"Gerbang neraka yang terbuka di depan matamu, hanyalah mimpi buruk yang tidak seharusnya pernah menjadi nyata bagimu."
~ Rouzel Soeb ~
Gang Buntek, Bandengan, Jakarta Barat, 13 Mei 1998, pukul 11.30 WIB
Suara derap langkah beberapa orang terdengar dari area luar rumah Kemala Fatimah atau Mala -- gadis cilik yang berusia sebelas tahun dan masih duduk di bangku kelas enam SD. Mala yang hari itu diliburkan dari sekolahnya, kini berjalan ke arah pintu depan rumahnya untuk mengintip melalui tirai jendelanya.
"Itu si Marwan udeh ketemu belum, sih?!"
Suara seorang ibu-ibu yang bertanya dari arah luar, terdengar di telinga Mala. Sejak pagi, wilayah mereka memang diramaikan dengan informasi terkait anak salah satu tetangga gang sebelah mereka yang belum juga pulang dari kampusnya, pasca bentrok antara mahasiswa dan polisi terjadi di area Universitas Trisakti, Grogol, sehari sebelumnya.
"Ye belum, Nyak!” jawab seseorang yang lain dari luar dengan dialek Betawi yang sama kentalnya. "Pan katenye orang-orang di sono kemaren pade bepencar. Mungkin si Marwan masih kagak bise pulang juga ampe sekarang. Lagian die pan bukan anak Trisakti, kagak mungkin dah die juga kena!"
"Lah, die pan demen tuh nongkrong di Trisakti cari cewek-cewek cakep. Yakin kagak tuh babe ame enyaknye, si Marwan kagak ke sono kemaren?"
"Kagak ngarti dah gua, Nyak!" jawab suara kedua lagi dengan nada menyerah. "Gua mah sekarang lagi mo cepet-cepet nyari anak-anak, Nyak! Katenye toko-toko pade dijarahin di mane-mane. Lumayan pan kalau dapat beras sekarung mah! Ape-ape sekarang lagi pade mahal, Nyak!"
"Eh, elu kate barang punya enyak babe elu! Lu jangan ikutan dah gitu-gituan! Ntar lu ame anak orang kenape-nape, enyak babe elu lagi yang stres!"
Tidak ada lagi suara jawaban dari orang kedua yang terdengar, selain suara tawanya yang semakin menjauh. Mala lalu menarik napasnya dalam-dalam setelah mencuri dengar semua itu dari balik tirainya, sebelum kemudian ia berjalan ke arah meja ruang depan rumahnya yang sempit untuk kembali melanjutkan belajarnya menjelang ujian tahap akhir sekolah yang akan diikutinya sebentar lagi.
“Mal? Mala …?”
Suara ibu-ibu yang tadi terlibat pembicaraan di depan rumahnya, kini kembali terdengar di telinga Mala. Gadis kecil itu lalu melongok ke arah pintu -- dan beberapa detik setelahnya, ia segera mengangkat tubuhnya dari lantai untuk berjalan ke arah depan dan membuka pintunya.
"Mal, babe elu masih sakit juga?" tanya Enyak Juri -- tetangga yang tinggal persis di sebelah rumah Mala tersebut -- dari depan pintu mereka.
"Masih, Nyak," jawab Mala sambil menatap ke wajah Enyak Juri yang tampak prihatin.
"Elu udeh dapet lauk belum nih hari?" tanyanya lagi dengan pandangan yang melongok ke arah dalam rumah Mala. "Babe lu pan udeh empat hari kagak kerja karena sakit. Terakhir gua denger, die udeh hampir kagak punya beras. Gua takut elu ama babe lu kenape-nape kalo lu pade makan nasi ama garam mulu tiap hari!"
"Kemarin pagi ayah sempat beli beras dua liter, kok, Nyak," jawab Mala sambil tersenyum. "Tadi juga Mala sempat mau beli sayur buat ayah, tapi warung sayur di mana-mana tutup."
"Ya iye, Mal! Orang-orang pade takut buka warung hari gini. Rusuh banget dah tuh di mana-mana!"
