"Ganjaran atas kesalahan seorang anak, tidak pernah memerlukan mata publik untuk melihatnya."
~ Rouzel Soeb ~
Gedung Mahkamah Agung, Medan Merdeka Utara, Jakarta, 15 Februari 2016, pukul 14.30 WIB
"Anda tadi sempat bilang kalau ... anak Anda pernah mencuri karena kasus ganja Anda?" tanya Jaksa Yudi Suhendi sambil membuka lembaran di depannya lagi.
"Ya," jawab Warih dengan raut wajah yang kini menyiratkan rasa semakin sedihnya.
"Anda belum pernah mengatakan soal ini sebelumnya saat diperiksa polisi dan juga saat di persidangan dulu."
"Anak saya sebenarnya bukan tipe anak seperti itu sama sekali," ujar Warih dengan sorot mata yang kelam. "Mala bukan pencuri. Namun situasi kami saat itu sedang luar biasa buruk. Sudah hampir satu minggu kami enggak makan apa pun selain nasi yang harus diirit. Mala juga harus ke sekolahnya tanpa pegang uang jajan sama sekali saat itu."
"Siang di hari itu," lanjut Warih kini dengan suara yang mulai terdengar bergetar, "Togi -- penasihat hukum saya saat ini -- datang ke tempat saya kerja dan bilang kalau Mala tertangkap mencuri. Saya sangat marah dan malu karena merasa enggak pernah mengajarkan Mala begitu, tapi ... kejadian itu membuat saya kemudian memutuskan untuk berhenti memakai ganja sama sekali."
Bandengan Utara Raya, 1 Januari 1997
"Kalau kau enggak sehat kayak begitu, enggak usah kau paksakan datang ke sini," ucap Gabe dengan tampang jengkel ke arah Warih.
Pria Batak tersebut melihat rekan sesama juru parkir liarnya, lagi-lagi duduk dengan menahan rasa sakitnya di pinggiran deret toko kosong daerah Bandengan, tempat mereka bekerja.
"Kayak banyak ajanya duit yang bakal kita dapat hari ini. Tidurnya semua orang-orang itu karena tahun baru. Hanya anak-anak kita yang harus masuk sekolah untuk latihan di hari libur kayak begini" kata Gabe lagi sambil menyodorkan teh hangat di sebuah gelas plastik ke arah Warih.
"Itulah kau kan? Kau beli-beli ganja itu dari teman si Alip, sampai habis semua duit kau itu! Sekarang enggak ada ganjamu, enggak ada uang kau untuk beli obat kau, habislah kau situ! Apa mau kau kasih makan anak kau itu? Nasi garam lagi?! Warih ... Warih ... Kasihan kalilah si Mala itu kulihat!"
"Kutanya dulu kau," sambung Gabe lagi, "aku di sini yang ditakuti orang-orang itu, tapi ada enggak kau pernah lihat aku mau beli-beli barang begitu?! Premannya aku ini, tapi enggak mau aku pakek-pakek barang haram kek gitu. Masih ada anakku harus kusekolahkan, mana mau aku ditangkap polisi karena barang yang enggak seberapa gitu!"
Warih tidak menjawab ucapan pedas Gabe dan hanya mulai meneguk teh hangatnya dengan kepala menunduk. Melihat tubuh kurus Warhi dan cekungan di wajahnya yang kini semakin menonjol, mau tidak mau Gabe pun kemudian melunakkan ekspresi di wajahnya.
"Kalau memang kau sakit kali, belilah obat kau yang lebih benar," ujarnya kemudian dengan nada lebih pelan. "Ganja itu mungkin memang bisa buat kau lebih enggak kesakitan dari sebelumnya, tapi lebih banyak efeknya nanti yang buruk ke kau. Hancur otak kau itu nanti. Kalau kau hitung-hitung, lebih banyak juga pengeluaran kau selama beli ganja ini, kan?
"Sekarang habis uang kau, enggak ada lagi lauk kau di rumah, enggak ada uangmu beli obat, kambuh pulak lagi sakitmu itu terus-terusan. Kau memang tenang pake ganja, tapi sekarang kulihat mulai gampang aneh-aneh kau. Gampang kali kau sekarang marah kalau enggak ada ganjamu. Kerja kau juga jadi kurang fokus."
"Yang buat aku tambah ngeri, udah banyak pulak orang di sini tahu kau pake ganja," lanjut Gabe tanpa henti. "Terus terang aja Warih, khawatir aku liat kau. Gimana kalo dijebak orang kau nanti. Kau tahu orang-orang kek kita yang enggak ada duitnya ini mudah kali dijadikan kambing hitam, kan?"
"Mau kau kayak si Arul dulu yang lagi bawa ojeknya ... tiba-tiba disetop polisi dia, ada ganja penumpang di motornya, buntutnya ... dituduh pengedar dia. Sampe bonyok anak itu di kantor polisi. Nangis sampai pingsan mamak bapaknya liat dia dipenjara."
"Ah, jadi merepet terus aku, kan?" gumam Gabe kemudian, setelah tersadar kalau ia terus mengomeli Warih yang tengah sakit. "Udahlah, kerja aja kitalah! Kalau enggak bisa kau kerja hari ini, pulanglah kau. Biar aku aja yang pegang daerah kau ini sementara sampai kau sembuh."
Pria itu lalu menatap ke arah satu buah mobil yang mendadak datang dari kejauhan dengan alis mata mengernyit.
"Rih, kayaknya ada mobil itu mau ke sini. Aku yang tanganin buat kau atau kau sendiri?"
Warih ikut menoleh secara perlahan, lalu langsung memaksakan tubuhnya untuk berdiri dengan susah payah sambil meraih tongkatnya.
"Aku aja, Bang," jawab Warih, masih dengan suara yang lemah. "Mala sebentar lagi ujian caturwulan. Aku lagi butuh uang buat bayar SPP-nya yang nunggak bulan lalu biar pas rapotan nanti Mala enggak malu."
Gabe menoleh dengan heran ke arah Warih. "Yakin enggak, kau? Udah kayak mau mati gitu kulihat kau."
"Enggak apa-apa, Bang. Aku bisa," jawab Warih dengan tersenyum tipis.
Pria itu lalu melangkah ke arah tengah jalanan lagi dengan tongkatnya. Hanya beberapa saat setelahnya, ia sudah membantu sebuah mobil cukup mewah untuk parkir di pinggir jalan area mereka. Pengendaranya --- seorang ibu-ibu bertubuh lebar dengan kacamata hitam di wajahnya --- membuka setengah kaca mobilnya sambil menoleh ke arah Warih di belakangnya.
"Di sini, Pak, saya parkirnya?" tanya ibu itu dengan setengah berteriak ke arah Warih.
"Iya, Bu, di sini juga enggak apa-apa. Jalan lagi kosong, kok," jawab Warih sambil memberikan isyarat ke mobil itu untuk mundur ke kiri.
"Begini aja ya, Pak, parkirnya?" ucap sang ibu dengan wajah lelah. "Saya susah kalau harus rapat banget parkirnya ke pinggir. Kalau lagi kosong begini kan mobil saya enggak bakal masalah, toh?"
"Saya hanya khawatir kalau ada mobil lebih besar lainnya nanti lewat, Bu," jawab Warih sambil terbatuk.
"Ah, enggak apa-apa lah, daripada saya kesusahan parkir mundur mepet-mepet begitu," ucap sang ibu seraya mematikan mesin mobilnya begitu saja. "Saya hanya sebentar banget, kok. Ada barang titipan yang harus saya ambil dengan cepat dari rumah saudara saya di sana."
Warih yang masih mengangkat tangannya untuk meminta ibu tersebut lebih merapatkan mobilnya, terpaksa hanya terdiam pasrah ketika melihat wanita itu mendadak keluar dari mobilnya, dan langsung melenggang ke arah rumah yang tengah ditujunya tanpa mempedulikan Warih lagi.
"Ada orang kayak begitu, ya?!" komentar Gabe dari belakang Warih dengan nada nyinyir ketika melihat wanita tersebut sudah menjauh dari mereka. "Manusia egois yang hanya tahu nyetir maju tapi enggak bisa mundur begitu, enggak pantas bawa mobil! Menang berduit aja dia tapi enggak ada otaknya!"
"Lihatlah ini, hah!" ucap Gabe lagi sambil menunjuk ke posisi buntut mobil tersebut yang miring ke tengah. "Yang dikira si ibuk itunya ini daerah parkir serong?! Kek garasi rumahnya dibuatnya jalan raya ini!"
Warih tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sisi toko lagi sambil menyentuh pahanya yang terasa kembali berdenyut. Namun, hanya beberapa detik ia melakukannya, sesuatu yang ditakutkan olehnya dan Gabe ternyata benar-benar langsung terjadi.
Sebuah motor yang tengah melaju kencang melebihi batas kecepatan daerah padat penduduk, mendadak berpapasan dengan mobil lainnya yang lebih besar di sisi berlawanan. Pengendara motor yang telanjur sudah maju untuk memakai jalur di sebelahnya demi melewati mobil sang ibu tadi, secara refleks langsung membanting badan motornya ke arah mobil sang ibu untuk menghindari tabrakan dengan mobil besar tersebut.
Warih dan Gabe yang melihat pemandangan itu pun langsung sama-sama terperangah. Baru saja mereka akan mendekat ke arah pengendara motor yang terjatuh tersebut, sang pengendara motor yang melihat kondisi mobil ibu yang ditabraknya kini penyok dan terkena baret, langsung berlari ke motornya lagi dan segera kabur dari sana. Sementara sang ibu yang masih berada di depan pagar rumah saudaranya, seketika menjerit histeris melihat situasi itu dari kejauhan.
"Mobil saya kena, ya?!" teriak sang ibu dengan nada super panik, sambil berlari kembali ke arah mobilnya.
"Berat ini, Bu," jawab Gabe ketika melihat ada bagian bawah bemper mobil yang penyok - dan goresan panjang di sisi mobil yang mengenai bagian tulang mobil tersebut. "Yang nabrak tadi juga sudah kabur, padahal harus segera dibawa ke bengkel ini, Bu."
"Kenapa Bapak enggak menjaga mobil saya tadi?!" Ibu tersebut mendadak menoleh ke arah Warih dan langsung membentak keras pria yang masih bengong itu. "Bapak kan yang bertugas jaga mobil yang diparkir di sini, kok Bapak enggak mencegah yang tadi itu terjadi?"
"Saya? Mencegahnya?" tanya Warih dengan raut bingung.
"Iya, dong! Bapak kan petugas parkir di sini dan dapat uang dari jagain parkiran! Bapak harusnya tadi bisa mencegah itu terjadi atau setidaknya bisa lari kejar motor tadi!"
"Bu, teman saya ini kakinya bermasalah, Bu," sela Gabe dengan sedikit sewot. "Yang benar aja Ibu suruh teman saya kejar motor tadi dengan kondisi kaki begini."
"Loh, kalau punya masalah dengan kaki ya Bapak suruh temannya jangan kerja beginian dong, Pak! Dunia kendaraan kan dunia yang butuh kaki!" bentak ibu tadi dengan nada yang tidak mau kalah keras dengan Gabe. "Lagian kalau temannya enggak bisa, kenapa enggak Bapak aja yang tadi kejar motornya?"
Gabe yang dasarnya memang berdarah panas, tiba-tiba meradang. "Ibu ini kok nyalah-nyalahin pihak kami terus, sih, Bu?! Ibu ini sedang parkir di jalan raya, bukan di tempat parkir khusus! Apa pun bisa terjadi, Bu, di sini! Yang bener tadi, Ibu ikutin kata temen saya untuk parkir lebih ke pinggir. Walau kondisi lagi kosong, biasanya kalau jalanan lenggang itu kendaraan lain di sini ngebut-ngebut, Bu!"
Sang ibu mendadak terlihat naik pitam. "Saya tanya, teman kamu itu punya mobil enggak di rumahnya?! Kamu sendiri punya mobil enggak?! Saya heran dengan tukang parkir kebanyakan, enggak punya mobil aja ... sok-sok ngajarin cara parkirin mobil yang bener! Bapak tahu enggak kalau logika mobil dan motor itu beda?! Jangan disamain main bilang 'mundur mundur' aja! Kalian ini pada sekolah enggak, sih?!"
Gabe menarik napasnya dalam-dalam dengan tidak sabaran. "Ibu tahu sudah berapa lama saya jadi tukang parkir di Jakarta? Sudah lebih dari 20 tahun, Bu! Teman saya juga begitu! Baru kali ini dalam sejarah kami markirin mobil orang, kami malah dianggap enggak ngerti logika parkir mobil! Kalau Ibu yang begok, jangan bilang orang yang enggak sekolah, dong!"
Ibu tadi langsung melotot. "Barusan ... kamu bilang saya bego?"
"Iya, memang Ibu yang begok, kok! Ibu ini baru belajar nyetir mobil atau gimana?!" maki Gabe dengan cuek. "Lagian kalau Ibu memang sekolah dengan bener, masa Ibu enggak bisa melihat sumber masalah tadi dari mana?! Jelas-jelas posisi mobil Ibu dan kecepatan motor tadi sama-sama salah! Kenapa juga Ibu jadi salahin teman saya dan saya?!"
"Kamu enggak lihat di dashboard depan mobil saya ada apa?" tanya sang Ibu mendadak dengan nada berbeda yang lebih dalam.
"Kenapa juga saya harus melihat ke dashboard Ibu?!" balas Gabe makin jengkel.
Meskipun begitu, pria itu kemudian melirik ke arah yang dimaksud sang ibu dan seketika langsung terdiam. Di bagian dashboard mobil tersebut, terletak topi dinas dari instansi tertentu yang menunjukkan pangkat seseorang di sekitar sang ibu ... yang jelas cukup tinggi.
"Siapa nama kamu?" tanya ibu itu lagi dengan tiba-tiba ke arah Gabe. "Siapa nama kamu?! Saya mau langsung laporin kamu ke suami saya dan lihat ... apa kamu masih berani besar mulut kalau hadapin suami saya! Siapa nama kamu, hah?!"
Warih yang juga melihat hal yang sama, segera maju untuk menghalangi tubuh Gabe dari ibu-ibu tersebut.
"Sudah, Bu," ujarnya dengan keringat yang mulai menetes di dahinya. "Anggap saja ini salah saya. Teman saya ini enggak ada urusannya dengan yang terjadi tadi. Tolong ini jangan diperpanjang."
"Enak aja kamu ngomong begitu setelah kamu buat mobil saya penyok?!" balas si Ibu dengan intonasi meninggi. "Kalian berdua ini kan pasti enggak punya izin juga sebagai petugas parkir, kan? Sekalian nanti saya kasih tahu suami saya soal ini, biar tahu rasa kalian! Kalau tahu hanya bergantung dengan nafkah sebagai petugas parkir liar, jangan sok jagoan ke orang! Saya bisa buat kamu enggak bisa kerja lagi di sini!"
"Bu, saya mohon masalah ini jangan diperbesar. Saya---"
"Kamu enak ngomong jangan diperbesar ... jangan diperbesar! Memangnya mobil kamu yang lagi rusak gara-gara orang! Kecuali kalau kamu mau ganti biaya kerusakan mobil ini, saya akan tetap proses teman kamu ini ke suami saya! LIhat saja, saya laporin dia ke suami saya sekarang biar dia dicari di daerah sini nanti! Dia sudah menghina saya soalnya!"
Wanita tersebut sudah akan memasuki pintu mobilnya lagi, tetapi tiba-tiba tangan Warih menahannya.
"Saya akan menggantinya," ucap Warih secara tiba-tiba.
"Apa?"
"Saya akan mengganti biaya kerusakan mobil Ibu," ulang Warih lagi.
"Warih, jangan kau sembarangan ya!" protes Gabe dari belakang. "Obat kau aja enggak bisa kau beli, ngapain kau capek-capek larang dia laporin aku ke suaminya! Aku aja enggak peduli ama dia dan suaminya! Siapa rupanya mereka?!"
Warih tetap tidak bergerak. "Biar saya yang membayar semua kerusakan mobil Ibu, tapi saya mohon jangan cabut sumber nafkah teman saya. Dia dan saya sama-sama punya anak, Bu."
"Warih!" teriak Gabe lagi.
"Itu tadi rumah saudara Ibu, kan?" tanya Warih sambil menunjuk ke arah rumah yang sempat didatangi oleh ibu itu tadi -- seraya mengacuhkan protes dari Gabe. "Besok datang lagi saja ke sana di jam-jam segini atau paling lambat jam tujuh malam. Saya akan bawa uang untuk mengganti kerusakan mobil Ibu. Selagi Ibu enggak memperpanjang kasus ini, saya yang akan membayarnya."
"Oke," jawab si Ibu sambil menarik napasnya. "Kalau sampai kamu besok enggak ada di situ dan bohong ke saya, saya pastikan kamu dan teman kamu nanti menyesal!"
Wanita itu lalu cepat-cepat menutup jendela mobilnya lagi dan langsung pergi dari sana. Sementara Gabe yang masih naik darah, kini mendekat ke arah Warih dan menarik tangannya.
"Warih, kenapa kau yang...."
Ucapan Gabe segera tertelan. Pria itu mendadak terdiam saat melihat bola mata Warih ternyata sudah berkaca-kaca.
"Hanya ini, Bang, cara kita cari nafkah untuk anak-anak kita," ucap Warih dengan suara yang bergetar. "Jadi tolong ... tolong biar aku selesaikan masalah aku tadi sendiri. Kalau mata pencarian kita juga ditutup, anak kita nanti gimana?"
"Warih, kau aja enggak bisa beli obat kau dan beli lauk buat anak kau," ujar Gabe lagi. "Gimana nanti cara kau cari uang buat bayar mobil si ibu br*ngsek tadi?!"
"Aku akan jual radio dan kulkas aku sore ini juga," jawab Warih dengan kepala tertunduk.
"Radio kesayangan kau itu?" tanya Gabe dengan raut wajah yang kaget. "Kau ini---"
"Om Warih!"
Suara seorang anak laki-laki dari kejauhan mendadak mengagetkan Gabe dan Warih secara bersamaan. Keduanya lalu menoleh dan melihat Togi tengah berlari ke arah mereka.
"Om Warih, Mala ketangkep mencuri, Om! Mala ngambil barang dari toko Nyai Imas secara diam-diam dan malah ketahuan!" ujar Togi dengan tetes keringat yang membanjiri tubuhnya.
"Apa kau bilang?" tanya Gabe ke arah anaknya dengan bola mata yang melebar kaget.
"Mala ketahuan mencuri. Sekarang Mala lagi di toko Nyai Imas itu ... dan banyak orang-orang yang ngeliatin Mala lagi dimarah-marahin sama Nyai Imas."
Warih yang masih bergelut dengan sakit luar biasa di kakinya, mendadak merasa jantungnya copot. Dengan bola mata yang masih berkaca-kaca dan wajah yang pucat, pria itu kemudian memaksakan kakinya yang masih nyut-nyutan untuk melangkah cepat menuju ke arah rumahnya yang tak jauh dari sana.
Begitu ia tiba di toko yang dimaksud oleh Togi bersama dengan anak itu sendiri, pria itu langsung terdiam. Ia seketika merasa sakit hati melihat anaknya disuruh berdiri di pojok depan toko tersebut, dalam kondisi yang tengah menangis dengan raut wajah yang ketakutan.
"Nyai," gumam Warih ke arah Nyai Imas, sambil menatap ke arah orang-orang yang menonton anaknya tengah dipermalukan di sana. "Nyai, anak saya---"
"Si Mala sekarang sudah berani mencuri ya, Rih?!" tanya Nyai Imas -- sang pemilik toko yang berusia tiga tahun di atas Warih -- dengan raut wajah yang tampak sangat kesal. "Ini anak kamu masukin dua kotak susu ke dalam tasnya dan langsung mau main kabur aja! Kalau tadi anak saya enggak melihat dia dari bawah, saya juga enggak bakal tahu soal ini!"
Warih yang masih tersengal-sengal dengan tubuh yang basah oleh keringat, kini menoleh ke arah anaknya yang langsung semakin menundukkan kepalanya ke arah lantai.
"Nyai, maaf, saya akan membayar apa yang Mala ambil," ujar Warih dengan kepala yang mendadak terasa panas dan kaki yang kini semakin berdenyut. Terlebih, ia melihat begitu banyak anak lainnya dan ibu-ibu di sana yang ikut memandang dengan aneh ke arah anaknya yang masih diminta berdiri.
"Bukan itu yang saya mau!" jawab Nyai Imas malah semakin sewot. "Saya enggak khawatir soal uangnya karena tahu kalau kamu lagi susah. Saya cuma kesal karena dia mulai berani mencuri! Kalau di usianya yang segini aja dia begini, gimana gedenya nanti?! Dia harus tahu ganjaran atas tindakannya dari sekarang, supaya dia---"
Buugh!
Sebuah suara pukulan keras seketika menutup mulut Nyai Imas. Wanita itu bahkan tidak sempat menyadari ketika Warih bergerak ke arah anaknya sendiri dengan cepat -- dan mendadak memukul punggung sang anak dengan begitu keras sampai-sampai anak perempuannya itu langsung terhempas jatuh membentur lantai.
"Siapa yang ajarin kamu mencuri?" tanya Warih mendadak terlihat meledak dalam kemarahan pada anaknya di lantai. "SIAPA YANG AJARIN KAMU MENCURI SELAMA INI?!
"A---ayah?" Mala memandang ke arah ayahnya dengan bola mata yang nanar dan ekspresi wajah yang tampak luar biasa kaget. Gadis kecil yang sejak tadi memang sudah menangis itu, kini tampak tertegun dan syok di tempatnya.
Buugh!
Sekali lagi, sang anak mendapat pukulan keras di punggungnya dari sang ayah, sampai pundaknya kemudian kembali menghantam lantai. Nyai Imas yang tidak menduga itu akan terjadi, seketika menarik lengan Warih dari atas Mala yang refleks mengompol di lantai -- sesuai kebiasaan lama Mala yang buruk setiap ia merasa luar biasa kaget dan sangat ketakutan.
"Masyaallah, Warih! Kamu sudah gila, yah?!" teriak Nyai Imas dengan panik. "Kamu enggak lihat anak kamu sampai enggak berani bergerak dari lantai dan kencing di situ saking syoknya dengan kamu?! Itu anak perempuan kamu, Rih!"
Warih tidak menjawabnya. Wajah pria itu kini sudah memerah karena marah dan seluruh isi kepalanya seakan dipenuhi kabut. Pria itu bahkan sudah akan bergerak untuk memukul anaknya lagi, kalau saja sesuatu tidak membuatnya mendadak terkejut.
Togi --- anak Gabe yang biasanya juga sering mendapat pukulan dari ayahnya --- secara tiba-tiba maju untuk menutupi punggung Mala dari kepalan tangan Warih. Akibatnya, kini anak laki-laki itu yang ikut terjatuh ke lantai dan langsung menimpa Mala.
"To---togi?" gumam Warih mendadak seperti tersadar akan situasi mereka semua. "Kenapa kamu ...?"
Togi langsung berbalik ke arah Warih -- dan memaksakan dirinya untuk kembali berdiri dengan cepat untuk terlihat kuat.
"Enggak apa-apa, Om. Kalau aku ... sudah biasa dipukul Bapak, tapi Mala kan enggak," ucapnya sambil tersenyum. "Lagian, Om kan sudah kasih aku ijin untuk lindungi Mala. Aku kan abangnya dia."
Anak laki-laki itu kemudian menarik pundak Mala dari lantai untuk membantunya bangkit. Butuh waktu cukup lama baginya untuk berhasil membujuk Mala yang sangat ketakutan untuk berani berdiri lagi, sebelum akhirnya ia berhasil membawa Mala berjalan keluar dengan kondisi rok sang gadis cilik yang sudah basah.
Satu hal yang membuat Warih saat itu langsung merasa tertampar dengan sikap Togi adalah ... anak itu langsung menghadap lagi ke arah Nyai Imas untuk meminta maaf dengan sopan atas nama Mala, sebelum kemudian membawa Mala pergi dari sana untuk pulang sambil menutupi badannya.
Warih sendiri baru menyusul ke rumahnya setengah jam kemudian, setelah ia selesai berbicara dengan Nyai Imas dengan lebih tenang. Ketika ia sampai di rumahnya, pria itu melihat Togi masih duduk dengan sopan di ruang depan rumahnya, sementara Mala malah tidak bersamanya.
"Karena Om sudah datang, aku pulang dulu, ya?" ucap Togi begitu melihat Warih masuk, sambil berdiri dari kursinya.
"Mala ...?" tanya Warih dengan nada suara yang pelan.
"Lagi nangis di kamarnya, Om," jawab Togi. "Tapi Mala sudah mandi kok."
Warih mengangguk, lalu melangkah pincang ke arah kursi lainnya di sana untuk duduk. Pria yang tampak tengah lelah dan frustrasi itu kemudian menarik napasnya dalam-dalam untuk bisa bersikap lebih tenang.
"Aku mungkin enggak seharusnya bocorin ini ke Om, tapi pas pulang tadi ... Mala bilang sambil nangis kenapa dia sampai mencuri dua kotak susu," ucap Togi dari arah pintu depan rumah Warih. "Ternyata tadi kata tetangga Om, ada razia urine di daerah sini untuk mengecek orang-orang yang memakai narkoba. Katanya polisi lagi gencar ke sini karena ada isu pengedar ganja di sini."
"Mungkin karena takut Om tertangkap tiba-tiba," lanjut Togi, "Mala berusaha cari susu dengan panik. Dia kira, susu mungkin bisa membantu Om membersihkan bekas ganja di urine Om. Mala enggak punya uang sama sekali, jadi tadi dia sampai nekat melakukan itu karena terlalu panik. Dia bahkan belum makan sama sekali dari sekolah tadi, tapi ... dia enggak mengambil sesuatu untuk perutnya sendiri."