"Ini hari pertama kamu masuk kerja?"
Seorang pria dengan seragam yang sama dengan Kiran menyapanya di meja resepsionis Baven Technology. Meski sempat memandangi penampilan Kiran dengan tatapan yang seperti mengevaluasi, pria itu akhirnya tersenyum padanya.
"Aku Dika, Andika Ramansyah. Aku juga resepsionis," ucapnya sambil mengulurkan tangannya ke arah Kiran. "Kamu Kiran, kan? Tadi aku diminta briefing kamu soal kerjaan kita. Seharusnya pihak humas yang lakukan ini, tapi mereka semua lagi sibuk di lantai atas buat acara ulang tahun Baven Group."
Kiran hanya mengangguk dengan canggung sambil menyambut uluran tangan Dika. Mengingat ini adalah untuk yang pertama kalinya ia bekerja kantoran, ia masih terus merasa asing dengan segalanya di sana.
"Kamu masuk ke sini dengan bantuan Pak Aldi, ya?" tanya pria yang sedikit gemulai itu secara mendadak dan tanpa rasa canggung pada Kiran. "Tadi aku lihat kamu makan siang sama Pak Aldi dan kayaknya Pak Aldi ramah banget ke kamu."
"Mungkin begitu," jawab Kiran dengan polos dan malah di luar dugaan. Biasanya, orang akan menutupi apa pun yang terkait koneksi dalam sebuah pekerjaan, tapi Kiran bukan orang yang paham tentang aturan sosial sederhana semacam itu. "Aldi itu dulu teman satu SMA aku. Mungkin karena sempat lihat CV aku, dia langsung nerima aku kerja di sini."
Mendengar itu, Dika mendadak mendekat ke arah Kiran dengan sikap yang terlihat antusias. "Ah, pantas saja kalau begitu! Jangan kaget, mulai sekarang, aku mungkin akan jadi penjilat kamu, Kiran! Aku butuh merasa lebih aman di tempat seperti ini."
"Tempat seperti ini?" ulang Kiran dengan tampang bingung. Meskipun begitu, ia kemudian memutuskan untuk menanyakan hal yang lebih penting baginya saat itu. "Anu, kata Aldi tadi ... di sini kita harus berpenampilan sangat rapi dan menarik?"
Dika mengangguk cepat. "Iya, tadi HRD minta aku suruh kamu untuk segera urus pergantian seragam kamu dengan ukuran yang lebih pas. Aku juga disuruh untuk kasih tahu ke kamu kalau resepsionis bisa pakai alat-alat di ruang makeup tim humas. Perempuan yang di bawah tim humas, enggak boleh terlihat serampangan dan wajib pakai makeup di sini."
"Kita di bawah tim humas?"
"Resepsionis, customer service, dan staf humas, semuanya ada di bawah Departemen Humas. Pokoknya, apa pun yang ada hubungannya sama informasi ke luar dan citra perusahaan, itu urusannya selalu sama Departemen Humas."
"Kamu harus hati-hati sama tim humas kita, Kiran," sambung Dika, tiba-tiba mengajak gosip. "Kamu mungkin belum ketemu sama mereka karena kamu masih baru, dan mereka semua juga lagi sibuk dengan urusan ulang tahun Baven Group di lantai atas. Tapi aku ingatkan sama kamu, aku belum pernah menemukan satu pun dari staf humas yang enggak menyebalkan."
"Di sini dan anak-anak perusahaan Baven Group lainnya, Departemen Marketing dan Deparemen Humas selalu punya pengaruh sangat tinggi ke Baven Group. Marketing jadi ujung tombak penjualan apa pun, sementara kalau humas, mereka yang selalu menjaga citra perusahaan serapi mungkin. Jadi, orang-orang di dua departemen ini biasanya agak sombong dan bossy karena selalu diistimewakan."
"Anak perusahaan Baven yang paling terkenal itu yang bergerak di bidang energi dan properti. Tapi, kita di bagian teknologi, belakangan juga mulai naik. Aku akui, kinerja tim humas dan marketing di sini dalam mempromosikan Baven Technology itu luar biasa. Makanya belakangan kita mulai disorot secara khusus sama para petinggi Baven Group."