Enyak Juri lalu menyodorkan sebuah plastik kresek hitam berukuran kecil dari tangannya ke arah tangan Mala. "Gua juga lagi susah, tapi ada sisa tempe ama bayam yang kemaren gua beli kelebihan. Lu pake dah tuh buat masak. Kasih ame babe lu yang sakit buat makan siangnye ntar, ye?!"
"Loh, orang-orang rumah Enyak Juri nanti gimana?" tanya Mala dengan sungkan.
Enyak Juri langsung melambaikan tangannya ke arah Mala sambil berjalan pergi. "Halah, gua mah masih piara ayam ame pohon singkong di gang belakang. Lu urus aje dah tuh babe lu. Kesian kalo die kenape-nape lagi sakit."
"Ma--makasih, Nyak!" seru Mala dengan cepat, sebelum punggung Enyak Juri menghilang dari pandangannya.
Meski cukup cerewet dan terbilang sering kelewat penasaran dengan hidup para tetangganya, Mala menganggap Enyak Juri dan seluruh keluarganya sangat baik hati. Dalam kondisi krisis moneter yang membuat hampir semua lapisan masyarakat di Indonesia kesulitan, wanita tersebut masih sering berbagi dengan yang lainnya meski dirinya sendiri juga susah.
Mungkin karena Warih -- ayah Mala -- selama ini juga sering berbagi ke yang lain ketika mendapatkan rezeki lebih, Enyak Juri jadi lebih perhatian ke keluarga Mala. Acapkali, ia memberikan bantuan lauk atau berbagi beras dengan Warih -- dan begitu juga dengan sebaliknya.
Ya, sistem berbagi di saat susah masih ada di lapisan kalangan terbawah. Di dunia yang berkembang secara egosentris, orang-orang kecil yang mampu berempati dengan situasi sulit orang lainnya, justru jarang terlihat ragu untuk berbagi miliknya yang juga pas-pasan.
Ayah Mala -- Warih -- hanyalah seorang petugas parkir liar di jalanan. Setelah kematian istrinya, Warih dan Mala hanya hidup berdua dan menggantungkan nasib mereka pada nafkah sehari-hari pria itu sebagai juru parkir. Jadi apa yang didapat Warih setiap harinya, pada dasarnya hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka secara sederhana.
Oleh sebab itu ketika sang ayah berhari-hari tidak mampu untuk bekerja karena sakit, sudah pasti mereka akan mengalami kesulitan membeli sekadar lauk atau satu ikat sayur untuk makan, apalagi ... beras yang harganya tengah melambung. Meskipun begitu dalam kondisi susah mereka, selalu saja ada rezeki yang menghampiri ayahnya -- sekecil apa pun itu.
Bahkan hari itu di saat yang tersedia di rumah mereka hanya tersisa sedikit beras dan satu bungkus kecil kerupuk, Enyak Juri -- tetangga mereka -- mendadak muncul di depan rumah Mala untuk memberikan lauk baginya dan sang ayah.
Mala tidak mengerti bagaimana ayahnya bisa bertahan sejauh itu dengan pendapatannya selama ini yang sangat kecil dari hasil parkir. Mala bahkan juga tidak mengerti bagaimana dalam kondisi hidup mereka yang susah, ayahnya tetap sanggup untuk membiayai semua keperluan dan iuran bulanan sekolah Mala. Namun satu yang Mala tahu, ayahnya selama ini bekerja sangat gigih untuk diri Mala.
"Yah ...? Ayah?"
Mala kini mengetuk pintu kamar Warih yang berbahan tripleks -- dan berdiam di depan pintunya untuk mendengar suara sang ayah. Begitu ia berhasil mendengar suara gumaman tidak jelas dari dalam kamar tersebut, Mala pun kemudian membuka pintu di depannya dan menatap ke arah ayahnya yang masih tampak berbaring lemas dengan wajah yang pucat.
"Ayah masih kesakitan?" tanya Mala dengan raut khawatir.
Warih tidak langsung menjawab pertanyaan sang anak. Pria itu dengan perlahan bangkit dari tempat tidurnya -- dan kini duduk di pinggiran ranjang kumuhnya sambil lebih dulu mencoba menarik napasnya dengan benar.
"Ada kiriman tempe sama bayam tadi dari Enyak Juri," ujar gadis cilik itu lagi. "Ayah sudah mau makan siang, enggak? Kalau mau, biar Mala sekarang siapin makanan buat Ayah."
