5 September 2023 (hari kedua Kiran di Baven Technology)
Ini ruang makeup mereka? Apa aku enggak salah?
Kiran bertanya-tanya dalam hatinya saat memasuki ruang makeup tim humas di Baven Technology. Ada dua cermin besar di sana, masing-masing dilengkapi dengan meja rias yang juga besar. Kedua meja tersebut dipenuhi dengan berbagai peralatan kecantikan, baik untuk wajah maupun rambut.
Tidak saja itu, di sana bahkan tersedia washbak keramas seperti yang ada di kebanyakan salon, lengkap dengan setumpuk handuk bersih, dan juga alat pengering rambut. Yang paling membuat Kiran sampai takjub, semua yang ada di sana disediakan secara cuma-cuma oleh Baven Group, termasuk produk kosmetik, parfum, lotion, dan lain-lainnya.
Apa penampilan fisik memang menjadi senjata utama bagi tim humas di seluruh Baven Group? Berapa yang mereka habiskan setiap bulannya hanya untuk terus menyediakan hal-hal seperti ini di semua kantor mereka?
Kiran kini teringat perkataan Dika kemarin yang mengatakan bahwa corporate secretary adalah juru bicara Baven Group, sekaligus orang yang bertanggung jawab atas citra perusahaan. Itu artinya, baik Departemen Marketing maupun Departemen Humas yang paling gemilang, semuanya ada di bawah komando Selia.
Harus aku akui dia memang hebat. Selia sangat peduli dengan apa yang terlihat dari luar, karena memang diakui atau enggak, hal itu yang selalu menjadi daya tarik utama dan bekal penilaian seseorang tentang orang lainnya sejak awal. Selia, dia ... memang maestro kalau soal daya pikat.
"Kamu sekarang tambah manis, Kiran. Aku suka penampilan kamu."
Itu kata-kata Selia padanya saat mereka bertemu di toilet Baven Technology. Namun, beberapa jam setelahnya, Aldi mengatakan pada Kiran kalau seragamnya harus segera diganti dan penampilannya harus segera diperbaiki. Terlepas dari itu merupakan saran yang benar, tapi Kiran sangat yakin sekarang kalau perkataan Aldi itu bersumber dari Selia.
Dasar ular munafik! Dia masih aja sama kayak dulu, di depan beda ... di belakang juga beda! Aku benar-benar tambah kesulitan untuk maafin dia!
Kiran kini menarik napasnya dalam-dalam setelah puas memaki Selia dalam hatinya. Ia lalu melihat ke arah jam di dinding yang mengingatkannya kalau waktu yang diberikan padanya untuk berdandan tidak banyak.
Karena itu, sesuai saran Dika, ia membuka ponselnya dan melihat sebuah video tutorial cara berdandan melalui Youtube. Gadis itu sudah akan bersiap untuk mengikutinya, tetapi baru saja ia akan mencari letak pembersih wajah dan toner, pintu ruang makeup mendadak dibuka dari luar.
Kiran berpikir kalau semua staf humas sudah berada di atas pagi itu untuk kembali dengan kesibukan mereka mempersiapkan acara ulang tahun Baven Group. Ia sama sekali tidak menyangka kalau ternyata beberapa dari mereka akan kembali ke sana. Lebih buruknya lagi, orang yang kembali ternyata adalah orang yang sangat dikenal olehnya.
Vira Anita!
"Loh, Kiran? Kamu sudah di sini?" ucap Vira yang dulu merupakan pemimpin gank bully di sekolahnya. "Karena sibuk, aku belum sempat ketemu sama kamu meski sudah tahu kalau kamu masuk ke sini. Aku enggak 'nyangka kalau akan langsung ketemu sama kamu hari ini!"
Vira mendadak berlari ke arahnya dan memeluk Kiran erat-erat. Tindakan sang ratu bully itu jelas membuat Kiran langsung terbengong-bengong.
"Jangan ingat aku seperti aku di masa SMA dulu," sambung Vira dengan cepat setelah menangkap ekspresi kaget di wajah Kiran. "Kehidupan aku sekarang sangat menyenangkan sampai-sampai aku enggak lagi mampu ngejahatin orang kayak dulu."
Vira mendadak memamerkan cincin di jari manisnya dengan senyum lebar. "Tahun lalu, aku baru nikah dan sekarang lagi hamil. Kata orang, kalau lagi hamil, kita enggak boleh jahat ke orang, atau buat orang sampai jadi dendam sama kita."
Kiran terdiam mematung. Sejujurnya, ia masih luar biasa dendam pada Vira yang dulu selalu melakukan hal-hal kejam padanya. Namun, entah mengapa, ia merasa ekspresi Vira saat mengucapkan kalimatnya barusan benar-benar terlihat jujur. Ia memang tampak sangat bahagia dengan hidupnya.
