...

8. Awal Cinta Segi Empat #2

 

6 September 2023 (hari ketiga Kiran di Baven Technology)

 

Pagi itu seharusnya menjadi hari yang menyenangkan untuk seorang Kiran. Ia berhasil melalui pertemuan mengejutkannya dengan Jevan dan Selia kemarin dengan baik, wajahnya yang mengalami iritasi juga sudah membaik, dan ia sudah mencuci seragamnya dengan lebih bersih.

 

Kiran bahkan mengenakan sepatu kerjanya yang baru ibunya belikan untuknya kemarin. Selain itu, ia juga sudah belajar untuk menabuhkan makeup di wajahnya, meski baru bisa melakukan dengan cara yang paling sederhana.

 

Ya, gadis itu melakukan segalanya untuk mempertahankan pekerjaan luar biasanya di Baven Group sesuai tekadnya sejak awal. Ia sudah bertekad untuk melakukan semua standar yang diperlukan untuk menjadi karyawan Baven Technology yang baik. Melihatnya berjalan dengan riang dan sudah jadi sedikit lebih menarik, para tetangganya pun lagi-lagi menyemangatinya sebelum ia berangkat.

 

Namun ....

 

"Aku ... dipecat?"

 

Kiran yang pagi itu tiba lebih awal di kantornya dan tidak punya firasat buruk apa pun sebelumnya, mendadak luar biasa pucat. Kedua kakinya terasa lemas seketika dan tubuhnya langsung bergetar saat mendengar ucapan Aldi secara langsung mengenai keputusan pemecatan terhadap dirinya.

 

"Ta---tapi kenapa? Kenapa aku yang baru tiga kerja di sini sudah langsung dipecat? Memangnya kesalahan fatal apa yang sudah aku lakukan sampai aku dipecat?"

 

Aldi ikut menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tampang frustrasi. "Aku enggak tahu --- benar-benar enggak tahu. Keputusan ini sama sekali enggak datang dari Baven Technology. Ini keputusan dari lantai teratas secara langsung yang disampaikan ke pihak HRD kemarin sore setelah kamu pulang. Karena pihak HRD tahu aku yang rekrut kamu, mereka minta aku yang sampaikan ini ke kamu."

 

"La---lantai teratas?" tanya Kiran dengan bola mata yang mendadak berkaca-kaca. "Jadi, ini keputusan serius yang enggak bisa dibantah lagi? Ta---tapi siapa? Siapa yang pecat aku dari lantai teratas? Apa Pak Jevan?"

 

Sekali lagi, Aldi tidak bisa menjawabnya dan terlihat sama bingungnya. "Emailnya memang datang dari tim sekretaris Jevan, tapi Jevan sendiri belum bisa dihubungi untuk aku tanya-tanya soal ini. Begitu juga dengan Selia dan Paskal."

 

Mendengar itu, Kiran langsung menangis. "Gimana ini, Aldi? Semua orang di daerah rumah aku udah tahu aku kerja di sini dan mereka semua bangga ke aku. Aku juga sudah mulai nyaman kerja di sini. Tapi ... masa hanya karena kasus rapat kemarin, Pak Jevan pecat aku?"

 

"Aku butuh kerjaan ini; aku butuh uang." sambung Kiran, semakin tersedu-sedu. "Padahal, besok seharusnya aku sudah dapat seragam baru aku yang lebih pas. Mama aku juga sudah belikan aku sepatu kerja yang lebih bagus. Apa yang harus aku bilang ke mama aku kalau ternyata aku sudah dipecat hanya dalam tiga hari aku kerja di sini?"

 

Aldi mulai terlihat semakin bingung. "Kiran, tunggu sebentar, memangnya kamu kenapa dengan Jevan kemarin?"

 

"Aku kaget waktu dia dan rombongan Baven Energy mendadak masuk ke kantor kita," sambung Kiran, masih dengan air mata yang berlinang. "Karena aku agak takut sama dia, aku jadi gugup dan malah numpahin kopi ke muka aku. Terus, aku tanpa sadar aku bungkuk dan teriak kasih salam ke dia."

 

"Terus ...?"

 

"Hanya itu."

 

"Hanya itu? Dia enggak marah ke kamu atau lakukan sesuatu ke kamu setelahnya?"

 

Kiran menggeleng. "Dia enggak marah ke aku sama sekali dan hanya langsung pergi. Aku enggak nyangka kalau di balik itu, dia sebenarnya marah dan punya niat untuk pecat aku."

 

Aldi mendadak terdiam. Jevan pecat orang tanpa marah-marah lebih dulu? Kenapa ini kedengaran enggak masuk akal?

 

"Kiran, dengar, Baven Technology enggak pecat kamu," ujar Aldi lagi dengan intonasi yang terdengar mulai seperti marah. "Enggak masuk akal kalau Jevan pecat staf di sini tanpa kasih tahu alasannya secara administratif ke HRD kita. Sekarang ini, hampir semua orang-orang di lantai teratas belum bisa dihubungi untuk aku protes. Aku rasa, keputusan ini mungkin hanya kesalahan aja."

 

"Kamu tenang aja," sambungnya. "Aku nanti akan coba hubungi Selia lagi. Seperti yang aku bilang ke kamu sejak awal, biasanya dalam kasus-kasus begini, Selia akan bantu ngomong ke Jevan dan nasib kamu bakal bisa diselamatkan."

 

"Selia?" gumam Kiran mendadak teringat sesuatu. "Kemarin juga Selia sempat marah-marah ke aku."

 

Aldi mengangkat alis matanya. "Selia marah-marah ke kamu?"

 

"Kalau yang ini mungkin kesalahannya memang agak besar," ujar Kiran sambil mengusap air matanya yang masih tak terbendung. "Karena seragam aku kena tumpahan kopi kemarin dan Dika suruh aku cuci seragam aku, aku pergi ke toilet untuk itu. Sayangnya, aku enggak sengaja masuk ke toilet laki-laki dan telanjur buka seragam aku di sana."

 

"Waktu itu memang enggak ada laki-laki yang masuk, tapi kebetulan sekali Selia yang malah masuk ke sana, terus dia marah-marahin aku," sambung Kiran sambil tersengguk-sengguk. "Tapi, enggak mungkin Selia yang pecat aku, kan? Dia kemarin sudah bilang kalau dia maafin kesalahan aku karena aku dianggap masih karyawan baru."

 

"Selia belum pernah pecat orang sebelumnya, jadi ... enggak mungkin dia yang pecat kamu," gumam Aldi, meski dengan ekspresi yang mulai seperti terlihat ragu dengan ucapannya sendiri. "Kiran, kamu jangan khawatir. Pokoknya aku benar-benar akan protes soal pemecatan kamu. Apalagi, yang dipecat bukan hanya kamu, tapi juga Dika yang belum sekali pun pernah dapat surat peringatan pertama."

 

Mengingat soal nasib Dika yang sama dengannya, Kiran langsung bertanya, "Dika ... sudah tahu kalau dia juga dipecat?"

 

Aldi menggeleng. "Kata HRD kita, dia hari ini izin enggak masuk kerja karena papanya kena stroke dan masuk rumah sakit. Jadi, dia sama sekali belum tahu soal pemecatannya. Mungkin kabar ini baru akan disampaikan HRD ke dia begitu dia masuk besok. Tapi anehnya, HRD sendiri enggak tahu alasan kenapa Dika juga dipecat."

 

"Dika akan dipecat padahal enggak punya salah dan papanya lagi masuk rumah sakit?" tanya Kiran, semakin merasa terpukul.

 

"Sudah aku bilang, aku enggak akan biarin mereka lakukan ini ke kalian tanpa sebab yang jelas, apalagi tanpa bicara dulu dengan manajemen di sini. Ini sama saja penghinaan ke Baven Technology," ujar Aldi dengan nada tinggi.