Warih lalu mengangkat tubuhnya dari pinggir tempat tidurnya -- dan kemudian berjalan tertatih-tatih ke arah putrinya itu.
"Biar ayah saja yang masak," jawab ayahnya dengan suara yang terdengar parau. "Kamu lagi belajar, kan?"
Mala mengangguk. "Kalau hanya merebus bayam dan menggoreng tempe saja, Mala juga bisa, kok, Yah!"
"Kamu belum boleh main-main dengan pisau dan api," jawab ayahnya dengan singkat, sambil meraih tongkat kecil dari dekat pintu kamarnya. "Lagi pula, kita enggak akan bisa menggoreng tempenya. Kita sudah enggak punya minyak goreng lagi."
"Loh, jadi nanti masaknya gimana, Yah? Bumbu kita kan sudah tinggal sedikit," tanya Mala lagi sambil mengikuti langkah ayahnya ke dapur.
"Kita rebus dengan bayam saja."
Mala langsung tertawa begitu mendengar ucapan ayahnya. Meskipun begitu, ia seketika terdiam lagi saat melihat ayahnya langsung merintih kesakitan ketika harus menundukkan setengah badannya untuk menyalakan sumbu kompor minyak mereka dengan korek api.
"Kaki Ayah masih sakit, ya?" tanya Mala dengan wajah yang mendadak murung.
"Enggak, ayah hanya lagi sedikit pegal-pegal saja," jawab Warih seraya mengambil kantong kresek pemberian Enyak Juri dari tangan anaknya. "Kamu pas dikasih ini tadi, sudah berterima kasih ke Enyak Juri, kan?"
Mala kembali mengangguk. Gadis kecil itu lalu bergerak cepat untuk mengambil sayur bayam dari dalam kantong kresek tadi -- dan langsung mencucinya selagi ayahnya tengah memotong tempe di dekat kompor.
"Tadidi depan ada yang bilang ke Enyak Juri kalau Bang Marwan belum juga pulang sampai sekarang," ucap Mala mendadak teringat tentang tetangganya yang hilang.
"Marwan gang sebelah?" tanya Warih tanpa menoleh. "Kemarin katanya ada kerusuhan di depan Trisakti dan ada beberapa mahasiswa yang ditembak. Semoga Marwan enggak lagi ada di sana waktu itu."
"Kalau sampai Bang Marwan kenapa-kenapa, kasihan Tante Ida, ya, Yah? Tante Ida sampai jualan rujak di pinggir jalan dari pagi sampai petang hanya buat nguliahin Bang Marwan," ucap sang anak. "Mala juga berdoa supaya Bang Marwan enggak kenapa-kenapa, tapi kayaknya ... banyak orang sini yang curiga kalau Bang Marwan juga ada di Trisakti kemarin."
Warih tersenyum mendengar ucapan berempati tinggi dari mulut putri kecilnya. "Kamu jangan sampai keluar-keluar dulu, ya, sementara ini. Situasi di luar lagi bahaya."
"Mala tahu, kok," jawab Mala dengan cepat. "Mala juga sebentar lagi ujian, jadi enggak mungkin punya waktu buat main ke mana-mana. Ayah enggak usah khawatir sama Mala."
"Bagus," puji Warih sambil mengelus kepala anaknya itu secara sekilas. Ia lalu bergerak ke arah keran dan langsung mengisi sebuah panci kosong di dekatnya dengan air jernih, sebelum kemudian meletakkan panci itu ke atas kompor yang sudah menyala.
Pria itu tahu kalau anaknya sebenarnya memang sudah terbiasa hanya berdiam di rumah dan jarang mau bepergian. Terlebih, masa-masa itu memang merupakan masa-masa krusial dalam pendidikan anaknya yang sudah akan masuk ke jenjang Sekolah Menengah Pertama. Meskipun begitu, sebagai seorang ayah, tentu saja ada sedikit sirat rasa khawatir yang terbesit di dirinya kalau sesuatu terjadi ke anaknya di tengah-tengah kondisi Jakarta yang tengah panas.
