...

3. Pencarian di Tengah Labirin

"Jika mereka harus berjalan dalam labirin untuk sekadar meminta keadilan yang kasat mata, tidakkah ini sudah menjadi kegagalan sebuah sistem?"

 

~ Rouzel Soeb ~

Polsek Sambora, Jakarta Barat, 14 Mei 1998, pukul 09.00 WIB (hari setelah Mala menghilang)

 

 

"Siapa nama putri Bapak tadi?" tanya seorang polisi dengan nada keras terhadap Warih yang masih tampak duduk dengan limbung dan wajah yang seperti tengah kehilangan arah.

 

Suasana di Polsek Sambora pagi itu begitu ramai dengan banyak orang yang datang untuk memberikan laporan kehilangan, penyerangan, atau juga pelecehan seksual. Jadi ketika berbicara, mereka harus lebih membesarkan suara mereka masing-masing untuk dapat terdengar jelas oleh lawan bicara mereka.

 

Hampir semua yang datang ke sana saat itu berjenis kelamin laki-laki. Hal ini dikarenakan, kaum perempuan di daerah Jakarta Barat saat itu masih sangat ketakutan untuk keluar dari rumah mereka masing-masing -- setelah sempat mendengar adanya informasi terkait penyerangan terhadap etnis Tionghoa malam tadi di beberapa titik.

 

"Pak Warih, maaf ... siapa nama putri Bapak tadi?" ulang polisi berpangkat Bripda yang masih memegang pena di tangannya untuk mencatat aduan Warih.

 

"Mala, namanya Fatimah Kemala," jawab Warih dengan tubuh yang tampak gemetaran karena melihat hampir semua orang di sana, rupanya juga mengalami hal yang sama beratnya dengan Warih terkait anggota keluarga mereka masing-masing.

 

"Usianya benar baru sebelas tahun?"

 

"I--iya, Pak. Anak saya masih sebelas tahun ... masih kelas enam SD," jawab Warih dengan pita suara yang bergetar. "Saya dengar semalam ada penyerangan ke orang-orang Cina. Saya khawatir anak perempuan saya juga menjadi korban dari ini karena dia memang sedikit mirip dengan orang Cina."

 

Sang polisi langsung tertawa. "Ah, Bapak ini mengada-ngada saja! Mana ada kasus penyerangan ke etnis Tionghoa semalam?! Memangnya asal Bapak dari mana?"

 

"Saya orang Indonesia tulen, Pak," jawab Warih dengan gugup. "Saya dari Bogor dan mendiang istri saya orang Palembang. Anak saya itu mirip dengan bundanya, Pak. Kulitnya putih dan matanya kecil. Jadi mungkin dia---"

 

"Jangan kebablasan mengkhayalnya, Pak!" potong polisi itu lagi. "Seperti saya bilang tadi, penyerangan terhadap etnis Tionghoa itu hanya isu yang dihembuskan oleh para aktivitis semata untuk menyerang pemerintah saat ini." 

 

"Mereka-mereka yang semalam kebetulan terluka di luar sana itu, sebenarnya karena sedang enggak beruntung saja bertemu dengan kelompok residivis di jalan-jalan yang sok-sok ikutan merusuhi pemerintah."

 

Polisi tersebut kemudian kembali fokus ke lembaran kertas di atas mejanya lagi. "Bapak yakin kalau anak Bapak sudah hilang sejak tanggal 12 lalu?"

 

Warih mengerutkan dahinya. "Saya enggak pernah bilang sejak tanggal 12, Pak. Anak saya hilang sejak malam tadi, tanggal 13."

 

"Semalam ...?" ulang sang polisi, kini dengan alis mata yang mengernyit.

 

"Iya, Pak, sejak semalam."

 

Polisi itu kemudian berdeham. "Kondisi di kantor kami saat ini sedang sangat dipenuhi dengan berbagai laporan. Lalu personel-personel kami juga banyak yang masih sibuk mengamankan kondisi rusuh -- dan penjarahan-penjarahan yang masih terus terjadi di luar sana. Bahkan, banyak pos polisi saja ikut diserang, Pak!"

 

"Karena hilangnya anak Bapak belum sampai 1x24 jam, saya catat saja dulu laporan Bapak ini," lanjutnya mendadak dengan suara lebih pelan. "Anak Bapak mungkin sedang terjebak di suatu wilayah saja dan belum bisa langsung pulang ke rumah Bapak. Kabarkan ke kami lagi kalau besok anak Bapak belum juga---"

 

"Anak saya hanya berusia sebelas tahun," potong Warih dengan bola mata yang kini berkaca-kaca. "Dia hanya anak kecil. Kalau dia memang terjebak di luar sana, justru dia harus diselamatkan dengan segera. Dia harus segera pulang, Pak. Kondisinya bahaya buat seorang anak perempuan ada di tengah-tengah situasi rusuh begini."