"Baven Group ulang tahun hari Jumat nanti dan mungkin Pak Aldi akan dapat penghargaan saat itu," sambungnya. "Biasanya ada dua acara di setiap ulang tahun Baven Group. Hari Jumat, semua karyawan di gedung ini akan dibebastugaskan selama setengah hari untuk makan-makan, ikut permainan-permainan tertentu yang berhadiah, dan lain-lainnya."
"Kalau hari Sabtu, ada acara lebih resmi untuk tamu-tamu penting di luar Baven Group. Acara ini biasanya sangat besar dan tim resepsionis kayak kita selalu dilibatkan untuk menerima tamu atau atau tugas-tugas lainnya. Tahun ini aku belum tahu kita akan kebagian tugas apa, tapi dengar-dengar, kita mungkin akan diminta untuk jaga di ruangan para petinggi Baven Group."
"Maksudnya jaga ruangan?" tanya Kiran.
"Ibaratnya jadi pesuruh orang-orang yang ada di level top eksekutif," jawab Dika. "Kedengarannya mungkin menyenangkan, tapi banyak yang selalu takut kalau harus mendadak jadi pesuruh orang-orang di level itu."
"Masalahnya," lanjut pria itu, "mereka orang-orang yang bisa membuat keputusan kilat atas nasib kita. Berhadapan dengan mereka secara langsung pasti bisa buat kita jadi serba salah dan rentan dipecat. Semoga sih kita enggak diminta untuk tugas jaga ruangan nanti, apalagi jaga ruangan Pak Jevan. Dia itu yang punya Baven Group."
Sepanjang hari itu, jantung Kiran seperti terasa langsung berhenti berdetak setiap mendengar nama Jevan disebut. "Ke---kenapa dengan Pak Jevan?"
Dika mendadak melirik ke kiri dan ke kanannya dengan sikap waspada.
"Pak Jevan terkenal paling enggak pedulian dan mudah memecat orang," bisik Dika. "Kamu tahu kalau tingkat pemecatan karyawan di sekelilingnya itu yang paling tinggi di seluruh Baven Group? Untungnya, orang-orang yang dia pecat biasanya ada di level menengah ke atas, bukan karyawan di level rendah kayak kita. Tapi ... bagaimanapun itu tetap buat takut, kan?"
"Dia ganteng dan masih muda, tapi sering dihindari karena menakutkan. Banyak yang bilang kalau orang-orang yang pernah mengkhianati Baven Group atau yang buat kesalahan besar ke dia, sering hilang secara misterius."
"Ahaha, masa sih?" Kiran tertawa, tapi keringat dingin mulai mengalir di punggungnya. "Me--memangnya dia sampai segitu pendendamnya?"
"Ada isu kalau dulu dia jadi pewaris tunggal Baven Group karena membunuh satu keluarga kakaknya dan juga asisten kakaknya di Tangerang," kata Dika dengan tampang serius. "Dia juga sering kena masalah hukum di luar kantor karena dia agak brutal dan sering pakai kekerasan untuk dapat apa yang dia mau."
"Pak Paskal, asistennya, dan juga Bu Selia, tunangannya, sering sampai bolak-balik kantor polisi untuk mengurus masalah Pak Jevan. Meski dia sangat pintar, banyak pemilik saham lainnya yang enggak suka sama kelakukan Pak Jevan yang seenaknya, tapi mereka enggak bisa melakukan apa pun karena Pak Jevan pemilik saham tertinggi. Lagi pula, saham Baven Group anehnya selalu tetap profit dan malah semakin mahal."
"Apa kita ... akan sering berurusan dengan orang kayak gitu?" tanya Kiran mulai panik.
Dika langsung tertawa. "Untungnya sih enggak. Palingan kita hanya akan sering lihat dia lewat aja. Kalau sampai berurusan, itu mungkin hanya bakal terjadi satu kali dalam satu tahun di saat Baven Group ulang tahun. Itu pun kalau orang seperti kita kebetulan terpilih untuk bertugas di ruangannya."
"Tapi, aku rasa Pak Jevan juga enggak akan berkomunikasi secara langsung dengan orang kayak kita karena dia punya asisten sendiri," sambung Dika, kali ini dengan tawa yang terdengar seperti lega sendiri. "Pokoknya tenang, Kiran, enggak ada dalam sejarah Baven Group selama ini, Pak Jevan mau berurusan sama karyawan sekecil kita --- enggak pernah terjadi sekali pun. Soal ini, kita akan aman."