 

"Jevan memang yang punya Baven Group, tapi dia sebelumnya hanya selalu pecat mereka yang jabatannya tinggi. Dia enggak pernah berurusan dengan manajemen menengah ke bawah sebelumnya." "Ini memang aneh, tapi untuk sementara kamu pulang aja dulu ke rumah kamu dan istirahat selama satu dua hari," kata Aldi. "Kasih aku waktu untuk urus ini ke Jevan. Aku yang akan berjuang nanti untuk pertahankan kamu dan Dika. Tenang aja, aku akan lakukan segala cara agar kamu dan Dika tetap kerja di sini."

 

___

 

Di Polres Jakarta Selatan

 

"Jadi, Pak Dudi Rongso, tersangka kasus pembunuhan delapan tahun lalu, bukan diculik dari Pelabuhan Tanjung Priok dan dia yang berinisiatif sendiri datang dari pelabuhan ke rumah Pak Jevan untuk bicara? Begitu sampai dari luar negeri setelah delapan tahun kabur, dia langsung ke rumah Pak Jevan?"

 

Seorang petugas kepolisian bersandar dengan tangannya di atas meja sambil bertanya dengan nada nyinyir ke arah Paskal dan Selia, dua pengacara Jevan saat itu, beserta Jevan sendiri. Sejak awal, ia tahu kalau pihak kepolisian akan kesusahan untuk menetapkan seseorang seperti Jevan Baven, yang selalu mampu lolos dari banyak kasus hukum yang menjeratnya, sebagai tersangka.

 

Itu makanya ia dan banyak rekan sesama reserse yang lain sebenarnya sudah malas-malasan ketika diminta untuk mengurus kasus Jevan. Pihak Jevan selalu bisa membuat alasan yang tidak masuk akal menjadi masuk akal. Apalagi, pria itu dikelilingi oleh orang-orang terdekat dengannya yang memang ahli soal hukum dan memiliki lisensi sebagai pengacara.

 

"Seperti saya tadi bilang, dia sendiri yang langsung naik taksi dari pelabuhan untuk ke rumah Jevan, klien kami," ujar Paskal. "Dia datang dengan tujuan untuk membuat sebuah pengakuan ke Jevan. Tapi, dia tewas tertembak di malam harinya sebelum sempat benar-benar bertemu klien kami."

 

"Kalau enggak percaya, silakan cek CCTV dari pihak resmi Pelabuhan Tanjung Priok sendiri," sambung Paskal. "Karena sepertinya polisi belum minta salinan CCTV dari mereka, kami yang tadi minta salinannya dari pihak keamanan Tanjung Priok. Orang-orang kami juga sudah kasih hasilnya ke rekan-rekan Anda di belakang sana."

 

Sang polisi mengikuti arah pandangan mata Paskal dan melirik sekilas ke dinding cermin di belakangnya, sebelum kemudian melanjutkan interogasinya.

 

"Apa Pak Dudi sudah membuat pengakuan ke Pak Jevan? Apa yang dia bilang di rumah Pak Jevan?"

 

"Jevan belum sempat ngobrol sama Pak Dudi karena dia lagi disibukkan dengan acara ulang tahun Baven Group yang akan digelar beberapa hari lagi," jawab Paskal lagi. "Sayangnya, Pak Dudi sudah tewas tertembak di ruang bawah tanah rumah Jevan malam tadi, sebelum dia sempat menyampaikan maksudnya ke Jevan."

 

"Hanya untuk bicara sama Pak Jevan ... dia sampai menginap?"

 

"Bisa jadi setelah delapan tahun melarikan diri ke luar negeri, dia merasa bersalah ke Jevan yang pernah sampai ditahan akibat tindakannya. Mungkin aja dia mau buat penawaran tertentu untuk mengaku. Apalagi, dia tahu Jevan kaya dan kasus delapan tahun lalu belum ditutup sama pihak kepolisian Tangerang. Kita semua enggak akan bisa tahu soal ini secara pasti karena Pak Dudi sudah meninggal."

 

"Dengar, Jevan memang agak sedikit psikopat dan suka terlibat perkelahian sampai menyiksa, mengintimidasi, dan melukai orang-orang. Dia juga bolak-balik dilaporkan ke polisi karena ini. Tapi Pak, klien saya ini enggak pernah membunuh. Dia enggak punya mental membunuh," lanjutnya tanpa beban.

