Jevan Baven adalah pria yang tampan, pintar, memiliki bentuh tubuh yang sangat bagus, dan kaya raya. Terlepas dari seberapa menyeramkannya pria itu, sebenarnya wanita mana pun yang mendapatkannya jelas akan beruntung. Begitu juga seharusnya dengan Kiran. Namun, apa yang membuat Kiran sebenarnya sampai sangat takut dengannya meski sudah memeletnya?
___
Kilas Balik Tahun 2003
"Wah, kalian yang baru pindah di rumah hook nomor tiga belas, ya?"
Seorang wanita pekerja di panti asuhan dekat rumah Kiran tersenyum lebar sambil menerima satu kotak besar kue dari tangan Kiran. Tangan wanita itu kemudian mengelus-ngelus kepala Kiran yang saat itu masih berusia tujuh tahun.
"Kamu manis sekali. Nama kamu siapa?" tanya wanita itu ke arah Kiran dengan ramah.
"Kiran," jawab Kiran dengan wajah yang tampak tidak fokus. Anak itu terus menatap ke arah taman di panti asuhan tersebut dan memandang ke seorang anak laki-laki yang tampak sedang asyik melakukan sesuatu di sana.
"Itu Jevan," ucap wanita pekerja panti asuhan tadi. "Kalau kamu mau, kamu boleh main sebentar dengan dia di sana. Kamu belum punya kenalan anak-anak lainnya di sini untuk jadi teman kamu, kan?"
Kiran mengangguk. "Boleh?"
"Jelas boleh dong!" ucap wanita itu lagi sambil tertawa.
Begitu wanita itu sudah mengizinkannya, Kiran langsung tersenyum senang dan segera berlari ke arah taman. Namun, saat ia sudah mendekat ke arah anak laki-laki bernama Jevan yang sedang berjongkok, langkahnya seketika terhenti. Ia melihat anak itu ternyata sedang bermain dengan api.
"Kamu siapa?" tanya Jevan yang tampan tanpa tersenyum sama sekali.
"Kiran," jawab Kiran, masih memandang ke arah api di dekat kaki Jevan. "Kamu dibolehin main api di sini?"
"Memangnya kenapa?" Anak laki-laki itu terlihat tak acuh.
"Kata papa aku, anak-anak enggak boleh main api," kata Kiran mengingatkannya.
"Anak kecil juga enggak boleh keluar rumah sendirian, apalagi menjelang petang begini. Tapi, orang tua kamu malah suruh kamu ke sini, kan?" balas Jevan sambil menatapnya. Beberapa detik kemudian, dahinya tampak mengerut. "Kamu ... baru ya di sini?"
Kiran mengangguk. "Baru pindah kemarin. Mama tadi minta aku antar kue ke panti asuhan ini."
Bola mata Jevan mendadak seperti langsung berkilat-kilat saat mendengarnya. "Karena kamu baru di sini, kamu mau aku perlihatkan sesuatu?"
"Perlihatkan apa?" tanya Kiran penasaran.
Ia merasa sudah mulai berani lebih mendekat ke arah anak laki-laki itu. Namun, begitu ia melangkah lebih mendekat, ia mendadak mencium bau daging gosong di dekat kaki Jevan. Betapa kagetnya Kiran saat menyadari bahwa yang ada di atas api dekat kaki Jevan ternyata adalah anak burung berukuran kecil yang sudah menjadi bangkai gosong.
"Lihat ini. Aku ... lagi bakar burung ini sampai dia nanti jadi abu," ucap Jevan sambil tersenyum menyeringai ke arahnya.
___
Tiga Hari Kemudian
"Kamu lagi-lagi disuruh antar makanan ke sini sendirian?"
Suara Jevan kecil mendadak membuat kaget Kiran yang sedang melongok ke bagian dalam pintu panti asuhan secara diam-diam. Anak itu kini menoleh dan melihat Jevan ada di belakangnya. Jevan tampak berjalan tergesa-gesa dari arah luar, lalu mengambil sebuah tongkat yang tergeletak di pojok teras, tak jauh dari posisi Kiran berdiri.
"Yang lainnya lagi tidur di dalam," ujar Jevan tanpa menoleh ke arahnya. "Kalau kamu mau, kamu taruh aja makanan dari kamu di meja teras. Nanti aku akan bilang ke mereka kalau kamu yang mengantarnya."