"Selain soal Bang Marwan, Mala tadi juga dengar kalau lagi ada penjarahan di mana-mana," cetus Mala lagi secara tiba-tiba, untuk memberikan informasi tambahan ke ayahnya. "Untung Ayah lagi enggak kerja beberapa hari ini. Kalau enggak, Mala takut Ayah ikut-ikutan menjarah."
"Sembarangan!" timpal Warih berpura-pura tersinggung dengan ucapan bercanda anaknya itu. "Walaupun kita susah, ayah enggak akan pernah mau mengambil apa yang bukan punya ayah. Hanya orang-orang yang memang punya jiwa asli kriminal yang akan melakukan penjarahan atas nama desakan kebutuhan hidup. Begitu juga dengan koruptor. Jangan tiru mereka kalau kamu sudah besar nanti!"
Mala tertawa. "Enggak, lah! Justru Mala rajin belajar karena kalau besar nanti, Mala mau jadi dokter untuk mengobati kakinya Ayah. Selain itu, Mala mau punya banyak uang halal supaya kelak Mala bisa kasih Ayah uang satu koper untuk beli baju-baju baru. Baju dan celana Ayah sudah banyak yang robek-robek."
"Hah? Baju Ayah enggak robek-robek, kok," ucap Warih sambil melongok ke bawah untuk memperhatikan kondisi bajunya sendiri.
"Itu karena kadang-kadang pas pulang sekolah dan Ayah masih kerja, Mala suka jahitin baju Ayah yang robek-robek. Ayah saja yang selama ini enggak tahu," jawab Mala sambil tertawa kecil.
Meskipun Mala mengatakannya dengan santai, Warih mendadak terdiam dan memperhatikan kembali kaus yang tengah dikenakannya. Pria itu baru menyadari bahwa di beberapa bagian bajunya, ternyata memang ada jahitan-jahitan samar yang terlihat berantakan dan kurang rapi
"Mala, hati-hati dengan jarum jahit," gumam Warih dengan ekspresi wajah terharu bercampur khawatir, tetapi juga diselipi rasa bangga. "Kamu ini sebenarnya belajar menjahit dari mana, sih?! Kamu masih kelas enam SD, loh! Kalau enggak berhati-hati, kamu bisa tertusuk jarumnya."
"Iya ... iya ... Mala tahu," jawab Mala sambil menarik napasnya.
Meski sudah diminta untuk kembali belajar saja, gadis kecil itu pada akhirnya tetap berada di dapur untuk membantu ayahnya memanaskan nasi dan memasak sampai selesai. Baru setengah jam kemudian keduanya bisa sama-sama menikmati makan siang sederhana mereka di kursi ruang depan rumah super mungil mereka.
"Kalau TV kita enggak lagi rusak, pasti Ayah bisa makan sambil nonton berita tentang kondisi di luar saat ini," ujar Mala sambil mengambil piring dan sendok yang disodorkan oleh ayahnya.
Mala yang sejak tadi sebenarnya memang merasa kelaparan itu, sudah tampak senang begitu akan menyantap makanannya. Namun begitu ia melihat isi piringnya, gadis kecil itu pun langsung tertegun.
"Ayah, beras kita sisa sedikit, kenapa Ayah masih juga terus memberi porsi nasi yang banyak ke piring Mala? Ini tempe dari Enyak Juri kok juga dikasih semua ke Mala? Untuk Ayah mana?" tanya gadis itu dengan bingung.
"Kamu bentar lagi mau ujian dan butuh banyak tenaga buat mikir," jawab Warih singkat, sambil menyendokkan sedikit nasi ke piringnya.
"Ayah kan lagi sakit ... yang harus makan banyak itu Ayah, bukan Mala," protes anak perempuan itu sambil memandangi piring Warih yang hanya berisi sedikit nasi dan kuah sayur bayam saja.
"Enggak apa-apa. Ayah kebetulan memang lagi enggak nafsu makan sama sekali," jawab Warih sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya secara perlahan. "Orang kesakitan mana yang bisa makan banyak? Selagi bisa mengisi perut, kondisi ayah nanti juga akan membaik dengan sendirinya, kok."
Mala terdiam sesaat. "Apa ... sekarang Ayah masih merasa sakit?"