 

Jevan yang mendengarnya langsung berdeham. "Kamu mau aku siksa juga, Paskal?"

 

Melihat Jevan yang sejak tadi diam mulai bereaksi, sang polisi pun langsung bertanya padanya, "Pak Jevan, Pak Dudi ditemukan tewas tertembak di ruang bawah tanah rumah Anda. Anda tahu gimana dia bisa sampai ada di ruang bawah tanah Anda?"

 

"Apa kalian kira saya akan sudi menempatkan orang yang dulu buat saya jadi tersangka di kamar tamu rumah saya?" jawab Jevan dengan cuek. "Meski dia mau ngomong sama saya, dia sudah beruntung untuk saya biarkan menginap di ruang bawah tanah saja."

 

"Terus, gimana dia bisa sampai ditemukan tewas tertembak?"

 

"Bagaimana saya bisa tahu soal itu?" kata Jevan. "CCTV bagian bawah rumah saya kemarin malam mendadak enggak berfungsi. Petugas keamanan bagian depan rumah saya juga tahu-tahu tertidur, dan gerbang depan rumah saya tiba-tiba terbuka 'gitu saja. Justru saya tadinya punya rencana untuk laporkan ini ke polisi karena ini ganjil."

 

"Tapi Pak Jevan, orang di rumah Anda bilang kalau Anda satu-satunya yang ada di TKP saat yang lain baru turun ke sana."

 

"Dia datang hanya beberapa saat sebelum pelayan dan mama saya ikut datang ke sana," tukas Paskal, mengambil alih pertanyaan yang ditujukan untuk Jevan. "CCTV bagian atas rumah Jevan masih bekerja waktu itu dan menunjukkan aktivitas dia waktu dia keluar dari kamarnya. Dia keluar enggak sampai sepuluh menit sebelum suara tembakan terdengar."

 

"Kalau Bapak lihat CCTV itu, Bapak akan lihat kalau klien saya ini enggak bawa apa pun waktu turun. Pas tembakan terdengar, dia juga baru turun ke ruang bawah tanah. Enggak berapa lama setelahnya, pelayan terdekat dari ruang bawah tanah datang, lalu disusul sama mama saya yang langsung menelepon ke polisi."

 

"Setelah mama saya menelepon," lanjutnya, "orang-orang polsek terdekat langsung datang ke rumah Jevan. Jadi, Jevan dan yang lain-lainnya belum sempat lakukan apa pun waktu itu. Bahkan barang bukti senjata api juga langsung kalian amankan. Enggak ada sidik jari Jevan kan di benda itu? Itu karena dia memang enggak pernah sentuh itu dan senjata itu bukan punya dia. Segalanya di sana kemarin malam berlangsung sangat cepat."

 

"Justru karena itu,"ujar sang polisi sekali lagi, "karena segalanya berlangsung sangat cepat, Pak Jevan yang harusnya tiba paling awal di sana, pasti sempat berpapasan dengan pelaku yang waktu itu baru menembak Pak Dudi. Tapi, kok Pak Jevan tadi malah bilang kalau dia enggak ingat apa pun?"

 

"Kalau kalian sudah dengar riwayat Jevan dari kepolisian Tangerang dan mantan resserse di sini sebelumnya, kalian akan tahu kalau klien saya memang sering begitu," ucap Selia tiba-tiba menimbrung. "Dia turun ke bawah dalam kondisi enggak sadar sama sekali. Ini sama persis dengan kejadian delapan tahun yang lalu, di saat dia juga seharusnya melihat langsung pelaku pembunuhan di dua kasus yang melibatkan dia."

 

Sang polisi bergeming. "Kenapa Pak Jevan enggak sadar dengan apa yang seharusnya dia lihat secara nyata?"

 

"Karena dia seorang somnambulis," jawab Selia setelah sempat terdiam sejenak.

 

"Somnambulis?"