 

"Kalau Bapak sudah tahu begitu, trus kenapa Bapak enggak menjaga anak Bapak untuk enggak keluar-keluar?" ucap sang polisi dengan tampang mulai jengkel. 

"Orang tua seharusnya sigap menjaga anaknya dalam kondisi panas seperti ini sebagai tahap preventif dari mara bahaya. Kalau sudah begini, kan jadinya kami-kami juga yang repot!"

 

"Sa--saya enggak dalam kondisi yang sedang sehat, Pak," jawab Warih dengan suara yang tertelan karena merasa perkataan sang polisi padanya tidak sepenuhnya salah. 

 

"Saya ... sedang sakit dan tertidur saat anak saya menghilang. Bundanya sudah meninggal lama, jadi kami hanya berdua sekarang. Itu sebabnya enggak ada lagi yang bisa mengawasi dia di saat saya sedang kurang mampu untuk melakukannya."

 

Sang polisi kemudian menghembuskan napasnya dengan sedikit rasa iba. "Apa anak Bapak ini sering keluar-keluar rumah tanpa seizin Bapak selama ini?"

 

Warih menggeleng sambil mengusap sudut matanya yang sudah mulai basah. "Dia bukan anak yang suka keluar-keluar dari rumah sesukanya. Dia juga biasanya sangat patuh kalau saya larang dia untuk melakukan sesuatu yang salah."

 

"Apa ada orang-orang di daerah rumah Bapak yang sering mengajaknya keluar?"

 

"Mala enggak pernah mau diajak sembarang orang untuk keluar, kecuali oleh satu dua anak teman sebayanya di dekat rumah kami."

 

"Kemarin," lanjut Warih, "semua teman Mala juga sedang enggak diperbolehkan untuk keluar rumah oleh keluarga mereka masing-masing. Jadi, anak saya enggak mungkin mendadak keluar begitu saja kalau enggak dipaksa ... atau terjadi sesuatu yang sangat besar padanya."

 

"Tetangga Bapak mungkin ...?"

 

Warih kembali menggeleng. "Kecuali pemuda-pemuda nakal di daerah kami, enggak ada tetangga-tetangga saya lainnya yang nekat bepergian kemarin. Mala enggak begitu dekat sama pemuda-pemuda nakal di daerah tempat tinggal kami. Dia enggak akan mungkin ikut dengan siapa pun yang enggak dekat dengannya."

 

"Bapak sudah benar-benar mencarinya lebih dulu sebelum ke sini, kan?" tanya sang polisi lagi.

 

"Saya sudah mencarinya tanpa henti sejak semalam," jawab Warih dengan cepat. "Begitu saya dengar dari tetangga saya kalau ada perempuan-perempuan Cina yang diserang di jalanan, saya langsung pergi ke berbagai tempat untuk mencari anak saya. Bahkan, saya sempat mendatangi area-area kebakaran dan kerusuhan di dekat wilayah saya semalam."

 

Sang polisi melirik sekilas ke arah tongkat di samping kaki Warih ketika mendengar ucapan pria tersebut, tetapi ia tidak berkomentar atau bertanya lebih jauh tentang itu.

 

"Saat ini, tetangga sebelah saya yang sedang menjaga rumah saya untuk menunggu putri saya pulang. Saya sendiri baru dua kali pulang ke rumah sejak anak saya menghilang, tapi ... anak saya belum juga kembali, Pak."

 

Sang polisi mengangguk. "Bapak ingat apa pakaian yang dikenakan oleh anak Bapak sebelum dia menghilang?"

 

"Dia memakai kaos berlengan pendek yang berwarna abu-abu ... dan celana pendek dari bahan kain berwarna merah tua," jawab Warih. "Saya enggak melihat tanda-tanda dia sudah mandi sore itu, jadi kemungkinan besar ... dia pergi dengan masih berpenampilan begitu. Sandal jepitnya yang berwarna biru juga enggak ada di depan pintu rumah. Mungkin dia juga memakainya."

 

"Selain berkulit putih dan bermata kecil, apa ada ciri fisik lain yang bisa saya ketahui dari anak Bapak agar bisa mempermudah pencarian kami nanti?" tanya sang polisi lagi.

