...

9. Lembaran Hitam yang Terkuak #1

"Kekayaan orang per orang didapat berdasarkan kemampuan atau keberuntungan, bukan karena warna kulit atau bentuk mata."

 

~ Rouzel Soeb ~

Gang Buntek, Bandengan, Jakarta Barat, 13 Mei 1998, pukul 16.30 WIB

 

Duaarr!


Bunyi suara ledakan keras di kejauhan membangunkan Mala yang sedang tertidur di meja belajarnya. Gadis kecil itu menoleh ke arah jendela bagian depan rumahnya dengan mata yang masih memerah. Begitu menyadari bahwa situasi di luar terdengar sangat ramai, ia lalu berdiri dari tempatnya terduduk.


Mala sudah akan berjalan untuk kembali mengintip ke arah luar --- seperti yang seharian itu terus menerus dilakukannya --- tetapi langkahnya mendadak terhenti begitu ia mendengar suara rintihan ayahnya. Seketika, sang gadis kecil pun mengubah haluannya dan langsung berjalan ke arah kamar ayahnya.


"Yah? Ayah kesakitan lagi, ya?"


Ia kembali berdiri di depan pintu kamar ayahnya seperti pagi tadi dan berusaha mendengar reaksi Warih dari dalam. Namun, tidak ada suara respons yang terdengar di telinganya.


"Yah ...?"


Anak itu mengulang panggilannya sekali lagi. Sayangnya, sang ayah tetap tidak menjawabnya. Dengan firasat yang buruk, ia pun kini membuka pintu kamar Warih dan langsung melangkah masuk ke dalamnya. Bola matanya seketika melebar dengan kaget saat ia melihat ayahnya tampak tengah seperti meregang sendiri di tempat tidurnya -- dengan kondisi leher kepala yang seolah-olah tertarik ke atas karena rasa sakitnya.


Otot-otot tubuh ayahnya saat itu tampak menegang dan seluruh urat di leher dan wajahnya terlihat seakan-akan menyembul ke luar. Ia sudah tampak basah oleh keringatnya sendiri dan napasnya terdengar menderu cepat.


Mala yang melihatnya jelas langsung terlonjak kaget. Secara refleks, ia berlari untuk menaiki tempat tidur ayahnya dan memandangi wajah ayahnya yang tampak begitu menderita dengan tatapan syok.


"A---ayah ... sabar, ya. Tu----tunggu sebentar, Mala ambilin obat Ayah," ucap anak gadis itu dengan wajah panik.


Mala pun kemudian terburu-buru turun dari tempat tidur ayahnya dan langsung menuju ke arah meja kecil tempat sang ayah biasanya meletakkan obatnya. Sayangnya, hanya ada sisa plastik pembungkus obat yang telah kosong di sana.


Ia kini semakin panik. Ia lalu melirik ke kiri dan ke kanannya untuk berusaha mencari obat ayahnya tersebut.


Di mana? Mala bertanya-tanya dalam hatinya dengan cemas. Ayah tadi bilang obatnya masih ada. Di mana?

 

Ia lalu langsung mengubek-ubek semua tempat di kamar Warih untuk mencari obat sang ayah. Dengan tangan yang gemetaran karena masih terus mendengar suara rintihan ayahnya, ia pun mengecek kembali plastik obat di atas meja tadi. Saat melakukannya, seketika itu juga gadis itu tertegun.


Tiga butir? Ayah ... hanya membeli tiga butir obat saat ke puskesmas kemarin?

 

Gadis kecil itu lalu menoleh ke arah ayahnya lagi dengan kaget.


Kenapa? Kenapa ayah hanya membeli tiga butir obat? Kalau ayah membeli obat ini dua hari yang lalu, artinya ... dari kemarin siang atau malam, ayah sebenarnya sudah enggak punya obat lagi?


Apa ayah ... sudah sangat enggak punya uang?

