"Bagaimana mungkin manusia yang seharusnya terlahir dengan hati nurani sempurna, bisa berubah serupa dengan malaikat pencabut nyawa hanya dalam semalam?"
~ Rouzel Soeb ~
Supreme Court Building, Medan Merdeka Utara, Jakarta, February 15, 2016, 1:30 PM
Ruang sidang Warih pagi itu mendadak kembali riuh. Penasihat hukum pria tua itu -- Togi Johanes Purba -- secara tiba-tiba berdiri dari kursinya. Ia lalu berjalan ke arah Warih sambil membawa ponselnya -- dan kemudian memasangkan earphone ke telinga Warih dengan hati-hati agar sang pria tua bisa mendengarkan lagu "Kicir-kicir" lagi.
Setelah memastikan Warih tidak lagi mendengarkan suaranya, Togi lalu berbalik ke arah majelis hakim dengan sikap sopan.
"Terima kasih, Yang Mulia, karena sudah mengizinkan klien saya tidak mendengarkan bagian yang paling membuatnya selama ini selalu bereaksi sangat ekstrim," ujarnya.
"Pemohon masih belum juga bisa mendengarkan fakta soal penemuan anaknya ini?" tanya hakim kedua, Damar Hardi, pada Togi sambil mengangkat sebelah alis matanya.
"Belum, Yang Mulia," jawab Togi dengan pandangan mata yang tampak muram. "Yang saya dengar, klien saya sampai pingsan berkali-kali dan berteriak histeris setiap mendengar tentang ini. Beliau juga sempat sampai harus diberi obat penenang secara berulang karenanya. Jadi, saya sangat bersyukur karena kali ini Yang Mulia memberikan izin bagi klien saya untuk tidak mendengarkan bagian terberat ini."
Ketiga hakim yang ada di atas kemudian mengangguk dan membiarkan Togi untuk kembali ke mejanya sendiri. Hanya beberapa saat setelahnya, Hakim Damar Hadi mempersilakan Yudi Suhendi dari pihak Jaksa Penuntut Umum untuk kembali membacakan hasil autopsi Kemala Fatimah yang tadi sempat terhenti sesaat. Sang jaksa pun mulai membuka lembaran arsip di tangannya lagi, setelah sempat menarik napasnya dalam-dalam.
"Di sini tercatat kalau Kemala Fatimah -- alias Mala -- akhirnya berhasil ditemukan pada tanggal 17 Mei 1998 -- atau empat hari setelah ia menghilang -- tepatnya sekitar pukul enam pagi di daerah Kali Angke, Jakarta Barat," ujar Jaksa Yudi Suhendi sambil membaca dokumen di mejanya.
"Korban ditemukan dalam kondisi sudah tewas oleh warga sekitar yang merasa tidak nyaman dengan bau busuk di kali tersebut. Jasad korban ketika ditemukan berada di bagian bawah gundukan tanah -- dan memang tertutup oleh tumpukan sampah yang tersumbat di kali itu selama berhari-hari."
"Posisi tubuh korban saat ditemukan dalam kondisi menelungkup ke bawah, tanpa mengenakan pakaian apa pun, dan jasadnya sudah masuk ke tahap dekomposisi. Selain sudah menggembung, ada cairan kental hitam yang menempel di wajah korban -- yang kemudian diidentifikasi sebagai cairan oli mesin motor. Ada memar-memar di 17 titik tubuhnya, dan satu fraktur di tengkorak kepalanya."
"Hasil autopsi pertama tanggal 17 Mei 1998 menunjukkan kalau korban dilecehkan secara berulang-ulang oleh satu orang laki-laki dan mengalami cedera berat akibat fraktur tengkorak. Di sini ada dugaan kalau kepala korban sempat dibenturkan ke aspal jalan -- dan kemudian mati akibat hipoksia karena langsung dilempar ke kali dan terseret arus air. Ini adalah hasil autopsi korban Kemala Fatimah."
"Jaksa," seru Hakim Damar Hardi dari atas secara tiba-tiba, "boleh tolong dibacakan juga hasil autopsi kedua yang dilakukan oleh pihak ayah korban saat itu? Tadi saya dengar, Anda juga membawa hasilnya, kan?"
“Prosecutor,” he inquired, his tone measured yet insistent, “could you please recite the findings of the second autopsy carried out by the victim’s father at that time? I understand you have the results, correct?”
"Ya, tapi dokumen hasil autopsi kedua ini enggak diakui sebagai dokumen resmi sidang pertama, Yang Mulia," jawab Yudi dengan sikap canggung. "Terlalu banyak cacat dalam pelaksanaan autopsi kedua."