 

"Anak saya cantik dan punya lesung pipi yang dalam setiap tersenyum," ucap Warih, mendadak dengan tenggorokan yang terasa tercekat. 

 

"Rambutnya lurus sebahu dan tingginya sekitar 135 senti. Dia sedikit kurus dan ada bekas cacar berwarna hitam di bagian kiri pundaknya yang enggak bisa hilang-hilang. Dua tahun yang lalu, anak saya itu sempat kena cacar."

 

"Apa dia mungkin membawa tas atau dompet atau sejenisnya ...?"

 

"Saya enggak melihat tasnya hilang dari rumah, tapi ...,"-- Warih tampak terdiam sesaat, seolah-olah tengah memikirkan sesuatu --"dia itu ... punya celengan yang isinya adalah pemberian uang-uang koin dari saya yang selalu dikumpulkannya."

 

"Semalam waktu saya memeriksa kamarnya lagi, saya lihat celengan ini seperti sudah dibongkar paksa sama anak saya. Kalau dia memang membawa uang tabungannya, maka seharusnya itu akan cukup berat karena isinya koin logam semua."

 

"Apa dia berniat membeli sesuatu semalam, mungkin ... bahan makanan atau jajanan?"

 

"Saya kurang tahu tentang itu," jawab Warih sambil tertunduk. "Kondisi di rumah saya memang sedang susah, tapi kemarin kami masih punya lauk dari tetangga. Agak aneh rasanya kalau dia memaksakan diri untuk membeli bahan makanan dari luar, di situasi yang seberbahaya itu. Mala juga bukan tipe anak yang sering jajan, apalagi ... sampai harus nekat keluar untuk melakukannya."

 

"Kalau anak Bapak itu memang keluar dari rumah, masa enggak ada satu pun orang yang melihat dia di sekitar rumah Bapak?"

 

Warih kini menarik napasnya lagi. "Semua orang yang saya kenal dengan baik di sekitar rumah saya enggak ada yang bilang kalau mereka -- atau keluarga mereka --- melihat Mala pergi dari rumah saya." 

 

"Walaupun begitu," lanjutnya, "kondisi di daerah saya belakangan ini masih cukup ramai dengan banyak pemuda nakal yang keluar masuk gang begitu saja dengan santai. Bisa jadi, orang enggak melihat Mala keluar karena banyak yang saat itu sibuk lalu lalang di gang-gang dekat rumah saya."

 

"Bapak sudah mencoba untuk nanya soal anak Bapak ke orang-orang yang selalu sibuk lalu lalang ini?"

 

"Be--belum, Pak. Pemuda-pemuda sedikit nakal di area rumah saya ini, jarang menetap lama di rumah mereka sendiri belakangan ini. Saya sendiri juga masih terus mencari Mala di luar. Jadi ...."

 

"Baik, Pak. saya sudah mencatat semua keterangan Bapak dan juga alamat Bapak. Saran saya, coba Bapak tanya dulu ke pemuda-pemuda tadi. Siapa tahu saja mereka sempat melihat anak Bapak. Kalau sampai malam nanti anak Bapak belum juga pulang, saya akan langsung memproses laporan Bapak ini dan melakukan pencarian terhadapnya."

 

Warih mengangguk dengan sedikit lega. Pria pucat bertongkat itu pun kemudian berdiri dari kursinya dengan susah payah, lalu mengambil lembar tanda terima laporan dari tangan sang polisi. Setelah mengucapkan terima kasihnya dengan sopan, pria itu kemudian berjalan keluar dari kantor polsek tersebut -- untuk kembali melakukan pencarian terhadap anaknya di tengah-tengah situasi jalanan yang masih sangat mencekam.

 

Gang Buntek, Bandengan, Jakarta Barat, 15 Mei 1998, pukul 10.00 WIB (dua hari setelah Mala menghilang)

 

 


"Ya, Allah! Riih, elu kenape ntu?!"


Enyak Juri berlari kencang ke arah Warih yang tampak terjatuh di gang kecil menuju rumahnya -- dengan kondisi tubuh yang sudah terlihat lemah setelah dua hari terus mencari anaknya. Baju yang dikenakan oleh pria itu masih sama dengan yang dikenakannya sejak tanggal 13 lalu, sehingga ia kini sudah terlihat luar biasa lusuh dan dekil.


Pria itu tampak semakin pucat, kotor, penuh dengan noda hitam yang tidak jelas berasal dari mana, dan kini ada luka di beberapa bagian tubuhnya. Begitu Enyak Juri bantu mengangkat tubuh ayah Mala itu, Warih langsung berdiri dengan tubuh yang oleng.