"Kamu mau ke mana?" tanya Kiran kembali penasaran dengan anak laki-laki itu.
"Aku baru nemuin sesuatu yang menarik," jawab Jevan dengan singkat saja.
Kiran tahu kalau Jevan agak sedikit menyeramkan. Namun, sifat penasarannya membuatnya secara refleks langsung berjalan mengekor di belakang anak laki-laki itu. Baru saat tersadar kalau ia diikuti sampai ke bagian terujung taman, Jevan menoleh dan langsung mengernyitkan alis matanya.
"Kenapa kamu ikut aku ke sini?" Ia bertanya dengan raut heran ke arah Kiran.
"Aku hanya mau lihat kamu mau ngapain dengan tongkat itu," jawab Kiran dengan jujur.
"Aku mau bunuh ular dengan ini," balas Jevan tanpa beban.
Mendengar itu, Kiran mulai merasa ketakutan. "H---hah? Bunuh ular?"
"Iya, aku enggak suka dengan ular."
"Kamu ... akan bunuh ular hanya karena enggak suka?"
Anak laki-laki itu tidak lagi menjawabnya. Ia kini malah terlihat seperti berjalan dengan hati-hati ke arah deret pohon bambu di sana, dan mendadak terlihat berseru dengan senang setelah menggerakkan tongkatnya ke arah semak-semak di bawah beberapa pohon bambu itu.
Hanya beberapa saat setelahnya, Jevan mendadak mengayunkan tongkat di tangannya secara berkali-kali ke arah sesuatu dengan sangat keras. Begitu ia sudah selesai melakukannya, ia lalu menoleh ke arah Kiran dan kemudian menyodorkan tongkat itu ke arah sang anak perempuan.
"Rasanya menyenangkan. Kamu juga mau coba melakukannya?"
Anak itu bertanya dengan ringan saja. Namun, Kiran yang sudah telanjur menangkap adanya darah yang menempel di bagian ujung tongkat tersebut dan melihat ada dua bayi ular di dekat sana dalam kondisi kepala yang pecah, langsung terdiam seribu bahasa. Hanya beberapa detik selanjutnya, ia memutuskan untuk kabur dari Jevan.
____
Tiga Hari Kemudian
"Kiran, papa tadi sudah ke panti asuhan dan membicarakan soal anak laki-laki yang kamu bilang itu," ucap ayah Kiran sambil melangkah masuk ke dalam ruang tengah rumahnya. "Papa bilang ke mereka kalau gara-gara anak itu, kamu belakangan sampai selalu mimpi buruk dan terus demam."
Kiran yang tadinya masih berbaring di sofa ruang tengah dan berselimut, mendadak mengangkat tubuhnya dan langsung memandang ke arah ayahnya dengan kaget.
"Papa ngadu ke mereka soal Jevan?" tanya Kiran pada sang ayah. "Kenapa Papa malah ngadu? Kalau Jevan marah gimana?"
"Kata orang-orang di sekitar sini, anak itu memang sering terlihat bunuh binatang, kok!" ujar ayahnya lagi. "Bagaimana mungkin ada anak kecil yang suka bunuh binatang dengan santai kayak gitu. Jangan-jangan dia punya darah psikopat!"
"Apa kata orang-orang di panti asuhan soal itu?" tanya ibu Kiran mendadak menimbrung pembicaraan mereka.
"Mereka enggak bicara banyak dan hanya bilang kalau mereka akan coba bicara sama anak yang namanya Jevan itu."
"Papa! Kalau Jevan dendam sama Kiran gimana?!" teriak Kiran dari sofa dengan raut wajah yang ketakutan. "Harusnya Papa enggak ngaduin Jevan! Kiran jadi takut ke sana lagi sekarang."
"Ya, memang kamu enggak perlu ke sana-sana lagi," balas ayah Kiran dengan cepat. "Untuk apa kamu ke sana-sana lagi kalau kamu jadinya selalu ketakutan dan mimpi buruk setiap pulang dari sana?! Enggak mungkin kan kamu masih mau main sama anak aneh begitu?!"