 

"Orang yang terlihat seperti beraktivitas normal, padahal dia lagi dalam kondisi tidur," ujar Selia. "Jevan sudah lama menderita somnambulisme. Penderita gangguan tidur kayak gini memang sering alami hal-hal yang enggak akan dimengerti sama orang-orang lainnya."

 

"Saat gangguan tidurnya kambuh, dia akan bangun dan mendadak lakukan aktivitas normal seperti manusia yang enggak lagi tidur. Dia bisa jalan, kadang bisa bicara, bisa menuruni tangga, menonton, atau bahkan menyetir. Padahal, apa pun yang dia lakukan saat gangguan ini kambuh semuanya dilakukan tanpa sadar. Orang-orang yang enggak ngerti soal ini dari Jevan, akan anggap dia melakukannya dengan sadar."

 

"Sekitar delapan tahun yang lalu ada dua kasus pembunuhan yang melibatkan Jevan," sambungnya. "Pembunuhan pertama terjadi saat Jevan menjalani libur akhir tahun dari Amerika ke Indonesia. Korban pembunuhan saat itu adalah keluarga kakaknya."

 

"Pada dasarnya, Jevan justru adalah saksi dari kasus itu. Sayangnya, karena kasus itu terjadi waktu dia alami episode somnambulisme, dia enggak bisa ingat apa pun lagi tentang itu saat dia sudah sadar. Jadi, tim polisi di Polres Jaksel yang sebelumnya, sempat mencurigai Jevan sebagai pelakunya."

 

"Jevan sempat gunakan metode hipnoterapi setelah terjadinya kasus pertama. Tapi, satu-satunya yang diingat sama Jevan adalah kalau ada papa saya saat itu yang membangunkannya di TKP kasus kematian kakaknya. Karena hanya ingat di bagian itu aja, Jevan lalu mencari papa saya ke Tangerang."

 

"Saat itulah pembunuhan kedua terjadi. Orang tua saya menjadi korban waktu itu dan Jevan ditahan. Karena saya sendiri waktu itu dalam masa duka, saya enggak tahu siapa yang saat itu ditahan polisi sebagai tersangka pembunuhan orang tua saya. Baru dua minggu kemudian saya lihat dia di kantor polisi, dan karena kesaksian saya, Jevan akhirnya dibebaskan."

 

"Kesaksian Anda?" tanya sang polisi dengan dahi mengerut.

 

"Sebelum orang tua saya dibunuh, saya sempat lihat Jevan di dekat SMA saya. Waktu itu, saya baru pulang dari tempat les saya dan mau ambil barang yang tertinggal di sekolah. Dia dalam kondisi berdiri sendirian di tengah jalan dan nyaris tertabrak. Saat saya menyelamatkannya, saya baru sadar kalau dia sebenarnya dalam kondisi enggak sadar. Di saat itulah saya tahu kalau Jevan seorang somnambulis."

 

"Karena itu, saya terus ikuti dia yang masih tidur dan ternyata jalan ke arah rumah saya. Tapi karena saya dipanggil sama tetangga saya untuk mampir, saya pisah dari Jevan. Enggak berapa lama dari rumah tetangga saya, saya dengar suara tembakan. Kami kira waktu itu mungkin sedang ada pelatihan militer atau semacamnya, tapi saya ingat jelas saat itu Jevan lewat depan teras rumah tetangga saya."

 

"Jevan enggak bawa apa pun sejak awal. Waktu saya dengar suara tembakan dengan waktu dia mungkin tiba di rumah saya saat itu ... terlalu dekat untuk nuduh dia sebagai pembunuh. Itu makanya sejak awal saya tahu kalau bukan Jevan pelakunya. Hanya saja, karena dua jam kemudian saat pulang ke rumah saya baru tahu apa yang menimpa orang tua saya, saya lupa soal Jevan."

 

Sang polisi mengangguk. "Saya ngerti sekarang. Anda baru ingat soal ini dua minggu kemudian setelah lihat Pak Jevan ditahan di kepolisian. Anda yang saat itu membebaskannya?"