"Kamu ... lagi hamil?" Kiran akhirnya bertanya pada Vira.
"Ya, sudah dua bulan," jawab Vira sambil tersenyum lebar.
"Sebenarnya, ini kehamilan ketiga. Dua bulan setelah menikah, aku sempat dinyatakan hamil, tapi keguguran. Tiga bulan setelahnya, aku hamil lagi. Sayangnya, lagi-lagi aku keguguran. Aku beruntung sekarang punya kesempatan ketiga dan bisa lebih hati-hati jaga kehamilan aku."
"Waktu HRD kasih tim humas setumpuk CV calon resepsionis baru, aku langsung kaget pas lihat ada CV kamu yang nyempil," ucapnya lagi. "Karena itu, aku langsung kasih Pak Aldi CV kamu yang sebenarnya sudah ditolak sama manajer humas. Aku tahu kalau Aldi yang lihat itu, dia akan langsung terima kamu dan manajer humas enggak akan bisa nolak kamu lagi."
Kiran yang mendengarnya jelas langsung terkaget-kaget. Jadi ... orang ini yang sebenarnya bantu aku masuk ke sini?
"Kamu yang kasih CV aku ke Aldi?"
Vira mengangguk sambil tertawa. "Kamu kira posisi direktur kayak gitu masih mau direpotkan untuk hal-hal kecil seperti memilih calon resepsionis?"
"Ngomong-ngomong," sambungnya, "jangan sampai orang lain dengar kamu panggil 'Pak Aldi' dengan 'Aldi' aja. Ini aturan baku kantor yang harus aku kasih tahu ke kamu. Aku dan Pak Aldi mungkin akan pura-pura enggak tahu, tapi yang lain pasti akan anggap kamu enggak sopan kalau menyebut 'Pak Aldi' dengan hanya namanya. Bagaimanapun, dia itu direktur."
"Ah iya, maaf, aku ... masih sering lupa soal ini," ucap Kiran dengan tampang malu. "Aku juga sudah diingatkan Dika kemarin soal ini. Katanya, kami wajib panggil semua atasan atau senior di sini dengan sebutan 'Bapak' atau 'Ibu', terlepas dari usianya masih muda atau enggak."
"Itu benar," ujar Vira mengonfirmasi. "Memang agak canggung karena banyak teman SMA kita di sini dan kita harus panggil mereka dengan sebutan formal, tapi lama-lama nanti kamu akan terbiasa, kok."
"Kamu juga sering ketemu sama Sel ... maksud aku, Bu Selia?" tanya Kiran mendadak penasaran.
"Dia yang nerima aku kerja di sini," jawab Vira dengan senyum yang kembali mengembang. "Dia bahkan akan promosikan aku setelah ulang tahun Baven Group nanti. Katanya, dia akan jadikan aku sebagai sekretaris barunya di lantai teratas."
Vira terlihat sangat senang dan tertawa cekikikan saat mengatakannya. Namun, ia mendadak menyadari sesuatu di seragam Kiran dan berhenti tertawa.
"Kiran, jangan pakai baju kelonggaran begitu untuk kerja di bawah humas," ucapnya tiba-tiba serius. "Resepsionis harus tampil cantik dan rapi di sini."
Kiran mendadak memandang ke arah bajunya sendiri dan kembali terlihat malu. "I---iya, aku juga sudah dikasih tahu soal ini. Aku sudah kasih HRD ukuran terbaru kemarin. Katanya, seragam aku yang baru akan dikasih ke aku dua hari lagi. Aku kira ukuran ini sudah cukup untuk aku, tahunya kantor ini minta aku pakai baju yang lebih ketat."
"Bukan ketat, tapi yang pas di badan dan buat kamu bisa kelihatan menarik," koreksi Vira sambil mengambil sebuah lipstick merah dari kotak makeup di meja Kiran. "Aku akan bawa ini ke atas karena yang lain bilang aku agak pucat hari ini. Kamu enggak akan pakai lipstick yang ini, kan?"
Kiran menggeleng dan menujukkan produk-produk yang akan dipakainya nanti. "Aku sudah memilih yang ada di sini saja untuk belajar pakai make up."
"Belajar pakai make up?" ulang Vira dengan tampang kaget. "Memangnya kamu jarang pakai makeup?"
"Bukan jarang, aku ... enggak pernah pakai makeup sebelumnya."
"Hah? Jadi bagaimana kamu akan ...."
Vira mendadak berhenti berbicara dan melirik ke arah jam di atas dinding. Setelah itu, ia lalu menarik napasnya dalam-dalam dan segera menyingsingkan lengan bajunya.