"Lagi pula," sambung ayahnya, "kamu enggak ingat kata nini kamu? Nini kamu bilang, jangan sampai kamu dekat sama orang yang punya aura hitam panas di sekitar kamu. Nasib kamu akan sangat bahaya dan selalu sial sekalinya kamu dekat sama mereka yang punya aura hitam panas."
Berbeda dengan ibunya yang tidak suka dengan hal mistis, ayah Kiran sangat percaya dengan hal-hal tersebut. Itu makanya, apa pun yang nenek Kiran katakan padanya, akan selalu dipercaya dan dipegang teguh oleh sang ayah.
"Gimana Papa tahu kalau Jevan punya aura hitam panas?"
"Nini kamu bilang, selalu ada kematian di sekitar orang-orang dengan aura hitam panas. Papa dengar ibunya anak itu meninggal saat melahirkan dia. Dia juga suka bunuh-bunuh binatang. Pasti orang yang dimaksud sama nini kamu itu dia! Pokoknya, mulai sekarang, kamu enggak boleh lagi ke panti asuhan sana atau dekat-dekat sama anak aneh itu lagi, kamu ngerti?!"
___
Satu Minggu Kemudian
"Kamu benar-benar enggak tahu kalau orang yang ada di sebelah pemilik panti saat kamu laporkan tentang anak itu adalah agen adopsi mereka? Kamu benar-benar enggak tahu?"
Kiran yang sedang bermain di luar dekat jendela kamar orang tuanya, mendadak terdiam saat mencuri dengar pembicaraan di antara ibu dan ayahnya tersebut.
"Aku enggak tahu," jawab ayah Kiran, terdengar sedikit merasa bersalah. "Aku kira dia juga petugas di panti asuhan itu. Aku enggak nyangka kalau orang itu ternyata adalah agen adopsi panti mereka."
"Anak itu batal masuk daftar yang akan diserahkan untuk diadopsi sama orang tua baru," ucap ibunya lagi. "Petugas bersih-bersih kebun panti itu tadi cerita ke aku kalau agen adopsi selalu sangat hati-hati dengan karakter anak di panti. Karena kamu bilang begitu di depan mereka, besar kemungkinan mereka enggak akan pernah sodorkan nama anak itu ke para calon orang tua."
"Jadi, dia mungkin akan sulit untuk diadopsi?"
"Iya, kasihan dia. Padahal, katanya dia sudah siapkan baju terbaik untuk ketemu sama calon orang tua barunya. Karena kamu ceroboh ngelaporin dia saat agen adopsi mereka datang, anak itu mungkin selamanya enggak akan pernah masuk daftar adopsi."
"Aku ... hanya berusaha untuk lindungi Kiran. Kiran terus mimpi buruk dan sampai sakit karena main sama anak itu."
Ibu Kiran terdengar menghela napasnya. "Biasanya kalau kami ketemu, anak itu selalu mengangguk sopan ke aku. Tadi pagi, dia enggak begitu lagi. Kayaknya dia tahu kalau kita yang sudah buat dia sampai batal diadopsi."
"Aku jadi enggak enak sama anak itu," sambungnya. "Katanya dia sangat pintar, tapi kalau dia terus di panti tanpa orang tua angkat, gimana dia akan tumbuh besar nanti?"
___
2004
"Tante, katanya Jevan lagi dirawat di rumah sakit, ya?" Kiran yang berusia delapan tahun bertanya pada pemilik panti yang bertemu dengannya di warung dekat rumahnya.
"Sudah keluar dari kemarin kok," jawab sang pemilik panti sambil tersenyum. "Kiran, semenjak papa kamu meninggal, kamu kok jadi lebih berani main-main di luar sampai malam begini? Hati-hati loh, anak kecil enggak baik keluar malam-malam."
"Apa benar Jevan masuk rumah sakit karena dipukul sama orang dewasa?" tanya Kiran dengan tetap fokus pada pembicaraan seputar Jevan.
"Ada beberapa anjing di area perumahan sini yang mati diracun. Mereka bilang, Jevan yang paling mungkin melakukannya. Mungkin karena merasa dituduh, Jevan jadi marah dan lempar mereka dengan batu sampai salah satu dari mereka yang dilempar dahinya robek. Itu yang buat dia akhirnya dipukul."
