...

2. Satu Rahasia Kecil

 

*Uwak Le?”

 

Kiran menggenggam ponselnya sambil berbisisk-bisik dari balik bilik toilet kantornya. Sudah beberapa jam berlalu sejak ia berbicara dengan Aldi, tapi entah mengapa ia belum juga bisa merasa tenang. Apalagi, setelah ia tahu kalau pria yang meminum ramuan peletnya ternyata adalah pemilik Baven Group, Jevan Baven.

 

Mengingat sejak hari ia memberikan ramuan pelet tersebut pada Aldi, ia belum sekali pun pernah bertemu dengan Jevan yang ternyata meminumnya, ia tentu menjadi was-was. Rasanya akan sangat mengerikan bagi Kiran kalau membayangkan pria psikopat pembunuh itu menyukainya.

 

*Neng Kiran?" Suara riang seorang pria paruh baya kini terdengar dari seberang telepon Kiran. "Apa kabar, Neng? Kok Neng Kiran bisa tahu nomor Whatsapp saya?"

 

"Tadi mama yang kasih ke eneng, Wak," jawab Kiran.

 

Setengah jam yang lalu, gadis itu menelepon ibunya untuk bertanya-tanya seputar ilmu pelet neneknya. Mamanya yang tidak tahu menahu soal apa yang dilakukan Kiran bersama neneknya dulu, malah berakhir menjerit padanya. Untungnya, sang ibu masih mau memberikan nomor telepon Ale yang dulu merupakan asisten setia mendiang neneknya.

 

"Kenapa rame sekali di sana? Uwak lagi ada di mana, sih?" lanjut Kiran sambil bertanya dengan bingung setelah mendengar suara musik disko melantun cukup kencang dari belakang Ale.

 

"Haha, saya lagi ada di Ibiza, Neng. Di sini masih rame orang party, jadi ya memang agak sedikit berisik," jawab pria itu sambil tertawa.

 

Pria itu memang agak unik. Dulu saat nenek Kiran masih hidup, ia selalu tampak serius dan misterius. Namun, setelah nenek Kiran meninggal dan memberikan sebagian kecil dari hartanya pada Ale, pria itu mendadak berubah, seakan-akan baru mengenal peradaban dan manfaat uang bagi jiwa hedonnya yang selama ini ternyata terpendam.

 

Rupanya, dulu ia hidup cukup tertekan dengan istrinya yang luar biasa galak. Hanya dua minggu setelah kematian nenek, istri Ale juga meninggal.

 

Itulah mengapa Ale yang mendadak kaya dan bebas, tiba-tiba berubah bak bujang liar. Kata orang-orang, pria yang dulunya hidup terpencil di gunung itu, mendadak jadi lebih kekinian dan kebaratan khas anak-anak muda Jaksel.

 

"Memangnya jam berapa di Spanyol sekarang, Wak?" Kiran berbasa-basi dengan bertanya.

 

"Jam tiga subuh, Neng. Di Jakarta masih jam sembilan pagi, kan?" tanya Ale. Pria itu terdengar seperti tengah berjalan menjauh dari keramaian, dan kini mulai memasuki area yang lebih sepi.

 

"Iya. Gini, Wak ... Uwak Le ingat enggak dulu eneng pernah dapat ramuan pelet dari *Nini ?" tanya Kiran dengan hati-hati. Saat itu, ramuan nenek kan enggak mempan ke orang yang eneng suka... Uwak ingat?"

 

Ale terdiam sesaat. "Iya, ingat. Saya sendiri kurang ngerti kenapa di Neng Kiran dulu itu enggak berhasil. Seharusnya, apa pun dari nini kamu itu manjur."

 

"Ternyata yang minum itu orang lain, Wak!" tukas Kiran dengan cepat dan dengan nada yang lebih terdengar seperti histeris. "Orang yang eneng suka ... ternyata malah ngasih minuman itu ke orang lain! Eneng juga baru tahu soal itu hari ini setelah ketemu lagi sama orang yang eneng suka dulu itu."

