Aldi melirik ke arloji di pergelangan tangannya sambil tetap berbicara di teleponnya. Melihat waktu yang sudah menunjukkan jam dua siang lebih, dahi pria itu langsung mengerut.
"Dia dan rombongannya baru datang ke kantor jam segini? Tumben ...," ucap Aldi pada seseorang di seberang telepon yang sedang menghubunginya. "Dia sudah bisa ditemui kan sekarang?"
"Mungkin sebentar lagi, Pak Aldi," jawab lawan bicaranya. "Saya cuma mau kasih tahu Bapak aja soal ini karena Bapak kan sudah dari pagi cari Pak Jevan dan Bu Selia. Tapi saran saya, untuk sementara ini sebaiknya jangan dulu bicara sama Pak Jevan."
"Memangnya kenapa?"
"Mood Pak Jevan kayaknya lagi enggak terlalu bagus, Pak. Dia juga lagi kayak kecapekan, jadi saya rasa akan lebih baik kalau Pak Aldi tunggu dulu---"
"Saya sudah di lantai 43," potong Aldi dengan santai.
"H---hah?"
"Ini saya baru keluar dari lift dan lagi mengarah ke kamu," kata Aldi lagi.
Tidak berapa lama setelah mengucapkannya, pria itu tiba di depan ruang tim sekretaris Jevan dan langsung melambaikan tangannya ke arah salah satu sekretaris di sana yang sedang meneleponnya.
Melihat Aldi kini berjalan menuju ke arah ruangan Jevan, sang sekretaris langsung menutup teleponnya dan langsung mengejar Aldi.
"Pak Aldi, tunggu sebentar!" ujar sekretaris bernama Nola tersebut dengan sikap panik. "Saya belum kasih tahu Pak Jevan kalau dia akan langsung menerima tamu. Gimana kalau Bapak bicara sama Pak Paskal dulu aja?"
"Saya bukan tamu," jawab Aldi sambil tetap berjalan ke arah ruangan Jevan.
"Tapi, Pak, bicara soal pemecatan kemarin di saat Pak Jevan baru datang begini saya rasa agak ...."
Ucapan Nola terputus. Gadis bertubuh pendek dengan potongan rambut seperti pria itu seketika terdiam saat melihat Aldi sudah membuka ruangan atasannya. Mau tidak mau, ia terpaksa langsung ikut berjalan bersama Aldi ke dalamnya sambil menarik napasnya dalam-dalam.
"Pak Jevan, ada Pak Aldi di sini," ujar wanita itu dengan hati-hati sambil memandang ke arah atasannya yang sedang menandatangi dokumen-dokumen di atas mejanya dengan wajah suntuk.
Jevan mendongak dan menatap ke arah Aldi dan Nola yang kini sudah berdiri di depannya tanpa ekspresi sama sekali.
"Nanti saja datang lagi, saya masih harus selesaikan ini sebelum ikut rapat setengah jam lagi," jawab Jevan tanpa mempedulikan Aldi yang sudah ada di sana.
"Saya dengar Bapak memerintahkan pemecatan terhadap dua karyawan saya?" tanya Aldi dengan cuek meski tahu kalau dirinya sebenarnya sudah diusir secara langsung dari sana.
Walau tampak terganggu dengan sikap ngotot Aldi, pria itu akhirnya meletakkan pulpen di tangannya ke atas meja, dan kemudian menggerakkan kepalanya untuk meminta Nola pergi meninggalkan mereka.
"Pemecatan?" tanya Jevan setelahnya, sambil memicingkan matanya.
"Nola bilang, kemarin sore dia diminta untuk mengirimkan surat perintah pemecatan atas dua resepsionis Baven Technology," ucap Aldi tanpa tersenyum.
Jevan tetap bergeming. "Resepsionis Baven Technology? Kenapa dengan mereka?"
"Nola bilang, Bapak minta mereka dipecat? HRD Baven Technology juga enggak dikasih tahu alasannya dengan jelas dan hanya diberi catatan indisipliner di bawah surat yang dikirim Nola ke mereka kemarin sore."
Jevan kini mengerutkan dahinya. "Saya sudah pulang dari kantor sebelum rapat di Baven Technology kemarin selesai. Itu artinya, saya sudah enggak di kantor lagi saat jam makan siang kemarin. Untuk apa saya sore-sore kirim email ke Nola, apalagi kalau isinya terkait pemecatan dua resepsionis yang enggak ada urusannya sama saya?"
"Tapi perintahnya kata Nola datang dari alamat email Bapak sendiri."
