"Mereka yang selamat dari sebuah tragedi terkejam, pada dasarnya sudah mati."
~ Rouzel Soeb ~
Gedung Mahkamah Agung, Medan Merdeka Utara, Jakarta, 15 Februari 2016, pukul 08.30 WIB
Lantunan lagu "Kicir-kicir" asal tanah Betawi mengalun merdu dari sebuah ponsel yang terletak di atas sebuah meja panjang kayu berwarna cokelat. Dua orang pria yang duduk di belakang meja tersebut tampak fasih menyenandungkannya, sambil sesekali sama-sama tertawa bersama karena nada fals yang mereka buat sendiri.
Togi Johanes Purba -- pria asal Sumatera Utara yang berusia genap 30 tahun -- pagi itu terlihat luar biasa semringah. Ia sudah mencukur rambutnya dengan rapi, memakai setelan jas dan sepatu terbaiknya, serta memakai satu-satunya jam tangan cukup mahal yang pernah mampu untuk dibelinya.
Jari-jari tangannya bergerak lincah di atas meja untuk mengikuti irama musik riang yang tengah dinyanyikannya -- dan bola matanya sesekali melirik ke arah pria tua di sebelahnya dengan tatapan yang mengejek.
Tidak ada rasa takut dalam dirinya hari itu, tidak pula rasa gentar. Satu-satunya yang tengah memenuhi dirinya sampai membuatnya sedemikian ceria adalah perjuangan untuk terlihat bahagia.
Ya, Togi harus terlihat optimis dan bahagia hari itu. Hanya itu dan tekadnya nanti yang dibutuhkannya untuk memutus rantai kemarahan dan kesedihan yang tidak berhenti menghantui hidupnya dari tahun ke tahun.
Itu sebabnya pagi itu ia tampil maksimal, terus tersenyum, dan tak berhenti memutar kumpulan lagu kesukaan pria tua yang duduk di sebelahnya saat itu. Ia bahkan sempat sesekali berdiri untuk menari dengan jenaka di sana hanya demi menghibur hati sang pria tua tersebut.
Tindakannya tentu berhasil. Berkali-kali, pria tua itu tertawa melihat apa yang Togi lakukan meski itu juga membuatnya terlihat sedikit malu dengan pandangan beberapa orang di sekitar mereka.
"Tunggu sebentar, Om,” ucap Togi ketika bunyi lagu di ponselnya tadi mendadak berganti dengan nada dering telepon yang masuk.
Togi lalu melirik ke arah nama pemanggil di layar ponselnya selama beberapa detik, sebelum kemudian ia berdiri dari kursinya lagi dan mulai berjalan sedikit menjauh dari sana untuk mengangkatnya. Hanya dalam beberapa detik setelah terlibat dalam pembicaraan serius dengan seseorang di seberang teleponnya, dahi pria itu langsung mengerut.
Beberapa kali, ia terdengar bertanya dengan nada keras dan mengatakan sesuatu yang terdengar seperti ungkapan protesnya akan beberapa hal. Namun di ujung pembicaraannya, ia menarik napasnya dalam-dalam dan kemudian berjalan kembali ke arah kursinya semula.
"Maaf, Om Warih, itu tadi dari kantor aku," ucapnya pada pria tua di sebelahnya yang ternyata bernama Warih, tanpa ditanya. "Mereka orang-orang pemalas yang harus sampai menelepon aku di sini, hanya untuk bertanya di mana letak folder dokumen tertentu kami."
"Kamu ternyata benar-benar sudah jadi orang sekarang dan sangat sibuk," komentar Warih dengan suara yang serak dan senyum yang terkulum. Garis kerut di sudut mata pria berambut kelabu itu tampak nyata saat ia melemparkan senyum bangganya pada Togi yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri.
"Enggak juga, Om. Aku hanya kebetulan lagi ditelepon soal kerjaan saja," kilah Togi sambil mengeluarkan kotak kacamata dari dalam tasnya dan langsung memakainya di wajahnya.
"Jangan terlalu capek bekerja, sesekali kamu harus menikmati hidup dan menyegarkan pikiran kamu," nasihat Warih pada Togi, sambil menepuk-nepuk pelan pundak pria muda itu. "Kamu selama ini sudah cukup makan dan beristirahat, kan?"