 

"Hah?"

 

Kiran menarik napasnya. "Pelet nini itu ada batas kadaluwarsanya, 'gak?"

 

"Kalau mantranya belum dicabut, akan tetap begitu sih, Neng," jawab Ale, masih berusaha mencerna maksud telepon Kiran. "Memangnya siapa yang waktu itu sebenarnya minum ramuannya, Neng?"

 

"Orang yang ... agak berbahaya," ujar Kiran dengan nada frustrasi. "Jadi mantranya harus dicabut? Mantra yang mana yang Uwak maksud?"

 

"Waktu Neng Kiran dulu jalani ritual pelet, Neng kan diminta baca mantra? Nah, mantra itu yang saya maksud," kata Ale.

 

"Sampai sekarang, eneng enggak tahu itu bahasa apa," gumam Kiran setelah mengingatnya. "Uwak tahu isi mantra itu apa? Itu bahasa apa?"

 

Ale mendadak tertawa canggung. "Enggak tahu, Neng. Terus terang, saya enggak tahu sebenarnya itu apa."

 

Kiran mendadak bengong. "Hah? Gimana, sih?! Uwak bertahun-tahun ikut nini kok malah enggak tahu bagian yang paling penting?!"

 

"Seperti resep rahasia para koki, mantra itu rahasia setiap dukun," jawab pria itu dengan nada yang kali ini terdengar lebih serius. "Saya dulu agak takut nanya terlalu dalam ke nini kamu tentang mantra-mantranya. Saya hanya selalu mengikuti perintahnya saja karena takut sama nini kamu. Itu ilmu hitam, Neng. Salah sedikit saja, efeknya bisa berbahaya. Nini kamu bukan dukun sembarangan."

 

Uwak Le sendiri saja ternyata takut sama nini, sama seperti mama. Kiran mengeluh dalam hatinya.

 

"Jadi, bagaimana caranya untuk mencabut mantranya?" tanya gadis itu lagi, kini dengan sedikit pasrah.

 

Ale terdiam sesaat sebelum menjawab Kiran. "Ada ritual cabut mantra pelet yang harus dilakukan. Nini kamu ninggalin buku tentang itu di rumahnya dulu. Mungkin kalau saya sudah kembali ke Indonesia, saya akan coba untuk melihat prosedurnya lagi."

 

"Tapi Neng," sambungnya, "memangnya Neng Kiran sudah ketemu sama orang yang minum ramuannya? Sudah ada reaksi dari dia?"

 

"Ehm ... memang belum ketemu," jawab Kiran dengan jujur. "Tapi saat ini, eneng ternyata satu kantor dengan dia setelah kami enggak ketemu delapan tahun. Mungkin ... kami bisa saja mendadak bertemu setelah ini karena ada di lingkungan yang sama setiap harinya."

 

Karena merasa pikirannya mungkin konyol, gadis itu lalu tertawa sambil menggaruk-garuk kepalanya sendiri. "Tapi ... eneng mungkin saja bisa salah. Belum tentu juga pelet delapan tahun lalu itu efektif, kan?"

 

"Pasti efektif," jawab Ale dengan lebih serius lagi. "Itu pasti akan bekerja kalau memang dia pada akhirnya ketemu sama Neng Kiran dan kalian saling berpandangan."

 

"Tapi yang saya tahu," lanjutnya, "cara bekerja pelet seperti ini enggak kayak yang Neng Kiran dengar di kebanyakan cerita. Orang yang terkena pelet itu belum tentu akan terlihat tergila-gila sama yang pelet. Semuanya selalu tergantung sama karakter laki-lakinya sejak dulu. Yang jelas, mereka tetap akan jadi tertarik sama Eneng."

 

Kiran mendadak terdiam kaku. "Tergantung karakter mereka sejak dulu? Uwak ... jangan buat eneng takut, ah! Orang yang minum ramuan pelet eneng itu sangat mengerikan. Eneng enggak mau terlibat dengan psikopat pembunuh seperti dia sama sekali."

 

"Psikopat pembunuh?"