"Jevan lempar mereka dengan batu?"
"Belakangan, dia memang jadi agak agresif ke orang-orang di sekitar sini. Apalagi, dia juga sudah latihan bela diri dari salah satu petugas keamanan panti yang bekas tentara. Jevan jadi sering pukul orang karena merasa mulai kuat," jawab sang pemilih panti dengan raut lelah.
"Apa Jevan belum juga diadopsi?" tanya Kiran takut-takut.
Sang pemilik panti menggeleng. "Belum, karena dia belakangan terus terlibat masalah, agen kami jadi lebih susah untuk mencarikannya orang tua angkat. Dia ... mungkin akan susah untuk mendapat orang tua karena itu."
___
Akhir Tahun 2011
"Dia ganteng banget, tapi kenapa dia masuk daftar kakak kelas yang harus dihindari?"
"Kamu berani datangin dia dan bilang kalau guru kita suruh dia ikut upacara?"
"Enggak ah! Aku takut sama dia."
"Terus, sampai kapan kita akan terus begini dan hanya lihatin bilik dia aja? Nanti guru-guru marah. Kita kan petugas upacara!"
Kiran menatap ke arah dua perempuan kelas sebelas di sekolahnya yang tampak sedang berbisik-bisik dengan bingung di depan pintu ruang kesehatan. Dua perempuan tersebut sudah lima belas menit berada di sana dan sejak tadi hanya memandang ke arah salah satu bilik tertutup di ruangan itu dengan takut-takut.
Kiran yang sudah berusia 16 tahun saat itu langsung berusaha menghindar. Hari itu, ia sudah bertekad untuk menghindari teman-teman sekelasnya yang berencana untuk merundungnya di upacara sekolah dengan cara berpura-pura sakit. Namun, apa daya, kedua kakak kelasnya tersebut sudah telanjur melihatnya.
"Hei, kamu kamu anak kelas sepuluh, kan?" panggil salah satu dari mereka ke arah Kiran.
Mendengar panggilan mereka, Kiran langsung merasa kesal setengah mati. Ia tahu persis kalau ia akan disuruh untuk melakukan apa yang tidak berani mereka lakukan sejak tadi. Meskipun begitu, Kiran juga tahu kalau sangat bahaya bagi adik kelas di sekolah mereka untuk menolak permintaan tolong dari kakak kelas mereka.
“Ya”
"Karena kamu kebetulan di sini, bisa minta tolong bangunkan anak kelas dua belas di bilik itu dan minta dia untuk ikut upacara?" ucap orang tadi sambil tersenyum ke arah Kiran. "Bilang saja kalau para guru yang suruh dia ikut upacara. Kami petugas upacara hari ini, jadi lagi sangat sibuk. Tolong kamu saja yang bangunkan dia, ya? Makasih."
Kiran tidak bisa protes. Sesuai dugaannya, kedua anak kelas sebelas itu langsung kabur begitu saja dari hadapan Kiran setelah mengatakannya. Mau tidak mau, Kiran yang tidak tahu siapa yang harus dihadapinya pun terpaksa melangkah ke arah bilik yang dimaksud sambil menarik napasnya dalam-dalam.
"Maaf, saya boleh masuk?" tanya Kiran sambil berjalan mendekat ke arah bilik tersebut. "Saya tadi diminta tolong untuk...."
Ucapan Kiran terhenti begitu ia membuka tirai penutup bilik tersebut. Di dalamnya, ada laki-laki yang sudah sangat lama tidak dilihatnya di area rumahnya, Jevan Adrian, sedang tertidur di ranjang ruang kesehatan tersebut. Pria itu tidur sangat pulas sampai-sampai ia tidak mendengar suara dua perempuan kelas sebelas tadi atau juga suara panggilan Kiran.
Ini benar Jevan? Kiran mendekat meski merasa sedikit ragu untuk melakukannya. Orang ini ... sekarang kakak kelas aku?
Yang benar saja! Gadis itu berteriak kaget dalam hatinya. Dia makan apa selama ini sampai bisa tumbuh besar seganteng ini sekarang?!
Kiran ternganga-nganga melihat penampilan fisik Jevan yang sudah menjadi luar biasa memukau. Namun, bola matanya mendadak menangkap sesuatu yang tidak biasa di dahi Jevan.