Togi yang bertubuh gempal langsung bergerak mundur dari pinggiran meja -- dan langsung menatap ke arah Warih dengan wajah pongah. "Oh, jelas dong, Om! Kalau enggak cukup makan dan istirahat, aku enggak akan sebesar ini sekarang!"
Warih langsung tergelak melihat sikap Togi, sampai ia kemudian terbatuk-batuk sendiri di kursinya. Dengan tenang, pria tua itu lalu mengambil botol air mineral di depannya, sebelum kemudian menuangkannya ke sebuah gelas kosong yang disediakan baginya di meja itu.
"Sekarang, om merasa tenang karena sudah benar-benar melihat kesiapan kamu," ujar Warih setelah meneguk air minumnya. "Hanya karena kamu, om bisa memberanikan diri untuk menghadapi ini lagi. Pengalaman sidang kamu yang panjang juga pasti akan membantu kita nanti."
Togi seketika terdiam. Pria itu kini menundukkan kepalanya ke arah meja untuk menghindari tatapan hangat Warih padanya.
Ada satu kebohongan yang tidak pernah Togi ceritakan secara jujur pada pria di sampingnya. Ketika mendatangi Warih satu tahun yang lalu, ia mengaku-ngaku sudah sukses dan memiliki segudang pengalaman sidang yang cemerlang untuk bisa membantu kasus hukum pria tua tersebut.
Pada kenyataannya selama tiga tahun terakhir ini, ia hanya berkarir di kantor pengacara kelas bawah Jakarta -- dan jarang terpilih mewakili kantornya untuk maju ke persidangan. Satu-satunya sidang yang pernah ia jalani bersama kliennya sebagai seorang penasihat hukum, berakhir dengan kekalahan yang membuatnya cukup trauma.
Hanya satu hal yang membuatnya kemudian nekat untuk bangkit dan maju secara mandiri sebagai pengacara yang memang seharusnya berani bertempur di meja hijau. Itu semua ... berkat sosok seorang Warih yang sangat dikenalnya.
Pria itu sudah mengenal Warih bahkan sejak ia masih sangat kecil dulu. Ia tahu benar bagaimana Warih -- dan apa yang dulu pernah terjadi padanya. Karena itulah ia kini tergerak untuk membantu pria malang itu berjuang atas nama hukum yang pernah memunggunginya.
Entah untuk sekadar membuat segalanya berjalan mulus -- atau untuk membuat Warih menganggapnya sesukses yang pria tua itu dulu harapkan darinya -- Togi telanjur berbohong mengenai karir sidangnya selama ini ke Warih. Ia tahu kalau dirinya sudah terlalu berlebihan, tetapi untuk mengakui kesalahan dari mulut besarnya tersebut, Togi merasa sangat berat.
Pria itu tidak sampai hati untuk membuat Warih yang telanjur bangga padanya, kemudian akan memandangnya dengan penuh kekecewaan atau rasa iba. Karena itulah ucapan Warih padanya barusan, membuat Togi mendadak merasa luar biasa malu dan sangat merasa bersalah.
"Kamu akan menjadi pengacara yang besar nanti," ucap Warih lagi, kali ini sambil memandang ke arah Togi dengan tatapan yang hangat. "Kamu tahu kenapa? Karena kamu anak yang pintar dan punya tekad."
Togi lalu mendongak lagi ke arah pria tua itu. "Pengacara hanyalah label dalam aktivitas pencarian nafkah. Yang aku mau sebenarnya menjadi orang baik seperti Om. Dulu sebenarnya Om hanya seorang petugas parkir liar jalanan, tapi ... Om selalu mampu untuk bersikap baik pada banyak orang. Om lebih kaya dibanding mereka yang memiliki uang tak berseri."
"Kamu itu anak yang baik," respons Warih atas ucapan Togi sambil tersenyum. "Kamu hanya belum tahu saja tentang itu."
Pria tua itu baru saja akan mengelus punggung Togi untuk lebih menyemangatinya, tetapi mendadak ia terhenti karena mendengar suara riuh orang-orang, membahana dari sisi bagian kiri mereka.