 

Rintihan suara ayahnya yang kini terdengar seperti sangat pilu, membuat sekujur tubuh Mala semakin merinding. Gadis kecil itu kini membuka lemari baju ayahnya dan mencari-cari kemungkinan adanya obat apa pun di sana. Sayangnya, ia tetap tidak menemukan apa pun.


"Akan ada saatnya Pak Warih nanti mengalami nyeri hebat di kakinya lagi, sampai ia mungkin enggak sadar dengan situasi di sekitarnya atau bahkan sampai kehilangan kesadarannya. Jika itu terjadi, segera bawa Pak Warih ke rumah sakit agar saya bisa mengeceknya dan mungkin meresepkan obat dengan dosis lebih tinggi untuknya."

 

Suara ucapan dokter dari masa lalu kepada Gabe Purba yang saat itu membantu membawa Warih pulang dari rumah sakit, kembali terngiang di dalam kepala Mala. Bola mata anak itu mulai berkaca-kaca ketika ia membuka sebuah laci kecil di dalam lemari ayahnya. Sesuatu yang ada di sana mendadak membuatnya tertegun. Ada lembaran uang tunai yang selama ini ternyata disimpan oleh Warih di dalam sebuah amplop di sana.


Mala yang penasaran, kemudian membuka kertas tipis yang melapisi uang itu dengan tangannya yang masih gemetaran. Begitu membaca coretan kasar ayahnya di atas kertas itu tentang rincian biaya masuk dirinya ke SMP, gadis cilik itu pun seketika meneteskan air matanya.


Ia tidak menyangka ayahnya sampai sedemikian rela bertahan menahan rasa sakitnya selama beberapa hari ini, hanya untuk bisa mempertahankan biaya masuk sekolah Mala ke sebuah SMP yang diinginkan oleh sang anak. Mala yang baru menyadari itu, kemudian menoleh ke arah sang ayah di belakangnya dan mulai menangis.


Untuk beberapa saat, ia hanya terdiam dan menangis. Gadis itu jelas bingung. Ia hanya seorang anak kecil yang belum mampu bersikap tenang untuk mengatasi situasi berat dalam hidupnya. Karena itu ketika ia melihat ayahnya meregang sekali lagi, mau tidak mau ... ia melakukan apa pun yang saat itu terlintas di benaknya.


Mala langsung berlari keluar untuk meminta bantuan pada Enyak Juri. Namun, setelah cukup lama memangil sang tetangga dan tidak ada satu pun yang keluar dari pintunya, ia jelas mengira bahwa sedang tidak ada orang di rumah itu. 


Yang tidak ia tahu, begitu ia sudah kembali ke rumahnya lagi dan menutup pintu depannya, anak remaja Enyak Juri -- Epi -- membuka pintu rumahnya dan memandang ke sekelilingnya yang kosong dengan ekspresi bingung.


Mala sendiri yang masih sangat panik, mendadak terpikir untuk membuatkan ayahnya segelas air hangat untuk diminum. Di pikirannya, minuman itu mungkin bisa sedikit membantu kondisi ayahnya agar lebih baik.


Sayangnya, yang terjadi kemudian saat ia tengah berusaha untuk menuangkan minuman itu ke mulut ayahnya yang kembali meregang, sang ayah malah langsung tersedak dan memuntahkan seluruh cairan tersebut dari mulutnya.


Mala seketika mematung dengan kaku. Setelah tersadar kalau ia harus bertindak cepat, gadis kecil itu lalu meraih kain lap dari meja di kamar ayahnya tersebut -- dan memutar posisi tubuhnya untuk langsung duduk di samping kepala Warih. Tangan gadis itu kemudian cepat-cepat mengusap mulut dan leher ayahnya yang basah.


Yang sangat mengejutkan, di saat ia tengah berusaha untuk juga mengusap area basah di bantal kepala Warih yang juga sudah bercampur dengan keringat pria tersebut, secara tiba-tiba Warih kembali meregang. Entah apa yang terjadi, tubuh sang ayah mendadak setengah berbalik ke arah Mala dan tangannya tanpa sadar sudah mencengkeram paha anaknya kuat-kuat untuk menahan rasa sakitnya.