Dahi orang ini sepertinya tergores sesuatu, ucap Kiran lagi dalam hati. Wajahnya juga sangat pucat. Apa dia benar-benar lagi sakit dan bukan di sini karena mau menghindari upacara saja?
Awalnya, Kiran hanya terdiam melihatnya. Namun, entah mengapa ia merasa kasihan pada Jevan dan pada akhirnya malah mengeluarkan plester luka dari saku bajunya. Mengingat ia adalah orang yang selalu dirundung meski masih anak baru, gadis itu memang selalu menyediakan plester luka di saku seragamnya.
Karena perasaan ibanya tadi, Kiran akhirnya menempelkan plester itu di kening Jevan secara diam-diam. Sayangnya, gerakannya mendadak membuat Jevan terbangun. Pria itu kini menatap ke arahnya sambil langsung memegang pergelangan tangan Kiran di atas wajahnya.
"Kamu siapa?!" hardik pria itu dengan suaranya yang terdengar lebih berat dari saat ia kecil dulu. "Kamu mau ngapain sama aku?!"
Dia tanya aku siapa? Orang ini ... enggak ingat aku siapa?
"A---anu, saya hanya disuruh untuk kasih tahu kamu kalau guru-guru minta kamu ikut upacara," jawab Kiran dengan gugup setelah beberapa detik tenggelam dalam keheningan.
Setelah ia mengatakan itu, secara mengejutkan, seekor kupu-kupu cukup besar berwarna hijau keemasan mendadak terbang ke dalam bilik Jevan dan berputar-putar di depan wajah Kiran dan pria tersebut. Entah karena ruang kesehatan memang adalah habitat persembunyiannya, atau mungkin karena plester Kiran di dahi Jevan bergambar bunga-bunga, atau mungkin juga karena ia sekadar memilih lokasi yang salah ... kupu-kupu itu mendadak hinggap di hidung Jevan.
Kiran tertegun. Jari telunjuknya kini terangkat perlahan ke arah kupu-kupu cantik tersebut. Namun, ia melakukannya bukan karena kupu-kupu itu hinggap di hidung Jevan, melainkan karena ia tahu itu adalah kupu-kupu langka yang disebut kupu-kupu sayap burung surga.
"Ja---jangan bergerak. Kupu-kupu itu...."
Ucapan Kiran terlambat. Jevan yang tampak kesal, mendadak mencomot kupu-kupu tersebut dari hidungnya dan langsung meremuk tubuh mungil kupu-kupu itu dengan tangannya sendiri hingga sang kupu-kupu cantik mati seketika.
"Dasar serangga brengsek!" maki pria itu tanpa merasa bersalah.
Sang pria lalu beranjak dari ranjang ruang kesehatan dan langsung pergi begitu saja, tanpa mengucapkan apa pun pada Kiran lagi. Fokus Kiran sendiri seketika mengarah ke sesuatu di tubuh Jevan yang baru disadarinya dan membuatnya kini terkejut setengah mati.
Di bagian tubuh bawah pria itu --- tepatnya di pinggang sebelah kirinya --- ada noda darah berukuran sedang tetapi tampak seperti tidak berhenti mengucurkan darah. Besar kemungkinan, pria itu sedang mengalami luka akibat sesuatu yang mungkin tusukan ... tetapi sejak tadi tidak mempedulikannya sama sekali.
___
Satu Minggu Kemudian
"Kamu cari Jevan? Jevan belum masuk kelas karena habis diopname di rumah sakit," ucap seorang pria di kelas Jevan pada Kiran yang sedang berdiri di depannya. "Kamu anak kelas sepuluh, kan? Memangnya kenapa kamu cari Jevan? Hati-hati, dia orang yang bermasalah dan baru ditusuk orang."
"Ehm, minggu lalu dia pergi dari ruang kesehatan dan meninggalkan iPodnya. Kata orang-orang, dia tadi sudah masuk sekolah, jadi saya mau ngembaliin barang ini ke dia," jawab Kiran dengan sikap canggung.