"Rih, elu pasti nekat, ye, ke daerah rusuh-rusuh untuk cari si Mala?" tanya Enyak Juri sambil berteriak memanggil suaminya -- Babe Rusdi -- agar segera membantunya memapah tubuh Warih ke rumahnya. 


"Elu ntu udeh sakit, Riiih! Gua ngarti kalo elu ntu pengen cari si Mala, tapi ye kagak begini juga carenye! Elu jangan nekat ke wilayah yang masih rusuh, apelagi kayaknye elu belum juga makan ye dari kemarenan?!"


Babe Rusdi yang tadinya masih di dalam rumah, mendadak ikut berseru kaget ketika berjalan ke arah depan dan melihat Warih sedang dipapah oleh istrinya dalam kondisi yang sangat buruk dan lemah.


"Rihh, kalo elu terus begini ... ntar pas Mala ketemu, elu udeh mati lagi!" sambar Babe Rusdi dengan nada keras, sambil ikut memapah sang pria ke rumahnya sendiri.


"Gua kagak mau tahu, ya, Rih, pokoknya elu sekarang kudu istirahat dan makan dulu barang sebentaran aje gitu di rumah elu! Kalo elu mau keluar cari si Mala lagi, ntar gua temenin dah elu!" 


"Lagian, gua ama bini gua juga udah minta bantuan camat ama lurah buat bantuin elu nyari bocah elu! Kalo relawan udeh kekumpul nih hari, camat ame lurah bakal langsung nyuruh mereka bantu nyari si Mala!"


Babe Rusdi lalu memandang ke arah wajah hitam Warih dan beberapa luka di tubuh pria itu dengan tatapan yang semakin frustrasi.


"Elu begini gegara kena bom asap, ye?" tanya pria berpeci itu lagi sambil membuka pintu rumah Warih. 


"Bagus elu kagak ditembak mati peluru, Riih! Udeh tahu juga banyak yang mati di sono, elu masih aje nekat ke tempat-tempat yang lagi rame. Kalo elu ditangkep polisi trus dituduh propokator, bocah elu si Mala bakal gimane, Rih?!"


"Tahu nih, si Warih udeh bepenyakit juga masih aje nekat," komentar Enyak Juri sambil mendudukkan Warih di kursi ruang depan rumah Warih yang sempit. 


"Elu tunggu di sini bentaran, yak! Gua ke rumah gua dulu ngambilin elu makanan, biar badan elu kagak kek begini lagi. Elu tidur dah abis itu trus mandi."


"Yang gua denger-denger, elu ampe kagak mau keluar dari kantor polisi yak semalem buat nyuruh ntu polisi pade bantuin nyariin bocah elu?" tanya Babe Rusdi begitu melihat istrinya pergi dari rumah Warih. 


"Polisi lagi pade sibuk, Rih. Ntu rumah sakit-rumah sakit dan kantor polisi di mane-mane penuh, bejibun orang pade ngelapor. Banyak kasus-kasus masuk ke sono tiap menitnye. Orang kek kite yang kecil begini mau pegimane?"


"Elu tahu kagak kasus si Marwan yang ilang kemarenan?" sambung Babe Rusdi lagi. 


"Nih hari ntu anak udeh ketemu. Die katenye kepental ampe ke Bogor sono pas rusuh pertama ntu. Kagak bise pulang ntu anak berhari-hari. Padahal pan emaknye udeh stres aja ngira si Marwan mati keculik. Mana tahu, Rih, si Mala nanti juga kek si Marwan yang mendadak muncul. Sabar ye, Rih!"


Baru saja Babe Rusdi mengucapkan kalimat itu, mendadak seseorang muncul dan berdiri di bagian gang depan rumah Warih.


"Permisi, apa ini rumah yang anak perempuannya dikabarkan menghilang?"


Warih yang sejak tadi hanya diam tak bersuara dengan kondisi tubuh masih lemas, secara tiba-tiba menoleh ke kaca jendela di belakangnya -- dan langsung meraih tongkatnya lagi untuk berjalan ke arah pintu rumahnya. Melihat itu, Babe Rusdi pun langsung mencegah langkah Warih.


"Lah ... lah, elu mo ke mane, Rih?! Baru juga elu balik ke sini buat istirahat!" ujar Babe Rusdi dengan galak. "Elu tunggu di sini! Biar gua aje yang bawa masuk ntu orang, ngapain elu?!"