Gadis cilik itu teringat kalau malam tadi ayahnya terdengar terus merintih kesakitan dan baru bisa tertidur lelap menjelang pagi.
"Sedikit," jawab Warih pada anaknya dengan jujur, "tapi ... sekarang ayah sudah enggak apa-apa, kok."
"Obat Ayah yang dari puskesmas kemarin masih ada, kan?"
"Masih," jawab Warih berbohong. Pada kenyataannya, obat Warih sudah habis sejak kemarin siang. "Kamu tenang saja dan tetap fokus belajar. Jangan pikirkan Ayah. Ini kan sudah biasa terjadi, nanti juga kondisi Ayah akan membaik dengan sendirinya."
Baru saja Warih selesai mengucapkan itu, mendadak ia dan anaknya mendengar suara ramai-ramai dari arah luar. Beberapa orang pemuda nakal di daerah mereka, terdengar sedang berjalan di gang depan rumah Warih sambil membahas satu dua barang hasil jarahan mereka dengan penuh rasa bangga.
Warih yang mengintip mereka dari dalam rumahnya, kini menghembuskan napasnya dengan raut wajah yang tampak kesal.
“They mastered the art of stealing before acquiring the skills to earn a living,” Warih muttered in a hushed tone. “At this rate, the streets will turn into a haven for criminals. Remember, Mala, don’t step out without my permission. I don’t want you mingling with people like that at all.”
"Iya, Ayah, Mala tahu. Mala juga dari tadi enggak buka-buka pintu kok selain untuk menerima tempe dari Tante Juri."
"Bagus," jawab Warih sambil kembali memaksakan dirinya untuk menelan makanannya lagi. "Kalau aksi kriminal saja sudah dibanggakan secara terbuka seperti tadi, besar kemungkinan mereka akan segera berkompetisi menjadi yang paling jahat."
Pukul 18.00 WIB
Suara azan Magrib yang baru berkumandang dan suara-suara ramai dari luar, mendadak membangunkan Warih di tempat tidurnya. Pria itu kini membuka matanya dalam kondisi ruangan yang rupanya sudah gelap -- dan dengan badan sendiri yang ternyata sudah basah oleh keringat. Kepalanya entah bagaimana terasa lebih berat dari pagi tadi -- dan napasnya terdengar berirama lebih pendek dari biasanya.
Warih mengerang perlahan ketika langsung merasakan nyeri di pahanya saat ia mencoba untuk bergerak dari posisinya. Namun saat memandang lebih jelas ke arah pintu kamarnya, pria itu seketika terdiam dengan ekspresi wajah yang tertegun. Entah bagaimana, pintu kamarnya saat itu ternyata sudah sedikit terbuka -- dan ia tidak melihat adanya cahaya lampu sedikit pun dari arah luar kamarnya.
Apa Mala ketiduran?
Pria itu bertanya dalam hatinya dengan raut heran. Ia lalu mencoba untuk memanggil sang putri dari dalam kamarnya. Namun karena tidak juga mendengar adanya sahutan dari anaknya itu, Warih pun langsung memaksakan dirinya untuk bergerak ke arah pinggir tempat tidurnya.
"Mala ...?" panggilnya lagi dengan lebih keras, sambil mencoba untuk melangkah turun dari tempat tidurnya. "Mala, kamu ... tidur?"
Masih tidak ada suara jawaban apa pun dari luar. Karena itu, Warih kini meraih tongkatnya dan segera berjalan ke arah kamar Mala sambil menahan perih di kakinya.
Ia menduga bahwa saat membuka pintu kamar anaknya itu, ia akan menemukan sang anak sedang tertidur di sana dengan berbagai buku yang mengelilinginya seperti biasa. Sayangnya, Mala ternyata tidak ada di kamarnya.
Pria itu lalu memutar langkahnya untuk berjalan ke arah ruang depan, dapur, dan kamar mandinya. Namun, ia tidak menemukan anaknya di mana pun.
Rasa cemas seketika muncul di dalam diri Warih. Pria itu memandangi seluruh buku Mala yang masih berserakan di meja ruang depan, sambil mencoba untuk tetap berpikir positif. Ia memang berhasil sedikit lebih tenang setelahnya, sampai mendadak ia mendengar suara dentuman keras menggema dari arah kejauhan.