"Kalau sudah ada yang ngelihat dia di sekolah tapi dia enggak masuk ke kelas, itu artinya dia bolos," jawab pria itu dengan cuek. "Coba cari aja dia ke area kebun di samping luar sekolah kita, biasanya dia sering diam-diam ngerokok di sana."
Kiran tidak bermaksud mengikuti instruksi dari teman sekelas Jevan tersebut. Namun, entah bagaimana ia kini sudah berada di kebun yang dimaksud dan malah berakhir dengan mencari-cari Jevan di sana.
Apa yang dilihatnya satu menit kemudian menjadi sangat membekas di kepala gadis itu untuk bertahun-tahun setelahnya. Di depan matanya, ia melihat sekelompok preman yang terkenal di area itu, tergeletak di atas tanah dalam kondisi yang mengalami luka-luka berat.
Tak berapa jauh dari posisinya, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana seorang Jevan tampak tengah berjongkok di atas tubuh seseorang di antara mereka. Yang lebih mengerikan, tangan pria itu terlihat seperti tengah mencoba untuk menarik sebuah pisau yang menancap di tubuh orang di bawahnya.
Kiran yang melihatnya, jelas langsung kembali syok berat. Saking takutnya, ia tanpa sadar terjatuh ke tanah dengan tubuh yang gemetaran, sambil memandangi baju Jevan yang kembali dilumuri darah. Entah bagaimana, pria itu kini menangkap kehadiran Kiran di sana dan langsung mendelik.
"Kamu siapa?" Pria itu kembali menanyakan hal yang sama seperti satu minggu sebelumnya pada Kiran. "Kenapa perempuan kayak kamu ke sini? Kalau kamu enggak mau berakhir seperti orang ini, sebaiknya kamu cepat pergi dari sini!"
___
2014
"Ka---kalian ngelepasin dia?"
Kiran bertanya pada polisi yang sudah sempat menahan Jevan selama dua minggu pasca laporan Kiran yang mengaitkan pria itu dengan kematian kedua orang tua Selia. "Kenapa kalian malah ngelepasin dia? Dia itu sangat berbahaya."
"Mbak Kiran, kami memang harus ngelepasin Mas Jevan," jawab seorang polisi di sana sambil menarik napasnya dalam-dalam. "Apa yang bisa kami lakukan kalau anak dari kedua korban sendiri membela Mas Jevan dan malah menguatkan alibinya."
"Selia? Selia bela Jevan?" tanya Kiran dengan wajah yang tampak bingung. "Ke---kenapa Selia bisa bela orang yang sudah bunuh orang tuanya?"
"Mbak Selia katanya melihat tersangka baru bangun dari taman di dekat sekolah kalian saat suara tembakan terdengar dari arah perumahan kalian," jawab sang polisi. "Sekolah kalian kan dekat dengan area perumahan kalian?"
"Lagi pula, Mbak Kiran juga hanya lihat Mas Jevan pas dia keluar dari rumah Mbak Selia di saat petang, kan?" sambung sang polisi. "Sudah ada hasil dari tim forensik. Katanya orang tua Selia tewas satu jam sebelum Mbak Kiran lihat tersangka keluar dari rumah itu. Jadi, memang agak susah menahan Mas Jevan terus di sini kalau senjata pembunuhannya sendiri juga enggak ada di dia."
"Saya sudah bilang, saya dulu juga pernah lihat dia menusuk seorang preman di sekat sekolah kami. Kenapa dia bisa selalu bisa bebas dengan mudah?" protes Kiran dengan panik. Ia masih dendam pada Jevan yang sempat mengancam untuk membunuhnya kala itu.
"Saya ngerti, Mbak," kata polisi tadi. "Beberapa minggu lalu, Mas Jevan juga dicurigai terlibat dalam pembunuhan kakak laki-lakinya sendiri beserta anak dan istri kakaknya itu. Dua kasus ini mungkin berkaitan karena asisten dari kakaknya Mas Jevan yang terbunuh itu adalah papanya Mbak Selia. Tapi, di sana juga enggak ada bukti kuat yang bisa menjerat Mas Jevan."
Kiran terbelalak. "Kakak laki-lakinya? Jevan ... punya kakak?"
"Dia sekarang kaya sekali, jelas susah untuk menjerat orang yang sekaya dia," komentar polisi lainnya di sana tanpa menjawab pertanyaan Kiran.
