"Bumi itu bulat. Orang yang memilih berjalan terlalu lurus, tidak akan pernah mampu untuk memeluk dunia dan menguasainya."
~ Rouzel Soeb, diambil dari novelnya, "Suamiku, Pembunuhku?" ~
SDN Penjaringan 88 Pagi, 1 Maret 1996 (20 tahun sebelumnya)
Irama lagu "Kicir-kicir" mengalun merdu dari kotak radio portable yang dibawa oleh Warih ke sekolah anaknya. Pria itu baru saja selesai mengambil rapor hasil ujian caturwulan kedua anaknya yang saat itu masih duduk di kelas empat, serta satu rapor lainnya dari anak salah satu rekan juru parkirnya.
Sambil meneguk es jeruk di area halaman dekat sekolah yang dekat dengan pepohonan, pria itu kembali bersenandung ceria dan menari di dekat seorang anak laki-laki berdarah Batak yang bernama Togi Johanes Purba. Sesekali, ia tertawa saat melihat raut Togi yang merengut karena merasa dipermalukan olehnya.
"Kenapa sih, Om, suka banget sama lagu "Kicir-kicir?" tanya Togi sambil membalikkan badannya untuk menghadap ke arah pepohonan karena malu.
Saat itu, Togi masih duduk di bangku kelas lima SD -- satu tahun di atas anaknya, Mala. Karena rekan sesama juru parkir liarnya -- Gabe Purba -- menolak untuk mengambil rapor anaknya, Warih yang kasihan pada Togi kemudian dengan sukarela mendatangi kelas Togi pagi itu untuk terlebih dahulu membantu sang anak mengambil rapornya.
"Loh, kamu enggak tahu? Om masang lagu ini buat kamu," jawab Warih sambil kembali tertawa. "Wajah kamu dari tadi kuyu karena Bapak kamu enggak mau datang ke sini. Om cuma mau hibur kamu."
"Memangnya ini lagu apa?"
"Ya lagu Betawi untuk menghibur orang yang sedih," jawab Warih. "Ini juga lagu bagus buat menyemangati orang agar jadi lebih rajin dan jalani hidupnya dengan bahagia. Biasanya sambil nungguin parkiran sama bapak kamu, om suka dengar lagu ini sambil minum kopi. Ini lagu wajib om sepanjang masa."
"Itu makanya Om selalu bawa radio dan baterai ke mana-mana?"
Warih mengangguk. "Om sering jadi senang kalau sudah mendengar lagu ini."
Meskipun pria itu berusaha ceria untuk Togi yang sudah dikenalnya sejak anak itu lahir, Warih kemudian terdiam saat melihat sang anak kembali menunduk dengan tampang yang suram. Ayah Mala itu pun lalu memutuskan untuk ikut duduk ikut di sisi tembok taman bersama dengan Togi.
"Kita masih harus nunggu Mala di sini? Memangnya dia masih bicara sama wali kelasnya?" tanya Togi berbasa-basi untuk mengalihkan pandangan menyelidik Warih terhadapnya.
"Hanya sebentar kok katanya. Nanti juga Mala ke sini," jawab Warih.
"Mala sih enak, dia selalu ranking satu dari dulu," gumam Togi dengan wajah yang berpura-pura mengiri. "Kalau aku ... dapat ranking 20 saja Bapak mungkin sudah sujud syukur di rumah."
Warih tertawa. "Nilai kamu ... mungkin memang sedikit berbeda dari Mala, tapi ada satu nilai di rapor kamu yang om lihat konsisten bagus. Kamu jagoan Matematika, ya?"
"Ah, percuma terus dapat satu nilai delapan atau sembilan kalau yang lainnya tetap selalu dapat lima atau enam," jawab Togi dengan pesimis. "Tetap saja pulang-pulang nanti, bapak bakal mukul aku dengan sapu lidi lagi."
"Kamu soalnya memang nakal dan pemalas," komentar Warih, "tapi setahu om, orang-orang yang pintar Matematika itu sudah pasti cerdas. Logikanya katanya bagus-bagus. Mungkin nanti kamu bisa seperti Pak Habibie kalau mau belajar?"
"Aku enggak mungkin bisa buat pesawat seperti Pak Habibie."
"Kamu kan enggak akan pernah tahu masa depan kamu. Bisa saja kamu nanti sesukses Pak Habibie, atau ... setahu om, orang-orang Batak itu jago-jago di bidang hukum. Mungkin kamu bisa jadi hakim, jaksa, atau pengacara?"
"Enggak ada yang sesukses itu di keluarga Bapak sama Mamak," jawab Togi sambil mengangkat bahunya.
"Ya, kalau kamu jadi pengacara pas besar nanti, mana tahu kamu bisa bantu om kalau om kenapa-kenapa dengan biaya hukum yang murah."
Togi tiba-tiba terdiam dan menunduk malu. "Kalau aku jadi pengacara, aku akan kasih Om biaya gratis saja buat ganti bayar yang tadi."
Kali ini, Warih mendadak ikut terdiam karena teringat dengan apa yang terjadi saat ia berusaha mengambil rapor anak tersebut di kelasnya. Setelah memandangi anak di sampingnya itu lagi, ia lalu menghela napasnya.
"Om kira bapak kamu enggak mau datang ke sini karena kenapa tadi, tapi ternyata itu karena kamu pakai jajan uang SPP kamu," gumam Warih.
"Kamu tahu kan kalau bapak kamu wajar marah ke kamu soal ini? Dia mencari uang setengah mati di jalanan untuk sekolah kamu. Dia mungkin enggak sekolah dan enggak pintar, tapi dia mau kamu sebagai anaknya bisa jadi orang nanti dan enggak berakhir seperti dia."
"Kalau dia lagi marah, bapak suka main pukul aku aja, Om! Gimana aku mau sukses kalau kepalaku dihantamnya terus?" ucap Togi sambil tetap menunduk dan menggaruk-garuk tangannya. "Kalau enggak mukul aku, dia akan milih diam saja kayak gini ... enggak mau datang ke sekolah, kalau aku ketahuan kenapa-kenapa."
"Itu bukan karena dia lepas tangan sama kamu, tapi ... itu karena dia hanya terlalu malu dipanggil ke sekolah terus karena tindakan kamu," ujar Warih membela Gabe. Ayah Mala itu lalu kembali menarik napasnya.
"Bapak kamu lagi sangat susah. Dua hari yang lalu ada motor yang hilang dan dia diminta untuk mengganti itu. Kalau om jadi bapak kamu ... lagi susah, terus dengar anak om memakai uang SPP sekolah sampai rapornya terancam enggak dikasih, ya om juga pasti sangat marah."
"Maaf karena tadi Om yang sampai harus membayarnya. Kalau aku sudah punya uang, aku nanti akan ganti uang Om," ujar Togi dengan raut malu yang tertutup gengsi, hingga malah menjadi terlihat seperti jengkel.
"Kata siapa om minta kamu untuk menggantinya?"
Togi seketika mendongak ke arah Warih dengan wajah terkejut. "Om enggak mau aku ganti uang Om?"
"Enggak perlu."
"Kenapa? Om kan enggak punya banyak uang juga seperti Bapak?"
"Supaya kamu nanti menggantinya setelah kamu jadi pengacara saja. Anggap saja itu pinjaman yang berbunga sampai kamu sukses nanti dan jadi orang."
Melihat Togi kemudian terlihat merasa bersalah, Warih lalu tertawa. "Anak nakal mana yang menawarkan untuk mengganti uang ke orang yang memberinya? Anak nakal mana yang merasa bersalah karena merasa merepotkan orang?"
"Kalau bukan karena kita berbeda keyakinan, om pasti senang kalau kelak kamu berjodoh dengan Mala," lanjut Warih setengah bercanda, setelah melihat putrinya mendekat ke arah mereka dari kejauhan.
"Togi, kamu itu anak cerdas, baik, dan mau bertanggung jawab. Hanya mungkin ... kamu sekarang masih di masa-masa suka nakal saja. Kalau menurut Om, sikap kamu masih wajar karena otak kamu masih terus penasaran dengan banyak hal yang ada di dunia."
"Sesekali nakal itu enggak masalah, kok," lanjutnya. "Kata orang ... dunia itu bulat. Orang yang berjalan terlalu lurus, enggak akan pernah mampu untuk memeluk dunia."
Togi tersenyum penuh haru mendengar ucapan Warih tersebut. Namun sesaat setelahnya, ia langsung memperlihatkan wajah kesalnya lagi.
"Siapa yang mau sama si Mala?! Aku mana mau sama dia?! Dibanding jadi begituan, aku lebih suka jadi abangnya saja!" ucap anak itu sambil melirik ke arah Mala yang setengah berlari ke arah mereka dengan wajah ceria. "Lebih baik aku jadi anak Om saja ... abangnya si Mala. Kalau begitu kan, aman dia nanti di sekolah."
"Itu masuk akal juga," gumam Warih sambil mengulum senyumnya. "Om memang sudah anggap kamu anak sendiri. Terus karena kamu ditakuti teman-teman kamu di sini, Mala pasti akan aman. Kalau begitu, deal, kamu jadi anak pertama om!"
“Deal? Sok Inggris kali Om ini!" ledek Togi sambil melompat ke tanah setelah melihat Mala sudah bersama mereka. "Kita langsung pulang nih, Om?" “Shall we head straight home?”
"Kamu enggak mau ikut makan es campur dulu di depan?"
"Ah, itu kan Om mau traktir si Mala karena dia juara satu," ucap Togi dengan sungkan.
"Nanti juga kamu juara satu terus pas sudah SMP," kata Warih, sambil langsung menarik lengan Togi untuk mengikutinya.
Mala mendadak tertawa mendengar perkataan ayahnya. "Bang Togi juara? Kayaknya itu agak mustahil, Yah! Bang Togi itu nakal dan suka bolos."
Togi segera mendelik ke arah Mala. "Dari pada kamu ... duduk kamu aja di depan meja guru persis! Dasar anak guru kamu!"
"Daripada Bang Togi, anak nakal!"
Mala menjulurkan lidahnya ke arah Togi. Sesaat kemudian, kedua anak itu langsung melesat dan saling kejar mengejar di depan Warih yang masih menenteng kotak radio usangnya.
"Mala, Togi, jangan lari-lari begini kalau nanti sudah di depan. Banyak mobil lewat, bahaya!" teriak Warih untuk mengingatkan kedua anak tersebut, sambil ikut melangkah ke arah Jalan Bandengan Utara Raya.
Baik Togi maupun putrinya, Mala, tidak mendengarkannya. Kedua anak itu malah tetap berlari-lari sambil menuju ke jalan raya dengan penuh tawa.
"Mala ... Togi ... hati-hati!" teriaknya lagi dari belakang kedua anak tersebut.
Togi yang kali ini gantian dikejar oleh Mala tidak mendengarkan suara itu. Begitu sudah tiba di area jalan raya, anak tersebut mendadak mendengarkan suara decit rem dari arah kejauhan, dan juga teriakan refleks warga di sana yang meminta anak itu untuk segera menjauh. Begitu ia berbalik ke belakang, tubuhnya seketika terpaku.
Sebuah truk yang kelebihan muatan, terlihat berjalan oleng dari kejauhan ke arahnya. Truk tersebut meluncur dengan posisi tubuh yang seperti akan terguling -- dan kini semakin mendekat ke arah Togi yang baru menyadarinya.
Saking terlalu kagetnya, Togi tidak bisa langsung bergerak dari tempatnya dan hanya bisa berdiri kaku dengan raut wajah yang terlihat ngeri. Anak laki-laki itu kemudian memejamkan matanya kuat-kuat karena menyadari bahwa bahan-bahan banggunan berat dari truk tersebut akan segera menimpa tubuhnya. Namun entah bagaimana, tubuhnya secara tiba-tiba malah terdorong keras ke arah samping belakangnya -- sampai ia mendadak membentur dinding salah satu ruko.
Saat itu terjadi, Togi langsung mendengar suara bedebam keras yang bercampur dengan jeritan histeris warga dan juga Mala dari arah sampingnya. Waktu seakan-akan berhenti berputar baginya selama beberapa saat, sampai akhirnya pandangan mata anak itu kembali jelas.
Anak itu tertegun melihat Warih ... kini tergeletak di pinggir jalan dengan sebelah kaki yang sudah tertimpa beton berat, hanya untuk menyelamatkan hidup Togi yang bahkan bukan anaknya sendiri.
RSUD Barakan, 5 Maret 1996
"Jadi, sudah gimana sekarang kondisi dia, Dok?"
Togi melihat ayahnya, Gabe Purba, tampak sedang bertanya pada dokter yang berdiri di bagian luar lorong kamar tempat Warih saat itu tengah dirawat inap. Anak itu dan ayahnya sudah dua kali ke sana semenjak Warih masuk ke rumah sakit itu, tapi ... tidak sekali pun Togi berani untuk ikut masuk ke dalam dan untuk melihat kondisi Warih secara langsung.
"Pak Warih mengalami infark otot quadriceps yang mengakibatkan kerusakan parah pada otot paha dan kaki kirinya," jawab sang dokter dengan tenang.
"Fungsi kaki Pak Warih sekarang terganggu. Kami sendiri sudah menawarkan agar Pak Warih menjalani operasi untuk kakinya, tapi beliau menolak setelah mendengar rincian biaya dan semua risikonya. Tentunya, kami enggak bisa memaksakan pasien kalau mereka memang enggak bersedia menjalani operasi."
"Memangnya apa risiko yang mungkin terjadi kalau dioperasi dia?" tanya Gabe lagi dengan logat Batak yang mencolok dan suara yang berat.
"Sebenarnya selalu ada risiko dalam operasi apa pun. Namun, dalam kasus Pak Warih, yang bersangkutan sepertinya khawatir kalau ini akan semakin merusak saraf dan pembuluh darahnya."
Sang dokter mengambil jeda untuk menarik napasnya. "Beliau menghindari adanya kemungkinan risiko beberapa fungsi motorik tubuhnya yang lain, nanti malah jadi ikut bermasalah setelah dioperasi. Katanya, dia masih harus bekerja untuk mencari nafkah bagi anaknya. Jadi dia terus menolak tawaran kami."
Gabe mengerutkan dahinya. "Memangnya aman tuh dokter kalau dia enggak dioperasi?"
"Memang bisa saja enggak dioperasi, tapi nantinya Pak Warih berpotensi mengalami rasa sakit yang kronis dan berkepanjangan. Ini jelas bisa mengganggu mobilitasnya dan kualitas hidupnya secara signifikan. Perubahan pada cara berjalan atau berdiri yang disebabkan oleh kondisi seperti ini, juga dapat menyebabkan masalah pada sendinya, punggungnya, atau bagian tubuh lainnya nanti."
"Selain itu," sambung dokter tadi, "Pak Warih akan sangat mungkin terus menerus bergantung pada analgesik dalam hidupnya. Rasa nyeri di paha dan kakinya akan sesekali kambuh dan dia jelas akan kesusahan karena ini. Seperti yang mungkin semua orang tahu, analgesik dosis keras biasanya membutuhkan resep dokter dan harganya enggak tergolong sangat murah."
Togi yang sejak tadi ada di belakang ayahnya dan mendengar semua itu, mendadak menatap ke arah pintu ruang rawat inap Warih dengan pundak yang bergetar.
"Pak Dokter,"-- ucap anak itu kini sambil menyentuh lengan baju sang dokter dengan bola matanya yang mulai berkaca-kaca --"apa Om Warih benar-benar akan merasa kesakitan setiap harinya akibat kecelakaan itu?"
Sang dokter terlihat kaget saat mendengar Togi mendadak bertanya padanya, sambil menyentuh lengan bajunya dengan sirat rasa takut. Ia lalu melirik sekilas ke arah Gabe dengan bingung, sebelum kemudian kembali memandang ke arah sang anak yang tampak seperti sedang berusaha keras untuk menahan air mata agar tak jatuh ke pipinya.
"Itu ... bisa saja terjadi. Mungkin sesekali hanya sekadar nyeri ringan, tapi sewaktu-waktu ini akan terasa berat. Hanya itu yang bisa saya katakan, selebihnya ... ya tergantung perkembangan pasien yang di dalam. Yang jelas, kondisi begini bisa berkepanjangan dan sangat mungkin akan membuat om kamu semakin lama akan kesulitan untuk mengatasinya." What is evident is that this condition has the potential to linger, and it’s highly probable that overcoming it will become progressively more challenging for him.”
Bandengan Utara Raya, Jakarta Barat, 23 Juli 1996
“"Itu si Warih kenapa, Bang Gabe?"
Seorang petugas parkir yang bernama Alip bertanya pada Gabe yang tengah berdiri di pinggir jalan bersamanya. Keduanya menatap ke arah Warih yang kini meringkuk dengan wajah pucat di sudut luar sebuah ruko kosong, sambil tak berhenti menyentuh pahanya sendiri.
"Penyakitnya lagi kambuh itu," jawab Gabe yang bertubuh besar dengan raut iba. "Kau enggak lihat aja tadi gimana dia sampai teriak-teriak karena sakit. Kasihan kali dia itu."
"Lah, bukannya dia biasa bawa obatnya?"
"Sisa obat dia hilang katanya," jawab Gabe lagi. "Enggak tahu siapa yang tega ambil obatnya di sini. Tahulah kau kan kalau itu obat ada efek penenangnya. Jadi mungkin diambil orang itu waktu si Warih lagi markirin mobil."
"Enggak ada otaknya memang orang yang ambil itu!" lanjutnya. "Udah tahu si Warih enggak ada duitnya sekarang, diambil pulak obat itu dari dia!"
"Warih enggak bisa beli lagi aja?"
"Udah kubilang enggak ada itu uang dia! Dia aja tadi mau pinjam uangku, mana ada uangku pagi-pagi begini?! Kalau ada, udah aku yang pergi ke apotek buat beli obat dia."
Pria Batak itu lalu menarik napasnya. "Ada enggak uang kau? Kalau ada, kasih dulu lah ke dia biar dibelinya obat itu. Kalau dia enggak bisa ganti ke kau, kuganti pun uang kau itu nanti!"
"Aku mana ada uang pagi-pagi begini, Bang? Kalau ada, enggak mungkin aku pelit ke si Warih. Semua orang di sini juga tahu kalau si Warih mah yang paling baik," jawab Alip dengan jujur.
"Itulah ...," gumam Gabe dengan frustrasi. "Enggak tega juga aku lihat dia begitu. Udah kukasih P*nstan tadi ke dia sampe ngutang aku ke warung si Rustam, tapi hanya sebentar kali pun dia tenang. Kurasa sakit kali itu si Warih sampai enggak bisa berdiri dia."
Setelah mengucapkan itu, Gabe mendadak menoleh ke arah sebuah mobil dari kejauhan -- yang tampak tengah mencari parkir lowong di area itu. Dengan sigap, ia pun kemudian segera menyemprit peluit dari dadanya dan langsung berlari ke arah mobil tersebut.
Alip sendiri sudah akan ikut pergi dari sana. Namun, saat ia sudah mengangkat langkahnya, pria itu berhenti karena mendengar raung kesakitan Warih sekali lagi. Karena merasa sangat iba, Alip pun kemudian berjalan ke arah Warih untuk mendekatinya.
"Rih, elu baik-baik aja, kan? Elu mau gua kasih teh manis, enggak?" tanya Alip dengan wajah khawatir. "Kalau hanya beliin elu teh manis anget mah gua masih sanggup."
Tidak ada jawaban dari Warih. Pria itu kini malah berguling di lantai sambil mengerang kesakitan. Karena panik, Alip pun kemudian menjatuhkan dirinya di samping Warih untuk membantu mengelus punggung pria yang kini sudah basah oleh keringat itu.
"Rih, gua enggak tega lihat elu begini," ucap Alip lagi dengan gugup. "Kalau ada uang, udah gua kasih dah uang gua buat elu pake beli obat, tapi gua baru datang ini buat mulai kerja ... jadi kantong gua masih kosong jam segini mah."
Warih tetap tidak menjawab ucapan Alip dan kini malah meremas kuat-kuat ujung jaket Alip di dekat wajahnya, seakan-akan dengan itu, ia bisa menghilangkan rasa sakitnya. Begitu ia melakukannya, mendadak Alip teringat akan sesuatu. Pria itu kemudian mengeluarkan sesuatu dari jaketnya itu dan memandangi benda di tangannya dan wajah Warih secara bergantian.
"Rih, ini barang bukan punya gua, tapi punya orang kampung sebelah yang lagi dititip ke gua," gumam Alip dengan nada pelan. "Gua denger-denger, ini bisa buat nahan rasa sakit berat untuk sementara. Itu temen gua punya utang ke gua, jadi kalau gua kasih barangnya ke elu, dia enggak bakal bisa marah ke gua."
"Kalau elu mau ... gua kasih ini ke elu sekali aja. Setidaknya kalau elu agak baikan dikit, elu bisa kerja cari uang hari ini dan beli obat elu lagi. Gua sebenernya enggak enak ngasih beginian ke elu karena elu orang baik-baik, tapi elu kayaknya udah menderita banget. Jadi, mungkin kalau hanya sekali aja, elu enggak bakal ketangkep polisi ... karena pakai sedikit ganja."
AUTHOR’S NOTE:
“Batak” refers to an ethnic group indigenous to the North Sumatra province of Indonesia.