Karena melihat anaknya juga tidak sedang ada di dalam rumah mereka, mau tidak mau, pria itu pun segera membuka pintu depan rumahnya dan langsung melihat ke luar.
Warih baru saja akan bergerak ke arah rumah tetangganya -- Enyak Juri -- untuk menanyakan anaknya. Namun pucuk di cinta ulam tiba, sang tetangga ternyata juga tengah membuka pintu depan rumahnya dengan kondisi tubuh yang masih mengenakan mukena.
"Ape tuh?!" teriak Enyak Juri sambil melongok ke arah ujung gang mereka. "Gua lagi salat denger suara begituan ampe kaget!"
Warih tidak ikut bereaksi terkait suara dentuman tadi. Ia kini malah berjalan mendekat ke arah Mpok Juri dengan wajahnya yang masih pucat pasi.
"Enyak, ngelihat Mala, enggak?"
Enyak Juri yang baru menyadari kehadiran Warih di depan rumahnya sendiri, langsung menoleh dan mengerutkan dahinya.
"Mala? Kagak ...," jawabnya, masih dengan wajah yang tampak tidak fokus. "Emangnye si Mala kagak ade di rumah elu?"
"Enggak, Nyak. Saya tadi pas bangun, tahu-tahu rumah saya sudah gelap dan kosong. Pas saya cek ke kamar Mala, dia tahunya sudah enggak ada."
"Hah? Serius lu?" tanya Enyak Juri dengan wajah yang terlihat kaget. "Mala perasaan gua diem mulu dah di rumah elu. Kagak pernah gua liat die kelayepan kek anak gua noh si Epi."
"Apa Mala lagi ke warung Nyai Imas di belakang?" gumam Warih, seolah-olah ia tengah bertanya ke dirinya sendiri meski yakin kalau anaknya itu tidak memiliki cukup uang untuk membeli sesuatu.
"Warung mane yang buka hari begini mah, Rih ... Rihh," timpal Enyak Juri dengan cepat. "Mala juga gua rasa tahu kagak ade warung yang buka dari pagi. Palingan, die lagi mo ngintip bentaran ntu rame-rame di Jembatan Tiga."
"Mala biasanya enggak begini," gumam Warih lagi dengan nada ragu. "Kalau sudah dilarang keluar sama saya, dia enggak bakal keluar kok, Nyak. Lagi pula, Mala juga sedang belajar dan tadi sudah janji ke saya enggak bakal ke mana-mana."
"Segimanenye Mala keluar mah ... kalau die masih di sini-sini aje ... elu kagak perlu khawatir, Rih! Orang-orang sini mah pade kenal elu ame anak gadis elu. Mending elu tidur lagi dah di dalam nungguin si Mala. Muke elu udeh pucet kek hantu, gua ngeri elu ntar semaput lagi! Rumah sakit lagi pade penuh, Rih!"
"Iya, mungkin Mala hanya lagi main-main di sekitar sini karena mendadak bosan. Semoga begitu."
"Nah, gitu! Katenye orang bule mah ... 'positip thinking' dulu, Rih! Kagak mungkin juga si Mala berani kelayepan ampe jauh-jauh. Ntu anak udeh persis kek katak dalam tempurung." "Lagian katenye orang-orang, lagi ade ngeri-ngeri di luar sono. Gosipnya mah, ntu anak-anak gadis ampe emak-emak Cina lagi pade dicari-cari trus dip*rkosain di jalan-jalan, tapi tahu dah gua ... ntu inpo beneran ape kagak!"
"Hah ...?!" Wajah Warih mendadak berubah total.
"Lah, elu kagak tahu? Kerusuhan kemarenan ntu ... nih hari udeh ke mane-mane aje, ampe segala orang-orang Cina disalah-salahin," ujar Enyak Juri sambil membalikkan badannya untuk kembali masuk ke dalam rumahnya. "Kesian banget dah gua kalo bener ntu perempuan-perempuan Cina pade diape-apein. Jangan ampe aje si Mala kelayepan jauh. Muke ame kulit ntu anak rada kek Cina karna emaknye Sumatera Selatan dan elunye Jawa Barat."
AUTHOR’S NOTES: