"A---auw!"
Dika yang sedang mengolesi wajah Kiran dengan krim anti iritasi langsung mendelik saat mendengar gadis itu mengaduh kesakitan.
"Kenapa? Perih, kan? Makanya pikirkan dulu risikonya sebelum kamu lakukan tindakan ceroboh kayak tadi! Orang normal mana yang nekat nyiram wajahnya sendiri dengan kopi?! Kamu beruntung kopinya tadi udah enggak terlalu panas lagi!" ucapnya dengan nada tinggi.
"Lihat muka kamu sendiri," sambung Dika. "Bu Vira sudah capek-capek mendandani kamu sampai cantik, tahu-tahunya sekarang kamu malah jelek lagi karena wajah kamu merah-merah begini. Mana seragam kamu kena noda kopi lagi!"
Untuk kesekian kalinya, pria itu kembali mengulurkan tisu dari samping mejanya ke arah Kiran yang masih meringis. Ia lalu membiarkan Kiran menggunakannya untuk mengusap sendiri seragamnya yang terkena tumpahan kopi.
"Bapak dari Baven Energy tadi kayaknya dongkol berat sama kamu karena kamu sudah merampok kopinya. Kamu tahu itu merk kopi mahal, kan?"
Kiran menggeleng. "Aku tadi benar-benar enggak sadar. Enggak tahu kenapa tiba-tiba aku ambil kopi dia. Apa aku lagi kesurupan?"
"Kesurupan gundulmu!"
Dika lalu membenamkan wajahnya ke telapak tangannya sendiri sambil menggeleng-geleng. "Kamu beruntung enggak ada satu pun staf Baven Technology yang lihat kejadian memalukan tadi selain aku. Kamu enggak lihat wajah semua orang Baven Energy pas lihat kamu segitu menjilatnya ke Pak Jevan? Kamu kira dia raja sampai kamu harus langsung ngebungkuk dan teriak-teriak kasih selamat begitu?!"
Wajah Kiran seketika berubah jadi merah padam. "I---itu hanya sikap refleks. Aku hanya takut karena kemarin dengar banyak cerita seram tentang dia dari kamu."
Kiran jelas sedang berbohong. Ia memang takut pada Jevan, tetapi bukan karena Dika. Ia takut beradu pandang dengan Jevan dan membuat hidupnya kelak akan selalu dibayangi-bayangi oleh seorang psikopat pembunuh. Namun, ucapannya barusan berhasil membuat Dika kini tampak seperti merasa bersalah padanya.
"Aku enggak bermaksud untuk nakut-nakutin kamu kemarin," ujar pria gemulai itu dengan nada lebih rendah. "Kalau tahu kamu ternyata sangat penakut, aku enggak bakal cerita soal Pak Jevan ke kamu kemarin."
"Apa dia tadi kelihatan marah?" bisik Kiran dengan hati-hati.
Dika mengangkat alis matanya ke arah gadis itu. "Maksud kamu Pak Jevan? Aku enggak tahu dia marah atau enggak, tapi yang jelas dia kayak kaget banget. Kalau orang-orang Baven Energy sepertinya sempat nertawain kamu, kecuali bapak-bapak yang kopinya kamu rampok tadi."
"Terus, gimana soal kotak makanan ...?"
"Ada bagusnya itu tadi terjadi," respons Dika dengan cepat. "Gara-gara tindakan aneh kamu, orang-orang Baven Energy jadi terpaksa urus sendiri kotak makanan untuk rapat mereka. Mungkin mereka takut makanan mereka juga bakal dirampok sama kamu, atau ketakutan karena anggap kamu gila dan ogah berurusan sama kamu.".”
"Sebaiknya habis ini kamu ke toilet dan cuci sebentar noda kopi di seragam kamu," ujarnya lagi dengan fokus yang teralih ke baju Kiran. "Kamu bisa mengeringkannya dengan hair dryer di ruang makeup tim humas nanti. Enggak mungkin seharian ini kamu akan terus pakai seragam yang kotor, kan? Enggak enak kalau nanti ada tamu yang lihat kamu enggak rapi."
"Dika," panggil Kiran dari kursinya setelah sempat terdiam beberapa lama, "kamu tahu kenapa orang tertentu saat kecilnya suka bunuh binatang?"
Dika menoleh. "Bunuh binatang sejak kecil? Bukannya itu gejala awal psikopat?"
"Iya, kan?!" seru Kiran, merasa dibenarkan. "Aku juga tahunya begitu. Katanya, orang yang sejak kecil suka bunuh-bunuh binatang itu punya kecenderungan jadi psikopat."
"Memangnya kenapa, sih?" tanya Dika. "Kamu punya kenalan yang aneh kayak 'gitu?"
"Aku hanya mikir aja ... kalau ada orang kayak 'gitu dendam ke kamu, apalagi kalau dia punya riwayat sering nyerang orang, kamu bakal gimana?" Kiran malah bertanya balik pada rekan resepsionisnya tersebut.
"Wah, kalau kondisinya sampai 'gitu ... pasti jadinya agak seram sih," jawab Dika dengan alis mata yang mengernyit. "Tapi pertanyaan kamu kok random banget? Memangnya ada psikopat yang dendam ke kamu?"
Kiran langsung menggeleng sambil tertawa canggung. "Enggak, aku hanya ingat soal film psikopat yang aku tonton tadi malam, haha!"
Dika kembali menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu ini benar-benar perempuan aneh. Dibanding ngomongin hal-hal yang enggak relevan, mending kamu cepat-cepat bersihin baju kamu aja dan cuci muka. Kamu enggak lihat mata kamu sampai merah kayak kuntilanak gitu?"
Kiran mendadak mengucek-ngucek matanya. "Memang dari tadi agak kerasa perih. Mungkin karena sempat kena kopi panas."
"Yaudah sana cepat bersihkan! Jangan sampai orang-orang humas kita nanti pas jam makan siang lihat kamu kotor dan berpikir untuk pecat kamu saja."
"Iya ... iya," ucap Kiran akhirnya menurut. Gadis yang pandangannya masih terasa kabur itu pun kemudian melenggang ke arah toilet untuk segera membersihkan dirinya.
___
Di ruang rapat
"Kamu masih kaget karena perempuan barusan?" bisik Paskal ke samping bahu Jevan sambil senyum-senyum. Pria itu sudah menggeser kursinya untuk lebih mendekat ke arah Jevan hanya untuk menggodanya.
"Perempuan yang mana?" Jevan balik bertanya tanpa menoleh ke arahnya.
"Perempuan resepsionis tadi," ulang Paskal dengan wajah yang menahan tawa. "Aku curiga, biasanya kamu jengkel kalau lihat ada karyawan yang ngasal ke kamu, tapi tadi kamu malah diam aja dan malah langsung pergi 'gitu aja."
Jevan kini menoleh ke arah asistennya itu dengan raut wajah yang tetap datar. "Gimana aku mau marah kalau dia hanya berusaha ngegoda aku?"
"Ngegoda kamu?"
"Dia tadi ngebungkuk ke aku," jawab Jevan. "Kecuali negara-negara yang memang punya tradisi membungkuk, orang mana yang di jaman sekarang yang masih ngelakuin hal kayak begitu hanya karena ketemu sama aku?"
"Lah, hubungannya apa?" tanya Paskal dengan bingung.
"Bajunya tadi kan agak longgar, jadi begitu dia ngebungkuk, aku bisa langsung lihat 'isi' di balik bajunya. Dia enggak akan lakukan itu kalau tanpa tujuan, kan? Kamu bilang kemarin, kalau ada perempuan yang ngebungkuk di depan aku ... itu artinya dia lagi mau pamerkan asetnya dan goda aku?"
Paskal terbelalak. "Wah ... kayaknya kamu kelewat serius mencerna omongan aku semalam soal bungkuk-membungkuk. Dasar narsis! Mana mungkin perempuan tadi ngegoda kamu? Dia kayaknya anak baru di sini karena aku belum pernah lihat dia sebelumnya."
"Dia anak baru?"
Paskal tidak menjawabnya dan malah kembali mendekati Jevan sambil tersenyum lebih lebar. "Memangnya tadi kamu benar-benar sempat lihat 'isi' di bagian dalam bajunya? Itu yang buat kamu tadi bengong lama di depan dia?"
"Itu ... enggak sengaja," jawab Jevan dengan suara yang sangat pelan. Setelah mengucapkannya, ia langsung cepat-cepat mengalihkan perhatiannya ke pembicara rapat lagi.
"Jangan pura-pura fokus ke rapat, Jevan," ucap Paskal lagi sambil nyengir. "Kasih tahu aku, 'bagian dalamnya' bagus enggak? Bagus mana dengan punya Selia?"
"Hah? Ehm ... Selia."
"Wow! Tiga detik!" seru Paskal sambil kembali tertawa. "Kamu butuh tiga detik untuk sekadar jawab 'Selia'. Itu artinya, kamu anggap bagian dalam perempuan tadi lebih bagus dari punya Selia."
"Aku enggak pernah bilang 'gitu," ujar Jevan mulai terlihat jengkel.
"Kamu hanya gengsi untuk bilang 'gitu."
"Dasar brengsek!" maki Jevan dengan kesal. "Kamu mau orang-orang di sini dengar kita membicarakan resepsionis tadi dengan cara yang terdengar seperti pelecehan begini?"
Paskal hanya tertawa sekilas. Ia lalu ikut mengalihkan pandangannya ke arah layar presentasi di depan sambil berpura-pura serius mendengarkan.
"Tapi ... resepsionis Aldi tadi agak manis juga," ujarnya lagi setelah merasa bosan mendengar presentasi di depannya.
"Aku enggak sempat lihat mukanya dengan jelas karena dia tadi langsung ngebungkuk," kata Jevan merespons ucapan sang asisten.
"Itu karena kamu sebelumnya lagi ngobrol sama tim energy. Kalau aku kan terus ngelihat ke depan, jadi aku sempat lihat dia sebelum dia tadi nyiram kopi ke mukanya sendiri."
"Ah ya, aku jadi ingat itu," gumam Jevan dengan dahi mengerut. "Apa mungkin dia perempuan enggak waras? Ngapain dia tadi nyiram mukanya sendiri dengan kopi? Apa jangan-jangan ... itu tadi cara terbaru perawatan kecantikan kaum perempuan yang biasanya memang aneh-aneh?"
Paskal langsung kembali menoleh ke arah Jevan. "Itu dia! Itu enggak wajar, kan? Kenapa dia aneh sekali?"
"Aku penasaran sama dia," sambung Paskal dengan cepat. "Apa aku minta aja data diri resepsionis itu ke Aldi?"
"Untuk apa? Dia hanya resepsionis baru."
"Tapi firasat aku ... dia tadi ngelakuin hal seaneh itu karena dia enggak mau wajahnya dilihat sama kamu. Aku jelas lihat wajahnya tadi panik waktu dia lihat kamu."
Ucapan Paskal sebenarnya akurat, tetapi beberapa detik kemudian ia langsung mengubah pendapatnya lagi sambil tertawa. "Ah, tapi bisa saja dia sudah dengar omongan orang yang jelek-jelek tentang kamu dan jadi ketakutan sama kamu. Siapa yang enggak takut sama kamu?"
"Dia takut ke aku?" ulang Jevan mendadak jadi sensitif. "Kenapa orang baru kayak dia takut ke aku? Dia tadi jelas-jelas ngegoda aku!"
"Dia beda dengan Selia. Kalau Selia memang 'minta disentuh', kalau perempuan tadi kayaknya ngebungkuk hanya karena takut sama kamu."
"Kamu mau aku buktikan kalau dia ngegoda aku?"
Paskal langsung menatap heran ke arah Jevan. "Ada apa ini? Kenapa kamu mau capek-capek berusaha membuktikan hal-hal kayak gini? Biasanya kamu cuek setengah mati soal perempuan-perempuan di kantor ini."
Jevan yang baru sadar kalau ucapannya terlalu reaktif, kemudian memandang sinis ke arah asistennya itu. "Aku ... enggak mau bahas hal enggak penting ini lagi. Sudahlah, aku aku mau ke toilet aja."
Sebelum Paskal sempat berbicara lagi, pria itu langsung berdiri dari kursinya dan segera beranjak ke luar. Ia lalu berjalan menyusuri lorong luar rapat untuk menuju ke arah toilet eksekutif di lantai itu.
Ada satu hal yang tadi sebenarnya membuat pria itu merasa sangat terganggu, tapi sulit untuk ia ceritakan pada Paskal. Sejak delapan tahun yang lalu, Jevan sebenarnya mulai sering mengalami hal-hal aneh yang sulit untuk dicerna dengan nalarnya.
Entah bagaimana, ia sering mendengar suara seorang perempuan bersenandung di dalam kepalanya. Ia juga beberapa kali melihat sosok samar sang perempuan yang bersenandung tersebut dalam mimpi-mimpinya. Anehnya, meski tidak mampu melihatnya dengan jelas, ia tahu kalau perempuan yang bersenandung itu selalu adalah satu orang yang sama.
Yang membuat Jevan merasa tubuhnya mendadak kaku saat mendengar resepsionis tadi memberi salam aneh padanya ... adalah karena suara sang resepsionis. Suara resepsionis tersebut entah mengapa terdengar sama persis dengan suara perempuan yang selama ini bersenandung di dalam kepalanya.
Tidak saja itu, begitu ia melihat ke arah sang resepsionis, ia tadi sempat merasa kalau ia tiba-tiba mendengar suara-suara alat musik tabuh menggaung di kepalanya. Pandangannya tadi juga sempat mengabur dan membuatnya merasa kalau suasana di sekelilingnya mendadak berganti dengan cepat.
Ia ingat jelas kalau ia sempat seperti melihat sosok samar seorang perempuan tengah menari di dalam lingkaran api dengan suara senandung yang sama. Hanya saja, gambaran perempuan tersebut kini terlihat mulai semakin jelas di kepalanya.
Apa aku mulai berhalusinasi lagi? Jevan bertanya-tanya dalam hatinya. Apa ini karena semalam aku lupa minum obat aku?
"Maaf, Pak Jevan, toilet eksekutif sedang dalam perbaikan."
Suara seseorang membuyarkan lamunan pria itu. Ia kini melihat ke arah seorang petugas kebersihan di depannya dan juga sebuah papan peringatan reparasi berwarna kuning yang menghalangi jalannya ke arah pintu toilet.
"Kami enggak dikasih tahu kalau Bapak hari ini akan rapat di sini," lanjut sang petugas lagi dengan takut-takut. "Jadi, kami belum sempat menyelesaikan perbaikan toilet ini. Kalau Pak Jevan enggak keberatan, untuk sementara Bapak bisa ke toilet yang ada di depan dulu."
Jevan hanya terdiam dengan wajah kesal. Meski begitu, ia langsung berbalik tanpa menjawab perkataan sang petugas dan segera berjalan ke arah depan. Begitu sudah sampai di sana, pria itu langsung membuka pintu toilet pria dan melangkah masuk. Namun, hanya satu detik setelahnya, ia tiba-tiba mematung dan tertegun.
Butuh waktu lama bagi seorang Jevan untuk mencerna pemandangan yang saat ini tersaji di depannya. Mengira kalau ia mungkin sedang kembali berhalusinasi, pria itu segera menggosok-gosok matanya sendiri. Namun, apa yang dilihatnya kini justru semakin lebih jelas.
Karena syok, pria itu lalu melangkah perlahan ke luar dan kini terbengong-bengong di depan toilet dengan jantung yang berdegup kencang. Setelah menenangkan dirinya sendiri, ia lalu mendongak ke arah lambang khas yang tertera di pintu toilet tersebut.
Aku enggak salah masuk! Ini memang toilet laki-laki! Kenapa perempuan itu ada di dalam toilet laki-laki?!
Meski merasa heran dan luar biasa kaget, Jevan kemudian melirik ke kiri dan ke kanan lorong toilet yang sepi tersebut secara diam-diam. Lalu setelah menarik napasnya dalam-dalam, ia kemudian membuka kembali pintu tersebut dan langsung melenggang masuk ke dalamnya dengan berusaha untuk bersikap cuek.
"Mbak, saya enggak bermaksud untuk bersikap enggak sopan, tapi Mbak ... mungkin sudah salah masuk ke toilet laki-laki, " ujar Jevan dengan kepala yang mendadak terasa sangat pusing, pada seorang Kiran yang sedang bersenandung sambil fokus mencuci seragamnya di sana dengan kondisi tubuh yang hanya berbalut pakaian dalam saja.