___
Kediaman Jevan Baven, pukul 20.00 WIB
"Kamu baru pulang?"
Malam itu, mood seorang Jevan Baven sedang luar biasa buruk. Ia baru saja tiba dari Singapura dan bahkan belum sempat masuk ke kamarnya saat ia langsung dihadapkan dengan pertanyaan dari tantenya, Lina Baven, yang ternyata sudah menunggunya di ruang tengah rumahnya.
Dari semua yang ingin dilakukan oleh Jevan malam itu, bertemu dengan Lina jelas bukan sesuatu yang ada dalam daftarnya. Adik ayahnya itu selalu sangat sinis padanya, curiga padanya, dan terutama ... selalu berusaha untuk mencari-cari kesalahannya. Itu makanya Jevan selalu malas setiap kali bertemu dengan Lina.
"Katanya kamu terlibat perkelahian di Singapura sampai sempat hampir ditangkap sama kepolisian sana?" lanjut Lina. "Cck! Kamu benar-benar enggak berhenti mempermalukan nama keluarga Baven semenjak kamu masuk ke rumah ini!"Tsk! You never stop embarrassing the Baven family name ever since you stepped into this house!”
"Enggak hanya sudah bunuh keluarga Adrian yang seharusnya jadi pewaris sah Baven Group, bunuh orang tua Selia yang merupakan saksi mata satu-satunya, kamu juga selalu cari masalah dan melanggar hukum di mana pun kamu ada! Anak haram seperti kamu yang mencuri semua milik keluarga Baven benar-benar menjijikkan!"
Jevan yang mendengar itu, mendadak menoleh ke arah sederet asisten rumah tangganya yang sedang mengekor di belakang sambil membawa koper miliknya. Pria itu sempat mengambil sebuah paper bag dari tangan seorang asisten di dekatnya, sebelum kemudian menggerakkan kepalanya untuk mengisyaratkan mereka semua segera pergi dari sana.
Setelah itu, ia lalu kembali menoleh ke arah tantenya, dan kini berjalan ke arah wanita tersebut sambil menjinjing paper bag-nya. "Aku lupa, aku sempat beli oleh-oleh untuk Tante dari Singapura. Kata Paskal, Tante punya kecenderungan yang unik. Jadi saat lihat ini di Singapura, aku langsung ingat sama Tante dan membelikannya secara khusus untuk Tante."
Pria itu lalu menyodorkan paper bag-nya ke tangan tantenya tersebut. Lina yang merasa heran dan bingung dengan sikap Jevan yang mendadak baik, kemudian menerima paper bag itu secara refleks. Namun, begitu ia membuka isinya, wanita itu langsung terlonjak kaget dan langsung membuangnya ke lantai.
"Dasar brengsek kamu!" bentaknya dengan wajah merah padam. "Berani-beraninya kamu kasih saya barang-barang kayak begini! Kamu benar-benar enggak pernah punya sopan santun ke orang yang lebih tua!"
Jevan memandang ke arah alat bantu seks dan sebuah majalah berisi pria-pria muda dengan penampilan terbuka yang berserakan di lantai, lalu kembali menatap Lina.
"Loh, kenapa, Tante?" tanya pria itu dengan senyum yang tipis --- sangat tipis. "Aku dengar, Tante punya hobi ke fitness center dan dekat dengan beberapa laki-laki muda di sana yang berotot?"
Ia lalu berjalan lebih mendekat ke arah tantenya dan berbisik, "Katanya, Tante bahkan sering memesan kamar suite di hotel tertentu dan menghabiskan waktu Tante di sana dengan mereka? Tante juga membelikan mobil dan apartemen untuk salah satu dari mereka, kan?"
Lina langsung melotot kaget. "Ka---kamu ...."
"Hati-hati, Tante," sambung Jevan dengan nada yang mendadak terdengar seperti mengancam. "Kalau media dengar soal ini, mereka akan berpesta pora dengan membuat berita tentang Tante selama berminggu-minggu. Apalagi, Tente terkenal dengan yayasan sosial Tante yang welas asih. Skandal orang tertentu selalu menjadi makanan paling empuk bagi media. Tante tahu ini, kan?"
Pria itu lalu menepuk-nepuk bahu Lina, seakan-akan tengah berusaha untuk menghiburnya. "Jangan khawatir, Tante. Tante punya hak kok untuk melakukannya, toh Tante seorang janda. Lagi pula, banyak perempuan tua di luar sana yang juga hiperseksual dan gemar dengan laki-laki muda, sampai-sampai rela menghambur-hamburkan uang untuk itu."
"Pe---perempuan tua kata kamu?" ujar Lina dengan mata semakin melebar. "Da---dasar kamu anak enggak tahu diuntung! Kamu benar-benar enggak punya sopan santun seperti mendiang mama kamu yang hanya pembantu di sini dulu! Kamu juga pantas untuk mati seperti mama kamu yang murahan dan gila harta itu!"
"Mama!"
Sebuah teriakan dari arah ruang depan mendadak mengejutkan Lina. Wanita itu menoleh dan langsung terdiam total saat melihat anak laki-laki satu-satunya, Paskal Baven, berjalan ke arahnya dengan wajah yang tampak sangat marah.
"Berhenti ngomong sembarangan soal mamanya Jevan!" ucap Paskal dengan nada keras. "Apa mama enggak malu terus menerus menghina Jevan dan mendiang mamanya, sementara mama juga menerima pemberian saham Baven Group dari Jevan dan dibiarkan tinggal di rumahnya selama ini?!"
"Sa---saham Baven Group sejak awal punya keluarga Baven asli, begitu juga dengan rumah ini!" balas Lina yang merasa telanjur tepergok oleh anaknya sendiri. "Dia yang mendadak muncul di sini dan merebut semuanya dari Adrian dan mama! Dia bahkan membunuh Adrian beserta istri dan anaknya hanya karena mau jadi satu-satunya pewaris dari harta keluarga Baven!"
"Mama lupa kalau dalam diri Jevan juga mengalir darah keluarga Baven?!" jawab Paskal dengan nada tetap tinggi. "Setelah Mas Adrian meninggal, Jevan sebagai adik tirinya jelas berhak untuk menerima semua harta peninggalan Om Sigit --- terlepas dari siapa pun mamanya Jevan!"
"Mama itu hanya adiknya Om Sigit, sementara Jevan dan Mas Adrian adalah anaknya," sambung Paskal. "Sangat wajar kalau Om Sigit mewariskan Baven Group ke anaknya, dan bukan ke adiknya seperti mama! Kita yang sebenarnya enggak punya hak apa pun di sini! Karena itu, jangan buat aku terus malu ke Jevan, apalagi dia sudah kasih saham ke mama dan biayai semua kehidupan kita!"
"Paskal, kamu itu anak mama, tapi kenapa kamu selalu bela Jevan?!" tukas Lina dengan tampang terpukul. "Mama selama ini melakukan segalanya untuk kamu yang justru punya darah sah keluarga Baven! Dia hanya anak haram di luar nikah yang lama dibuang ke panti asuhan! Dia pembunuh, tapi ... tapi kenapa kamu malah selalu ada di pihaknya?!"
Lina mendadak menangis dengan histeris. "Kamu tahu bagaimana perasaan mama saat dia yang anak haram menjadikan kamu yang punya darah Baven asli hanya sebagai asistennya di kantor? Kamu tahu bagaimana malunya mama saat lihat dia mengangkat Selia, orang di luar keluarga kita, sebagai corporate secretary Baven Group, sementara kamu hanya asistennya?!"
"Aku enggak keberatan sama sekali dengan itu," jawab Paskal dengan jujur. "Mama harus ngerti kalau ambisi mama dan aku sangat berbeda. Aku enggak pernah berambisi untuk merebut apa yang bukan punya aku."
"Jevan sudah berbaik hati mikirin keluarga kita di saat kakak mama sendiri, Om Sigit, enggak meninggalkan apa pun untuk mama. Jevan yang kasih sepuluh persen saham Baven Group ke mama secara cuma-cuma. Dia juga yang biayai kuliah aku di Amerika bareng Selia."
"Bagaimana aku bisa enggak merasa malu lihat mama selalu menghinanya setelah semua yang dia kasih untuk kita?" lanjut Paskal dengan nada frustrasi. "Mama lupa? Di saat mama memboroskan semua uang mama untuk laki-laki muda di luar sana sampai kita bangkrut dan enggak punya rumah lagi, Jevan yang memperbolehkan kita tinggal di rumah ini!"
Plaaak!
Sebuah tamparan keras dari Lina, melayang ke wajah Paskal. Wanita berusia 51 tahun itu kini kembali meneteskan air matanya sambil memandang penuh kemarahan ke arah anaknya sendiri.
"Jadi, kamu yang ternyata kasih tahu Jevan tentang skandal mama di luar sana, sampai dia berani bawa oleh-oleh sampah untuk mama dari Singapura? Kamu tega terus mengkhianati mama, sementara mama selalu mati-matian memperjuangkan kamu untuk mendapat yang lebih layak dari semua ini?"
Lina kemudian mengusap air matanya. "Kamu lupa satu hal, Paskal. Terlepas dari apa pun yang dia lakukan, dia tetap seorang pembunuh! Suatu saat nanti kamu akan 'ngerti betapa bahayanya terus ada di dekat psikopat kayak dia!"
Setelah mengucapkannya, Lina langsung pergi begitu saja dari sana. Paskal sendiri yang merasa tidak enak pada Jevan, langsung menoleh ke arah atasan sekaligus sepupunya itu.
"Jevan, maaf, mama aku memang ...."
Ucapan Paskal mendadak terhenti. Pria yang ia khawatirkan dan bela mati-matian, tak dinyana malah sudah duduk dengan santai di sofa tempat ibunya tadi duduk, sambil memakan sisa cemilan ibu Paskal dari atas meja.
"Kalian, mama dan anak, benar-benar dramatis sekali," komentar Jevan sambil mengunyah cemilan milik Lina tanpa merasa bersalah ke Paskal yang sudah meluap-luap demi dirinya.
"Kamu kira kamu lagi nonton drama?! Dasar brengsek!" maki Paskal dengan jengkel. "Aku lupa kalau kamu bukan tipe orang yang pantas untuk dibela!"
"Aku enggak pernah merasa perlu untuk melawan perempuan," gumam Jevan. Dengan cuek, ia malah mengangkat alat bantu seksual dan majalah pria untuk Lina tadi dari lantai, dan kini memandanginya. "Kenapa mama kamu menolak ini? Padahal, aku beli ini untuknya dengan sangat tulus. Kata penjualnya tadi, ini best seller terbaru dan sangat digemari sama kaum perempuan."
"Kamu sudah mempermalukan mama aku dan masih tanya kenapa dia menolaknya?!" respons Paskal dengan dongkol.
"Tapi Paskal, apa perempuan benar-benar suka barang palsu begini?" tanya Jevan masih fokus pada 'mainan' di tangannya.
"Mana aku tahu! Kamu tanya saja ke Selia soal itu!"
"Aku belum pernah sentuh Selia," jawab Jevan secara mengejutkan.
"Hah? Kamu lagi bercanda, kan?"
Jevan mendongak ke arah Paskal dengan wajah tanpa ekspresi yang sangat khas darinya. "Aku benar-benar belum pernah sentuh dia. Aku ... enggak pernah punya keinginan seperti itu ke Selia."
Paskal kini menutup mulutnya sendiri dengan tampang kaget. "Kamu sudah bertahun-tahun dengan perempuan tipe A seperti Selia, tapi belum pernah sentuh dia sama sekali???"
"Jevan, jangan-jangan ...kamu benar-benar psikopat," sambung Paskal dengan mulut masih ternganga. "Hanya mereka yang frigid, punya penyakit tertentu, atau kaum psikopat yang enggak mudah terangsang dengan lawan jenisnya. Sekarang aku ngerti kenapa Selia masih juga seperti terus berusaha untuk goda kamu."
"Dia goda aku?"
"Setiap kali ke sini, dia selalu pakai rok mini dan pakaian berdada rendah, terus sering sengaja bungkuk-bungkuk di depan kamu. Kamu enggak sadar itu?" tanya Paskal tambah kaget.
"Memangnya kalau perempuan membungkuk begitu ... itu artinya mereka sedang goda aku?"
"Dia lagi berusaha untuk memamerkan asetnya, bodoh!" ucap Paskal sambil memberikan isyarat lekukan di depan dadanya sendiri. "Memangnya sebelum Selia dulu, kamu enggak pernah pacaran sampai enggak tahu kode-kode sederhana begini?"
"Aku memang belum pernah pacaran sebelumnya. Waktu Selia bilang kalau dia mau aku jadi pacarnya, aku juga hanya bilang iya-iya aja. Aku baru tahu belakangan kalau kami ternyata sudah resmi berpacaran semenjak itu," jawab Jevan tanpa nada datar.