 

Klenteng!

 

Sebuah suara barang jatuh mendadak terdengar dari arah luar bilik Kiran. Kiran terdiam sesaat di dalam biliknya dengan wajah yang tampak kaget.

 

Ini kan toilet perempuan, siapa di luar sana? Ia mulai memasang sikap waspada.

 

Kenapa dari tadi enggak ada suara orang masuk toilet sama sekali? Apa orang di luar ini ... sejak tadi sudah ada di sini dan diam karena mendengar semua pembicaraan telepon aku?

 

Mendadak, Kiran mendengar ada suara keran air yang dinyalakan dari luar. Karena panik, ia pun langsung memutus begitu saja sambungan teleponnya dan segera keluar dari bilik toiletnya.

 

Betapa kagetnya gadis itu saat membuka pintu bilik toiletnya, ia melihat ada seseorang yang tampak sedang berkaca sambil mencuci tangannya di wastafel. Begitu sosok itu melihat ke arah Kiran dari pantulan kaca di depannya, wajahnya tampak seperti langsung terkejut.

 

Namun, setelah sempat terdiam selama beberapa detik, ia pun segera membalikkan badannya ke arah Kiran dan langsung tersenyum dengan hangat.

 

"Kiran? Kiran Kania, kan? Apa kabar kamu?" sapa Selia Andrea, gadis sangat cantik yang dulu merupakan sahabat terbaiknya, sekaligus orang yang pernah memberikan luka terbesar padanya.

 

___

 

Selia Andrea memandang ke arah semua orang yang baru saja menyelesaikan rapat di ruang pertemuan Baven Technology dengan wajah yang tampak seperti termenung. Gadis berambut panjang kecokelatan dengan bola mata berwarna senada itu terus menarik dan menghela napasnya, seakan-akan ada sesuatu yang mendadak membuatnya resah.

 

Sesekali, kaki jenjang mulusnya yang memakai sepatu Christian Louboutin tampak menghentak-hentak ke lantai. Sesekali, ia akan tanpa sadar memutar kursinya sendiri seperti anak kecil, tetapi dengan dahi yang tampak seperti mengerut karena tengah berpikir.

 

Namun, begitu ia melihat Aldi Abbas selesai berbicara dengan seorang peserta rapat mereka dan kini berjalan ke luar untuk kembali ke ruangannya, Selia langsung berdiri. Sambil tersenyum, ia kemudian langsung berusaha untuk menyejajarkan langkahnya dengan Aldi.

 

"Mau makan siang bareng?" tanya gadis tersebut dengan riang. "Ada restoran sop iga baru di dekat kantor kita. Kata yang lain, sop iga di sana enak."

 

"Kamu enggak ke sana dengan Jevan saja?" tanya Aldi tanpa menghentikan langkahnya. Ia hanya menoleh sekilas ke arah Selia yang mengikutinya.

 

"Jevan masih di Singapura. Dia baru akan kembali nanti malam," jawab Selia sambil tetap tersenyum.

 

"Selia, aku masih agak sibuk dan siang ini aku sudah ada janji makan dengan orang lainnya," jawab Aldi, masih sambil berjalan dengan melihat arloji di pergelangan tangannya.

 

"Dengan Kiran?" tanya Selia seraya menghentikan langkahnya. "Aku tadi ketemu dia di toilet. Ah, Kiran sekarang sudah semakin manis saja. Sayang sekali seragam resepsionisnya tadi agak kebesaran. Penampilannya jadi aneh karena itu."

 

Aldi yang juga sudah ikut berhenti melangkah, tidak langsung menjawab apa pun. Ia hanya terdiam sambil memandang ke arah Selia.

 

"Kamu sudah kasih tahu Kiran kalau dia seharusnya pakai seragam dengan ukuran yang sesuai dengan bentuk badannya? Dia orang yang menerima tamu Baven Group di lantai ini," kata Selia lagi.

 

"Ini baru hari pertamanya di sini, Selia. Dia masih belum tahu banyak hal, dan mungkin hanya salah menyebutkan ukuran seragamnya ke pihak HRD kemarin," jawab Aldi.