Mala yang kaget, kemudian langsung berteriak karena merasakan sakit luar biasa di pahanya. Tanpa sadar, ia lalu menarik paksa tangan ayahnya dan langsung menghempaskannya jauh-jauh dengan reaksi wajah yang syok. Hanya beberapa detik setelah melakukannya, ia kemudian melihat kepala Warih mulai terkulai di bantalnya ... dan kemudian pingsan di tempatnya.


"Ayah ...?" panggil Mala memecah keheningan di kamar Warih.


"A---ayah ...?" panggil Mala sekali lagi, dengan air mata yang kini berderai jatuh di pipinya. "Apa rasanya memang sakit sekali? Bagaimana ... bagaimana caranya supaya Ayah bisa membagi rasa sakit Ayah ke Mala?"


"Apa Mala membuat kesalahan? Apa seharusnya Ayah tadi enggak boleh minum?" tanya Mala sambil terisak. Anak itu lalu menjatuhkan kepalanya di dada sang ayah untuk mendengar detaknya. "Ayah enggak akan mati, kan? Jangan mati, Mala hanya sendiri ...."


"Ayah, butuh obat, ya? Mala enggak punya uang," ucapnya lagi dengan suara yang terdengar begitu tak berdaya. "Kalau Mala punya uang, Mala akan ...."


Ucapan pelan anak itu mendadak terhenti. Entah bagaimana, sesuatu tiba-tiba terbesit di kepalanya. Ia kini mengusap air matanya, lalu segera melompat turun dari tempat tidur Warih untuk berlari ke kamarnya sendiri.


Di sana, Mala segera meraih celengan plastik berbentuk bulat, tempat ia selama ini selalu menyimpan uang-uang koin dari sisa hasil parkir ayahnya. Tanpa ragu, anak itu pun membawanya ke dapur untuk segera membuka celengannya tersebut dengan menggunakan pisau dapur.


Begitu ia berhasil membukanya, sang gadis cilik lalu menghitung satu per satu uang hasil menabungnya itu dan langsung menghembuskan napasnya dengan lega.


Bisa, Mala bisa membelikan ayah obat!

 

Ia pun kemudian meraih kantong kresek terdekat yang dilihatnya di dapur, lalu langsung memasukkan semua koinnya ke dalamnya. Setelah meletakkan bekas celengan dan uang koinnya ke kamarnya lagi, gadis kecil itu kemudian berjalan ke luar dari pintu depan rumahnya dan langsung melirik ke kiri dan kanannya. 


Ia melakukan itu cukup lama dengan sisa isak tangis di wajahnya, sampai mendadak ia melihat sebuah motor melintas menuju ke arah rumahnya dari kejauhan.


Begitu motor yang dilihatnya sudah semakin mendekat, anak itu lalu langsung menghentikannya dengan cepat. Ia tidak sadar bahwa yang saat itu dihentikannya ternyata adalah motor Fadli, seorang pemuda di daerah rumahnya yang terkenal cukup nakal dan selama ini kurang disukai oleh ayahnya.


Setelah menyadari itu, Mala jelas langsung mundur selangkah karena takut. Namun, karena Fadli sudah membuka helmnya dan memandang ke arahnya, Mala pun terpaksa menyapanya.


"Kenapa lu?" tanya Fadli ke arah Mala yang matanya masih bengkak karena baru menangis, dengan gaya bahasa yang tidak terlalu terdengar khas Betawi lagi.


"A---apa ... Bang Fadli mau keluar?" tanya gadis kecil itu dengan takut-takut.


"Iya, kenapa?"


Mala tidak langsung menjawabnya dan kini menoleh ke belakang --- tepatnya ke dalam rumahnya --- dengan raut wajah yang terlihat lebih berhati-hati.


"Anu ... apa toko obat Engkok Tan buka?" tanya gadis kecil itu dengan polos, tanpa tahu bahwa sedang ada penjarahan di toko-toko etnis Tionghoa di luar sana.


Fadli yang mendengar nama tersebut pun langsung tergelak. "Iya, buka, memangnya kenapa?"