 

"Ya," jawab Selia. "Pengacara lama Jevan saat itu minta polisi untuk merahasiakan soal masalah gangguan tidur Jevan karena ini bahaya untuk diketahui banyak orang. Anda tahu, hal-hal seperti ini bisa buat orang manfaatin Jevan dengan cara-cara yang terburuk. Itu makanya kondisi gangguan tidur Jevan selama ini sangat dirahasiakan."

 

"Namun," lanjutnya, "kami curiga ada pihak yang sepertinya juga tahu soal ini. Itu makanya Jevan sering terlibat kasus-kasus tertentu yang mungkin sengaja dirancang untuk jatuhkan dia, termasuk kasus malam tadi."

 

"Saran kami," ujar Paskal setelah Selia selesai bicara, "Anda selidiki kenapa CCTV di bagian depan rumah Jevan sampai ke area ruang bawah tanahnya saat itu mendadak rusak. Selain itu, kenapa pihak keamanan gerbang depan rumah Jevan juga bisa sampai ketiduran. Ini belum pernah terjadi ke mereka sebelumnya. Besar kemungkinan ada yang ngasih obat tidur di sesuatu yang mereka konsumsi untuk manfaatin kondisi di rumah Jevan saat itu."

 

"Kami sudah minta semua petugas keamanan di depan rumah Pak Jevan untuk jalani pemeriksaan urine dan darah," sahut sang polisi. "Yang saya dengar, Pak Paskal dan Bu Selia juga malam itu ada di rumah Pak Jevan?"

 

"Kalau saya memang tinggal di sana," kata Paskal. "Kalau Selia malam itu nginap untuk nunggu perkembangan dari kami soal Pak Dudi."

 

"Pak, Anda enggak bisa nahan Jevan di sini lama-lama karena ini sudah sangat dekat dengan hari ulang tahun perusahaan kami. Kami akan banyak mengalami kerugian kalau sampai para pemegang saham Baven Group yang lainnya tahu soal kalian bawa Jevan tanpa bukti begini," ujar Paskal lagi.

 

Sang polisi kemudian menarik napasnya dalam-dalam. "Saya 'ngerti. Saya akan lebih dulu 'ngecek rekaman CCTV dari Tanjung Priok dan juga CCTV dari area rumah Pak Jevan yang masih aktif kemarin. Setelah itu, saya akan coba bahas ini dengan atasan saya lebih dulu sebelum memutuskan apa akan memulangkan Pak Jevan untuk sementara ini atau enggak."

 

Begitu selesai mengucapkannya, sang polisi langsung berdiri dari kursinya dan pergi. Sementara Selia yang memang terbiasa melakukan pendekatan diplomatis bagi mereka, ikut keluar untuk berbicara dengannya.

 

"CCTV bawah yang rusak, Paskal?" bisik Jevan setelah keduanya sekarang hanya sendirian di ruangan itu. "Kamu nekat bilang soal itu ke polisi, padahal kamu sendiri yang merusaknya supaya enggak ada bukti kalau kita memang culik Dudi."

 

"Aku memang ngerusak CCTV, tapi soal gerbang yang terbuka dan petugas keamanan kita yang mendadak ketiduran itu benar," balas Paskal dengan suara yang ikut berbisik.

 

"Soal taksi di Tanjung Priok?"

 

"Itu juga benar," jawab Paskal lagi. "Untuk mencegah polisi langsung tahu soal kita yang culik Dudi, aku memang 'nyuruh orang-orang kita untuk langsung naik ke kapal begitu kapal itu berlabuh. Di sana, mereka langsung 'ngancam Dudi dan 'nyuruh dia untuk langsung masuk ke taksi yang sudah ditentukan."

 

"Dan supir taksinya kebetulan orang kita juga?"

 

Paskal terkekeh. "Dengan begini, kita akan bebas dari risiko dituduh menculik buruan polisi. Sekarang, kita tinggal nunggu kamu dipulangkan karena mereka memang belum punya bukti apa pun. Selanjutnya, kamu mungkin akan dinyatakan sebagai saksi atas kasus ini dan paling hanya dimintai keterangan dengan cara lebih sopan nantinya."

