...

8. Dia yang Membisu 18 Tahun

"Lidah yang sengaja membisu atau dibisukan, seringnya menyimpan sejarah yang nyata."

 

~ Rouzel Soeb ~

Gedung Mahkamah Agung, Medan Merdeka Utara, Jakarta, 22 Februari 2016, Pukul 14.00 WIB


Kedatangan Suwasto -- bekas guru Matematika di sekolah Togi dan Mala dulu -- tentunya menjadi yang paling menyita semua perhatian publik di persidangan kedua kasus Warih. Hal ini dikarenakan Suwasto disebut-sebut sebagai satu-satunya saksi hidup yang tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Mala 18 tahun yang lalu.


Pria yang kini sudah berusia 67 tahun itu bertubuh pendek, memiliki jidat yang lebar, dan rambut yang telah memutih. Jika dulunya badannya terbilang gempal, ia kini sudah tampak sekurus Warih.


Tidak ada senyum di wajahnya. Yang tersisa kini pada sang guru hanyalah sinar trauma yang sama dengan milik Warih di bola matanya.


Setelah melakukan prosedur pengambilan sumpah, seorang petugas keamanan sidang beserta putri dari Suwasto sendiri langsung mendudukkan Suwasto di kursi saksi. Begitu ia berdeham di kursinya, bola mata seluruh pengunjung sidang pun kini langsung tertuju padanya.


"Saksi ini dalam keadaan sehat dan sudah bisa berbicara lancar, ya?" tanya Hakim Autar ke arah putri dari Suwasto yang duduk di kursi pengunjung terdepan.


"Sudah, Yang Mulia," jawab sang anak dengan tersenyum.


"Kalau begitu ... penasihat hukum?" tanya Hakim Autar sambil menoleh ke arah Togi. "Silakan dimulai." 


Togi menarik napasnya dan kini memandangi guru Matematika dari masa lalunya -- yang dulu juga merupakan guru favoritnya dan Mala -- dengan raut penuh kesedihan.


Delapan belas tahun yang lalu masih ada tawa yang sering menyungging di wajah pria itu, sesekali disertai sorot mata yang galak. Namun, segala yang terjadi rupanya sudah membuatnya berubah total menjadi seorang pria menyedihkan yang tampak gugup dan penuh rasa takut akan pandangan semua orang padanya di ruang sidang itu.


"Saksi," sapa Togi, "agar yang lain tahu apa yang sebenarnya membuat Anda menghilang begitu lama tanpa memberikan keterangan sama sekali, saya akan menanyakan beberapa hal pada Anda. Anda enggak keberatan untuk ini, kan?"


Suwasto mengangguk perlahan, sebelum kemudian menjawab pertanyaan Togi, "Enggak apa-apa."


"Selama 18 tahun, Anda adalah satu-satunya saksi dari kasus ini yang mengetahui segala yang terjadi pada korban. Namun, Anda kemudian menghilang dari area Penjaringan bersama istri dan putri Anda hanya delapan hari setelah kejadian. Ke mana Anda saat itu sebenarnya pergi?"


Suwasto menelan ludahnya dengan raut wajah yang penuh rasa bersalah. "Saya ... dibawa keluarga saya pulang ke kampung saya di Blitar."


"Boleh saya tahu, kenapa keluarga Anda mendadak membawa Anda pindah ke sana?" tanya Togi lagi.


"Saat itu, saya hanya seorang guru SD yang berpenghasilan kecil," jawab Suwasto. "Di masa krisis moneter --- bahkan setelah saya mengambil pekerjaan sampingan sebagai tukang ojek lepas di malam hari --- saya tetap kesusahan mendapatkan penghasilan lebih untuk membayar biaya kontrak rumah kami. Mendiang istri saya juga saat itu sedang mengandung anak kedua kami."


"Tanggal 13 Mei 1998, saya mengalami penganiayaan berat di seluruh tubuh, terutama di kepala saya. Akibat dari itu, saya dilarikan warga yang menemukan saya ke rumah sakit. Di sana, saya mengalami stroke. Lalu dua hari setelahnya, saya resmi didiagnosis menderita gangguan afasia global yang membuat saya sempat sangat lama mengalami kesulitan berbicara dan memahami kata-kata."


"Di hari ketujuh saya di rumah sakit --- tepatnya tanggal 20 Mei --- beberapa orang tiba-tiba mendatangi istri saya di sana. Mereka mengaku tahu banyak hal tentang saya, lalu meminta istri saya untuk pergi dari Jakarta dan membawa saya. Kata mereka, kalau kami memilih bertahan di Jakarta, saya akan dibuat mati."


"Istri saya yang saat itu sangat ketakutan mendengar ancaman mereka, kemudian membawa saya dan anak saya pulang kampung pada tanggal 21 Mei -- dengan kondisi saya yang saat itu masih enggak bisa bergerak dan bicara sama sekali. Istri saya juga tengah hamil besar saat itu. Karena takut, dia bahkan sampai meninggalkan banyak barang di rumah kontrakan kami -- dan langsung memesan mobil travel untuk pulang ke Blitar."


"Sampai tujuh tahun yang lalu, istri saya masih enggak mau membicarakan apa pun tentang ancaman itu lagi sama sekali. Dia bahkan enggak mau memberitahukan ke saya, siapa mereka ... dan bagaimana ciri-ciri mereka. Padahal, di tahun 2006, saya sudah mulai kembali bisa berbicara dan memahami kata-kata." 


"Mungkin karena melihat saya sempat mengalami depresi dan trauma hebat, dia sendiri jadi ikut trauma. Dia baru mau menceritakan segalanya ke saya menjelang akhir hayatnya.""


"Enggak satu pun dari anggota keluarga saya yang lain saat itu tahu kalau apa yang terjadi ke saya berhubungan dengan kasus Mala. Entah kenapa, saya sendiri juga enggak bicara soal itu." 


"Semakin lama, saya semakin takut untuk membaca informasi apa pun tentang masa-masa di Mei 1998 ... atau bahkan mendengar orang berbicara tentang itu. Semuanya seperti terkubur di dalam kepala saya begitu saja, sampai Anda datang ke rumah saya di Blitar tahun lalu untuk meyakinkan saya bersaksi."


Togi mengangguk. "Saksi, Anda ditemukan oleh warga pada tanggal 14 Mei pagi di area pinggir jalan Jembatan Tiga. Korban Mala ditemukan di area Kali Angke pada tanggal 17 Mei. Anda sendiri sempat mengaku ke saya kalau Anda bersama Mala di sepanjang malam tanggal 13. Apa yang terjadi sampai Anda lalu bisa ditemukan di dua tempat berbeda?"


Suwasto menggerakkan kepalanya dengan bingung. "Saya juga enggak mengerti. Informasi kalau jasad Mala ditemukan di Kali Angke --- dan bahwa saya sebenarnya ditemukan di area Jembatan Tiga --- itu baru saya ketahui dari mulut Anda saat menemui saya. Mendiang istri saya enggak pernah kasih tahu di mana saya ditemukan sebelumnya."


"Anda enggak merasa kalau Anda seharusnya ditemukan di sana?"


"Enggak, itu bukan lokasi di mana saya mengalami penganiayaan sampai enggak sadarkan diri. Begitu juga dengan Mala. Dia enggak seharusnya di sana."


Togi mengerutkan dahinya. "Jadi, di mana seharusnya Anda ditemukan oleh warga pagi itu?


"Daerah Peluit Mas. Saya dan Mala seharusnya ditemukan di sana. Itu lokasi kejadian yang sebenarnya."


"Peluit Mas? Itu daerah menengah ke atas dan tempat di mana koin-koin milik korban Mala sempat ditemukan oleh kaum relawan yang mencarinya," gumam Togi. "Boleh saya tahu, tepatnya ... di bagian mana Pluit Mas yang Anda yakini sebagai tempat Anda seharusnya mengalami penganiayaan?"


Suwasto terdiam selama beberapa saat dengan ekspresi yang cukup tegang dan sedikit tidak nyaman.


"Saya ... seharusnya ditemukan di depan rumah salah satu pejabat tinggi penegak hukum di negara kita," jawabnya kemudian dengan pita suara yang mulai bergetar "Sa--saya rasa, tanpa menyebutkan namanya, semua orang sudah tahu rumah siapa yang saya maksud. Namun, mungkin sebaiknya---"


"Saat kejadian, enggak ada satu pun orang dari rumah itu yang menolong Anda dan korban?" tanya Togi lagi dengan langsung memotong perkataan Suwasto.


"Sejujurnya saya enggak bisa menyimpulkan apa pun tentang beliau dan orang-orang di rumahnya saat itu. Ketika kondisi di berbagai tempat rusuh, banyak orang-orang yang memang hijrah sementara ke tempat lebih aman. Saat itu, memang rumah tersebut dalam kondisi sangat sepi. Jadi, saya kurang tahu apa menuduh beliau terlibat atas ini seperti yang didesas-desuskan itu ... sudah tepat atau enggak."


"Tapi Anda mengakui kalau Anda baru tahu bahwa Anda ditemukan di tempat yang berbeda dari tempat seharusnya Anda berada?"


"Ya."


"Ada kemungkinan kalau orang-orang yang menganiaya Andalah yang memindahkan Anda?"


Suwasto memiringkan kepalanya sambil berpikir. "Bisa jadi, tapi yang saya ingat, mereka sudah pergi cukup lama sebelum saya akhirnya pingsan."


"Anda ingat itu jam berapa?"


"Enggak, saya enggak ingat. Besar kemungkinan itu menjelang tengah malam."


Togi kemudian memutuskan untuk tidak melanjutkan pertanyaannya seputar topik tersebut lagi. "Saya akan bertanya hal lainnya sekarang. Boleh saya tahu, kenapa Anda berkeliaran di malam tanggal 13 Mei, di mana saat itu kondisi sebenarnya sedang cukup rusuh di sekitar Anda?"


"Anak kedua saya akan segera lahir dan kami butuh uang," jawab Suwasto dengan jujur. "Itu makanya saya bekerja sebagai tukang ojek lepas di malam hari. Saya juga dengar kalau ada satu dua orang yang masih butuh transportasi di daerah kami."


"Jadi, saya akhirnya nekat keluar untuk bekerja dengan pertimbangan bahwa ... daerah kami enggak akan mungkin sampai ikut serusuh daerah lainnya. Ketika saya keluar dari rumah, saya juga belum tahu kalau kerusuhan sebenarnya sudah merambat ke banyak tempat, termasuk ke Jembatan Tiga."


"Apa itu yang membuat Anda kemudian bertemu dengan korban Mala pada tanggal 13 Mei petang?"


"Ya, saya ... bertemu dengan Mala saat saya sedang mengojek"


Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Terlama
Terbaru Vote Terbanyak
Inline Feedbacks
View all comments
error: KONTEN INI DIPROTEKSI!!!
#!trpst#trp-gettext data-trpgettextoriginal=4498#!trpen#Seraphinite Accelerator#!trpst#/trp-gettext#!trpen##!trpst#trp-gettext data-trpgettextoriginal=4499#!trpen#Optimized by #!trpst#trp-gettext data-trpgettextoriginal=4498#!trpen#Seraphinite Accelerator#!trpst#/trp-gettext#!trpen##!trpst#/trp-gettext#!trpen#
#!trpst#trp-gettext data-trpgettextoriginal=4500#!trpen#Turns on site high speed to be attractive for people and search engines.#!trpst#/trp-gettext#!trpen#