"Saya juga dengar soal itu," ujar Damar. "Katanya hasil autopsi kedua sudah dianggap tidak akurat lagi karena berbagai hal, tapi ... baru-baru ini saya mendengar hasil diskusi kumpulan dokter forensik yang membandingkan temuan dari autopsi pertama Kemala Fatimah dan temuan dari autopsi kedua yang menarik. Enggak ada salahnya kan kalau ini juga dibacakan dalam sidang kali ini hanya sebagai tambahan-tambahan kemungkinan?
Yudi Suhendi kemudian terdiam. Tidak berapa lama setelahnya, sang jaksa membuka kembali lembar demi lembar dalam bundel dokumennya dan langsung berdeham.
"Di tanggal 20 Mei," ucap Yudi, "ayah korban melakukan autopsi ulang dengan biaya mandiri. Ini dilakukan setelah korban dimakamkan pada tanggal 18 Mei 1998. Jadi, kuburan korban terpaksa dibongkar ulang untuk pelaksanaan autopsi kedua ini."
"Hasil autopsi kedua ini menyebutkan bahwa korban tidak meninggal akibat hipoksia karena paru-parunya kering. Ini artinya ... dia tidak meninggal karena tenggelam atau terbawa arus air. Ia dipastikan meninggal akibat pendarahan masif di rongga dalam perutnya."
"Ada luka bakar di bibir kemaluan ... yang diduga akibat disundut dengan rokok berkali-kali. Bahkan ... ada dua puntung rokok berjenis kretek di area dekat mulut rahim."
"Ditemukan juga setidaknya tujuh sperma berbeda di area rahim ... yang menunjukkan kalau ... besar kemungkinan pelaku berjumlah sedikitnya tujuh orang. Lalu ... kondisi rahim juga robek akibat benda yang diduga seperti sebuah botol minuman. Ini yang diduga menyebabkan kematian cepat pada korban."
Yudi Suhendi berhenti sebentar dengan raut wajah yang sebenarnya terlihat getir, bersamaan dengan suara riuh hadirin dari kursi pengunjung.
"Hasil autopsi kedua ini ditolak dalam sidang pertama di tahun 1998 -- karena pihak yang menggelar autopsi kedua dianggap melakukan kesalahan prosedur autopsi," lanjutnya. "Meskipun begitu, pihak kami nanti akan memanggil ahli forensik kami untuk menjelaskan kenapa autopsi kedua ini sampai ditolak di sidang pertama."
Sang hakim mengangguk dan kemudian menoleh ke arah Togi. Ia lalu menggerakkan jari tangannya untuk memberikan isyarat pada penasihat hukum Warih tersebut.
"Mungkin earphone pemohon sudah bisa dibuka lagi?" pinta Hakim Damar Hadi pada Togi. "Ada yang mau saya tanyakan ke pemohon."
Togi mengangguk dan segera menjalankan perintah sang hakim. Begitu earphone di telinga Warih sudah kembali dibuka, hakim kemudian menatap tajam ke arahnya.
"Pemohon, sebelum ini, Anda tadi bilang kalau ada orang yang menyampaikan ke Anda di tanggal 15 Mei, bahwa ada pemuda bernama Fadli yang terlihat bersama dengan korban di malam korban menghilang. Apa yang terjadi setelahnya?"
"Fadli?" ulang Warih dengan wajah datar. "Saya dan mendiang Babe Rusdi -- tetangga saya saat itu -- enggak menemukannya seharian. Mungkin karena kami sempat bertanya ke kelompok pemuda nakal di area saya, Fadli jadi ketakutan dan enggak pulang-pulang."
"Kami sempat mendatangi orang tua Fadli saat itu untuk memberi tahu mereka soal keterangan Pak Endi yang menyatakan bahwa ... Fadli mungkin bersama dengan anak saya di malam anak saya menghilang," lanjutnya.
"Saat pertama berbicara dengan orang tua Fadli, mereka tampak seperti mau mendengar Babe Rusdi dan bekerja sama dengan saya soal Fadli. Namun saat jasad Mala sudah ditemukan dan kondisi di daerah saya mendadak jadi gempar total, sikap keluarga Fadli mendadak berubah."
"Apa maksud Anda dengan berubah di sini?" tanya Hakim Soetardjo dengan penasaran.
"Mereka mendadak enggak mau bekerja sama dengan saya soal Fadli dan malah terus membela anak mereka yang biasanya enggak mereka pedulikan," jawab Warih. "Padahal, saat itu saya dan lain hanya sekadar mau memastikan kebenaran info dari Pak Endi. Kami belum pernah menuduh Fadli sama sekali, tapi ... mereka tiba-tiba enggak berhenti menyerang saya di depan warga sekitar."
"Kata orang tuanya, gara-gara saya Fadli jadi ketakutan terus. Gara-gara saya juga keluarga mereka jadi bahan gunjingan dan dicemooh di sana. Mereka juga bilang kalau saya seorang pemakai narkoba dan pernah kelihatan mukulin anak saya. Jadi, kata mereka ... mungkin Mala kabur karena diapa-apain sama saya. Ini yang mungkin menjadi awal permulaan kenapa polisi saat itu menyorot saya atas kematian anak saya."
"Kenapa Anda bisa berpikir begitu?"
"Karena pernyataan ini dilakukan oleh orang tua Fadli tanggal 18 sore di saat polisi tengah mendatangi rumah saya -- tepatnya setelah pemakaman anak saya -- untuk mencari keterangan tambahan dari saya," jawab Warih dengan tatapan pahit. "Yang saya enggak sangka, hal ini kemudian benar-benar menjadi besar. Hanya satu hari setelah saya melakukan autopsi kedua pada jasad anak saya, saya mendadak dinyatakan sebagai tersangka."
"Itu berarti tanggal 21?"
"Ya, bersamaan dengan hari Presiden Soharto turun," jawab Warih. "Karena berita soal Presiden Soeharto ramai dalam waktu yang cukup lama, beberapa media yang tadinya mau menyorot kasus saya mungkin jadi lupa dengan saya. Tanggal 21 Mei itu, saya langsung diboyong ke Polsek Tambora dan sejak saat itu sampai sekarang, saya belum pernah pulang sekali pun ke rumah saya lagi."
Suasana sidang tampak kembali hening, sebelum kemudian Jaksa Yudi menyalakan mikrofon dari mejanya untuk ikut berbicara pada Warih.
"Pemohon, ada beberapa poin dari hasil pemeriksaan polisi di awal-awal terkait Anda yang saat itu dijadikan tersangka. Beberapa di antaranya adalah ... Anda pernah terlihat di muka umum tengah memukuli anak Anda, lalu pernah ada kasus di mana anak Anda mengalami cedera di bagian selangkangannya secara mencurigakan."
"Sayangnya, di masa pemeriksaan Anda sebagai tersangka dan sampai ke persidangan awal," lanjut Jaksa Yudi, "Anda selalu bungkam dan enggak menjawab apa pun. Saya akan mencoba menanyakan ini lagi ke Anda sekarang, karena bagi saya ini memang cukup aneh. Cedera di selangkangan anak Anda dua bulan sebelum dia meninggal ... mengapa itu bisa terjadi?"
Warih menarik napasnya. "Anak saya -- Mala -- saat itu mengalami datang bulan pertamanya. Mungkin karena malu mengatakan ini ke saya atau siapa pun, dia mencoba mencari cara untuk belajar memakai pembalut sendiri di kamar mandi."
"Saya enggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi tahu-tahu dia katanya kepleset dalam kondisi kaki yang melebar. Akibatnya, dia mengalami cedera serius. Saya mencoba menolongnya, tapi saat itu Mala malah lari ke luar rumah dalam kondisi pincang -- dan takut kalau saya mendekat ke dia. Mungkin dia malu kalau saya menyadari ada darah di celananya."
"Akibat dari sikap anak saya ini, saya sempat menjadi bahan gunjingan. Kata orang-orang, saya mungkin sudah menc*buli anak gadis saya. Tentunya karena satu dua tetangga saya sangat mengenal saya dan Mala juga mulai normal kembali setelahnya, gosip ini kemudian menguap dengan cepat."
"Saya enggak tahu bagaimana dan kenapa ini bisa disebut-sebut dalam sidang saat itu dengan cara yang menyudutkan saya. Hanya karena ini pernah terjadi dan mereka juga pernah melihat saya memukuli anak saya ... saya menjadi dituduh sebagai pelaku penyerangan s*ksual dan sudah menganiaya anak saya sampai dia tewas."
Yudi masih menatap ke arah Warih. "Tapi, apa benar kalau Anda pernah terlibat narkoba dan pernah memukuli anak Anda di depan banyak orang ... karena berada di bawah pengaruh narkoba?"
Kali ini, Warih mendadak terdiam -- dan memandang lurus ke arah Yudi tanpa berkedip sedikit pun. Ada sirat rasa kepedihan yang teramat dalam di dirinya saat harus mengingat hal tersebut.
"Ya, saya memang pernah memukuli anak saya karena narkoba," jawabnya kemudian secara mengejutkan. "Saya enggak memukuli anak saya saat itu karena berada di bawah pengaruh narkoba, tetapi ... karena dia mencuri untuk menghentikan saya dari narkoba. Sampai sekarang, itu masih menjadi salah satu hal yang paling saya sesali di dunia ini ... dan yang juga pernah membuat saya sangat malu sebagai seorang ayah."