 

"Dia juga harus memakai makeup," ujar Selia lagi. "Semua resepsionis perempuan di gedung ini wajib tampil cantik dan menarik. Kamu sudah kasih tahu dia soal ini?"

 

Aldi menghembuskan napasnya. "HRD yang seharusnya membicarakan soal ini ke dia. Tapi, nanti aku akan coba kasih tahu dia soal itu."

 

"Aku enggak boleh ikut kamu dan dia saja makan siang?" tanya Selia sambil tetap tersenyum. "Aku juga kangen loh ngobrol panjang sama Kiran. Sampai sekarang, dia masih jadi perempuan yang paling lama berteman sama aku dan ... yang paling akrab."

 

"Selia, kita berdua punya sejarah buruk dengan Kiran," jawab Aldi. Pria itu tiba-tiba terlihat seperti merasa serba salah. "Kalau mendadak kita muncul barengan di depan Kiran, takutnya nanti dia akan merasa ...."

 

"Kamu serius sekali, sih?! Aku hanya bercanda, kok!" potong Selia sambil tertawa geli. "Aku jelas tahu kalau dia butuh waktu untuk bisa kembali menerima kita seperti sebelumnya. Aku hanya lagi iseng aja kok ke kamu!"

 

Aldi menghembuskan napasnya, lalu langsung berbalik lagi. Ia sudah akan berjalan meninggalkan Selia untuk menuju ke ruangannya, tapi mendadak bekas pacarnya itu kembali memanggilnya dari belakang.

 

"Aldi, gara-gara tadi ketemu sama Kiran, aku tiba-tiba jadi ingat sesuatu," ujar gadis itu dengan ekpresi yang kini terlihat serius dan entah bagaimana sedikit sendu. "Dulu, semua orang tahunya aku yang mutusin kamu dan pergi ke luar negeri. Enggak ada satu pun dari mereka yang tahu kalau sebenarnya kamu yang putusin aku."

 

"Sekarang aku tiba-tiba jadi penasaran," sambungnya. "Boleh aku tahu ... kenapa dulu kamu secara mendadak putusin aku?"

 

"Hah?"

 

"Jangan salah paham," tukas Selia lagi dengan cepat, "aku sudah enggak ada rasa lagi sama kamu. Aku sekarang sudah sama Jevan. Hanya saja ... dulu aku selalu penasaran. Kamu itu sebelumnya selalu sangat fokus ke aku, tapi di satu masa, kamu mendadak berubah total dan tiba-tiba mutusin aku. Aku hanya penasaran saja sekarang, apa alasan di balik itu?"

 

Aldi mendadak tampak seperti merasa canggung. Wajahnya seperti tengah berusaha untuk memikirkan jawaban yang paling tepat untuk menjaga perasaan Selia. Namun, ia justru terlihat seperti kehilangan kata-kata. Hal itu tentunya membuat Selia langsung kembali tertawa. 

 

"Aku sudah tahu kalau kamu sendiri akan kesusahan untuk menjawabnya," katanya. "Sudahlah, lupakan saja. Aku akan mengajak yang lainnya saja untuk makan siang. Sampaikan salam aku ke Kiran, ya? Dalam waktu dekat, mungkin gantian aku yang akan ajak Kiran makan siang bareng tanpa kamu."

 

Aldi lalu melihat Selia berjalan meninggalkannya sambil tetap tersenyum hangat ke arahnya. Namun, ada sesuatu dari perkataan Selia tadi yang membuat Aldi mendadak merasa seperti terbawa kembali ke masa SMA-nya dulu --- sesuatu yang tidak pernah bisa dijelaskannya pada siapa pun, bahkan sampai saat ini.

 

___

 

Kilas balik delapan tahun yang lalu


“Aldi!”

 

Suara teriakan Kiran membuat Aldi --- yang masih mengusap wajahnya dari keringat --- langsung menoleh. Dari kejauhan, ia melihat teman sekelasnya itu tengah berlari ke arahnya sambil membawa sesuatu di tangannya.