"Email internal saya juga dikelola sama kepala sekretaris saya, Paskal, dan Selia," jawab Jevan dengan wajah yang seperti merasa dituduh. "Nola enggak kasih tahu kamu soal itu? Seharusnya Nola tahu kalau saya enggak akan mungkin urusin persoalan resepsionis, apalagi yang di lantai bawah."
Aldi terdiam. Sorot matanya kini menunjukkan kalau ia mendadak curiga akan sesuatu yang lain.
Kenapa untuk pecat Kiran dan Dika, dia harus sampai pakai email internal Jevan?
"Kamu datang ke sini dan bicara sama saya hanya untuk ngomong soal dua resepsionis kamu?" Jevan balik bertanya padanya. Wajah pria itu memang terlihat sangat lelah, sampai-sampai ia tampak seperti sudah tidak lagi punya energi untuk meledak marah.
"Karena saya pikir Bapak yang pecat mereka," jawab Aldi dengan jujur. "Kalau memang bukan Bapak yang 'ngirim email itu, apa artinya keputusan itu bisa dicabut?"
Jevan langsung menghela napasnya. "Terlepas dari apa pun itu, kalau sampai orang yang memerintahkan pemecatan itu pakai email saya, itu artinya mereka memang punya hak untuk melakukannya."
"Tapi kalau memang mereka punya hak untuk lakukan itu, mereka enggak akan pakai email Bapak hanya untuk pecat resepsionis," tukas Aldi lagi. "Orang yang pakai email Bapak pasti enggak mau kelihatan kalau dia yang pecat dua resepsionis saya, Andika Ramansyah dan Kiran Kania."
"Soal itu, sebaiknya kamu tanya Selia secara langsung aja," jawab Jevan dengan blak-blakan. "Kepala sekretaris saya enggak akan mungkin berani lakukan itu. Paskal juga bukan orang yang peduli dengan hal-hal kayak begitu. Satu-satunya yang mungkin lakukan itu, tapi gunakan email saya karena mungkin sungkan ke kamu ... ya, hanya tersisa Selia. Di titik ini, kamu juga pasti sudah bisa tebak, kan?"
"Sekali lagi, apa saya enggak bisa minta bantuan Bapak untuk batalkan keputusan pemecatan itu?" tanya Aldi dengan tampang serius, tanpa menanyakan soal tindakan Selia lebih lanjut. "Terus terang saya tersinggung karena ini dilakukan tanpa berbicara lebih dulu dengan pihak Baven Technology. Apalagi, satu orang di antaranya masih sangat baru dan seorang lainnya enggak pernah punya masalah apa pun sebelumnya. Dia sangat kompeten."
"Seperti saya bilang tadi, bicarakan aja ini dengan Selia secara langsung. Kamu mau buat saya mempermalukan dia dengan ikut melibatkan diri terkait pemecatan dua resepsionis di Baven Technology yang dia lakukan? Kamu lagi merendahkan saya?"
Aldi terlihat tidak gentar sedikit pun. "Saya memang akan bicarakan soal ini dengan Bu Selia, tapi saya rasa Bapak setidaknya bisa sedikit kasih teguran ke Bu Selia untuk menghargai manajamen Baven Technology. Dia memang teman saya, tapi apa yang dia lakukan, sama saja dengan melangkahi kami."
Jevan kembali mengerutkan dahinya. "Saya enggak pernah lihat ada direktur di anak perusahaan Baven Group lainnya yang sampai datangi saya hanya karena perkara resepsionis yang dipecat. Dua resepsionis itu sebenarnya saudara kamu atau teman kamu?"
"Mereka hanya orang yang enggak sepantasnya dipecat dengan cara begini," jawab Aldi lagi. "Baven Group seharusnya juga enggak meremehkan hal-hal begini. Kalian tahu kan kalau karyawan yang dipecat tanpa prosedur yang tepat, sebenarnya bisa saja mengambil langkah hukum?"
Jevan yang jengkel sudah akan menyemburkan kemarahannya pada Aldi, tapi mendadak Paskal memasuki ruangannya dan membuat suasana tegang di sana langsung berakhir.
"Bro! Tumben ke sini," sapa Paskal dengan sikap hangat ke arah Aldi. "Kemarin kita enggak sempat ketemu ya di Baven Technology?"
Baik Paskal maupun Aldi kemudian terlibat pembicaraan singkat di sana. Baru sekitar lima menit setelahnya, Aldi kembali menoleh ke arah Jevan.
"Saya pamit dulu, Pak Jevan," ujarnya dengan sopan. "Saya senang lihat sikap Bapak yang memberikan otoritas penuh ke Bu Selia terkait seluruh karyawan di Baven Group. Saya harap, akan ada saatnya Baven Technology juga diberi otoritas penuh atas karyawan kami sendiri, supaya kelak saya enggak perlu capek-capek ke atas sini lagi, bukan begitu, Pak?"