Segerombolan wartawan kini tampak memasuki ruangan tersebut dari arah pintu utama -- dan langsung terlihat seperti berebut untuk mulai mencari posisi yang terbaik bagi mereka untuk bekerja.
Hanya beberapa saat setelahnya, seorang panitera pengadilan yang bertubuh kurus kecil mendadak berdiri untuk membuat pengumuman dari depan.
"Dengan hormat, izinkan saya untuk mengumumkan bahwa sidang pengadilan akan segera dimulai. Hadirin diharapkan berdiri karena majelis hakim akan segera memasuki ruangan ini," ucap sang panitera melalui mikrofonnya.
Togi dan hampir semua orang di dalam ruangan itu seketika mengangkat tubuh mereka dari kursi masing-masing -- dan kini memandang ke arah pintu di balik meja hakim yang sudah mulai terbuka. Tiga orang pria paruh baya yang berjubah hitam, perlahan tampak memasuki ruang sidang dan langsung menempati kursi duduk mereka masing-masing.
"Wah, rupanya cukup banyak wartawan yang hadir di sidang kali ini," ucap ketua majelis hakim -- Soetardjo -- dengan nada setengah bercanda ketika sudah duduk di kursinya dan menyalakan mikrofonnya. "Semoga semuanya berjalan baik-baik saja, ya, hari ini."
Pria itu dan kedua rekannya tampak tertawa kecil selama beberapa detik sambil mengedarkan pandangan mereka ke sekeliling ruang sidang, sebelum kemudian mengubah raut wajah mereka lagi untuk bersikap lebih serius.
"Selamat pagi! Dengan izin, kami akan memulai *sidang PK atau peninjauan kembali atas perkara pelecehan seksual, penganiayaan berat, dan pembunuhan terhadap Kemala Fatimah di Jakarta pada tahun 1998 yang silam. Karena kondisi kesehatan pemohon PK yang kurang baik, maka kami akan berusaha untuk menggunakan waktu kami dengan seefisien mungkin dalam sidang ini. Apa semua pihak yang berkaitan dengan sidang ini sudah hadir?"
Hakim Soetardjo lalu melirik ke arah kiri dan kanannya, sebelum kembali membaca lembar dokumen di depannya lagi.
"Karena pihak pemohon dan penasihat hukumnya sudah melengkapi syarat administratif dan menyediakan *novum untuk sidang PK kali ini, maka dengan ini, kami membuka sidang nomor 109 PK --- garis miring PID --- garis miring 2016, dengan pemohon PK bernama Warih."
"Sebelum pemohon atau penasihat hukum pemohon kami panggil ke depan untuk membacakan permohonan PK mereka," lanjutnya, "mari kita semua yang di sini mengucapkan doa sesuai agama yang kita anut masing-masing ... agar sidang ini dapat berjalan dengan lancar, jujur, dan adil. Berdoa dimulai!"
Setelah doa selesai, Hakim Soetardjo lalu menoleh ke arah meja pihak Warih di sebelah kirinya. "Apa pihak pemohon atau penasihat hukum pemohon yang akan maju untuk membacakan permohonan PK di sidang ini?"
"Saya, Yang Mulia," jawab Togi dengan cepat sambil berdiri dari kursinya.
"Baik, kalau begitu silakan langsung dimulai," ucap sang hakim sambil menjulurkan tangannya ke arah depan.
Togi menarik napasnya dalam-dalam, sebelum kemudian melangkah ke depan untuk membacakan satu bundel dokumen permohonan PK pihaknya di hadapan para majelis hakim. Butuh waktu sekitar setengah jam bagi pria itu untuk membacakan permohonan PK mereka yang panjang tersebut.
Tentunya setelah itu, giliran pihak Jaksa Penuntut Umum atau JPU yang dipersilakan untuk memberikan tanggapan mereka atas permohonan PK dari pihak Warih. Baru sekitar jam sebelas lebih, majelis hakim akhirnya memanggil Warih untuk maju.