 

"Dari tadi aku cari kamu ke mana-mana," ujar Kiran padanya yang masih terdiam kaku. "Aku mau kasih data aku ke kamu untuk buku tahunan SMA kita nanti. Di kelas kita, hanya sisa aku yang belum kasih data aku, kan?"

 

Aldi mengangguk. Ia masih merasa sangat tidak nyaman untuk menghadapi Kiran, setelah gadis itu lama tidak berbicara dengannya.

 

Akibat kasus pemecatan terhadap ibu Kiran, Aldi selalu merasa sangat bersalah pada gadis itu. Terlebih, setelah ia dan Selia sudah resmi berpacaran, Aldi bisa melihat ekspresi kecewa dan sakit hati di wajah Kiran setiap ia bertemu dengannya. Tentunya setelah lama tidak saling bertegur sapa, panggilan Kiran kali ini terhadapnya, jelas membuat Aldi langsung salah tingkah.

 

"Ah, i--iya. Hanya kamu yang belum kasih data kamu ke aku," jawab pria itu sambil mengulurkan tangannya ke arah Kiran untuk mengambil lembaran data sang gadis.

 

"Kamu ... lagi main basket?" Kiran kembali bertanya sambil melihat ke arah lapangan basket yang kosong. "Ini sudah jam tiga. Aku kira, di jam-jam seperti ini biasanya kamu sudah pergi ke tempat les kamu?"

 

Aldi menggeleng. "Kelas les aku hari ini diliburkan karena gurunya sakit. Itu makanya aku bisa main basket sekarang."

 

"Oh, begitu. Kamu pasti capek dan kepanasan karena main basket saat matahari terik begini," celetuk Kiran lagi. Ia mendadak membuka isi tasnya, lalu mengeluarkan sebuah botol minuman soda dingin dari dalamnya.

 

"Kamu mau ini?" tanya gadis itu secara tiba-tiba padanya. "Aku tadi telanjur beli minuman dingin satu gratis satu. Kebetulan yang ini belum aku minum. Aku lihat, kamu lagi keringatan. Mungkin saja kamu mau---"

 

"Aku mau!" jawab Aldi dengan cepat. Pria itu mendadak merasa luar biasa lega melihat sikap Kiran kembali baik padanya. Saking senangnya, ia langsung mengiyakan tawaran Kiran tersebut begitu saja.

 

Kiran sendiri ikut tersenyum dan langsung menyerahkan botol dingin dari tangannya ke arah Aldi. "Kalau begitu, aku pulang duluan, ya."

 

"Ehm ... Kiran, terima kasih, ya," ujar Aldi dengan tulus sambil mengusap botol berembun di tangannya. Ia melihat sang gadis lalu mengangguk padanya, sebelum kemudian berlari meninggalkannya di sana.

 

"Itu pacar kamu yang dibahas sama orang-orang di sini tadi?"

 

Jevan Baven --- seniornya di sekolah itu dua tahun yang lalu --- muncul secara tiba-tiba di belakangnya setelah sempat pergi sebentar ke toilet di tengah-tengah permainan basket mereka. Aldi yang tadinya masih senyum-senyum sendiri, langsung menoleh ke arah Jevan dengan sorot mata yang menyipit.

 

"Pacar aku bukan dia. Yang tadi itu hanya teman sekelas aku," sanggahnya.

 

Jevan langsung mengangkat sebelah alis matanya ke arah Aldi. "Kamu sudah punya pacar, tapi malah memandang ke arah teman sekelas kamu tadi dengan cara seperti itu? Kamu yakin kamu enggak salah ajak orang untuk jadi pacar kamu?"

 

"Me---memangnya kenapa dengan cara pandang aku tadi? Aku hanya lagi merasa bersalah ke dia tentang sesuatu, kok."