"Dasar brengsek!" maki Jevan begitu melihat Aldi sudah meninggalkan ruangannya. "Lihat, dia selalu enggak pernah sopan ke aku! Dia kira hanya karena dia yang pegang semua data coding di perusahaan ini, terus aku akan biarkan dia seenak-enaknya terus?!"
"Ehm, Jevan, dia enggak hanya sekadar pegang semua data coding perusahaan kita. Dia juga sudah kasih banyak keuntungan ke Baven Group dan disayang sama banyak pemegang saham lainnya," ujar Paskal tanpa mengerti apa yang tadi terjadi. "Ada masalah lagi antara kamu dan Aldi? Sepertinya dia tadi nyindir soal karyawan?"
"Selia pecat dua karyawannya," gumam Jevan dengan tampang masih kesal. "Ini makanya aku enggak suka dengan sistem koneksi. Gara-gara koneksi, orang enggak kompeten bisa terus dibela siapa pun yang bawa mereka."
"Kamu juga pekerjakan aku dan Selia di sini berdasarkan koneksi," ujar Paskal dengan kalem.
"Itu karena aku yang punya Baven Group! Kalau dia kan hanya---"
"Direktur Baven Technology yang sangat bahaya kalau kamu singkirkan sembarangan," potong Paskal sambil tertawa. "Aku enggak ngerti kenapa dengan kamu dan Aldi. Sejak awal, kayaknya dia langsung enggak suka sama kamu, padahal dia orang baik. Apa mungkin saat dulu masih jadi kakak kelasnya di SMA kamu pernah bully dia."
"Aku enggak ingat itu, tapi mungkin saja," jawab Jevan dengan intonasi yang kini merendah. "Sudahlah, lupakan soal laki-laki brengsek itu. Kamu sudah dapat informasi yang aku minta?"
"Ah ya, aku datang ke sini sekarang memang untuk kasih tahu kamu soal informasi itu."
"Kamu sudah tahu siapa orangnya?"
Paskal mengangguk. "Ya, kamu tahu kalau ternyata dia tetangga Selia dan pernah satu SMA juga sama kamu, Selia, dan juga Aldi?"
"Pernah satu SMA sama aku?"
"Tepatnya, dia adik kelas kamu. Dia satu tingkat sama Selia dan Aldi," ujar Paskal sambil membaca kembali data di lembaran kertas yang ada di tangannya.
"Aku punya masalah soal nama dan wajah orang. Aku enggak mudah mengingat mereka yang enggak penting bagi aku," gumam Jevan sambil mengulurkan tangannya untuk melihat lembaran data dari tangan Paskal. "Memangnya siapa nama perempuan itu?"
"Kiran Kania. Dia orang yang dulu buat kamu sampai ditahan di Polres Tangerang Selatan."
"Kamu bilang ... Selia yang pecat aku?"
Kiran yang malam itu menerima telepon dari Aldi langsung kaget setengah mati ketika pria itu memberitahunya siapa orang yang sudah memecatnya. Setelah mendapat kabar pemecatan dirinya dan pulang dari kantornya pagi tadi, seharian itu Kiran hanya terus menangis di kamarnya.
Saking takutnya orang-orang akan bertanya soal kantornya lagi, ia bahkan tidak berani keluar dari rumahnya sendiri karena khawatir akan bertemu dengan para tetanggannya yang luar biasa kepo. Bahkan meski ibunya sudah pulang ke rumah dan bertemu dengannya tadi, ia belum membicarakan kabar pemecatan tersebut pada sang ibu.
Karena itulah, ia kini terpaksa berbicara dengan Aldi di area pekarangan rumahnya agar ibunya yang sedang menonton TV di ruang tengah, tidak mendengar suaranya. Ia bahkan masih mampu menekan intonasi suaranya dengan berbisik-bisik pada Aldi, meski sebenarnya ia sangat terkejut ketika mendengar Aldi mengatakan padanya bahwa Selialah yang sudah memecatnya.
"Dia bilang, dia 'ngerti kalau aku masih anak baru, terus kenapa sekarang dia malah pecat aku?" gumamnya dengan mata yang kembali berkaca-kaca. "Masa hanya karena enggak sengaja masuk ke toilet laki-laki, Selia sampai tega lakukan ini ke aku?"
"Maaf, Kiran, aku juga belum tahu alasan Selia yang sebenarnya," jawab Aldi dari seberang telepon. "Tadi aku sudah ke ruangannya, tapi karena dia lagi kedatangan tamu, kami belum sempat bicara soal ini. Aku juga sudah coba bicara sama Jevan karena Selia kirim perintah pemecatan itu pakai email Jevan. Sayangnya, Jevan juga lepas tangan."