"Kalau kamu baru mau belajar cara make up, kamu akan memakan waktu yang lama untuk mulai kerja," katanya sambil menyentuh kulit wajah Kiran.
"Serahkan ini ke aku aja. Aku punya waktu setengah jam untuk bantu kamu dan kamu harus mempelajari semua langkah yang aku lakukan ke kulit wajah kamu. Selanjutnya, kamu harus dandan sendiri setiap harinya sebelum mulai kerja. Kamu ngerti?"
"Tapi aku ...."
"Sudah, diam saja!"
Meski masih merasa ragu, gadis itu terpaksa mengangguk. Dalam beberapa detik kemudian, ia pun mulai dibantu berdandan oleh orang yang tidak akan pernah disangka-sangka olehnya sebelumnya. Orang ... yang dulu pernah membuat masa-masa SMA-nya selalu terasa bak di neraka.
___
Kata orang-orang, luka dan keinginan untuk bahagia adalah dua hal yang paling mampu untuk mengubah seseorang. Apa mungkin ... itu memang benar?
"Kamu yakin kamu enggak ada hubungan apa pun sama Pak Aldi?" bisik Dika, mendadak membuyarkan lamunan Kiran di meja resepsionis. "Dia dari tadi bolak-balik ke depan sini dan ngelirik ke kamu terus. Kamu yakin enggak ada sesuatu yang istimewa di antara kalian?"
Kiran langsung memandang ke arah Dika dengan bingung. "Pak Aldi dari tadi bolak-balik ke sini dan lihat aku?"
"Memangnya kamu enggak lihat dia tadi? Kayaknya dia takjub banget sama perubahan di wajah kamu. Aku harus akui, Bu Vira memang hebat. Dia berhasil buat kamu jadi cantik sekarang. Kalau nanti kamu ganti seragam dengan yang lebih pas, kamu pasti bisa bikin orang lebih pangling."
Mendengar itu, Kiran langsung terburu-buru mengambil cermin kecil dari bawah meja kerja Dika untuk berkaca. "Aku juga sampai enggak 'ngenalin diri aku sendiri. Apa yang kayak begini yang memang masuk kategori cantik?"
Dika tertawa kecil. "Sebelumnya kalau ngelihat kamu, aku kayak lihat Megaloman. Kulit kamu terlalu pucat dan rambut kamu kering mengembang. Berkat Bu Vira, kamu sekarang sudah pantas disebut karyawan perempuan Baven Group."
Kiran yang masih berkaca, kini mulai terlihat kegeeran. "Padahal, katanya dia lagi rapat di atas. Tapi dia baik sekali masih mau menyempatkan diri untuk bantu aku."
"Bu Vira," koreksi Dika. "Dia itu atasan kita."
"Ah ya, Bu Vira," ucap Kiran teringat. "Apa Bu Vira di sini selalu baik begitu?"
"Dia galak," jawab Dika ceplas-ceplos, "tapi, dia jarang berurusan dengan resepsionis. Dulu waktu kalian SMA memangnya Bu Vira gimana?"
"Ehm, sama aja kayak sekarang," ujar Kiran berbohong. Tentu saja tidak wajar bagi gadis itu untuk membocorkan aib Vira yang dulu terkenal sangat jahat, terlebih di saat ia sudah banyak berubah dan menjadi lebih baik.
"Ngomong-ngomong, kamu kayaknya lagi sibuk," sambung Kiran dengan berusaha mengalihkan pembicaraan mereka. "Ada yang bisa aku bantu?"
Dika yang memang sedang sibuk dengan pesawat telepon di mejanya langsung menghela napasnya.
"Ini hanya persoalan rapat aja, kok. Baven Energy lagi kesusahan cari ruang rapat karena ruang rapat di lantai mereka terpakai. Harusnya mereka rapat di lantai atas, tapi mendadak Bu Selia nerima tamu permerintahan di sana dan belum juga selesai. Jadi, mereka minta bantuan ke pihak kita."
"Memangnya enggak ada ruang rapat yang bisa dipinjam dari lantai lainnya?"
"Ini menjelang hari ulang tahun Baven Group, jadi semua ruang rapat di setiap lantai dipakai," jawab Dika. "Satu-satunya ruang rapat yang kosong saat ini hanya punya kita. Masalahnya, Baven Energy kan minta bantuan kita secara mendadak, ya jadinya kasihan tim General Affairs kita yang sampai kewalahan persiapkan semuanya. Itu makanya tim GA minta bantuan aku untuk ngecek persiapan ruangan."