"Ehm, apa Mala bisa nitip beli obat ke Bang Fadli? Mala lagi butuh obat," ucap Mala lagi dengan gugup.


"Elu mau nitip beli obat ke gua?" tanya Fadli dengan dahi mengerut. "Eh bocil, lu mau bayar gua berapa jadi tukang ojek elu?!"


Mala mendadak terdiam. Ia lalu menundukkan kepalanya dengan pasrah setelah mendengar penolakan keras Fadli tersebut.


"Gua enggak mau dititipin beli obat ama elu karena gua bakal lama di luar," sambung Fadli secara mendadak ke arah Mala. "Tapi kalau elu hanya mau sekadar numpang ke arah sana, gua anterin deh!"


Mala kembali mendongak ke arah Fadli. Setengah isi pikirannya berusaha untuk mengabaikan ucapan Fadli yang terkesan asal itu. Namun setengah dirinya yang lain masih begitu mengkhawatirkan ayahnya, sampai-sampai ia tidak memperhitungkan bahaya yang mungkin akan mengintainya di luar sana.


"Gimana, elu mau jadi ikut apa enggak?!" tanya Fadli lagi dengan tidak sabaran.


Mala yang tertekan, terpaksa langsung mengangguk. "Tu----tunggu sebentar, Bang. Mala ambil barang Mala dulu ke dalam."


Anak itu lalu berlari tergesa-gesa ke dalam lagi untuk mengambil kresek koinnya. Ia sempat melirik ke arah jam di dinding yang menunjukkan waktu sekitar jam lima sore, sebelum kemudian memasuki kamar ayahnya dengan cepat. Di sana, ia langsung mengambil sebuah kertas dan pena dari atas meja ayahnya, lalu menuliskan sebuah pesan singkat darinya untuk sang ayah.


Setelah meletakkan pesannya di atas meja lagi, ia lalu bergerak ke arah lemari ayahnya untuk mengambil sebuah kerudung hitam bekas kepunyaan mendiang ibunya dulu. Baru setelah itu ia kembali menoleh untuk memandangi sang ayah yang masih tidak sadarkan diri dengan tatapan sedih.


Mala lalu menyempatkan dirinya untuk mencium punggung tangan ayahnya secara sekilas, meski dengan wajah yang sudah kembali basah dengan air mata. Begitu mendengar suara klakson berbunyi dari arah luar, gadis kecil itu pun segera berlari ke luar dari kamar ayahnya. Ia tidak menyadari sama sekali kalau saat ia melakukannya, kertas pesan yang ditinggalkannya juga ikut tertiup laju badannya dan kini terjatuh hingga ke bawah meja sang ayah.


Fadli sendiri yang sedang menunggu di motornya, mengernyit dengan heran saat melihat Mala kini keluar dengan wajah yang kembali basah dan langkah kaki yang terkesan tidak normal. Ia melirik sebentar ke arah Mala yang refleks menyentuh area paha dalamnya dengan wajah kesakitan saat akan menaiki motornya, tetapi memutuskan untuk tidak menanyakan hal aneh itu pada sang gadis kecil.


"Eh bocil, bokap elu tahu enggak elu mo keluar?" Itu pertanyaan yang malah akhirnya ditanyakan oleh sang pemuda pada si kecil Mala.


Anak Warih itu hanya menunduk dan langsung menggelengkan kepalanya sambil menyeka sisa air matanya.


Fadli yang melihat reaksi gadis kecil itu dari spionnya, kini terlihat heran. "Lah, emang lu kenapa, sih? Kok mendadak berani keluar-keluar? Hari gini lagi pas lagi rusuh-rusuhnya. Elu mo kabur ya dari bokap elu?"


"Rusuh ...?" tanya Mala yang malah fokus ke kata tersebut.


"Enggak ... enggak, lupain aja," jawab Fadli dengan tak acuh.