 

"Tapi kalaupun sekarang mereka lepas aku, kasus ini pasti buat dua kasus dulu kembali jadi sorotan dan bisa aja kali ini ada kebocoran informasi," gumam Jevan. "Karena masalah ganguan tidur aku enggak bisa diungkap ke publik, tuduhan-tuduhan lama mungkin akan kembali mencuat."

 

"Ya, ini enggak akan bagus, apalagi Baven Group mau ulang tahun," ujar Paskal membenarkan. "Jalan satu-satunya hanya cari rekan Dudi yang identitasnya belum kita ketahui dan sampai saat ini enggak bisa dilacak. Tapi, dengan kondisi Dudi yang sudah mati begini, apa yang bisa kita lakukan sekarang?"

 

Jevan menoleh ke arah Paskal. "Kamu sudah cari saksi yang waktu itu laporkan aku ke polisi dan buat aku sampai ditahan?"

 

"Loh, kamu masih mau dia ditemukan? Selama ini kamu selalu maju mundur soal ini."

 

"Apa boleh buat, Dudi udah mati dan hanya tersisa dia yang mungkin bisa bantu," kata Jevan lagi. "Besar kemungkinan, saat itu orang yang ngelaporin aku enggak sadar kalau dia mungkin lihat pelaku di salah satu titik luar rumah Selia. Dia telanjur fokus lihat aku lari ke luar dengan kondisi tangan yang kena noda darah."

 

"Hipnoterapi enggak bekerja di aku. Penjual jalanan yang lihat mereka keluar waktu itu juga sudah meninggal karena sakit. Dia memang lihat ada dua orang keluar dari rumah Selia, tapi dia enggak ingat jelas ciri-cirinya. Jadi, hanya sisa saksi yang laporkan aku dulu yang mungkin bisa bantu kita."

 

"Dari info yang minggu lalu kami dapatkan, saksi yang dulu laporkan kamu itu seorang perempuan yang kerjanya sekarang sebagai pawang hujan," kata Paskal padanya, tanpa tahu kalau orang yang dimaksud sudah tiga hari bekerja di Baven Group dan malah langsung dipecat.

 

"Pawang hujan?" ulang Jevan dengan alis mata yang mengernyit. "Apa dukun kayak begitu termasuk pekerjaan resmi di Indonesia?"

 

Paskal hanya mengangkat bahunya. "Aku sudah bilang ke kamu soal informasi ini, tapi karena kamu terus sibuk dan sepertinya belum merasa perlu untuk---"

 

"Temukan dia," potong Jevan dengan nada yang kini sangat serius. "Temukan dia secepatnya. Orang itu punya utang besar ke aku dan dia harus bayar utangnya. Pokoknya sebelum ulang tahun Baven Group, aku sudah harus bicara dengan perempuan pawang hujan sialan itu."

 

Subscribe
Notify of
guest

4 Komentar
Terlama
Terbaru Vote Terbanyak
Inline Feedbacks
View all comments
Dina
Guest
Dina
7 months ago

Up nya jangan lama² Thor 😭

Hannips
Member
7 months ago

Jangan jangan Paskal yang.. Hmm.

Riendiany
Guest
Riendiany
7 months ago

Kak, ya ampun ceritanya selalu sepuluh jempol. Terkesan berat tapi mudah dipahami💓

error: KONTEN INI DIPROTEKSI!!!
#!trpst#trp-gettext data-trpgettextoriginal=4498#!trpen#Seraphinite Accelerator#!trpst#/trp-gettext#!trpen##!trpst#trp-gettext data-trpgettextoriginal=4499#!trpen#Optimized by #!trpst#trp-gettext data-trpgettextoriginal=4498#!trpen#Seraphinite Accelerator#!trpst#/trp-gettext#!trpen##!trpst#/trp-gettext#!trpen#
#!trpst#trp-gettext data-trpgettextoriginal=4500#!trpen#Turns on site high speed to be attractive for people and search engines.#!trpst#/trp-gettext#!trpen#