"Loh, orang-orang Baven Energy enggak ke sini untuk persiapkan ruang mereka sendiri? Bukannya mereka yang lagi mau pinjam ruangan kita?" tanya Kiran dengan bingung.
"Memang seharusnya begitu!" sembur Dika dengan kesal. "Tapi namanya juga Baven Energy! Mentang-mentang mereka perusahaan paling terkenal di Baven Group, mereka semua belagak bossy dan sok! Mereka kira kita budak mereka?! Mana rapat mereka akan dimulai sepuluh menit lagi!"
"Kamu yakin kamu enggak mau aku bantu?" tanya Kiran yang kasihan dengan Dika.
Namun, pria itu langsung menggeleng. "Enggak apa-apa, yang lebih repot itu tim GA kok. Aku hanya disuruh nunggu pihak katering antar makanan kecil ke sini untuk rapat nanti. Seharusnya sekarang mereka sudah sampai."
Baru saja Dika mengucapkannya, mendadak beberapa orang dengan seragam katering masuk ke ruangan itu sambil membawa beberapa kardus berisi kotak makanan. Dika sudah akan menerimanya, tetapi karena ada telepon yang mendadak masuk ke mejanya, ia mengangkat jarinya ke arah Kiran sebagai isyarat agar Kiran yang menerimanya.
Kiran yang belum terlalu sibuk jelas langsung membantu Dika. Gadis itu baru saja selesai menerima kardus-kardus tersebut ketika mendadak Dika berseru dengan panik dari meja resepsionis dan langsung berlari ke arahnya.
"Kiran, gawat! Tim GA baru telepon dan bilang kalau rombongan Baven Energy dan rombongan Pak Jevan ternyata sudah mengarah ke lantai sembilan. Kita harus cepat-cepat taruh makanan ini ke ruang rapat sebelum mereka tiba!"
"Je---jevan?" tanya Kiran dengan raut wajah yang mendadak sangat kaget. "Ka---kamu enggak bilang sebelumnya kalau---"
Cekrek.
Ruangan pintu Baven Technology sudah dibuka sebelum Kiran bisa menyelesaikan ucapannya. Beberapa personel keamanan berseragam serba hitam dari gedung itu, tiba-tiba masuk untuk membuka jalan bagi atasan tertinggi mereka semua, Jevan Baven.
Bersama mereka, tampak seseorang yang kemungkinan besar merupakan karyawan Baven Energy, melenggang masuk lebih cepat sambil menenteng satu cup kopi di tangannya. Tanpa permisi, ia lalu langsung berdiri di samping Kiran untuk menunggu rombongan rapat mereka menyusul masuk dengan tampangnya yang semringah.
Benar saja, hanya dalam beberapa detik berikutnya, Kiran melihat apa yang sangat ditakutinya dan yang membuat jantungnya terasa seperti akan meloncat ke luar saat itu juga. Sosok seorang pria tinggi besar dan sangat tampan, kini melangkah masuk ke arah pintu Baven Technology yang sudah terbuka, sambil berbicara dengan rombongan Baven Energy yang terdepan.
Mati aku!
Kiran menjerit syok dalam hatinya saat melihat pria itu sudah hanya terpaut jarak tiga meter darinya. Ia yang belum sempat mempersiapkan diri untuk menghadapi pertemuan dengan Jevan, langsung menjadi luar biasa panik saat melihat Jevan melangkah bak slow motion ke arahnya, dan sudah seperti akan mengarahkan kepalanya ke wajah Kiran.
Namun, sebelum hal yang ditakutkan oleh Kiran itu benar-benar terjadi, tangannya tanpa sadar sudah merebut cup kopi dari tangan staf Baven Energy di sampingnya tadi. Secara mengejutkan, ia mendadak mengguyur wajahnya sendiri dengan kopi panas dari dalamnya.
Byuuur!
Dika langsung menjerit histeris, staf Baven Energy yang ada di dekat Kiran tadi menjerit protes, semua rombongan Baven Energy langsung mematung dengan syok, sementara Jevan dan para pengawalnya ... langsung melongo di tempat.
Saking setengah mati kaget, tangan Jevan tanpa sadar sudah menjulur ke arah wajah Kiran yang kini seperti merah melepuh akibat ketumpahan kopi hitam. Namun, Kiran yang masih ketakutan dan memejamkan matanya, tiba-tiba malah membungkuk dengan cepat ke arah sang pria.
"Selamat datang di Baven Technology, Pak Jevan! Semoga Bapak sehat selalu dan berumur panjang!" teriak Kiran dengan lantang ... sambil tetap membungkukkan badannya dalam-dalam, bak pelayan istana di masa lampau yang sedang menyambut kedatangan rajanya.