Pada dasarnya, Fadli membonceng Mala memang untuk tujuan mengantarnya ke depan. Ia sebenarnya tahu kalau saat itu tidak ada satu pun toko yang penjualnya beretnis Tionghoa, buka di daerah mereka. Namun, ia terlalu malas untuk menjelaskannya pada Mala dan malah berpikir untuk mengisengi sang anak.


Meskipun begitu, saat melihat jalanan ke arah luar ternyata sudah dipalang, sang pemuda kemudian kebingungan.


"Kenapa palang di sini jadi dikunci begini?!" tanya pria itu, lebih kepada dirinya sendiri. "Ini Pak RTkenapa, sih?! Main mendadak ngunci palang aja! Kalau ada orang dari luar mau masuk, gimana?! Mana enggak ada orang yang jagain di sini lagi!"


Fadli lalu menoleh ke arah Mala dengan tampang jengkel. "Eh, bocil, elu mau turun di sini aja terus jalan sendiri ke depan atau gimana? Jalan ditutup, gua mau keluar lewat arah belakang Kubur Koja aja."


"Mala takut sendirian, Bang Fadli," gumam Mala, ikut kebingungan. "Apa ada toko obat lain di sana?"


"Mana gua tahu?! Yang gua tahu, begituan ya adanya di Jembatan Tiga, tapi gua mana bisa nganter elu ke sana, gua mau ke Kertajaya! Kalau elu mau, ikut gua aja ntar sampai dekat jalan tembus ke Jembatan Tiga. Ntar lu jalan sendiri aja dari sana."


"Apa daerah di sana aman?" tanya Mala lagi.


"Aman," jawab Fadli lagi-lagi asal, meski sebenarnya ia tahu bahwa situasi area Jalan Jembatan Tiga sejak beberapa jam tadi mulai panas. Namun, karena terburu-buru, ia kemudian langsung menyalakan mesinnya lagi untuk melaju tanpa menunggu Mala berpikir terlebih dahulu.


Yang Fadli tidak tahu, ternyata banyak dari jalan potong ke tempat tujuannya yang ternyata juga sudah dipalang secara mendadak. Hal tersebut pun membuat ia terpaksa terus berputar-putar untuk bisa mencapai tujuannya.


"Ini kenapa, sih?!" tukas Fadli mulai tidak sabaran. "Kalau semua gang ditutup, lama-lama gua tua di jalan lagi! Masa iya, kita udah jalan setengah jam lebih, tapi masih di tengah terus?! Mana bentar lagi magrib! Pada penakut amat sih orang-orang di sini?!"


Di titik itu, Mala yang masih kecil sebenarnya sudah memiliki firasat buruk. Apalagi, sesekali ia mendengar ada suara-suara ledakan dari kejauhan yang ia tidak tahu dari mana asalnya.


Meskipun begitu, layaknya semua anak kecil yang ketakutan, Mala hanya bisa diam membisu dan tidak berani mengatakan apa pun. Ia pun kemudian hanya bisa terdiam saat melihat Fadli kemudian kembali membawanya untuk mencari jalan tembus lainnya.


Baru sekitar sepuluh menit setelahnya, situasi berjalan lebih mulus bagi sang pemuda dan Mala. Ada satu jalan yang akhirnya membawa mereka untuk menembus area Kampung Kubur Koja.


Begitu Fadli berhasil menembus ke jalanan yang sedikit lebih besar tersebut, pria itu mendadak menangkap keberadaan teman-temannya di depan sebuah ruko kosong yang tak jauh dari tempatnya. Kelompok temannya dari area Kampung Kubur Koja itu sedang duduk mabuk-mabukkan sambil menikmati lantunan musik dangdut, ketika juga tersadar dengan keberadaan Fadli di sana.


"Woy, Dli, mau ke mane elu bawa bocil perempuan petang-petang begini?!" teriak salah satu dari mereka yang melihat Fadli ada di seberang jalan bersama dengan Mala, sambil tertawa-tawa.


"Gua mau ke arah Kertajaya, tapi ini bocil mendadak minta ikut. Mau cari toko obat katanya," jawab Fadli dari seberang sambil menghentikan sebentar motornya untuk menjawab pertanyaan teman-temannya itu.