Dua orang petugas keamanan di belakang Warih dan Togi kemudian berjalan ke arah Warih. Keduanya sempat mengucapkan sesuatu ke arah Togi lebih dulu dengan nada berbisik, sebelum kemudian langsung membawa Warih -- yang ternyata duduk di atas sebuah kursi roda -- untuk segera menuju ke bagian tengah ruang sidang.
"Apa Pemohon dalam kondisi kesehatan yang cukup kuat untuk menjalani sidang ini?" tanya Hakim Soetardjo dengan pandangan prihatin ketika melihat sosok tua Warih yang bertubuh kurus dan lemah, kini duduk di hadapan mereka.
Warih hanya tersenyum simpul dari atas kursi rodanya. "Baik, Yang Mulia."
"Oke ... kalau begitu, penasihat hukum Anda memang sudah menjabarkan ini tadi, tapi izinkan kami bertanya kembali, hal yang pastinya membuat banyak orang di Indonesia saat ini ingin tahu."
"Setelah menjalani 18 tahun masa hukuman dari vonis penjara seumur hidup terhadap Anda," lanjutnya, "apa yang membuat Anda mendadak mengajukan peninjauan kembali atas kasus Anda, padahal Anda tidak sekali pun pernah mengajukan banding sebelumnya?"
Warih lalu terbatuk dan langsung merapatkan jaket lusuh yang menutupi seragam tahanan di tubuhnya.
"Yang Mulia," ujarnya dengan tenang, "sebelumnya ... saya enggak cukup peduli dengan apa pun hukuman yang dijatuhkan ke saya. Kematian anak saya sudah membuat saya sedemikian hancur dan enggak berhenti untuk terus menyalahkan diri saya. Jadi, selama ini saya memilih diam dan menjalani putusan vonis dari pengadilan sebelumnya."
"Namun sebelum ujung usia saya" lanjut Warih, "saya ingin membersihkan nama saya. Saya mau ketika bertemu dengan anak saya nanti, saya bisa kembali menjadi ayah yang dibanggakan olehnya. Karena itu, sekarang saya mau maju dan berjuang untuk diri saya sendiri."
Seluruh hadirin sidang dan para hakim mendadak terdiam. Suasana kelabu secara tiba-tiba memenuhi ruangan tersebut dan membuat semua orang kini memandang dengan iba ke arah Warih.
"Kalau begitu, Pak Warih ... maksud saya, Pemohon ...," ucap Hakim Soetardjo, "setelah mendengar tanggapan dari pihak JPU tadi, apa Anda akan tetap dengan pernyataan Anda sebelumnya bahwa Anda enggak bersalah dalam kasus ini?"
"Sejak awal, saya enggak pernah bersalah dalam kasus ini. Saya enggak pernah melakukan hal terkutuk seperti melecehkan putri saya sendiri yang masih berusia sebelas tahun -- dan memperlakukannya bak binatang," jawab Warih dengan tatapan mata yang tampak sangat terluka ketika harus mengucapkannya.
Pria itu kemudian mengambil jeda untuk bernapas, setelah sempat terdiam sesaat dengan pandangan yang mengawang jauh.
"Terakhir saya melihatnya adalah di tanggal 13 Mei 1998. Kami sempat makan siang bersama hari itu, sambung Warih. "Sayangnya ... saya enggak pernah melihat putri saya lagi setelah itu, sampai empat hari kemudian jasad anak saya itu ditemukan di area Kali Angke."
Hakim Soetardjo memandang ke arah pria itu dengan tatapan prihatin. "Untuk kepentingan peninjauan kembali kasus Anda ini ... apa Anda bisa menceritakan ulang dengan lebih lengkap, apa yang sebenarnya terjadi pada Anda dan putri Anda pada tanggal 13 Mei 1998 itu?"
Warih lalu menunduk untuk meremas jari-jari tangannya sendiri -- seolah-olah ia tengah berusaha untuk membangun kembali keberaniannya dalam menceritakan tragedi terburuk yang pernah terjadi dalam hidupnya tersebut. Setelah melakukan itu, pria itu pun kemudian memandang ke arah deret hakim di depannya dengan tatapan yang kelam ke arah masa lalunya.
AUTHOR’S NOTES:
Kasian pak Warih, udah kehilangan anak malah dipenjara.