Warih terpaksa hanya kembali berdiam. Ia lalu melihat Babe Rusdi berjalan ke luar dengan cepat untuk berbicara dengan tamu tak dikenal tersebut. Tidak berapa lama setelahnya, Babe Rusdi dan orang tak dikenal tadi langsung sama-sama melangkah masuk ke dalam rumah Warih.


"Rih, ini Pak Endi, warga Kampung Kubur Koja," kata Babe Rusdi sambil memperkenalkan tamu tak dikenal tadi ke arah Warih di kursinya. "Katenye die mau nanya ke elu soal ciri-ciri si Mala. "


Warih seketika menatap Pak Endi dengan penuh harap. "Kenapa, Pak? Apa Bapak ada lihat anak saya?"


Pak Endi kini ikut duduk di atas kursi yang disediakan oleh Babe Rusdi padanya.


"Jadi tadi RT di daerah saya bilang kalau ada anak perempuan warga Buntek yang lagi dicari karena menghilang sejak tanggal 13 lalu. Kita diminta jadi relawan yang akan membantu proses pencarian anak itu."


"Masalahnya, gara-gara itu saya jadi ingat sesuatu di tanggal 13 petang. Saya sempat lihat anak perempuan yang mirip sama ciri-ciri anak Bapak, tapi ... dia memakai kerudung hitam."


Warih dan Babe Rusdi langsung sama-sama terlihat bingung.


"Kerudung hitam?" tanya Warih dengan suara yang serak dan dahi mengerut. "Anak saya belum memakai jilbab dan enggak punya kerudung."


"Nah, itu yang membuat saya juga bingung. Bisa jadi saya salah, tapi di kondisi yang lagi begitu ... jarang-jarang kan, ya, ada anak perempuan kisaran sebelas tahun mau keliaran begitu naik motor?" it‘s rare to see a girl around eleven years old wandering around like that, especially on a motorcycle.”


"Naik motor?" Warih tambah terlihat bingung, apalagi Babe Rusdi.


"Iya, Pak. Kalau anak perempuan yang saya lihat malam itu memakai kerudung hitam, bawa kantong kresek di tangannya, dan lagi dibonceng orang, tapi dia sambil teriak-teriak terus. Karena itu pemandangan yang agak aneh, saya jadi ingat betul tentang itu."


"Maksudnye gimane coba ceritanye," sambar Babe Rusdi mulai terlihat penasaran dan tampak tidak sabaran. "Nih bocah lagi pegimane kondisinye?"


"Saya kurang tahu persis apa yang sedang terjadi waktu itu, tapi anak itu sepertinya sedang ketakutan dan terus minta tolong untuk diturunkan dari motor," jawab Pak Endi. 


"Katanya anak Pak Warih pakai celana pendek merah dan kaus abu-abu, kan? Nah, penampilan anak di motor tadi sama persis seperti itu. Hanya saja, dia memakai kerudung hitam saat itu -- dan sedang bersama orang lain, tepatnya sama laki-laki."


Warih mendadak berdiri dari kursinya dengan raut wajah yang terlihat luar biasa kaget. Sementara Babe Rusdi langsung memegangi dadanya dengan syok.


"Apa Bapak ingat laki-laki yang Bapak maksud ini bagaimana ciri-cirinya?" tanya Warih mulai jantungan.


"Bukan hanya ciri-cirinya ... nama dan alamat rumahnya juga saya tahu," jawab Pak Endi dengan cepat. "Saya tahu karena dia sama teman-temannya suka bikin rusuh di Kubur Koja -- daerah saya -- dan sering minum-minum sama sesama pemuda Kubur Koja sampai mabuk." 


"Yang jelas, mereka itu kumpulan pemuda pembuat onar yang suka cari gara-gara ke orang. Nah, yang di motor tadi itu namanya Fadli. Dia ... kebetulan warga Buntek sini sendiri."

AUTHOR’S NOTE:

Babe: a nickname from Betawi when a child addresses his father affectionately, similar to “Dad” or “Daddy” in English. Additionally, it serves as a term of respect when addressing someone who is older, similar to “Sir” or “Mister” in English. In Betawi culture, the word “babe” is pronounced as “bhaa-bhe” rather than “bayb“.

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Terlama
Terbaru Vote Terbanyak
Inline Feedbacks
View all comments
error: KONTEN INI DIPROTEKSI!!!
Seraphinite AcceleratorOptimized by Seraphinite Accelerator
Turns on site high speed to be attractive for people and search engines.