"Toko obat mane yang buke hari begini?! Wong banyak tempat lagi pade dibakar-bakarin! Elu kagak tahu ntu cewek-cewek Cina lagi pade dip*rkosain di mane-mane?!"


"Hah?" Wajah Fadli tampak kaget saat mendengar teriakan temannya dari seberang. "Maksud elu gimana?"


"Tiati elu bawa bocil Cina begitu! Lagi pade diburu noh cewek-cewek Cina di mane-mane!"


Fadli yang mendengarnya, mendadak menoleh ke arah jok belakangnya dan memandang sejenak ke arah Mala. Sementara Mala yang juga mendengar hal itu, langsung mengenakan kerudung mendiang ibunya di kepalanya dengan ketakutan.


"Ma---mala bukan orang Cina," bisiknya dengan suara yang mulai gemetar ke arah Fadli.


Gadis cilik itu sebenarnya membawa kerudung hitam mendiang ibunya dulu dari rumahnya tadi untuk menutupi wajahnya yang basah dan matanya yang bengkak. Namun, ia kini terpaksa mengenakannya untuk menutupi sebagian wajah dan lehernya yang berkulit putih pucat.


Meski mendengar itu, Fadli yang baru menyadari sesuatu dari arah seberang, kini malah memutuskan untuk merapat ke arah teman-teman Kubur Kojanya tersebut.


"Toko mana yang elu pada jarah sampai pada dapat minuman begituan?" tanya Fadli sambil memarkirkan motornya di sana, tanpa mempedulikan Mala yang masih duduk di atas motornya dengan ketakutan. "Bagi dikit lah gua buat pemanasan ntar malem."


"Makenye sini bentaran, buru-buru amat lu!" ucap salah satu teman Fadli di sana yang wajahnya sudah memerah karena setengah mabuk, sambil menyodorkan botol minumannya ke arah Fadli.


"Emang bener tuh cewek-cewek Cina pada dip*rkosain?" tanya Fadli sambil menenggak sedikit isi dari botol minuman alkohol hasil curian teman-temannya tersebut.


"Kenape? Lu juga mo ikutan hajar yang mulus-mulus?" tanya seorang teman Fadli lainnya di bagian belakang.


"Takut ah gua kalau yang begituan, sih!"


"Cemen lu!" teriak orang tadi dengan nada mengejek. "Babe mereka pade ngerampokin kite di sini! Ngapain juga elu takut kalau ngerampokin badan anak-anaknye?! Nyali elu cuman sebatas ngejarah barang, persis kek biji elu!"


Semua orang di sana yang sama-sama berpendidikan rendah, lantas menertawakan Fadli. Sementara Fadli sendiri hanya ikut tersenyum-senyum kecil.


"Lah, ini elu bawa bocil Cina cakep bekerudung di sini. Jangan-jangan elu bilang ogah-ogah, tahunye lu udeh curi start duluan lagi!" komentar orang lainnya di sana yang kembali menimbulkan riuh tawa di kalangan mereka sendiri.


"Hush! Ini bocil Sunda-Palembang! Mukanya aja yang kayak Cina," jawab Fadli sambil kembali meneguk isi botol minuman temannya. "Pada tahu Kang Warih yang suka jagain parkiran Bandengan Utara Raya bareng Bang Gabe dan Kang Alip, kan? Nah, dia anaknya Kang Warih."


"Kalau anak kelompoknye Bang Gabe mending jangan diape-apein, dah!" ujar salah satu orang di sana, mendadak dengan suara pelan. "Elu tahu tuh die dulu mantan orang yang suka bunuh-bunuhin orang."


Fadli tertawa. "Gua emang enggak apa-apain, wong dia dari daerah gua! Bisa dirajam gua ama warga gua kalau macem-macem ama dia mah! Gua cuman demen aja ngerjain nih bocil, soalnya dia suka diem aja di rumahnya selama ini."