 

Mendengar itu, Jevan hanya mengangkat bahunya sendiri dengan cuek. Namun, tangannya mendadak sudah merebut botol minuman dingin tadi dari tangan Aldi. Sebelum Aldi sempat menyuarakan keberatannya, Jevan langsung membuka tutup botol minuman tersebut dan menenggak isinya sebanyak mungkin.

 

"Hei! Itu minuman aku!" teriak Aldi sambil berusaha kembali merebut botol minumannya dari tangan Jevan.

 

Jevan tidak mempedulikannya. Setelah ia meminum hampir setengah dari isi botol itu, ia kemudian mengembalikannya ke tangan Aldi tanpa berterima kasih sedikit pun.

 

"Adi, dua lagi jam pulang kantornya orang-orang, kan? Aku harus pergi sekarang karena ada yang harus aku urus."

 

Aldi yang jengkel melihat minuman soda dinginnya tersisa setengah, kembali mendongak ke arah Jevan yang bertubuh tinggi besar. "Sudah aku bilang berkali-kali kalau nama aku Aldi, bukan Adi! Kenapa kamu dari tadi selalu salah manggil nama aku, sih?! Lagi pula, kamu enggak melanjutkan permainan kita tadi?"

 

"Untuk apa? Kita berdua tahu kalau kamu sudah kalah," jawab Jevan dengan cuek sambil langsung mengambil ranselnya dari pinggir lapangan basket.

 

Seolah-olah merasa tidak punya beban apa pun, pria itu lalu langsung pergi begitu saja tanpa mengucapkan apa pun lagi. Ia meninggalkan Aldi yang kini terbengong-bengong seorang diri di lapangan basket yang kosong.

 

Orang bernama Jevan itu ... aneh sekali, ucap Aldi dalam hati. Apa dulu di sini dia juga selalu bersikap seenak-enaknya dan serandom ini?

 

Dia yang mendadak muncul lagi di sekolah ini setelah dua tahun lulus ... dia yang mendadak maksa aku untuk main basket dengannya ... terus sekarang, dia juga yang tiba-tiba pergi sendiri? Kalau bukan karena kata orang-orang dia mengerikan, aku mungkin sudah dari tadi menolak ajakannya dan kabur.

 

Aldi kini memandang ke arah punggung Jevan yang nyaris menghilang dari gerbang sekolah sambil mendengus dengan kesal. Pria itu lalu mulai merapikan barang-barangnya sendiri yang ada di pinggir lapangan basket, untuk segera bersiap pulang. Namun, sebelum ia beranjak, ia memutuskan untuk membuka tutup botol minuman soda dingin dari Kiran tadi, dan kemudian meminum sisanya sampai habis.

 

AUTHOR’S NOTES:

 

  • Uwak / Wak : dalam bahasa Sunda (Sunda adalah salah satu suku di Indonesia), kata ini merupakan panggilan pada kakak laki-laki dari orang tua kita atau panggilan pada laki-laki yang lebih tua dari orang tua kita.

  • Eneng / Neng : dalam bahasa Sunda, kata ini merupakan panggilan pada seorang perempuan muda.

  • Nini : dalam bahasa Sunda, kata ini merupakan panggilan pada nenek atau perempuan yang sudah tua.

 

Subscribe
Notify of
guest

1 Komentar
Terlama
Terbaru Vote Terbanyak
Inline Feedbacks
View all comments
Hannips
Member
7 months ago

Jadi Aldi dn Jevan sama2 kena.

error: KONTEN INI DIPROTEKSI!!!
#!trpst#trp-gettext data-trpgettextoriginal=4498#!trpen#Seraphinite Accelerator#!trpst#/trp-gettext#!trpen##!trpst#trp-gettext data-trpgettextoriginal=4499#!trpen#Optimized by #!trpst#trp-gettext data-trpgettextoriginal=4498#!trpen#Seraphinite Accelerator#!trpst#/trp-gettext#!trpen##!trpst#/trp-gettext#!trpen#
#!trpst#trp-gettext data-trpgettextoriginal=4500#!trpen#Turns on site high speed to be attractive for people and search engines.#!trpst#/trp-gettext#!trpen#