendiri. Ia mendadak merasa tidak nyaman untuk mengatakan pada Aldi kalau delapan tahun yang lalu, ia curiga Kiran sudah memelet Aldi sampai pria itu secara tiba-tiba memutuskan hubungan mereka.
Sampai saat ini, Selia tidak pernah bisa mengerti bagaimana Aldi yang dulu seperti tergila-gila padanya, mendadak berubah secepat kilat terhadapnya. Apalagi, saat ini Aldi bahkan mati-matian membela Kiran yang ia pecat.
"Yang jelas, aku curiga dia udah pelet seseorang di kantor kita," sambung Selia lagi setelah terdiam sesaat. "Mengingat dia bilang kalau orang yang dia pelet sudah delapan tahun enggak ketemu sama dia, dan kemungkinan akan ketemu lagi dengannya di kantor ini... itu harusnya mengerucut ke orang-orang tertentu, kan?"
"Maksud kamu mengerucut ke aku?" tanya Aldi dengan wajah datar.
"Dia bilang 'gitu di toilet hanya sehari setelah diterima masuk di Baven Technology," sambung Selia. "Artinya, mungkin bukan kamu yang dia bicarakan waktu itu karena dia udah ketemu sama kamu sehari sebelumnya. Dari tujuh orang anak SMA kita di kantor, hanya dua yang laki-laki, yaitu kamu sama Jevan."
Aldi mengangkat alis matanya. "Jadi... kamu sebenarnya khawatir orang yang Kiran pelet itu Jevan? Itu yang buat kamu sampai pecat Kiran?"
"Aldi, delapan tahun lalu, Jevan kebetulan memang sempat datang lagi ke sekolah kita," tukas Selia dengan lebih serius lagi.
Aldi langsung menarik napasnya dalam-dalam. "Kamu benar tadi, sekarang aku udah mulai anggap kamu gila. Aku kira kamu perempuan pintar yang punya pemikiran modern, tapi kamu malah pecat orang karena alasan enggak jelas begini?"
"Aku punya alasan kuat kenapa aku selalu curiga sama Kiran selama ini."
"Apa alasannya?" tanya Aldi lagi dengan nada mendesak. Melihat Selia mendadak kembali terdiam, Aldi lalu mengusap wajahnya yang tampak lelah. "Selia, aku minta kamu bersikap dewasa dan cabut keputusan pemecatan Kiran dan Dika secepatnya. Jangan salah gunakan kekuasaan yang dikasih Jevan ke kamu untuk mempermainkan nafkah orang."
"Aku... enggak bisa lakukan itu," jawab Selia setelah sempat tenggelam dalam hening. Ekspresi wajahnya pada Aldi kini berubah dingin. "Kalau kamu enggak terima dengan keputusan itu, silakan ajukan keluhan aja ke Jevan, dan lihat reaksinya kalau diminta urus persoalan resepsionis kamu."
Aldi sudah akan membuka mulutnya untuk bicara, tetapi mendadak ponselnya berbunyi. Melihat nama pemanggilnya di layar, Aldi segera mengangkatnya dan langsung terlibat dalam pembicaraan serius selama beberapa saat. Namun setelah ia menutup pembicaraannya di telepon, pria itu langsung kembali menatap Selia.
Setelah beberapa detik hanya memandang gadis itu dalam diam, pria itu lalu berdiri dari kursinya.
"Sepertinya aku memang udah enggak perlu bantuan kamu lagi, Selia," katanya sambil tersenyum tipis, yang menunjukkan ekspresi berpadu antara reaksi lega dan khawatir sekaligus. "Yang barusan telepon aku itu Kiran. Kamu sepertinya belum tahu tentang ini, kan? Tunangan kamu, Jevan, ternyata udah selesaikan masalah pemecatan Kiran, dan katanya per malam ini... dia resmi angkat Kiran sebagai asisten pribadinya."
Keren, ayo dong Thor Upin banyak²