"Ya udeh, daripade berabe ... bawa gih sono! Nih udeh magrib. Ntu anak juga mukenye liat kite udeh kek liat hantu aje! Inget-inget aje, jangan ke jalan besar. Abis lu ama ntu anak nanti kalo kebetulan papasan sama orang-orang di luar kampung kite!"


Fadli mengangguk sambil tertawa. Setelah meneguk sekali lagi minuman keras milik temannya, pria itu pun kemudian kembali ke motornya dan mulai menyalakan mesinnya lagi.


"B--bang Fadli, Ma--mala mau pulang aja," ucap Mala secara tiba-tiba sambil menangis di jok belakang motor Fadli.


"Hah?"


"To---tolong anterin Mala pulang. Mala takut."


"Lu denger yang tadi, ya?!" tanya Fadli mulai sewot. "Kalau lu mau pulang ya turun aja di sini! Jalan tuh lu sana lewat jalan tadi buat pulang sendiri!"


"Ma---mala takut, udah gelap ...."


"Ya elah, bocil bego begini, nih!" gerutu Fadli yang mulutnya sudah berbau alkohol dengan jengkel. "Masa elu mau minta gua anter pulang lagi?! Elu enggak lihat tadi jalan banyak yang ditutupin begitu?!"


Sang gadis kecil yang mendengarnya, mendadak menangis lebih kencang karena merasa lebih takut lagi.


"Bang Fadli, Mala takut," ulang Mala dengan raut wajah yang kini malah semakin pucat pasi.


Saking jengkelnya, Fadli kemudian langsung menyalakan motornya lagi dan memutarnya ke arah yang berbeda. "Oke, kalau lu mau pulang, gua turunin elu di jalan besar sekalian! Mau lu?!"


Mala yang kini melihat Fadli bergerak ke arah lain, seketika langsung syok. Secara refleks, ia pun langsung menjerit dengan ketakutan ketika dirinya dibawa Fadli meninggalkan area Kampung Kubur Koja untuk menuju ke Jalan Jembatan Tiga.


"Turunin Mala, Bang! Turunin!" teriak Mala sambil menangis histeris.


Fadli yang sebenarnya tidak serius ke arah sana, kini malah menertawakan Mala. Yang tidak diperkirakannya kemudian adalah ... sang gadis kecil yang menganggap serius ucapan Fadli, kemudian malah dengan nekat menjatuhkan dirinya dari motor Fadli hingga badannya langsung membentur aspal jalanan.


Karena luar biasa kaget dan syok melihat itu, pria itu pun kemudian mengerem motornya secara mendadak dan langsung menoleh ke belakangnya. Ia sudah akan turun dari motornya lagi untuk mendekati Mala.


Namun, entah bagaimana, seorang pengendara motor tak dikenal secara tiba-tiba berhenti di dekat Mala dan mengatakan sesuatu pada gadis kecil itu dengan cepat.


"P---pak Suwasto!" teriak Mala tiba-tiba ketika melihat ke arah si pengendara motor.


Bersamaan dengan teriakannya itu, Mala kemudian berusaha untuk langsung berdiri dari tempatnya terjatuh sambil meraih kreseknya lagi, dan segera berlari ke arah sang pengendara motor tak dikenal tersebut sebelum Fadli bisa menjangkaunya. Hanya beberapa detik setelahnya, bola mata Fadli melihat motor yang membawa Mala kini malah melaju cepat menuju ke arah Jalan Jembatan Tiga yang saat itu seharusnya ... terlarang.

 

AUTHOR’S NOTES:

  1. Engkok: a nickname commonly used in Indonesia to refer to an elderly ethnic Chinese man, often associated with owning a shop or business.
  2. Pak RT: refers to the head of a small neighborhood unit within a residential area, typically responsible for overseeing local affairs and administration.
     
     
Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Terlama
Terbaru Vote Terbanyak
Inline Feedbacks
View all comments
error: KONTEN INI DIPROTEKSI!!!
Seraphinite AcceleratorOptimized by Seraphinite Accelerator
Turns on site high speed to be attractive for people and search engines.