"Kenapa dengan mereka semua?" tanya Kiran dengan air mata yang mulai menetes. "Aku sudah minta maaf ke Selia dan aku juga masih sangat baru di sana. Masa mereka tega lakukan ini ke karyawan baru tanpa kasih kesempatan sama sekali bagi aku untuk berbenah?"
"Aku sebenarnya enggak mau kasih tahu kamu soal ini karena khawatir kamu akan kembali kesal ke Selia seperti dulu," ujar pria itu lagi. "Tapi, hanya dengan cara ini kamu bisa paham kenapa Selia nanti enggak akan bisa bantu aku soal kasus pemecatan kamu."
"Itu karena dia justru sumber masalahnya," ujar Kiran dengan nada pilu. "Jadi, aku benar-benar resmi dipecat? Enggak ada lagi harapan bagi aku untuk kembali kerja di sana?"
"Aku tetap akan cari cara untuk pertahankan kamu sesuai janji aku," kata Aldi dengan sungguh-sungguh. "Tapi, mungkin aku akan butuh waktu sedikit lebih lama dari janji aku karena aku belum sempat ketemu dengan Selia, dan besok aku harus hadiri tiga rapat di luar."
"Kenapa Selia enggak berubah juga?" desis Kiran dengan penuh rasa kesal. "BIsa-bisanya dia senyum ke aku dan seakan-akan enggak permasalahkan soal aku di toilet kemarin, tapi tahu-tahu pecat aku dari belakang? Dasar pengecut! Dulu juga gitu, dia juga diam soal penjualan kunci jawaban ujian sampai akhirnya mama aku dipecat dari pekerjaannya."
Mendengar itu, Aldi mendadak terdiam. Rasa bersalahnya pada Kiran kini semakin bertambah karena diingatkan kembali pada kasus lama yang dulu juga melibatkannya.
"Kiran, soal dulu itu---"
"Sudahlah," potong Kiran dengan cepat. "Aku bukan bermaksud untuk ingatkan kamu soal itu. Hanya saja, Selia buat aku benar-benar kesal. Aku enggak tahu kenapa dia masih sama munafiknya dengan dulu."
Karena Aldi kembali terdiam dan tidak lagi menjawabnya, Kiran mendadak jadi serba salah sendiri.
"Aku harus mandi dulu. Aku bicara sama kamu lagi ... besok?" ucap Kiran untuk kabur dari situasi canggung mereka.
"Ya, aku akan bicara sama kamu lagi besok. Bagaimanapun, aku akan tetap berjuang untuk pertahankan kamu, meski mungkin waktunya aja yang agak lebih lama dari perkiraan aku sebelumnya."
"Aldi, makasih udah bantu aku," gumam Kiran sambil berusaha menyembunyikan nada pesimis di suaranya.
Begitu menutup teleponnya, gadis itu langsung menatap ke arah langit malam yang kelam dari pekarangan rumahnya dengan lesu. Setengah bagian dirinya masih ingin terus memaki Selia dalam hati, tetapi setengah sisanya tak berhenti menyalahkan dirinya sendiri, karena mengira kalau penyebab pemecatan dirinya adalah kasus salah masuk ke toilet pria.
Baru sekitar lima belas menit setelahnya, gadis itu mulai merasa lelah karena mengutuk dirinya sendiri. Meski lemas, ia memaksakan dirinya untuk beranjak dari tempatnya duduk dan langsung berjalan ke arah dalam rumahnya.
Namun, belum sempat ia memasuki pintu rumahnya lagi, ia mendadak mendengar suara-suara misterius dari arah pagar depan rumahnya. Ada seseorang di sana yang sepertinya tengah berusaha untuk membuka pagar rumahnya dari arah luar.
Yakin bahwa orang tersebut adalah salah satu tetangganya yang terbiasa masuk tanpa permisi untuk bertemu dengan ibunya, Kiran pun melangkah ke sana. Tidak pernah terpikir olehnya saat itu, kalau harinya akan berakhir lebih buruk dan mengejutkan baginya dari hanya sekadar dipecat Selia.
Ia masih melangkah ringan ke arah depan, sampai akhirnya ia bisa melihat lebih jelas ke arah pagar rumahnya sendiri. Namun, hanya beberapa detik setelah mengamati sosok seseorang yang perlahan masuk ke dalam pagarnya, gadis itu langsung terjungkal kaget.
Jevan Baven, pria yang selama ini sangat dihindarinya, kini berdiri di sana dengan wajah datarnya seperti biasa. Yang berbeda hanya ... kali ini, pria itu menatap langsung ke dalam mata Kiran yang juga tengah memandanginya dengan wajah bengong.