Kiran tambah kaget. "Kaya? Sejak kapan Jevan kaya? Kalian sedang membicarakan Jevan yang dulu tinggal di panti asuhan dekat rumah saya, kan?"
Sang polisi hanya menepuk-nepuk bahu Kiran. "Kasus ini belum ditutup, kok, Mbak Kiran. Jadi, Mbak tenang saja. Kami masih akan terus selidiki kasus ini. Hanya saja, kami sedang fokus untuk cari petunjuk baru. Ada penjual jajanan keliling yang lewat di depan rumah Mbak Selia dan bilang kalau dia sempat melihat ada dua orang masuk ke rumah Mbak Selia sebelum suara tembakan terdengar. Jadi, kami lagi cari dua orang itu."
"Ada yang masuk ke rumah Selia sebelum Jevan?" tanya Kiran lagi.
"Katanya begitu. Penjual itu baru lewat lagi setelah dua minggu enggak jualan, jadi ... kami juga baru tahu soal ini. Selain itu, ada rekaman pembicaraan Mas Jevan dengan layanan darurat setelah kejadian. Dia yang ternyata meminta ambulans datang ke rumah Mbak Selia saat itu."
Kiran kini mulai agak ragu dengan tuduhannya sendiri pada Jevan. "Apa Jevan tahu kalau saya yang melaporkan dia ke polisi waktu itu?"
"Belum, Mbak. Meski dia maksa pihak kami untuk kasih tahu siapa saksi yang melaporkan dia sebagai pembunuh orang tua Mbak Selia, kami tetap tutup mulut, kok."
Kiran mematung di tempatnya. "Dia cari saya? Kenapa dia cari saya?"
"Mungkin karena kesal saja," jawab sang polisi. "Kata pengacaranya, Mas Jevan kan seharusnya hanya di Indonesia untuk habiskan liburan musim dingin kampusnya, tapi kakaknya ternyata meninggal saat dia datang. Akibatnya, dia jadi lebih lama di Indonesia. Apalagi dia juga sempat ditahan lama di sini."
"Jevan punya pengacara?" tanya Kiran dengan raut bingung. "Terus, memangnya dia kuliah di luar negeri?"
Ditanya begitu, giliran para polisi di sana yang tampak terheran-heran dengan pertanyaan Kiran.
"Mas Jevan sebenarnya lagi kuliah di New York. Mbak Kiran enggak tahu soal ini? Bukannya dia kakak kelas Mbak dua tahun yang lalu?" tanya salah satu dari mereka. "Waktu kasus kematian kakaknya, dia dapat izin terbatas dari kampusnya untuk pulang lebih lama ke Amerika. Tapi, karena tahunya dia kemudian ditahan lama di sini, dia jadi kena banyak masalah di kampusnya. Mungkin itu yang buat dia jadi berusaha untuk cari Mbak Kiran."
"Tu---tunggu sebentar," ucap Kiran mulai mengeluarkan keringat dingin. "Ma---masa hanya karena kegiatan kampusnya yang tertunda, dia jadi dendam ke saya?"
"Kata pengacaranya tadi, Mas Jevan terpaksa harus tutup semester ini dengan mengalihkannya jadi cuti semester. Akibat dari itu, dia terpaksa akan lebih lama di New York untuk menyelesaikan kuliahnya nanti. Padahal, dia harus sudah kerja di perusahaan mendiang papanya."
"Selain itu, dia katanya juga kesal karena pelaku yang sebenarnya ... mungkin sudah kabur dan menghilangkan barang bukti penting selagi Mas Jevan ditahan di sini. Sepertinya, Mas Jevan sempat berpikir untuk cari sendiri pelakunya, tapi gagal karena adanya laporan Mbak Kiran yang membuat kami terpaksa menahannya."
"Dia sepertinya pendendam, tapi Mbak Kiran tenang saja," sambung polisi itu dengan senyum lebar yang lebih meresahkan. "Meski Mas Jevan berusaha membayar kami untuk menyebut nama Mbak, kami enggak bocorkan nama Mbak, kok. Jadi, selamanya dia enggak akan tahu kalau saksi yang melaporkannya ... sebenarnya adalah Mbak Kiran. Hahaha!"