"Hah?, Terus bagaimana kalian bisa sampai tunangan? Dia juga bilang hal yang serupa dan kamu iya-iyain lagi?"
Jevan mengangguk. "Tepat sekali. Aku pikir, toh itu bukan ide yang sangat membebankan untuk aku."
Wajah Paskal kini berubah pucat. "Jevan, apa jangan-jangan kamu ... suka laki-laki?"
"Hmmh, laki-laki enggak merepotkan seperti perempuan dan lebih gampang diajak untuk baku hantam, main game, atau hal-hal berat lain-lainnya."
"Enggak usah pura-pura bego terus! Bukan itu maksud aku! Kamu itu suka laki-laki secara seksual atau enggak? Misalnya, apa kamu ngerasa senang lihat laki-laki tertentu sampai membayangkan mereka di atas kasur?"
Jevan mendadak mengernyitkan alis matanya. "Kenapa itu jadi terdengar menjijikkan?"
Seketika, Paskal langsung menghela napas lega. "Ah, itu artinya kamu laki-laki normal. Mungkin kamu hanya psikopat frigid aja."
Paskal lalu mengambil teko teh dan cangkir milik ibunya tadi, lalu menuangkan isinya untuk ia minum.
"Tapi, Jevan," sambungnya, "kamu enggak sadar kalau selama bertahun-tahun kamu terus mengiyakan semua perkataan Selia, dampaknya mungkin akan buruk ke depannya nanti?"
"Maksud kamu?"
Setelah meneguk teh hangat ibunya, Paskal lalu menoleh lagi ke arah Jevan. "Aku tahu kamu selalu ngerasa sangat berutang budi sama Selia karena kasus delapan tahun yang lalu. Itu makanya kamu selalu mengiyakan apa pun kata Selia, termasuk saat dia berusaha nyetir kehidupan pribadi kamu. Tapi, gimana kalau kelak kamu sadar kalau kamu manusia dan mendadak suka sama perempuan lainnya?"
"Kenapa dengan itu?"
"Kamu enggak ngerasa kalau itu nantinya akan bahaya? Kamu sudah telanjur kasih Selia akses sangat besar ke semua aspek kehidupan kamu. Kalau sewaktu-waktu kamu suka sama perempuan lainnya, Selia pasti akan luar biasa marah. Kamu dan aku tahu gimana watak asli dia."
"Kamu hanya enggak suka aja sama Selia," komentar Jevan dengan santai.
"Benar, tapi itu kan ada alasannya. Kami seumuran dan dia ada di jurusan yang sama dengan aku waktu di Amerika dulu. Selama empat tahun lebih di sana, aku cukup tahu banyak tentang keseharian dia karena dia agak mirip sama mama aku. Bedanya, Selia jauh lebih manipulatif dan susah terbaca dibanding mama aku."
"Selama ini, dia baik-baik aja dan selalu loyal sama kamu karena dia sudah dapat semua yang dia mau dalam hidupnya," tambah Paskal. "Tapi gimana kalau mendadak segalanya berubah di antara kamu sama dia? Kamu kan pintar, kamu pasti tahu apa yang mungkin orang seperti Selia lakukan, kan?"
"Bagaimanapun Selia, aku tetap enggak suka kalau dengar dia dijelek-jelekkan," jawab Jevan, setelah terdiam cukup lama. "Soal ini tenang aja, enggak akan ada yang berubah dari aku. Aku enggak tertarik untuk punya perasaan khusus ke perempuan lain yang bisa ganggu stabilitas hidup aku."
"Selia tahu soal ini, itu makanya dia manfaatin sisi aku yang enggak peduli dengan cara langsung 'ngikat aku," lanjutnya sambil berdiri dari kursinya. "Tapi aku enggak keberatan dengan apa yang dia lakukan. Hanya Selia yang bisa 'ngimbangi aku, dan dia ... adalah jenis perempuan yang aku mau ada di hidup aku."
Paskal menghela napasnya. "Kamu juga manusia, kamu tahu itu, kan? Terlalu dini bagi kamu untuk ngomong 'gitu. Hati-hati aja dengan kepercayaan diri kamu yang berlebihan, karena kelak kalau tahu-tahu kamu suka sama perempuan lain ... kamu bakal menyesal sudah ngebiarin Selia selama ini merasa punya hak penuh atas kamu."